Prolog

3002 Words
                                                                                        Prolog Sekumpulan benang merah melilit kakinya, bergerombol dan meliuk-liuk seperti ular. Awalnya hanya sebatas pergelangan kaki, tetapi semakin lama, untaian-untaian merah itu mulai menunjukkan kekuasaannya. Ia masih menunduk, menunggu seberapa banyak lilitan yang mendiami pergelangan kakinya. Lagipula, tak ada yang bisa ia lihat selain pergelangan kaki dan benang-benang itu. Bahkan ia tak bisa melihat telapak tangannya ketika ia mencoba melakukannya. Hanya pergelangan kakinya yang menjadi cahaya. Ia tak mengerti mengapa bisa menjadi seperti ini. Awal penglihatannya adalah tanah mati beserta pohon-pohon jati tak berdaun, udara yang keruh seakan penuh miasma, serta embusan uap panas yang entah datang dari mana. Kemudian langit tampak mendung dan bulan besar muncul di sana. Bulan yang bergerak-gerak itu, timbul tenggelam. Hingga akhirnya, bulan itu benar-benar tenggelam seperti termakan, dan cahaya pun menghilang. Di tengah suasananya yang misterus dan mistis, ia merasakan gelitikan halus pada kakinya, dan hal itu cukup membuatnya penasaran. Lalu ia pun menunduk, tapi matanya tak dapat menangkap apa-apa. Ia terus menunduk, hingga sebuah benang terlihat, dan pergelangan kakinya pun terlihat. Namun, semakin lama ia menunduk, semakin banyaklah lilitan yang bisa ia pandang. Dua lilitan. Tiga lilitan. Sepuluh lilitan. Dua puluh lilitan. Seratus lilitan. Dua ratus lilitan. Kemudian tak bisa lagi ia menghitung. Ia angkat kepalanya. Menatap lurus ke depan, dan benang-benang merah itu seperti karpet yang meliuk-liuk. Sangat banyak, terlalu banyak. Ketika ia mengambil seuntai di genggaman, benang yang lain menghilang, lenyap begitu saja seperti terhapus oleh hal tak kasat mata. Lalu ia mencoba bergerak perlahan, berkeyakinan bahwa benang yang ia pilih adalah cahaya untuk membimbingnya kepada cahaya yang lebih besar. Ia terus berjalan, terus melangkah hingga kaki kecilnya berdarah-darah dan kotor. Daratan dengan pohon-pohon jati terlihat lagi. Ketika ia mendongak, yang dilihatnya bukan lagi bulan, melainkan matahari besar dan semua kehangatannya.                                                                  Hidden Assassin - Before the Story London .. .. Deru kendaraan. Helaan napas. Kekeh bahagia. Keluh kesah kepenatan. Semuanya terdengar sangat jelas, pada pagi ketika sepasang kakinya melangkah damai di trotoar. Sebuah apel merah di genggaman masih tersisa seperempat, sedangkan kotak s**u di tangan yang lain telah kandas isinya. Angin dingin musim gugur meniup-niup kulit sampai membuat beberapa orang meremang. Dedaunan yang rontok dimasukkan ke dalam tempat sampah oleh beberapa lelaki berseragam. Satu lagi pagi yang damai tanpa huru-hara. Siklus hidupnya kini benar-benar sedang terlalu tenang. Masalah-masalah yang lalu seolah hanya mimpi semalam. Betapa damai hari-harinya ketika memikirkan bahwa tak ada lagi seorang kakak pemarah yang selalu merecokinya, tidak ada pula seorang ibu sinting yang mencoba mengutak-atik jasmaninya seperti mainan bongkar pasang. Ia merasa merdeka sebagai manusia. Hanya saja, kadang pada malam yang terlalu sunyi, wajah ayahnya berkelebat, membangunkan rindu yang selalu ia singkuri. “Gekko! Selamat pagi.” Sudut bibirnya tertarik sedikit ke atas, tersenyum samar tanpa terlihat. Rasanya, segala kerinduannya pada sang ayah bukanlah perkara, karena tanpa ia minta, seorang malaikat telah bersedia tunduk di bawah kakinya. “Hn, Alice.” .                                                                             The Hidden Assassin                                                                                     2015 – 2016 . Halaman buku yang dibuka satu demi satu, suara saling sapa yang terdengar di koridor, canda tawa para penggosip, para pemalas yang histeris karena belum mengerjakan pr, dan bahkan si murid teladan yang hanya diam belajar. Di sekolah manapun, akan sangat mudah menjumpai pagi yang seperti ini. Lalu di sudut sana, tepat di meja depan paling ujung dekat pintu masuk, ada Gekko Hakai yang menghabiskan waktu luangnya di sekolah membaca buku sejarah. Rambut hitamnya lurus terurai, tampak lunglai menganak-pinak ke bahu dan punggunya.  Pagi ini pun, penampakannya selalu menimbulkan rasa tak nyaman. Kulit gadis itu selalu tampak sepucat mayat, bibirnya tak pernah tersenyum, dan mata bulatnya beriris sekelam obsidian. Ketika bicara, suaranya rendah dan dalam. Tak sedikit teman sekelas yang takut mendekatinya. Seolah-olah, gadis itu bisa memberi kutukan mematikan kapan saja. “Gin! Sudah kubilang jangan berlari!” Suara gadis muda menggelegar memenuhi kelas. Napasnya terengah-engah, kedua tangan memegangi lutut, sedangkan matanya memandang nyalang pada pemuda yang dipanggilnya. “Ha ha ha. Kau bilang ingin diet, ‘kan? Ini cara terbaik untuk membakar kalori, Lizzy.” Seorang pemuda pirang yang telah sampai lebih dulu, terbahak sangat puas. Tas yang dicangklong di sebelah bahu, kini diletakkan tanpa sungkan di atas meja Gekko. Benar-benar mengganggu ketenangan. Gekko sempat mengernyit, tapi pada akhirnya tidak mengatakan apa pun perihal kelakuan si pirang di depannya. Selembar halaman buku sejarah dibalik pelan. “Wah! Si mayat Gekko sudah di kelas rupanya. Seperti biasa selalu jadi murid teladan, hm?” Gin, pemuda pirang yang kurang sopan itu, mengalihkan perhatiannya pada Gekko yang asik masyuk menekuni tiap kalimat di atas kertas. Mata hijaunya berkilat jenaka, seolah ingin menggoda Gekko dengan segala cara. “Tentu saja dia akan datang pagi-pagi. Kalau datang kesiangan, bisa melepuh kulitnya kena sinar matahari.” Gadis yang tadi mengomel-ngomel di depan pintu, kini ikut bergabung. Sebelah tangan menggandeng lengan kecoklatan Gin, tak sama sekali peduli bahwa orang yang digandengnya sedang penuh dengan peluh. Namun, sesuatu yang tidak diduga terjadi. Tanpa peringatan, seorang gadis pirang lainnya datang dengan sebuah kebrutalan. Buku setebal 5cm di tangannya, dipukulkan ke belakang kepala Gin dan Lizzy. Sengaja dan sekuat tenaga. “Kalian berdua! Berhenti mengolok-olok Gekko!” hardiknya. Tidak menyangka akan ada yang memukul tiba-tiba dari belakang, Gin dan Lizzy hanya mengaduh-aduh minta ampun. Meskipun ingin marah, tapi pada akhirnya tidak bisa. Rasanya tidak tega memarahi si pirang beriris biru yang wajah putihnya mulai terlihat kemerahan akibat kesal. “Alice … kenapa kau selalu tega pada kami.” Gin mengeluh pilu. “Kasih sayangmu tidak adil,” sahut Lizzy muram. Meskipun diberi wajah sedemikian memelas dari dua temannya, Alice mengabaikan. Matanya fokus pada satu orang yang selalu menjadi pusat perhatiannya. “Gekko, kau baik-baik saja?” tanyanya. Matanya terlihat khawatir, seperti mengkhawatirkan kucing kecil yang memelas di pinggir tong sampah. Padahal Gekko tidak tampak seperti itu, tidak pernah tampak begitu. Memangnya siapa pula yang bisa merasa kasihan pada jelmaan mannequin gothic yang biasanya dipajang di etalase toko horror? Hanya maniak, hanya Alice. “Hn.” Seperti halnya Alice yang mengabaikan dua lainnya, Gekko pun tidak sungkan mengabaikan Alice. Selembar lagi kertas buku dibalik, entah mengapa kali ini ia menjadi kurang fokus. Alice menghela napas. Meskipun diberi tanggapan dingin, tetapi ia merasa lega karena mengerti Gekko baik-baik saja. Dia kemudian duduk di kursinya yang memang ada di samping Gekko. Si pasangan pirang pun duduk di kursi mereka sendiri-sendiri. Mereka menggerutu sambil mengelus-elus kepala hasil kebrutalan Alice di pagi hari. “Gekko, Gekko. Mau dengar ceritaku?” Alice menyeret kursinya lebih dekat ke sebelah. Matanya berbinar-binar. Usai mengembus napas pelan, Gekko akhirnya menutup bukunya. “Apa?” tanyanya pelan, mencoba memperhatikan Alice supaya yang bersangkutan tidak merasa selalu diabaikan. “Lihat ini. Jeng jeng! Apa kau terkejut?” Alice memperlihatkan sebuah buku tebal yang sejak tadi didekap erat. Ia begitu gembira saat menunjukkan bukunya, mirip anak anjing yang menunggu diberi makan majikan. “Ini buku kumpulan mantra sihir baru!” lanjutnya lebih bersemangat. “Hn. Lalu?” “Kau tahu, aku mendapatkan buku ini dari gudang.” Alice tersenyum-senyum senang, terlalu lebar. “Aku tidak menyangka kalau salah seorang keluargaku punya kegemaran sepertiku, he he he,” tuturnya bangga seraya mendekap buku tersebut lebih erat. “Baguslah. Setidaknya kau tidak gila sendirian.” Mendengar tanggapan Gekko, Alice mengembungkan pipinya. Wajah yang cerah mirip bidadari mulai tampak keruh, iris birunya terlihat kecewa. “Ugh, Gekko selalu jahat seperti biasa,” keluhnya. “Hn. Lalu, apa yang ingin kau lakukan dengan itu?” Wajah muram Alice seketika terhapus, paras putih rupawan itu semakin bersinar ketika ia tersenyum. “Mempelajarinya, mungkin. Aku ingin mencoba beberapa mantra.” Gekko memperhatikan wajah Alice lekat-lekat. Gara-gara hal itu, yang diperhatikan pun lantas gugup. “Kenapa kau tidak pernah belajar dari pengalaman?” “Eh?” Alice menelengkan kepala. “Semua yang kau pelajari tentang sihir hanya omong kosong, percobaanmu selalu gagal. Dan jika pun kau berhasil mengaktifkan kekuatan psikismu, hanya ada beberapa cara yang benar-benar bisa dilakukan.” “Apa itu?” “Pertama, kau memang berbakat sejak lahir. Namun, bukankah sejak awal kau ini hanya manusia biasa? Melihat hantu pun tak bisa.” “Ugh.” Sebutir keringat mengalir ke pelipis Alice. Perkataan Gekko menancap langsung ke hatinya. “Yang kedua?” “Menjalin kerja sama dengan iblis.” Alice terdiam, matanya berkedip sekali, tapi pikirannya tiba-tiba kosong. Ia benar-benar tidak suka dengan pikiran Gekko yang seperti ini. Meskipun dalam hati sudah mengerti benar dengan segala hal berbau sihir, tetapi ia memang tidak pernah mengharapkan sesuatu yang menakutkan seperti persembahan, tumbal, atau pun perjanjian dengan setan. Hal-hal seperti itu merupakan sesuatu yang gelap, bukan favoritnya. Sihir yang ia inginkan adalah seperti di dongeng-dongeng para putri. Sihir yang indah, membawa kebaikan dan kedamaian, serta didapatkan dengan wajar karena rajin berdoa. Apa ya, mungkin bukan disebut sihir, melainkan sebuah berkah. “Gekko bisakah kita membicarakan yang lain?” Gekko hampir mendecih, tapi tidak dilakukannya. “Kau yang memulai.” “Tapi kau mengarahkanku pada sesuatu yang tidak kusuka.” “Hadapi kenyataan. Sihir yang ada dalam anganmu itu hanyalah mitos. Menyerah saja.” Bibir Alice mengerucut, buku yang ada digenggaman pun diletakkan di atas meja. Dengan nada yang begitu datar dan dingin, Gekko akhirnya mengomel. “Kau ini putri bangsawan, mengapa kelakuanmu seperti ini?” Alice diam saja, tidak berani menanggapi. Gekko pun tidak ingin bicara lagi. Buku sejarah yang sempat ditutupnya kini dibuka kembali. Mengabaikan Alice yang berharap dihibur. “Hei nona-nona, kalian membicarakan hal seru berdua saja?” Di tengah keheningan yang tercipta, Gin tiba-tiba sudah duduk di atas meja, tepat di meja Gekko. Ia menggeser buku yang sejak tadi menjadi pusat perhatian Gekko, dan duduk bersila tanpa peduli tata karma. “Ya ya, benar. Kalian tega sekali bicara berdua saja tanpa mengajakku.” Lizzy ikut-ikutan, ia memasang wajah memelas sambil menuju belakang kursi Gekko, meletakkan dagunya di kepala si pucat pemurung tanpa sungkan. Gekko sebenarnya tidak suka berkontak fisik dengan orang lain, tapi Lizzy selalu melakukan hal ini padanya. Tahu bahwa keluhannya akan sia-sia, dia hanya diam, menggerutu dalam hati. “Jadi, apa yang kalian bicarakan? Aku mendengar tentang buku dan sejenisnya,” ujar Gin kembali ke pokok percakapan. “He he he.” Alice nyengir-nyengir sebelum menjawab. “Lihat ini!” Dia kembali memperlihatkan buku yang tadi sempat diagung-agungkan di depan Gekko. “Buku sihir baru,” pamernya bangga. “Hoo ... alat penganiayaan ini rupanya buku sihir,” gerutu Gin mengingat-ingat kejadian dia dipukul tadi. “Lalu, kapan mau mencobanya?” tanyanya kemudian. Meskipun sempat menyindir, ia juga kelihatannya tertarik pada buku Alice. Yah, tidak heran, mereka memang punya kegemaran yang sama. “Sepulang sekolah? Di bukit belakang sekolah?” tanya Alice, mengajukan opsi. “Bisa-bisa.” Gin dan Lizzy mengangguk berbarengan, tampak senang. Alice kemudian melihat pada Gekko, tampak ingin meminta pendapat. “Apa?” tanya Gekko malas. “Pergilah bertiga. Aku harus kerja sambilan, tidak ada waktu untuk mencoba hal konyol,” tolaknya. Tiga remaja pirang tersebut langsung cemberut. “Gekko tidak asik.” “Tidak seru. Kolot.” “Ugh ... padahal aku ingin mencobanya bersama Gekko.” Gekko mendebas kecil, meraih kembali buku sejarahnya yang sempat disingkirkan Gin, mencoba sekali lagi fokus pada hal yang dianggapnya lebih berguna. Ia sebenarnya tidak habis pikir dengan kelakukan teman-temannya, mereka selalu bermain-main dengan hal tidak jelas dan kekanakan. Bocah-bocah itu sudah berpuluh-puluh kali mencoba memprakterkkan ilmu sihir yang didapat dari berbagai sumber, mulai dari buku yang dijual gelandangan, artikel di internet, hingga gosip aneh yang beredar di masyarakat. Tentu saja tidak ada satu pun yang berhasil, karena sihir seperti di film-film fantasy hanyalah omong kosong. Seharusnya mereka sadar sejak dini, tapi nyatanya tidak. Sekarang mereka masih mau mencoba lagi? Tidak ada kapoknya. ... ... ... Langit sedikit mendung, padahal masih siang hari tapi keadaan sekitar sudah mulai terlihat gelap. Seorang kakek tua menyerahkan loyangnya pada penjaga toko. Isi loyangnya ada tiga potong cake tiramisu. Gekko, sebagai penjaga toko yang dimaksud, membungkus pesanan si kakek tua. Ia kemudian menyerahkan pada kakek tersebut setelah menerima pembayaran. “Sebentar lagi mungkin akan hujan berangin. Sebaiknya kakek cepat pulang,” ujar Gekko berbasa-basi. Meskipun tidak suka, tapi ia harus melakukannya demi kelangsungan toko roti kecil ini. Dengan alasan seperti itu, tidak ada yang bisa memaksanya untuk lebih bersikap ramah. Si kakek tersenyum. “Terima kasih sudah mau mengingatkan. Sampai jumpa.” Ia pun berlalu setelah sebelumnya melambaikan tangan kepada Gekko. Toko kembali sepi, memang hari ini sangat sepi. Mungkin karena cuacanya sedikit kurang nyaman untuk orang-orang membeli kue, sehingga toko kecil yang sebelumnya kurang diminati, kini semakin seperti toko yang hampir bangkrut. Pada akhirnya, karena tidak melakukan apa pun lagi, Gekko pun menengok ke depan toko. Angin berembus sangat kencang ketika ia membuka pintu. Apa anak-anak itu sudah pulang? Batinnya sedikit khawatir. Ia pun menengadah ke langit, melihat mendung yang semakin tampak menghitam. Ada yang bilang, mendung gelap bukan berarti akan turun hujan. Dengan sedikit tiupan angin, gumpalan awan yang menakutkan itu bisa tersingkir begitu saja. Karena itu, kadang sia-sia mempercayai ramalan cuaca. “Gekko!” Nyonya pemilik toko memanggil. Gekko pun kembali ke dalam. Saat masuk, Nyonya tiba-tiba melemparkan kunci toko pada si pucat dan ditangkap dengan mudah. “Sebaiknya ditutup saja tokonya. Aku khawatir hujan akan sangat deras. Aku harus pulang menemani anakku,” ujarnya sambil melepas apron yang melilit pinggangnya. “Hn.” Tanpa bicara, Gekko segera membereskan perkakas toko. Memasukkan kue-kue ke lemari pendingin, menyapu lantai, menghitung uang pendapatan hari ini, kemudian mengunci pintu toko dari dalam. Setelah mengambil tas di loker dan mengganti sepatu, ia pun berpamitan pada Nyonya pemilik toko, kemudian pergi lewat pintu belakang. Ketika ia berjalan pulang, angin masih berembus kencang. Bendera-bendera Inggris yang dipasang di puncak bangunan tua meliuk-liuk ganas, seolah kejang dan ingin terbang. Namun, baru beberapa kali Gekko melangkah, suara petir terdengar sangat keras. Beberapa gadis yang masih ada di jalan sama sepertinya sampai berteriak karena kaget sekaligus takut. Petir menyambar-nyambar seperti kesetanan. Gekko pun melihat asal kilatan itu, dan ia lantas mengernyit curiga saat kilatan-kilatan petir seperti berpusat pada satu tempat. Ia pun menahan napas ketika tahu tempat kilat-kilat itu menyambar. Bukit belakang sekolah. Tempat Alice, Lizzy dan Gin sedang bermain. Firasat buruk seperti ini, entah sudah berapa lama tidak kualami Cepat-cepat kaki kecilnya berlari ke bukit belakang sekolah. Sembari berdoa semoga firasatnya salah. Meskipun ia sendiri sangsi, apakah doanya diterima oleh Tuhan. Orang penuh keburukan sepertinya, apa masih boleh berdoa?                                                                                               ...                                                                                             oOo                                                                                               ... Mengambil napas dalam-dalam, Gekko memijit kening pelan. Ia tidak menemukan Alice atau siapa pun di bukit belakang sekolah. Tapi petir masih menyambar-nyambar penuh dengki. Sebuah buku sihir milik Alice tergeletak di tanah dengan keadaan terbuka. Buku itu mengeluarkan cahaya sangat terang, dan tiba-tiba muncul makhluk-makhluk aneh dari dalam sana. Jadi, bisa disimpulkan, mainan Alice kali ini membuahkan hasil, tapi juga menyebabkan masalah. Merepotkan saja, decih Gekko dalam hati. Gekko pun menutup dan mengambil buku milik Alice yang menyebabkan semua kekacauan ini. Mengabaikan monster-monster aneh yang akan menerkamnya, ia kembali berlari mencari di mana keberadaan trio bermasalah itu berada. Awas saja jika saat kutemukan mereka sudah mati. Setelah lima menit mencari, akhirnya Gekko bisa menemukan tiga orang teman kesayangannya itu sedang terpojok di atap sekolah. Seekor makhluk buruk rupa dengan badan sebesar gajah meraung-raung ingin melukai mereka. Seekor belalang sembah raksasa juga terbang di atas mereka. Diam-diam Gekko mengutuk. Yah, itulah balasannya jika tidak mau mendengarkan perkataan orang lain, ujung-ujungnya kesialan yang didapat. “Tenang saja, nona-nona. Aku akan melindungi kalian.” Gin berusaha membesarkan hati kedua temannya. Meskipun dia sendiri kelihatannya ketakutan. “Apa yang kalian lakukan? Sedang bermain?” Gekko bertanya dengan tenang, sama sekali tidak tampak khawatir, malah terkesan mencibir. Melihat betapa santainya Gekko berjalan menghampiri mereka, tiga temannya melotot terkejut. “Gekko! Jangan ke sini! Cepat lari!” Seperti biasa, Alice mengkhawatirkan Gekko berlebihan. “Hei pendek! Kenapa kau ke sini?! Aku jadi makin repot nih!” Gin protes menyalahkan si pucat, ia masih dalam posisi siap siaga melindungi kekasih dan temannya. Bertindak sebagai hero yang sebenarnya tidak tahu batas kemampuannya sendiri. Sialan anak itu, dia selalu saja meremehkanku. Tanpa peduli pada ocehan anak-anak nakal itu, Gekko berlari sangat cepat ke arah si monter buruk rupa sambil mengeluarkan pisau dari dalam lengan bajunya. Dengan sedikit lompatan, sayatan sana sini, dan tusukan tepat di jantung. Monster buruk rupa akhirnya tumbang. Darahnya berwarna hijau, muncrat ke mana-mana, dan meninggalkan jejak lengket seperti lendir di berbagai tempat. Gin terbengong, Alice pun terbengong, apalagi Lizzy. Tiga remaja di sana seolah tidak percaya dengan apa yang mereka lihat, seperti melihat adegan film di depan mata. “Lain kali, jangan bermain seperti ini lagi,” ujar Gekko berusaha menasehati. Teman-temannya mengangguk, masih tampak kaget sehingga tidak bisa menjawab apa-apa. Gekko pun melempar buku milik Alice ke pemiliknya. Namun sial, malah si belalang sembah raksasa yang berhasil menangkapnya. Gekko ingin memukul kepalanya sendiri, mengapa ia bisa lupa jika Alice tidak secekatan yang dia kira. “Eeh?!” Alice menjerit kaget saat bukunya kini berada di tangan seekor monster. “Bagaimana ini?” tanyanya panik. Monster belalang sembah itu dengan tidak tahu diri menyobek-nyobek buku milik Alice, bukan karena memiliki rencana apa pun, itu hanya sifat alaminya yang memang suka mencabik. Hanya saja, kemudian sebuah cahaya besar dari sobekan buku itu seperti menelan semua yang ada di sana. Gekko yang memiliki insting akan adanya bahaya, segera berlari secepat yang ia bisa untuk merangkul teman-temannya, berharap ia bisa membawa semuanya keluar dari cahaya mencurigakan tersebut. Namun sayang, ia tidak cukup cepat dari sebuah cahaya. Hingga pada akhirnya, mereka semua tertelan. Seraya menyipitkan mata, yang bisa Gekko lihat kala itu hanya silau putih. Warna yang seakan membutakan, cahaya yang seolah memakan jasmaninya sekali lahap. Udara kian menipis, napas kian sesak. Perlahan-lahan, pikiran seolah kosong. Semuanya terasa ... kosong. Dalam kenyataan yang seperti mimpi, yang bisa Gekko pikirkan hanya tentang keluarganya nan jauh di sana, hanya tentang ayahnya yang paling dia banggakan--sosok yang menjadikannya Hakai sejati.                                                                                             .                                                                                             .                                                                                             . “Di manapun kakimu berpijak. Ingatlah untuk pulang.” “Kau adalah bagian dari Hakai.” “Cahaya seterang apapun tak akan bisa menerangimu.” “Sejauh apa pun kau pergi, tempatmu pulang hanyalah Hakai. Darah kita lebih pekat daripada apa pun di dunia.” . . . 01 Mei 2020
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD