PROLOGUE

1239 Words
Bukan untuk pertama kalinya deretan rumah di kawasan Siki itu tampak sepi, padahal jam masih menunjukkan pukul 6 petang. Mereka terlalu percaya bahwa penghuni rumah nomor 68 yang terletak di atas Bukit Kemuning itu akan menyerang siapa saja yang berani keluar di malam hari, terutama kalau mereka menantang diri mereka sendiri lewat depan rumah paling menyeramkan di kawasan itu. Rumah itu dulunya adalah milik salah satu warga yang meninggal saat perang. Kemudian para penjajah memanfaatkan rumah itu sebagai tempat tinggal untuk orang-orang pribumi yang diculik saat perang untuk merebut Kemerdekaan. Mereka dibiarkan tinggal di tempat itu tanpa makanan mau pun minuman, yang kemudian membuat mereka meninggal karena kelaparan. Tidak ada yang mengubur jasad mereka, hanya dipindahkan ke sebuah ruangan yang ada di dalam rumah itu dan dibiarkan membusuk di sana. Jumlah orang-orang yang dibawa ke sana semakin banyak, bahkan ruangan tempat penyimpanan jasad semakin penuh. Setelah penjajah pergi, rumah itu terlantar dengan ratusan jasad membusuk di dalamnya. Setelah bertahun-tahun lamanya, datanglah sebuah keluarga dari Australia yang menempati rumah itu. Mereka sangat tergiur dengan harga murah namun menyajikan pemandangan yang indah. Mereka sendiri yang memindahkan ribuan tulang belulang yang memenuhi ruangan yang akan mereka jadikan sebagai gudang. Pasangan suami istri itu bahkan mengubur tulang-tulang itu di belakang rumah, tepat di bawah sebuah pohon besar berpagar. Awalnya tidak ada hal aneh yang terjadi pada mereka, namun lama-kelamaan mereka merasa terganggu ketika anak perempuan mereka berkali-kali bicara sendiri seolah tengah berbincang dengan seseorang. Sebelumnya mereka pikir itu hal yang wajar dilakukan anak-anak seumuran si gadis kecil, namun ibunya mulai menaruh curiga padanya. Jika ditanya, anak itu pasti menjawab ia tengah bermain dengan Kak Zika. Mulanya kedua orang tuanya mengira Zika adalah nama pemberian anaknya untuk teman imajinasinya. Hal itu karena sebelum-sebelumnya sang anak memang memiliki teman imajinasi yang ia beri nama sendiri. Ketika ditanya kenapa memberi nama temannya dengan nama Zika, ia menjawab kalau memang namanya adalah Zika. Ia bilang Zika sendiri yang menyebutkan namanya. Tentunya hal ini membuat orang tuanya gelisah. Anehnya, teman imajinasinya kali ini membuatnya jadi sering ke dapur. Bahkan yang lebih mengerikan adalah ketika ia mengambil pisau buah dan menodongkan pisau itu ke matanya sendiri. Ibunya yang melihat hal itu pun langsung menarik anaknya ke dalam pelukannya dan melempar pisau itu jauh-jauh. Lagi-lagi sang anak mengatakan kalau Kak Zika lah yang menyuruhnya. Sejak saat itu kejadian aneh bertubi-tubi datang menimpa keluarga ini. Suara mengerikan berupa jeritan perempuan sering terdengar dari loteng pada pukul dua dini hari. Kemudian pernah di suatu malam, sang anak yang sebelumnya tidur di kamarnya, tiba-tiba terbangun dan sudah berada di dalam gudang, menggedor pintu sambil menangis. Keanehan-keanehan itu membuat mereka meyakinkan diri untuk segera pindah dan membiarkan rumah itu kosong lagi selama bertahun-tahun. Orang terakhir yang menempati rumah itu tidak diketahui identitas nya. Ia adalah pendatang yang benar-benar menutup diri. Beberapa kali penduduk sekitar memberanikan diri untuk menghampirinya dan mengundangnya ke suatu acara di desa, namun ia selalu beralasan untuk tidak hadir. Pria tua itu hanya menghabiskan sisa hidupnya di sana sampai terdengar kabar kalau ia meninggal di rumah itu. Orang-orang tentu saja tidak berani ke sana apalagi untuk menguburkan jasadnya. Jadi jasad pria tua itu tetap berada di sana sampai membusuk. Keangkeran rumah itu benar-benar sudah menyebar sampai ke desa maupun kecamatan lain. Pernah ada rencana agar rumah itu dirobohkan namun tetap saja gagal. Entah orang-orang yang bertugas mengalami kecelakaan dalam perjalanan, sampai gangguan yang didapatkan ketika ada yang berusaha masuk ke sana. Sehingga penduduk sekitar sepakat rumah itu akan tetap dibiarkan berdiri di Bukit Kemuning. Sejak saat itu penduduk semakin takut untuk keluar rumah ketika petang datang, bahkan untuk sekedar membuka tirai jendela pun mereka was-was. Hal tidak mengenakkan pernah terjadi ketika salah seorang petani di desa itu pulang dari kebunnya yang terletak tidak jauh dari rumah nomor 68. Matahari baru saja terbenam ketika petani itu melewati rumah menyeramkan itu, namun suara-suara gaduh sudah terdengar dari dalam rumah. Geraman, erangan kesakitan, jeritan, semua terdengar di waktu yang bersamaan dan sangat memekakkan telinga. Petani yang ketakutan itu langsung berlari menuruni bukit dengan tergesa-gesa. Namun naasnya ia malah tergelincir sampai ke kaki bukit. Hal itu membuat kaki kanannya patah. Ia juga trauma, bahkan mengaku berkali-kali suara yang ia dengar hari itu masih seringkali terngiang di telinganya. Hal itu membuat ia terus-terusan menjerit ketakutan di tengah tidurnya. Kabarnya ia pun sering memukul-mukul kepala sendiri sambil memohon kepada entah siapa untuk dibiarkan tetap hidup dengan tenang. Tidak ada yang tahu kabar selanjutnya karena keluarga itu pindah ke daerah lain. Rumor mengerikan tentang rumah berhantu itu bahkan semakin dikenal orang dari luar daerah. Terlebih ketika ada seseorang yang tidak bisa keluar dari sana. Saat itu adalah di bulan Ramadhan. Penduduk sekitar yang melihat ada dua pemuda masuk ke desa mereka pun bertanya tujuan mereka kemana. Dengan ramah mereka menjawab kalau tujuan mereka adalah Bukit Kemuning. Sontak semua orang yang mereka temui meminta mereka untuk tidak melanjutkan perjalanan. Bahkan penduduk menceritakan semua kejadian mengerikan yang pernah terjadi di rumah itu. Namun lagi-lagi hal itu tidak menghentikan langkah mereka. Karena mereka pikir mereka sudah menempuh perjalanan jauh, jadi tidak mungkin untuk menyerah begitu saja. Keduanya hanya membalas dengan senyuman dan mengatakan kalau mereka akan baik-baik saja. Penduduk desa yang melihat mereka mulai menaiki Bukit Kemuning pun hanya bisa harap-harap cemas, berharap dua pemuda itu akan keluar dengan selamat. Keesokan harinya, penduduk desa digegerkan dengan kabar mengenai dua pemuda yang naik ke Bukit Kemuning semalam. Satu pemuda yang lebih tua berhasil keluar dengan selamat, namun adiknya tidak berhasil keluar dari sana. Pemuda itu mengaku sudah mencari adiknya namun tak kunjung ketemu. Salah satu tetua di desa itu menyimpulkan bahwa pemuda yang lebih muda itu telah meninggal di dalam sana, namun makhluk-makhluk halus di sana berusaha menyembunyikannya. Orang-orang pun tidak bisa membantu meskipun si pemuda memohon-mohon sampai bersimpuh. Ia terus meminta agar mereka membantu untuk mencari adiknya. Mereka tetap tidak berani masuk ke dalam rumah itu. Hanya rasa iba yang bisa mereka tunjukkan padanya, namun tidak sedikit juga yang menyalahkan tindakannya. Padahal sebelumnya kedua pemuda itu telah diperingatkan. Berbulan-bulan semenjak kejadian hilangnya satu pemuda di dalam sana, tidak ada lagi yang berani mendekat apalagi masuk ke rumah itu. Suara-suara geraman masih terdengar, bahkan bunyinya menggelegar di tengah sunyinya malam. Terlebih ketika azan Maghrib dan Isya’ dikumandangkan. Suara-suara dari dalam rumah itu bahkan terdengar lebih memilukan. Seakan geraman, jeritan, tangisan pilu berkumpul menjadi satu. Malam itu benar-benar cerah. Sebuah tangan dengan jari-jari yang kurus panjang dan sedingin es perlahan menyibak tirai berdebu di rumah itu. Ia membiarkan sinar bulan masuk melalui celah-celahnya. Namun kemudian makhluk lain yang tengah tertidur di kursi tua itu kini mulai bergerak-gerak tidak nyaman. Ia menggeram walaupun kedua matanya masih tertutup. Tapi makhluk berjari panjang itu sepertinya tidak mengindahkan isyarat itu karena tirai masih menyibak terbuka. Begitu makhluk di kursi tua itu bangun dan memicingkan kedua matanya, suara geraman terdengar lebih keras. Makhluk itu bangkit dan mengeluarkan berbagai macam sumpah serapah, bersiap menyerang siapa saja yang ada di dekatnya. Bahkan kedua matanya telah berubah menjadi merah padam. “SUDAH KUBILANG JANGAN BIARKAN SINAR BULAN MENYENTUH KULITKU! KAU SUDAH MENGGANGGU TIDURKU.” teriaknya dengan suara yang menggelegar. Suara itu bahkan mampu membuat hantu wanita di basement mulai menjerit tak karuan. Tak hanya menjerit, bahkan hantu wanita itu seakan terdengar memukul-mukul dinding dengan menggila. “DIAMLAH!” Makhluk itu kembali berteriak. “AKU AKAN MEMBUANGMU JIKA KAU MASIH TERIAK-TERIAK DI SANA.” Begitu ia melontarkan ancaman itu, jeritan di basement tak lagi terdengar. “Kalian semua tetaplah tenang. Akan kupastikan tak ada manusia yang berkeliaran hanya untuk menantang kalian semua untuk keluar.”
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD