Light Me UP 1

1236 Words
Vhiya Aku mengucek sekali lagi mataku demi memastikan apapun itu—objek visual yang ditangkap oleh indera penglihatanku—adalah salah. Sayangnya, apa yang kulihat dan kutebak adalah benar. Terlalu benar. Sial! Manusia yang paling kuhindari dan aku catat namanya dalam top rank blacklist hidupku berjalan ke sini. Suara ketukan sepatunya dan lantai serasa hitungan mundur sebelum hukuman gantung dilaksanakan. Seburuk itu? Tidak akan tambah buruk jika dia tidak melambai dan meneriakkan namaku di tengah koridor kantor yang terbentuk oleh puluhan kubikel dengan mata penggunanya yang menyorot kami. Aku hanya bisa menghela napas lemah. Jika ini merupakan satu dari sekian kuasa Tuhan untuk menjadikanku hamba-Nya yang masuk surga, apa mau dikata. Nasib. “Hei, gue panggil malah melengos,” katanya, si manusia yang paling kuhindari. Aku pasang cengiran polos. Tidak tahu bagaimana menimpali orang yang satu ini. Orang lain mungkin akan dengan semangat menimpali ocehannya bahkan berebut dekat dengannya. Tidak denganku. Dia adalah Friska Yunita, perempuan berumur dua puluh delapan tahun dengan wajah cantik dan kulit putih. Siapa pun akan menyukainya yang supel, ramah, dan baik. Sekali lagi, tidak denganku. “Gue baru pindah ke cabang ini. Nggak nyangka bakal ketemu lo. Lo udah berapa lama kerja di sini? Terus...” Aku mengingat-ingat sayur dan daging apa saja yang tersimpan di dalam kulkas. Menu makan malam apa yang bisa aku masak nanti dengan bahan itu. Jam berapa adikku akan datang. Aku memikirkan film kartun yang bagus untuk kami tonton bersama. “Hei!” Sebuah tepukan panas di bahu mengejutkanku. “Gue ngomong, lo malah bengong.” “Ngomong apa ya?” Ya, aku memang tidak mengacuhkan omongannya dengan sengaja. Seminggu ini aku berusaha invisible di kantor agar tidak perlu mendengar ocehannya. “Malas deh dicuekin. Ya sudah nanti makan siang sama gue. Awas lo kabur,” kata Friska dengan telunjuk mengacung ke hidungku. Dia berjalan mundur dengan tetap memasang wajah intimidasi yang dibuat-buat sebelum menghilang di balik tikungan menuju ruangan para petinggi. Baru setelah itu aku bisa menghembuskan napas lega. “Lo kenal Bu Friska?” tanya Edi yang tahu-tahu sudah ada di sebelahku. “Kebetulan doang,” jawabku seadanya. “Hebat bisa dekat Bu Friska,” kata Edi. Aku paham ada nada menyindir dalam kalimatnya tapi aku tidak dalam mood ingin mendebat. Pikiranku sedang mengantisipasi yang lain. Kemungkinan paling buruk yang selalu menghantuiku sejak seminggu ini. Oh, bukan, bukan hanya seminggu ini. Kemungkinan buruk yang menghantuiku selama beberapa tahun belakangan. Ya Tuhan, semoga itu hanya pemikiran burukku. Bukan bagian dari pertanda. “Gue duluan ya, Ed. Mau nyerahin berkas ini ke Pak Darmais,” kataku dengan sengaja memutus pembicaraan mengenai Friska. “Eh, Pak Darmais udah jalan ke pusat. Kalo urgent, dia titip serahin kerjaan ke Bu Erika,” potong Edi. “Bu Erika?” Dahiku mengerut. “Iya, sono ke Bu Erika. Dia biasanya bete kalo dikasih gawean mau deket jam istirahat.” Aku pun mengikuti saran Edi, pergi ke ruangan Bu Erika untuk menyerahkan berkas yang sebenarnya diminta Pak Darmais tadi pagi.   OoO   “Mulai sekarang kamu di bawah divisi saya, Vhiya,” kata Bu Erika setelah menutup berkas yang sudah dia periksa. “Kok gitu, Bu?” tanyaku agak ragu. “Efisiensi. Berhubung Pak Darmais mau pensiun dan Bos bikin aturan manajemen baru ... ya, nanti kamu juga bakal tau,” jawab Bu Erika sembari memejamkan mata dan memijat pelipisnya. Kelihatan sekali stres pekerjaan menggerogoti kecantikan Bu Erika. “Ibu sakit? Perlu saya pesankan obat, Bu,” tawarku. Sebenarnya aku tertarik dengan apa yang baru dikatakan Bu Erika tapi aku kasihan melihat perempuan tua itu. Bu Erika sudah bekerja di perusahaan ini selama sebelas tahun dan tersohor sebagai pribadi yang menyenangkan baik selama jam kerja dan di luar kantor. Ada sedikit rasa syukur mendapati Bu Erika yang akan menjadi atasanku menggantikan Pak Darmais yang sama baiknya, tapi tentu perubahan berarti meninggalkan zona teraman. “Thanks, Vhi. Kamu boleh balik kerja.”   Aturan baru. Aku menutup pintu ruangan Bu Erika membawa banyak tanda tanya. Seminggu ini memang aku sadar terlalu menyibukkan diri dengan pekerjaan. Bertengger di balik komputer seharian seperti dikejar deadline, yang sebenarnya tidak ada. “Edi, update berita kantor dong,” pintaku langsung begitu duduk. Kebetulan mejaku dan meja Edi sebelahan. “Yang mana?” Matanya tidak lepas dari layar komputer. “Pak Darmais, aturan baru, efisiensi, atau apalah yang lain.” “Pak Darmais mau pensiun so Bu Erika bakal jadi atasan kita.” Edi menjeda ceritanya. Dia melirik kanan-kiri lalu memintaku merapatkan duduk dengannya. “Siap-siap ada peraturan baru. Noh atasan-atasan kita udah nambah keriput, tinggal tunggu waktu kita bakal ikutan keriput.” “Aturan apa?” “Efisiensi..” Edi mencondongkan kepalanya ke telingaku sambil berbisik, “karyawan.” Oh No! Berita ini lebih buruk daripada ditiadakan bonus tahunan atau pelarangan cuti bahkan pengurangan jam istirahat. Bad luck. Semoga bukan aku yang masuk dalam daftar dikeluarkan dari daftar karyawan aktif. “Udah tahu siapa yang akan di-PHK?” Edi angkat bahu. Wajahnya menunjukkan kejujuran. Edi banyak tahu perkembangan gosip kantor karena dia berpacaran dengan anak HR yang mana HR di kantor ini mempunyai reputasi penggosip paling unggul. Satu-satunya rahasia kantor yang bisa mereka simpan rapat adalah informasi soal berapa gaji para bos. “Kalo tahu kabar baru, please update ke gue ya,” mohonku sepenuh hati. “Lo kenapa, sih? Nyantai aja, lo kan deket sama Bu Friska. Minta tolong dia biar dibantu bebas dari PHK,” sindir Edi. Aku malas meladeninya dan memilih menyibukkan diri dengan komputerku. Pikiranku masih melayang-layang. Aku butuh pekerjaan ini demi keluargaku.    OoO   Sesuai perkataan Friska tadi pagi, aku makan siang bersamanya—dengan terpaksa. Tiba-tiba dia muncul di depan kubikelku dengan cengiran khasnya tepat pada pukul dua belas siang. Kemudian menarik tanganku ke kantin. Tindakannya mengundang banyak mata menatap kami. Beberapa tampak terkejut, ada yang menganggapnya lucu, dan tidak jarang mata-mata iri seperti tatapan Edi bertubrukan denganku. Demi Tuhan, aku tidak dekat dengan perempuan ini. Jika ingin dekat dengannya, silakan ambil, jerit nuraniku. “Kok nggak dimakan gado-gadonya?” Friska menaikkan satu alisnya. “Nggak lapar banget,” jawabku lesu. Bagaimana bisa makan jika semua mata di kantin ini menatapmu menyelidik. Aku serasa berada dalam kontes kecantikan. Sikap makanku, gerak-gerikku, dan atribut yang berhubungan denganku dinilai oleh semua orang. Menjengkelkan. “Lo sakit, Vhi?” Friska menempelkan telapak tangannya di dahiku. Gerak reflekku rasanya lenyap di bawah invasi mata banyak orang. “Gue nggak sakit.” “Tadi gue telepon nyokap, cerita ketemu lo di sini. Dia seneng banget. Kangen lo, katanya.” Aku berhenti mengaduk-aduk makanan di piring. “Tante Muti apa kabar?” “Sehat. Masih galau aja sejak bokap pergi.” “Pergi?” Aku menautkan alis, tidak mengerti. “Astaga, lo pasti nggak tahu. Bokap gue meninggal dua tahun lalu, kena serangan jantung.” “Maaf,” lirihku. Aku mengenal ayah Friska dan merasa bersalah terlambat mengetahui kabar kepergiannya. “That’s fine. Sesekali nyokap ingat, pasti galau. Wajarlah, mereka saling cinta gitu. Lo gimana? Udah dapat yayang baru?” Aku menatap sosok jelita di hadapanku ini. Dia tidak banyak berubah, masih cerewet. Satu per satu memoriku terputar, membuatku merindukan masa lalu. Nggak boleh! Aku sudah mempunyai kehidupan baru. Aku tidak ingin kembali pada masa lalu. “Ya, gitu,” jawabku dengan senyum tipis. “Waah... kenalin dong,” rengeknya. Aku menggeleng. “Nggak. Dia terlalu spesial. Gue nggak mau dia kenal lo terus lo naksir dia. Dia terlalu berharga.” Friska mendengkus kesal. “Pelit!” “Sabodo.”  
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD