Prolog

1350 Words
Prolog Aku KATHERINE DEVANYA. Umurku 20 tahun. Saat semua gadis seusiaku asyik dengan masa mudanya, semua itu berbanding terbalik dengan kehidupanku. Aku miskin, lusuh dan menyedihkan. Setiap hari kuhabiskan waktuku dengan memeras keringat untuk membiayai kebutuhanku sehari-hari. Tidak hanya itu, aku selalu mendapat pukulan, siksaan, cacian, yang bahkan selalu kudapatkan dari ayah yang selalu mengataiku anak haram. Miris bukan? Tidak! Bukan hanya miris. Tapi, takdirku sangat menyedihkan. Ayahku menyebutku anak haram, tak di inginkan, menjijikkan dan kata-kata kasar lainnya. Aku juga seorang anak yang ingin mendapatkan kasih sayang dari satu-satunya orang tua yang tersisa untukku sekarang. Tapi semua itu tak berlaku untukku. Aku mungkin hanya bisa bermimpi. Jika suatu hari nanti, ayah mau menerimaku. Tidak harus menyayangiku, cukup menerimaku saja sebagai seorang putri. Itu sudah lebih dari cukup. Aku melihat pergelangan tanganku yang membiru. Luka itu, aku dapatkan semalam, karena tak kunjung memberikannya uang untuk membeli minuman keras. Ayah yang hendak memukul kepalaku dengan kayu, berhasil aku tangkis dan mengenai pergelangan tanganku. Memang, luka dan memar seperti ini, sudah menjadi pakaian yang membungkus tubuh ringkih ini setiap harinya. "Hey Katherine! Jangan melamun saja. Cepat bersihkan lantai di depan pintu. sudah sangat kotor!”' Aku tersentak, saat salah seorang kepala kebersihan di restoran tempatku bekerja meneriakiku dengan nada sinis dan ketusnya. “Baik, akan segera kubersihkan,” jawabku tergesa. Aku beranjak dari tempatku berdiri tadi. Kebetulan, aku sedang mencuci gelas bekas kopi. Aku mengambil ember dan alat untuk mengepel lantai. Kemudian, aku mulai melakukan tugasnya. Ya, beginilah kehidupanku sehari-hari. Menjadi seorang pelayan di sebuah Restoran cepat saji. Walaupun dengan gaji tak seberapa dan setiap hari harus mendapat omelan juga kata-kata pedas dari atasanku, aku menerimanya dengan sabar. Setidaknya, aku bisa membiayai hidup sehari-hari, dan memberikan uang pada ayahku yang selalu pulang dalam keadaan mabuk, agar aku tak mendapat pukulan lagi. "Selamat datang ..." Kata-kata itu, sudah diwajibkan untuk semua pelayan di Restoran ini, saat pintu terbuka dan pelanggan berdatangan. Harus dengan senyum ramah dan wajah bersahabat, dan itu harus digaris bawahi dalam kamus wajib kerjaku. Praaanggg!!! Suara nyaring di belakangku, sontak membuatku menoleh. Tidak hanya aku, semua pengunjung juga memfokuskan pandangannya pada satu titik yang sama. Di sana, duduk seorang pria dengan setelan jas mahalnya, sepatu hitam mengkilat serta kaca mata hitam yang bertengger pas dihidung mancungnya. Tampan, gagah dan kaya. Semua orang yang melihatnya pun, pasti akan berpikiran sama denganku. Karena, tampaknya memang tidak ada cela dalam balutan tubuh tegap pria itu. Lantas siapa yang akan menolak pesonanya? Ahh-- pria idaman. Batinku. "Kenapa kau bawakan aku kopi manis huh?!” Nada bicaranya yang dingin, angkuh dan mengintimidasi, membuat semua mata tak ingin berpaling begitu pun aku. Begitu Besarnya pengaruh pria manly itu sehingga menjadi pusat perhatian. Fokus mataku beralih. Di sana, aku melihat salah seorang teman pelayanku menunduk dengan tubuh gemetar—ketakutan. Dia memegang tangannya yang nampak--melepuh? Astaga, apa pria itu gila? Hanya karna kesalahan kecil saja, dia bertindak se jahat itu? Aku tidak akan membiarkannya. Ini namanya penindasan. Aku akan memberikan pria itu pelajaran. Aku melangkah dengan tangan terkepal. Menyiapkan mental sekaligus kata-kata umpatan yang akan aku teriakkan padanya. Apa-apaan pria itu? Siapa dia? Beraninya berbuat kasar hanya karna kesalahan kecil saja. Kita lihat, apa yang bisa si miskin ini lakukan. "Anda harus minta maaf!” Aku tekankan intonasi di setiap kata-kataku setelah sampai di depannya. Aku tidak takut, sama sekali tidak. Aku bukan wanita yang akan dengan mudahnya luluh hanya karna ketampanan, materi ataupun kekuasaan. Pria sombong ini, harus kuberi pelajaran. Pria itu mendongak menatapku, walaupun tanpa melepaskan kaca mata hitamnya. Congkak! Satu kata itu muncul di benakku kala melihat wajahnya yang sangar tanpa ekspresi yang bisa aku baca. Rahangnya yang tegas, sepertinya menjadi daya tarik tersendiri. Bibirnya yang tipis, membentuk sebuah gelombang. Alisnya saling bertautan, tapi entah bagaimana cerminan dalam manik matanya. Aku tidak bisa melihatnya, karena terhalang oleh kaca mata hitam itu. Melihat seorang pria yang berdiri dengan tegap di samping pria itu, membuatku sedikit was-was. Kelihatannya, pria yang baru aku teriak, bukan orang sembarangan. Tapi, semoga saja, dia mau memilih jalan berdamai dengan minta maaf. Aku menunggu dengan berdebar apa yang akan dia katakan. Suasana restoran menjadi sangat-sangat hening. Semua mata tertuju pada tempat di mana aku berdiri dengan berani. 10 detik... 20 detik... 30 detik.... Aku menunggu responsnya. Mungkin, pria itu sedang merangkai kata-kata untuk meminta maaf atas kesalahannya. Dan... What the hell! Apa pria ini tidak waras? Setelah aku menunggu begitu lama. Pria itu tetap tidak mengatakan apa pun. Hanya menatapku tajam, dan kembali menundukkan kepala melihat layar ponselnya. Astaga ... Sepertinya, pria itu mengalami masalah pendengaran. Sepertinya juga, pria itu mendadak tidak bisa bicara alias bisu setelah mendengar teriakanku tadi. Aku menarik nafas dalam-dalam. Rasanya jiwa pejuang dalam diriku ingin memberontak keluar dan memukul kepalanya dengan panci penggorengan. Tapi, aku bukan wanita bar-bar yang akan mengambil tindakan tanpa berpikir lebih dulu. Karena aku yakin. Akan sangat percuma berbicara dengan pria sepertinya. Tipe pria yang sok berkuasa hanya karena Tahta dan kesombongan atas kekuatan kekuasaannya. Aku harus memilih jalan lain. Aku memilih mundur dan mengalah, kemudian melupakan semua yang menyebalkan tentang pria tuli itu. Jika meladeninya, aku bisa kena serangan jantung di usia muda. Tidak! Aku masih ingin hidup, agar suatu hari nanti bisa merasakan pelukan ayahku. "Kau baik-baik saja? Sekarang, kita obati tanganmu ya?” Aku menarik tangan Risa. Ya, hanya Risa sahabat yang aku punya. Rumah kami berdekatan. Hanya berjarak 3 rumah saja, dan Risa adalah satu-satunya orang yang selalu membantuku setiap aku punya masalah. Lantas kenapa aku tidak bisa membantunya di saat Risa seperti ini? Tapi, baru beberapa langkah aku membawa Risa pergi. Suara pria yang aku katakan tuli dan bisu, kembali terdengar dan kali ini menggelegar memenuhi ruangan. "Berikan wanita itu uang. Jika perlu, berikan hingga mulutnya terkunci!” Deg! Jantungku terpompa cepat. Mendadak, wajahku terasa panas. Kata-kata yang keluar dari mulutnya tadi, sangat menghinaku. Apanya yang salah, jika aku meminta dia minta maaf? Hanya minta maaf, tidak lebih. Bukankah, perkara yang mudah? Lantas, kenapa pria itu malah menyolot dan sok seperti ini? Aku kembali memutar tubuhku dengan cepat. Aku hampiri meja pria itu lagi, tanpa sedikit pun keraguan. Aku memang gadis miskin, tapi harga diriku tak akan bisa dia beli dengan uang. Braakkk!! Aku pukul meja di depan pria itu dengan kuat, hingga membuat pria itu kembali mendongak ke arahku, dan tatapan para pelanggan restoran kembali ke titik di mana aku bertindak—jagoan. "Aku hanya meminta Anda untuk minta maaf! Tidak lebih Tuan. Anda lihat, tangan sahabatku melepuh. Anda pasti sadar diri, siapa yang sudah membuat dia seperti ini. Kenapa Anda malah menyombongkan diri? Saya jadi berpikir, apa pria kaya seperti Anda tidak diajarkan sopan santun, oleh ibu anda huh?” Aku menghela napasku pelan. Menghirup oksigen sebanyak-banyaknya untuk mengucapkan kata-kata terakhir yang akan membuktikan pada pria itu, jika tak semua yang ada di dunia ini bisa pria sombong itu beli dengan uang. “Kami tidak butuh uang Anda! Walaupun kami miskin, Kami masih bisa bekerja keras. Hanya kata MAAF! Begitu sulitkah, hingga Anda tidak mampu mengucapkan kata dari susunan 4 huruf itu, Tuan?!” Lega .... Kata-kata dan amarah yang kusimpan sejak tadi, ter curahkan sudah. Lihat, bahkan pria itu hanya mematung melihatku sekarang. Hahaha ... lucu juga. Aku berhasil mengalahkan dan mempermalukan pria sombong itu. Rupanya pria itu belum tau, jika di dunia ini, masih ada stock perempuan yang tidak akan luluh hanya karena uang. Diam .... Sama seperti sebelumnya, pria sombong itu kembali diam setelah aku berkoar-koar. Mungkin, perkataanku tadi sudah cukup untuk membuatnya bungkam dan menyadari kesalahannya. Aku yakin, pria itu pasti tidak akan berulah lagi. Kesombongannya sudah aku jatuhkan dan aku buang ke tempat sampah, hingga pria itu tidak akan mencarinya lagi. Aku pun pergi meninggalkan meja si k*****t itu. Toh, pria itu tetap menjunjung tinggi harga dirinya, meskipun sudah aku permalukan. "Berhenti di sana, atau kuhancurkan tempat ini sekarang juga!" Tap! Langkahku terhenti seketika. Bagai tersambar petir di siang bolong, entah kenapa? Aku merasa duniaku mengerucut. Hidupku seperti sedang berada di ujung tanduk. Kenapa aku merasa terintimidasi? Sedangkan pria k*****t itu masih berada sekitar jarak 2 meter dari tempatku berdiri. Astaga Katherine, kenapa suasananya mendadak seperti ini? “ Batinku berteriak. ***Continue***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD