01. Mengenal tiga Cecunguk

741 Words
Anay dan Tian sudah bertetangga sejak mereka lahir. Tumbuh dan besar di lingkungan yang sama, dua belas tahun sekolah di tempat yang sama dan empat tahun kuliah di tempat yang sama juga. Orang lain mungkin berpikir mereka bahagia bisa bersama-sama terus selama bertahun-tahun, tapi tidak untuk Anay. "Bertahun-tahun yang gue liat muka lo lagi, lo lagi." Anay mendesah frustasi. "Terus lo pikir, tiap hari gue ngeliat muka lo itu anugerah gitu?" Ujar Tian, tidak mau kalah. Yaya muncul dengan setoples kripik kentang ditangannya, tidak habis pikir dengan pertengkaran unfaedah kedua sahabatnya itu. Lalu dia memilih duduk di antara Anay dan Tian. "Lo berdua tuh kenapa sih, suka banget debat pake urat." Ujar Yaya santai sambil mengunyah kripik kentangnya. Tian dan Anay ikut-ikutan mengunyah kripik kentang di tangan Yaya. "Gue pernah baca Quote di ig. Sahabat beda jenis kelamin yang sering cekcok berpotensi duduk di pelaminan." Uhukk! Uhukk! Anay dan Tian langsung tersendak, keduanya langsung berlari ke arah dapur mencari setetes air. sementara Yaya tertawa puas. Membayangkan duduk bersama Tian di pelaminan membuat bulu kuduk Anay merinding. Tidak bisa di bayangkan---Ah! Bukannya tidak bisa, tapi tidak ingin membayangkan. Amit-amit dedemit! Berbeda dengan Tian dan Anay yang lahir dan di besarkan dengan segala kemudahan yang di berikan kedua orangtua mereka. Yaya bahkan tidak mengenal kedua orangtua-nya. Yang dia tau dari Ibu panti, Yaya di temukan waktu bayi di depan pintu panti pada pukul tiga pagi. Di besarkan bersama puluhan anak lainnya di panti asuhan, lantas membuat Yaya tumbuh menjadi pribadi dengan pemikiran yang lebih dewasa dari usianya. Singkat cerita, Yaya dan beberapa siswa berprestasi lainnya masuk ke SMA Ksatrya atas bantuan Dirgantara Group, perusahan milik keluarga Anay itu telah lama menjadi donatur yang memfasilitasi anak-anak berprestasi yang kurang mampu dari SD hingga ke bangku kuliah. SMA Ksatrya menjadi salah satu sekolah elit dengan fasilitas terbaik di Jakarta. Itulah yang membuat anak-anak kurang mampu seperti Yaya sering menjadi korban bully.  Menurut Yaya 'Biarin itu jadi urusan mereka sama Allah'. Tapi menurut Anay 'Kelamaan kalau nunggu Allah, harus mati dulu' Lama-lama Anay merasa gondok sendiri. Melihat Yaya yang hanya diam saat di bully, persis sinetron indosiar yang judulnya 'Tukang bully mati keselek paku'.  Semakin di biarkan, aksi bully itu mulai meresahkan pendengaran orang sekitar dengan kata-kata yang tidak manusiawi seperti mengatai Yaya anak buangan, anak tidak di inginkan dan anak sial.  Semangkok bakso pesanan Tian yang baru datang itu langsung di rebut paksa oleh Anay. Panasnya kuah bakso itu sukses membuat Kiran, anak kepala sekolah berteriak histeris. Tian yang saat itu dalam keadaan lapar, hanya bisa menelan ludahnya pasrah. Dia harus menahan rasa laparnya dan segera menyeret Anay keluar dari kantin.  Aksi Anay dalam memperjuangkan hak-hak perempuan itulah yang menjadi awal terbentuknya 'Cecunguk Squad' ini. Kalau kata Anay 'Yaya itu wonderwomen' selalu berbesar hati dan terlalu gampang memaafkan.   Berbanding terbalik dengan Anay yang gampang terpancing emosi, langsung pasang badan jika ada yang berani macam-macam. Bahkan Anay pernah berakhir di kantor polisi karena menghajar anak osis yang menghina Yaya. Menurut Yaya, untuk mengenal Anay jangan di nilai dari wajahnya. Wajah Anay itu terkesan jutek dan songong, tapi sebenarnya baik dan anti kepada orang bermuka dua. Depan Baby, belakang Babi. Ngerti kan? Kata Tian, Yaya itu pendengar yang baik, penengah yang adil dan tidak pernah menghakimi. Sedangkan Anay itu seharusnya menjadi Menteri perlindungan anak dan wanita, selalu menjadi yang terdepan untuk membantu. Tian di mata Yaya dan Anay itu Ganteng tapi tidak punya otak. Sering salah membedakan antara cinta dan t***l. Selain itu Tian juga good protector. "Mobil gue di tilang." Anay masuk tanpa mengetuk pintu apalagi mengucap salam. Duduk dengan napas terengah-engah di samping Tian lalu melemparkan lipatan kertas kearah Tian. "Itu surat tilangnya." Tian membaca lipatan surat itu lalu berdecak pelan, "Ck! Sekar, sekaar. Buat apa lo punya SIM tapi nggak pernah di bawa." Anay mendengus kesal, "Namanya juga hilaf, Septi. Gue nggak sengaja, mana gue tau kalau ada razia."  Tian mengacak rambut Anay dengan gemas, "Kebanyakan hilaf jadi kebiasaan lo."  Tian memperhatikan penampilan Anay saat ini, kemeja putih oversize yang menutupi setengah pahanya itu, memancing otak Tian untuk berpikir lebih keras. "Lo pake celana nggak sih?" Tanya Tian dengan satu alis terangkat. Anay menatap Tian sebentar, lalu menarik kemejanya asal memperlihatkan celana pendeknya yang biasa di sebut celana gemes. "Ini pake!" "Kalau jalan sendiri pake yang agak panjangan. Di grepe-grepe om-om tau rasa lo." Ujarnya santai tanpa beban. Plak! Tian meringis sambil mengusap pahanya, berdasarkan bunyi dan jika di lihat dari cap lima jari Anay yang tercetak jelas, tentu bisa jadi bukti kuat untuk sampai ke meja hijau. "Doa'in gue yang bener dong. Mulut lo tuh kalo nyumpahin suka di kabulin, Septiiii." Dengan gemas Anay melemparnya dengan bantal sofa.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD