One (PROLOG)

714 Words
Aku menatap ke luar jendela. Hujan deras mengguyur Ibu Kota sejak aku baru saja keluar dari bandara. Namaku Rafael Renandi. Aku baru saja pulang dari Australia setelah hampir tujuh tahun menetap disana. Tepatnya, setelah Aku lulus SMA, Papa mengirimku kuliah S1 dan S2 di Australia. Selain itu, disana Aku juga mengurus salah satu cabang terbesar perusahaan keluarga. Aku menjabat sebagai wakil direktur keuangan selama hampir lima tahun terakhir. Dan sekarang, aku siap menyambut dunia nyataku. Sebagai CEO Renandi Grup yang baru, menggantikan Papa yang sudah semakin menua. Dan Aku yakin, di bawah kekuasaanku, perusahaan ini akan mampu menjadi nomor satu di Asia. "Berhenti, Pak!" Aku meminta supirku berhenti ketika melihat sesosok wanita cantik yang baru saja di siram oleh Ibu-ibu paruh baya. Aku menghampirinya. "Hentikan!" Bentakkanku berhasil menghentikan cacian wanita paruh baya itu. "Siapa kamu? Ada hubungan apa dengan wanita gila ini?"  tanyanya. Wanita gila? Aku memandang sendu wanita cantik yang kini tengah menunduk dalam itu. Penampilannya acak-acakkan. Bajunyapun kusut dan kotor. Sepertinya ia mengalami masalah berat dalam hidupnya. "Dia calon istri saya" jawabku. Ibu itu terdiam. Namun beberapa detik berikutnya, terdengar tawa menggema dari bibirnya. "Benarkah? Wanita gila ini calon istrimu?" tanyanya dengan nada remeh. Aku kembali menatap wanita di hadapanku. Kedua tangan rapuhnya semakin erat memeluk lututnya sendiri. "Ah. Sudahlah. Aku tidak peduli. Segeralah bawa ia pergi! Dia bisa menakuti calon pembeliku jika terus disini." lanjut Ibu itu. Kesabaranku mulai habis menghadapi wanita paruh baya bermulut tajam itu. "Tentu saja. Dan setelah ini ku pastikan warung sialan ini tidak akan pernah buka lagi." Aku menendang asal kursi plastik di dekatku hingga menimbulkan suara yang cukup keras. Kemudian Aku memberi kode pada dua pengawalku, dan ku rasa mereka segera paham maksudku. Aku mengabaikan wanita bermulut pedas itu dengan ekspresi kagetnya. Aku berjongkok, menyamai tinggi wanita cantik di depanku. Aku menyentuh rambutnya yang basah akibat siraman Ibu pemilik warung tadi. Namun, ia segera menepisnya. Ia menjauhkan tubuhnya dari jangkauanku. Aku merasa miris melihatnya ketakutan. Sebenarnya, ada apa dengan dia? Rasa simpatiku timbul begitu saja. Mungkin, ini pertama kalinya bagiku. Entah magnet apa yang berhasil menarik hatiku dan seakan menghidupkannya. Aku merasa ada sesuatu dengan gadis ini. Aku kembali mendekatinya. "Ssstt..aku bukan orang jahat. Dengarkan aku, aku tidak akan menyakitimu." ujarku pelan. Wanita itu masih tampak ragu. Kemudian, aku menyentuh tangan kirinya. Aku menariknya pelan lalu membelainya. Perlahan, ia mengangkat kepalanya untuk menatapku. Aku membeku menatap manik mata gadis itu. Biru gelap. Hatiku terasa menghangat. Rasanya sangat sulit mendeskripsikan perasaanku saat ini. "Maaf, Tuan Muda, sebaiknya kita segera pergi dari sini." ujar salah satu pengawalku. Aku tersadar dari lamunanku. "Ikutlah bersamaku!" ajakku pada gadis cantik itu. Ia menggeleng cepat. Ia melepaskan tangannya dari tanganku lalu bergerak mundur. "Aku tidak akan menyakitimu. Aku akan menjagamu, percayalah!" Dia terdiam. Dia menatapku penuh keraguan. "Aku berjanji, aku akan selalu menjagamu." lanjutku sembari kembali mendekatinya. Aku menyentuh tangan kirinya kemudian membantunya berdiri. Kali ini ia tidak melawan sama sekali. Aku mengembangkan senyumanku. Ada sesuatu yang membuatku bahagia ketika berhasil mengajak gadis ini ikut denganku. Aku membantunya berjalan hingga ke mobilku. Ia tampak begitu lemah. Sepertinya ia tidak makan beberapa hari ini. *   Aku menuntunnya untuk duduk di sofa apartemenku. Ia tampak tidak nyaman dengan posisinya. Akupun mendekatinya. "Apa kamu lapar?" tanyaku. Dia mengangguk cepat. Tanganku terangkat untuk membelai rambut panjang gadis itu. "Siapa namamu?" "Li...tha...li..tha..." Hatiku kembali menghangat mendengar suaranya. Litha? Nama yang indah. "Selamat sore, Tuan Muda. Semua yang Tuan Muda pesan telah saya siapkan." ujar seorang wanita paruh baya padaku. "Rawat dia! Satu jam lagi aku akan kembali." suruhku. Wanita itu mengangguk kemudian mendekat ke arah Litha. Aku terkejut saat Litha memegang erat lenganku. Ia menggeleng. Seakan tidak suka dengan kehadiran wanita paruh baya itu. "Tidak apa, Nona. Saya tidak akan menyakiti Anda." ujar wanita itu. "Ikutlah dengannya sebentar! Bersihkan dirimu dan setelah itu kita akan makan bersama." ujarku. Litha menggeleng. "Percaya padaku, Litha! Dia bukan orang jahat." lanjutku. Litha tampak ragu. Namun ia tidak memberontak saat wanita bernama Laras itu menggandengnya. Aku menyandarkan punggungku setelah kepergian Litha dan Bu Laras. Rasanya sangat lelah. Biasanya aku akan langsung beristirahat setelah dari perjalanan jauh. Tapi, kali ini tidak. Litha. Gadis itu berhasil menarik perhatianku. Apa yang akan dikatakan keluargaku ketika mereka tahu aku tertarik dengan gadis yang ku temui di jalanan? Belum lagi, sepertinya Litha memiliki gangguan mental.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD