BAB 1

752 Words
Delina memejamkan mata, merasakan semburan angin yang menerpa wajahnya. Wajahnya mendongkak, menatap bintang di langit. Hari semakin larut dan udara semakin dingin namun wanita itu seolah tak  merasakan suhu dingin itu. Ia tetap di sana duduk terdiam dengan wajah sendu. Ada luka lebam di pipinya, dan bawah rahangnya. Delina merasa tubuhnya terasa sakit, tubunya terasa pegal. Terkadang Delina berpikir, kenapa tuhan sangat tidak adil dengan kehidupan yang ia miliki. Kehidupan yang dia jalani tidak begitu mulus, bahkan terlalu rumit. Berkali-kali Delina berfikir untuk mengakhiri hidupnya, berjuang di dunia yang keras ini tidak ada gunanya. Tidak ada hal baik untuknya. Kehidupan keluarga dan tentang percintaannya, semuanya hanya menyisakan sebuah pedih, kesakitan di dalam hatinya yang tak berujung. Delina hidup dengan 1 adik yang selalu di puja dan pengkhianatan yang dilakukan suaminya sendiri. Selama ini ia mengaggap pria yang kucintai itu adalah belahan jiwanya. Dia segalanya bagi Delina, hanya dia yang mengerti tentang nya dan menyayangi nya. Mencintai Delina sepenuh hatinya. Namun ternyata Delina salah. Semua itu salah. Ia keliru tentang betapa baiknya suaminya itu. Cinta dan kesetiaan, semua itu hanyalah bualan belaka. Berkali - kali ia menyeka air matanya yang membasahi pipinya.  Delina terisak, dengan lembaran demi lembaran peristiwa menyakitkan itu tergambar jelas di pikiran nya, ketika air matanya kembali menetes ia merasa sesak itu semakin bergulung menggerogoti perasaannya. Bagaikan sebuah film yang yang berputar jelas, bahkan rasanya Delina tidak bisa melihat apapun di depan mata nya, semuanya tertutup dengan ingatan menyedihkan itu. Delina merasa marah pada dirinya sendiri. Apakah seharusnya ia tak pernah hidup saja. Delina begitu membenci dirinya sendiri sekarang. "Hiks... hiks...hiks..." "Haaaahh!!! Hiks...hiks. " Delina terisak, menjerit dan berteriak dengan keras. Rasanya begitu muak. hatinya terasa perih karena begitu sesak. kepalanya pening karena rasa marah itu. rasanya begitu muak. Delina menenggelamkan wajahnya sendiri ke dalam kedua kakinya yang dia peluk. Kini hanya ada suara aliran sungai, suara tangisannya tenggelam dalam suara aliran air itu. Ketika ia menyeka air matanya, air mata itu akan kembali menetes membasahi wajahnya. "ini tidak adil, ini benar-benar tidak adil, hiks... hiks... hiks.."Jerit pilu Delina, ia menutup kedua telinganya dengan kedua tangannya. Suara-suara ketika keluarga nya menyalahkan dirinya membuatnya seperti otang gila. Delina sudah tidak bisa berpikir waras untuk mengusir suara-suara itu. Ia terlalu kalut dalam ketakutan, kesedihan dan kekecewaannya. Kepalanya menggeleng cepat berusaha menghapus memori menyakitkan itu di dalam kepalanya yang terus berputar tanpa jeda. membuatnya kesakitan dan membuat hatinya terasa sesak. Delina berjongkok menatap aliran sungai itu dengan pandangan kosong. Delina menggigit jari-jemarinya dengan gelisah. Dia terlihat begitu frustasi. Sesekali ia tertawa lalu wajahnya berubah muram, matanya memancarkan kegelisahan. *** Waktu sudah menunjukan jam 2 pagi waktu Skotlandia. Delina tidak berpindah sedikitpun. Ia tetap duduk di sana, di tepi Sungai Clyde dengan kedua tangannya yang memeluk kakinya. Suara aliran Sungai Clyde yang berhembus dengan kencang tidak juga membuatnya menggigil sedikit pun, entah dirinya yang merasa kebal dengan dinginnya udara luar, atau dirinya yang sudah tidak bisa merasakan apapun, termasuk merasakan sakitnya angin malam yang menusuk tubuhnya hingga ke tulangnya. "Di dunia ini sudah tidak ada tempat bagiku, benarkan."gumam Delisa masih dengan wajahnya yang datar, dengan air mata yang terlihat mengering di pipinya, wajahnya terlihat dingin dengan ekspresinya yang kosong. Delina bangkit dari duduknya, matanya menelusuri sebuah sungai Clyde yang terbentang di hadapannya masih dengan tatapan kosongnya. Delina melangkahkan kakinya tepat di tepi Sungai Clyde. Berdiri di sana menatapa aliran sungai. Delina pov. "Tidak ada gunanya aku hidup." "Kehidupan begitu menyakitkan, masing-masing dari manusia hanya mau kebahagiaan untuk dirinya, tanpa melihat orang lain yang tersakiti dengan caranya yang memperoleh kebahagiaan itu." "Aku masih tidak mengerti. Kenapa tuhan memberikanku sebuah kehidupan, kalau aku hanya terlahir untuk menjalani kehidupanku yang menyedihkan." "Aku tidak butuh hidupku. Saat aku mati, aku tidak perlu mencemaskan orang-orang yang akan mencariku, atau menangis atas kepergianku." "Semua itu tidak akan ada efeknya untuk hidupku." "Aku ingin melepaskan semua bebanku, aku rasa melemparkan diriku ke sebuah Sungai Clyde bukanlah hal buruk. Mengakhiri hidupku -mungkin itu yang terbaik." "Aku rasa kalian akan senang karena tidak ada lagi Delina yang menyedihkan." Delina pov end. Delina membalikan tubuhnya, membelakangi Sungai Clyde. Matanya terpejam, merasakan setiap hembusan angin yang menerpa wajahnya. Entah kenapa rasanya Delina merasa nyaman, Delina menyukai bagaimana udara itu membelai wajahnya. Semuanya pasti akan baik-baik saja. Delina meramalkan mantera itu sejak tadi. Penderitaannya akan segera berakhir. Delina akan tidur dalam damai. Tidak apa jika ini terakhir kalinya Delina melihat bintang, Sungai yang indah. Langit yang cantik. Delina akan mengingat semua ini di dalam kenangannya. Delina senang bisa melihat semua ini untuk terakhir kalinya. BYURR>>>>>>>> ___// ## Ngiung.... Ngiungg...... Ngiungg.... Kriett... kriettt...... Dengan terburu-buru, beberapa suster mendorong cepat emergency bed itu sekuat tenaga. Menyelamatkan gadis yg sedang terbaring lemas diatasnya dengan tidak sadarkan diri. Tbc.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD