Prolog : Mati, Jangan?

1071 Words
Hidup sudah sulit tanpa lo harus mempersulitnya lagi. - kevriawan, 2020. = = = = = = = = = = = = = = Prolog : Mati, Jangan?     Guys, pernahkah kalian berpikir tentang kematian? Apa, sih, sebenarnya yang membuat kematian menjadi suatu masalah bagi orang - orang yang hidup di dunia ini? Padahal kalau saja seandainya kita bisa memandangnya dari sisi positif, kematian adalah suatu proses alami. Mati sudah berlangsung selama puluhan juta tahun, bahkan mungkin sejak manusia masih berbentuk monyet. Eh, bukan. Maksudnya sejak manusia pertama menginjakkan kaki di dunia yang fana ini. Dalam berbagai jenis kehidupan, mati itu seperti tujuan akhir. Ibarat kata kayak ketika lo naik Trans Jakarta dan saking gabutnya mengikuti sampai halte pemberhentian terakhir, lalu lo pasti akan diminta turun oleh kondekturnya.      Bapak Steve Job yang maha kaya raya, yang duitnya mungkin sudah enggak habis lagi dimakan tujuh turunan dan tujuh tanjakan. Doi pernah mengatakan dalam pidatonya di Universitas Stanford, bahwa kematian sebenarnya membuka peluang bagi yang baru untuk tumbuh dan berkembang. Sedangkan jatah untuk yang lama pergi. Kematian adalah pertanda bahwa roda terus berputar, dan dunia akan diperbaharui oleh wajah - wajah baru yang belum pernah ada sebelumnya. Setiap hari di dunia ini bayi - bayi lahir, pun disaat yang bersamaan jiwa - jiwa yang lelah pergi.    Kematian itu mutlak, gue tahu cepat atau lambat dia pasti datang. Enggak peduli walau bapak lo adalah yang punya kepulauan seribu, enggak ngurusin cinta lo ke doi sampe tiga ribu. Kematian katanya tak pandang bulu. Persetan dengan wajah seganteng artis drakor, bodo amat sama popularitas secetar boyband. Namanya mati, ya sama. Datangnya pasti dan mutlak. Tapi pertanyaan gue adalah … kalau mati itu mutlak dan pasti datangnya, kenapa Tuhan enggak mengizinkan  orang - orang yang ingin ngambil jatah duluan?     Gue tahu, mati enggak sesederhana ngantre sembako, yang kalau datang belakangan, antre di belakang, terus kalau mau cepat bisa nyerobot barisan depan seenak jidat. Gue juga paham, mati enggak semudah mutilasi boneka barbie yang kalau kepalanya putus langsung bisa dipasang lagi. Cuma … gue penasaran, kenapa sesuatu semenakutkan mati pun harus menunggu giliran? Gimana kalau seandainya ada orang - orang yang senasib dengan gue, yang merasa dunia ini begitu kejam. Yang merasa bahwa kehidupan gue kayaknya lebih ampas dari piagam lomba gerak jalan anak TK. Orang - orang yang terlalu lelah menghadapi busuknya dunia.     “Jon, mau PR, dong!”     Gue menghela napas kasar, melirik pada seorang cowok yang mencari - cari buku latihan perbankan gue dari dalam tas tanpa izin.      “Ya elah, mana Jon?”      Gue belum menjawab, tapi orang ini sudah menggeplak kepala gue dengan tangan kotornya yang habis makan cilok.     “Lo bikin PR kaga, woy,  Namjon!”     “Sekali - kali lo bikin PR sendiri kali, Juk!” Gue memicing, menatap kawan lucknut gue yang punya nama keren tapi minta dipanggil Juki.     “Ah, kan ada lo, Bro!”     Gue berdecak malas, kemudian mendengkus sebelum melanjutkan. “Kalau gue mati, gimana?”   “Si Anju, bacotnya kaga pake filter!” Juki malah sewot. “Mati itu pasti, tapi lo enggak boleh mendahului Yang Maha Esa, Jon!”      “Iya, iya.”                “Jangan iya - iya doang, Jon!”     Bo.kong gue terangkat dari kursi, sementara kaki gue melangkah cepat keluar kelas. Juki masih memanggil - manggil. Ah, tapi ya bodo amat. Kepala gue rasanya pusing tujuh keliling  dengerin ceramah Juki. Sudah gue bilang sebelumnya, kan, bahwa gue heran sama Tuhan. Kenapa DIA enggak membiarkan saja kaum - kaum bosan hidup seperti gue mati lebih cepat?      By the way, cukup panggil Namjon. Tenang, bukan nama artis korea. Cuma kepanjangan dari nama gue Jono. Hari ini adalah ulang tahun gue yang ke dua puluh satu tahun. Hadiah yang paling gue inginkan? So simpel, genks! Gue hanya mau mati dengan tenang dan damai, melepaskan seluruh rasa sakit yang enggak jelas datangnya dari mana.      Kaki gue sudah melangkah menuju ke atap kampus. Kebetulan, gedung kampus gue ini masih baru. Dibuat sampai empat belas lantai untuk menambah beberapa fasilitas, yang sayangnya enggak akan membantu meringankan hidup gue. Sebenarnya secara kasar hidup gue tampak baik - baik saja, semuanya sama sekali enggak terlihat bermasalah. Gue enggak terlalu bodoh, dan masih bisa mencapai IPK 3,5. Tampang gue juga enggak terlalu cupu sampai orang - orang menggibahi gue berjamaah.     Tapi … rasanya kosong.     Gue enggak tahu kenapa gue harus hidup selama dua puluh satu tahun belakangan ini. Bahkan, di hari ulang tahun gue ini sama sekali enggak ada yang ingat. Padahal gue selalu mengingat persis ulang tahun  teman - teman gue. Sebut saja si Juki, Jey, Agus, dan yang lainnya. Gue juga rajin memberikan mereka kado, surprise, atau minimal ucapan selamat. But, ya, kayaknya enggak ada satu pun dari mereka yang memperhatikan gue. Mungkin kalian berpikir bahwa gue adalah orang yang haus akan perhatian. Atau gue adalah tipe manusia hina yang enggak ikhlas kalau ngucapin happy bday ke temannya. Terserah, sih, ya … whatever, gue enggak peduli sama apa yang kalian pikirkan. Mungkin menurut kalian ini sepele, mungkin kalian bilang gue baperan, tapi kenapa?      Bukankah sesungguhnya kalian enggak pernah tahu apa yang ada jauh di dalam diri gue?      “This life just like a shit.” Gue berbisik pada diri gue sendiri.      Tanpa sadar gue sudah berada di atap, ketinggiannya mungkin … eum, gue enggak tahu sih ini ketinggian persisnya berapa meter dari permukaan laut. Yang jelas, ketika gue melihat kebawah, tepat saat angin berembus kencang. Seperti ada sesuatu yang mendorong gue. Apakah ini takdir?       Really … barusan gue memang bilang kalau hidup ini like a s**t. Tapi sumpah, kok semakin lama gue lihat - lihat, rasanya tempat gue berdiri sekarang ini terasa semakin tinggi? Ah, tapi persetan! Gue, kan, mau mati. Apa peduli gue sama tempat tinggi ini? Seharusnya gue semakin mantap karena ketika terjun nanti gue akan langsung mati. Yah, mungkin jenazah gue bakalan bonyok - bonyok sedikit, patah tulang, pendarahan, kepala pecah, gigi rontok, rusuk remuk ….      Eh, kok serem amat, ya, njay!      Duh … mati, jangan?    * * *   Hai, saya bawa cerita baru guys, mon maap enggak haereudang. Yang haereudang buat next aja yak wahahahaha.  By the way, kalau kalian merasakan sama seperti apa yang Jono rasakan, boleh banget langsung di tap LOVE nya gaes. Atau bisa juga kalau kalian mau add cerita ini ke library atau perpustakaan. Supaya kalau next time saya update, kalian enggak ketinggalan beritanya, hihiw~ Oke deh, kalau gitu see you in the next chapter ya! Bye ....
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD