PART 1

1396 Words
Seorang pria paruh baya berjalan santai memutari rumahnya. Banyak tanaman hijau menghiasi rumah di tengah ibukota itu. Para pekerja tengah sibuk dengan pekerjaan masing-masing. Sesekali dia menggoda tukang kebun untuk sejenak mengusir kesunyian rumahnya. “Apa aku perlu menambah koleksi bunga agar pekerjaanmu tidak cepat selesai?’, candanya. “Silahkan, Tuan. Aku tidak keberatan mencari majikan baru.”, balas sang tukang kebun dengan senyum ditahan. Kemudian mereka tertawa Bersama. “Lalu… apa kau melihat Jonael?” “Sepertinya dia masuk ke ruang baca, Tuan. Kuharap kondisinya segera membaik.” Pria itu mengangguk pelan dan melambaikan tangan tanda perpisahan. Dia masuk ke area tengah rumahnya. Ada satu ruangan khusus untuk membaca yang ia sediakan tak jauh dari tangga utama. Ya, dia harus bertemu putranya pagi ini. Suara kenop pintu dibuka dengan sangat pelan. “Jo…..?”, panggil Pria itu dengan lirih. Kepalanya muncul sedikit ke dalam dan membaca situasi. Dia mencari keberadaan putranya yang ternyata sedang berdiri di depan jendela besar di ruangan itu. Orang yang dipanggil akhirnya menoleh. “Ahh… ada apa Ayah?” Sang Ayah kini sudah masuk dan berdiri tegap di hadapan putranya. “Jonael, dengar. Ayah tidak menuntut apapun darimu, jadi jangan memaksakan diri. Bagaimana kaki dan tanganmu?”, ucapnya khawatir sambil memeriksa anggota tubuh Jonael. “Aku sudah normal. Tubuhku bahkan terasa sangat segar. Memang hanya satu yang masih mengganjal tapi aku yakin bisa menghadapi itu secara bertahap. Percaya padaku.” “Tapi kau lebih penting daripada perusahaan, Nak.” “Ini bukan tentang pilihan, Ayah. Ini tentang aku harus mengingat hal yang sudah aku lupakan. Aku tidak akan sembuh jika aku hanya diam di rumah, membaca buku, menonton tv…..” “Iya iya. Kau benar. Aku hanya merasa ini terlalu cepat.” “Tidak ada yang terlalu cepat, Tuan Runadi Sagha. Putramu ini bisa diandalkan. Sedikit membiasakan diri, mempelajari hal yang terlewat dan kau tidak perlu lagi kelelahan memikirkan nasib para pegawaimu. Itu tugasku. Beristirahatlah, kesehatanmu juga penting.” Mereka menjalankan bisnis keluarga yang cukup besar. Sebuah bisnis turun temurun yang bergerak di bidang retail dengan pengembangan yang bisa dikatakan sangat maju. Runadi Sagha adalah owner dengan saham terbesar, yang sejak tiga tahun lalu mempercayakan tonggak pimpinan pada putranya, Jonael Sagha. Namun, suatu kecelakaan mobil membuat beberapa hal tidak berjalan lancar. Jonael mengalami amnesia parsial dimana ia lupa untuk mengingat kejadian dalam rentan waktu enam bulan ke belakang. Dokter memberi prosentase 50:50 atas kembalinya ingatan Jonael. Hanya waktu dan usaha yang bisa membuat hal itu menjadi berhasil atau stuck. Sang ayah mendekat dan mengelus Pundak Jonael. “Oke, aku mendukungmu. Aku yang akan melindungimu dari atas dan ada Aksa yang menyokongmu dari bawah.” Aksa adalah teman Jonael sekaligus General Manager di Sagha Group. “Terimakasih, Ayah. Sungguh aku tidak suka dianggap payah.” “Pastikan kau belajar dengan perlahan. Baru tiga minggu dari kejadian menyedihkan itu, Jo. Sayangi dirimu agar sepenuhnya pulih.” “Iya, aku janji.” Sang Ayah mendekat dan memegang pundak Jonael, “Jika kau bertanya tentang perkembangan kasus, maka itu sudah selesai.” Jonael mendesah pelan, “Aku bahkan tidak ingat apapun.” “Aku tahu, jangan dipikirkan. Kecelakaan tunggal bisa terjadi pada siapa saja. Fokus pada penyembuhanmu.” “Yaa…. Terimakasih, Ayah.” Runadi mengangguk sambil tersenyum.     ****** Aksa menyambut kedatangan Jonael di lobby kantor dengan senyum merekah. Dia memeluk tubuh lelaki itu. Beberapa tepukan ia berikan pada punggung Jonael. “Senang kau Kembali, Brother.” Jonael mengurai pelukan mereka dan menatap aneh pada temannya. “Aku lupa memiliki teman dengan tubuh gempal seperti ini. Terakhir aku ingat kau masih tampak ramping.”, keluh Jonael…. “Ya, sekecil ini.”, imbuhnya dengan menggerakkan kedua tangan seperti mengukur sesuatu. Aksa bergerak memutar tubuh. Dia harus menunjukkan bahwa tubuh itu sudah bisa dibanggakan. “Kukira kau lupa pada bagian menuntutku untuk disiplin dalam berolahraga. Ya… itu dimulai sekitar 5 bulan lalu dan aku berhasil. Ototku membesar hampir sepadan dengan milikmu.” Seperti tercengang oleh kalimat itu, mereka berdua lantas melirik pada kondisi sekitar. Beruntung tidak ada banyak orang berlalu lalang. Jonael menarik kerah Aksa dan berjalan beriringan menuju lift. Sial, batinnya. Dengan setengah berbisik dia mengajukan protes pada temannya itu. “Tidak ada yang boleh tahu jika aku hilang ingatan, Aksa. Sialan, mulutmu harus dijaga.” Aksa menutup mulut dengan satu tangan, “Ah… sorry.” Kemudian dia berbisik, “….. kau membuatku bingung. Tidak muncul di kantor tiga minggu tapi ingatanmu kosong enam bulan.” “Siapa yang ingin begini? Sial memang.”, balas Jonael sambil meneruskan langkah. Dua orang tampan dan dikagumi di perusahaan sedang berjalan membelah beberapa gerombolan pegawai yang saling bersapa pagi. Beberapa dari mereka masih merasa takjub. Tubuh proporsional, garis wajah yang tegas dan tampan, d**a bidang yang sangat cocok dengan setelan jas apapun, aroma mint yang selalu mencuak di sekitar tubuhnya, serta karisma seorang pemimpin yang melekat erat padanya. Lift membawa mereka naik ke lantai sepuluh dimana ruang Jonael berada. Pintu lift terbuka memperlihatkan beberapa kubikel dengan beberapa pegawai yang sudah datang pagi ini. Mereka terkejut dengan kedatangan Direktur Utama yang telah mengambil tugas luar begitu lama, tiga minggu. Meski begitu, mereka percaya akan ada perkembangan yang dibawa Jonael untuk perusahaan semakin maju. Jonael berjalan di samping Aksa dengan percaya diri. Dia masih mengingat sebagian besar pegawai disana. Hanya ada beberapa pegawai baru yang terasa asing, mungkin karena mereka baru diterima kurang dari enam bulan kemarin. Begitu masuk ke ruangan, lelaki itu terkejut dengan interior yang ada. Mengedarkan pandangan ke segala arah, dia merasa heran. Memang tidak buruk tapi dia lupa kapan mengganti tema. “Kemana warna abu kesukaanku? Kenapa semua berubah menjadi putih?”, keluh Jonael. Aksa yang berada di depan Jonael lantas mengedikkan bahu, “Tanyakan pada dirimu sendiri.” Keacuhan Aksa membuat Jonael menghembuskan nafas berat. Dia melewati tubuh Aksa untuk duduk di kursi kebesarannya. Papan nama dengan jabatan Direktur Utama terpampang nyata di meja itu. Satu anggukan muncul dari Jonael, dia pasti bisa membuat semuanya lancar dan kembali seperti semula. Jonael duduk memperhatikan Aksa yang masih sibuk dengan ponselnya. “Apa kau ada acara?” “Kenapa?”, balas Aksa. “Jadi kapan kita akan mulai untuk pembelajaran? Banyak poin pekerjaan yang aku lupa.” Aksa mengangkat wajah dan mulutnya membentuk huruf O. “Oooh itu… mmmhh… bukan aku.” “Maksudmu apa?”, sahut Jonael. Aksa mendekat ke meja dan duduk di hadapan Jonael yang mulai menyalakan monitor di hadapannya. “Itu…. Kau tahu aku memiliki pekerjaan yang sangat banyak, Jo. Ruanganku pun di lantai 8, jauh dari milikmu, jadi tidak akan efisien jika aku yang membantu.” Jonael menumpu kepalanya pada kepalan tangan kiri. Dia tahu Aksa berkilah. “Lalu aku harus belajar beberapa hal seorang diri? Terimakasih untuk menjadi teman yang sangat pengertian, Aksa.”, tegas Jonael dengan kesal. Kedua tangan Aksa bergerak di depan d**a, menolak spekulasi itu. “Tidak tidak… mana mungkin kau sendirian. Aku meminta bantuan mantan sekretarismu.” “Siapa? Amelia?” “Huh? Bukan dia, Jo. Amelia sudah resign karena harus pindah kewarganegaraan bersama suaminya. Kau akan dibantu oleh—” ‘Kleeek’ Suara pintu dibuka dengan mendadak membuat Aksa dan Jonael menoleh. Seorang wanita masuk dengan sedikit tergesa. Waaaw…. cantik, tinggi, rapi, dan bersih. Sejenak Jonael menelan saliva atas pikirannya sendiri yang tidak terarah. s**t. “Ahh… maaf aku terlambat.”, ucap wanita itu dengan membenahi tatanan rambut yang turun ke pipinya. Aksa bernafas lega karena orang yang dia maksud telah tiba. Berbeda dengan Jonael yang memasang wajah bingung. Sepertinya dia lupa dengan manusia yang berdiri di hadapannya ini. “Kau siapa?” Aksa dan wanita itu saling pandang beberapa saat sebelum anggukan dari Aksa membuatnya memperkenalkan diri. “Ahh… sa- saya Aleta. Saya adalah mantan sekretaris anda, Pak. Saat ini saya ditugaskan oleh Tuan Runadi untuk menjadi asisten pribadi yang akan membimbing anda mengingat segala hal tentang pekerjaan.”, jelasnya dengan cukup gugup. Jonael terkejut, “Kau tahu jika aku….” “Iya, Pak. Oh maaf, bukan bermaksud lancang, tapi Tuan Runadi mengutarakan alasan kenapa saya harus mutasi ke posisi ini.” Kini pandangan Jonael jatuh menuntut pada Aksa. Dia tersinggung karena wanita asing yang meski cantik ini ternyata mengetahui kekurangannya pada ingatan. Aksa menaikkan dua alisnya sambil bergedik takut, “Jangan bertanya padaku tentang ini. Keputusan sudah diambil oleh Ayahmu, Jo. Dan aku yakin Aleta lebih faham tentang pekerjaanmu daripada siapapun. Kau bekerja bersama dia selama ini.” “Bagaimana mungkin aku harus bekerja dengan orang yang tidak aku ingat?”, tuntut Jonael. “Jo, bukan hanya Aleta tetapi banyak hal lain yang juga kau lupakan. Pegawai baru, partner baru, MOU baru, peluncuran produk baru, jadwal-jadwalmu dan sebagainya. Banyak. Aleta yang tahu tentang semua itu, bukan aku.”, jelas Aksa membuat Jonael menurunkan emosinya. “Kalian tidak menipuku?” “Untuk apa? Astaga… Sepertinya kau juga kehilangan akal sehat, Jo.”, runtuk Aksa. “Ehemm… apa saya terlihat seperti penipu? Saya tidak keberatan jika mutasi ini dibatalkan, Pak. Saya hanya perlu bekerja dan digaji, di posisi apapun itu.”, sahut Aleta dengan tatapan yakin yang justru membuat Jonael sedikit takut. Lagi-lagi Jonael menelan saliva mendengar Aleta berbicara. Dia seperti terintimidasi entah karena alasan apa. Tegas sekali. “Oke, sorry. Bukan aku curiga tapi hanya memastikan. Kalian sempat bertatap seperti memberi kode dan itu menggangguku. Apa kalian ada hubungan?” Aksa dan Aleta mengernyit heran secara bersama. Mereka bertatap dengan wajah tidak bagus. “Pak Jona, kita tidak dalam porsi membahas itu.”, kilah Aleta. “Kenapa? Apa aku benar?” “Ayolah, Jo. Tidak mungkin aku ada hubungan dengan Aleta. Tidak mungkin.”, terang Aksa. “Jadi jawabannya adalah tidak?” Keduanya mengangguk bersama. Good. Hal itu secara tidak langsung menenangkan Jonael.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD