Prolog

635 Words
Jakarta, Juni 2013 Sudah sepuluh menit sejak pemuda berjaket abu-abu itu duduk. Di depannya, seorang gadis menatapnya dengan nanar. Tidak ada sepatah kata pun yang keluar dari mulut keduanya. Si laki-laki nampak tanpa ekspresi, dan si perempuan nampak takut untuk memulai percakapan. Di tengah keramaian kafe, waktu hanya terasa berpusat pada mereka berdua. Dua pasang mata yang dulu saling memandang penuh cinta, kini hampa. Hanya ada tatapan yang tak bisa diartikan bersamaan dengan atmosfer yang membeku. Ada banyak kata yang ingin keduanya sampaikan, tetapi tak bisa. Yang satu takut hilang kendali, yang satu takut mengakui kesalahan yang terjadi. Hingga yang terjadi hanya hening selama beberapa waktu. Sampai salah satu akhirnya memberanikan diri mengeluarkan suara. "Jadi, alasan kamu nggak pernah ngabarin aku, karena sekarang kamu punya dia?" Si laki-laki memulai pembicaraan. Kedua tangannya mengepal di atas paha, menahan kuat-kuat emosi yang ditanggungnya. "Ya," balas si perempuan dengan ragu. Jeda beberapa saat. Sepertinya perempuan itu membutuhkan banyak keberanian untuk bicara pada laki-laki itu perihal yang terjadi dua bulan belakangan. Meski dia sendiri ragu, haruskah membeberkan kebenaran padanya atau tidak. "Aku minta maaf, Bri. Kamu tahu, Mama nggak pernah suka sama kamu. Aku juga bingung—" "Dan kamu jadiin itu sebagai alasan buat selingkuh?" sela si laki-laki tersenyum miris. "Aku kira, hubungan yang udah kita jalin selama bertahun-tahun bisa jadi alasan bagi kita untuk bertahan. Nyatanya?" "Maaf. Aku minta maaf," lirih si perempuan. Matanya berkaca-kaca, tapi sama sekali tidak membuat si laki-laki iba. Nyatanya yang seharusnya menangis di sini adalah dia, bukan perempuan itu. Dia yang tersakiti di sini. Dia yang dikhianati. "Seandainya kamu bilang dari awal, aku bakalan mundur perlahan daripada harus nyaksiin kamu kayak gini, Ren." "Bri," panggil si perempuan lirih. Tapi sama sekali tak lagi bisa menyentuh hati si laki-laki. Dia sudah terlanjur hancur. "Semoga bahagia," gumam si laki-laki, menyuarakan sesuatu yang berkebalikan dengan apa yang hatinya bisikkan. "Aku pergi," lanjutnya. Dia berdiri, menggenggam erat paper bag yang dia bawa. Lama, dia hanya berjalan entah ke mana. Meninggalkan si perempuan yang tersedak tangis. Hatinya remuk redam. Semua impiannya untuk bahagia dengannya sudah lenyap. Dia membencinya. Tidak, dia ingin membenci, tetapi hati kecilnya masih sangat mencintai perempuan itu. Dan itu melukai harga dirinya semakin dalam. Langkahnya terhenti saat dia sampai di depan toko perhiasan yang dia kunjungi dua hari lalu. Toko perhiasan tempat dia membeli sebuah kalung berinisial B&R yang dia persiapkan untuk hadiah ulang tahun perempuannya bulan depan. Tanpa sadar, dia tersenyum samar. Senyuman pahit yang dia tujukan untuk mengejek dirinya sendiri. Sebuah panggilan masuk menginterupsi lelaki tersebut dari lamunannya yang menyakitkan. Dari Lea. "Kak?" ucapnya, setelah berusaha menetralkan diri. Terdengar isakkan keras dan sesak di seberang sana, membuat laki-laki tersebut mengernyitkan alis bingung. "Aku udah selesai, Bri. Aku selesai," jawab perempuan bernama Lea itu. "Kak, apa maksudnya?" "Aku muak hidup, Bri. Aku capek!" Jeritan Lea di seberang sana membuatnya cemas. Terlebih saat terdengar suara kendaraan saling bersahutan. "Kak, Kakak lagi ngendarain mobil, hm?" "Royan yang b******k, Bri. Royan yang nggak tanggung jawab, Royan yang selingkuh, tapi kenapa aku yang salah? Kenapa aku yang disalahin? Kenapa aku yang harus nanggung ini semua, KENAPA?" "Kak Lea, tenang! Dengerin aku," seru si laki-laki yang diketahui barusan bernama Brian itu—menenangkan kakaknya. Dia tidak mau perempuan tersebut mengacaukan hidupnya sendiri dan hidup satu orang lainnya. Dia tahu bagaimana mental kakaknya tersebut, dan itu membuatnya ketakutan setengah mati. "Kakak berhenti dulu. Menepi. Oke?" Masih, dia mencoba hati-hati. "Kenapa aku bodoh jatuh cinta sama cowok b******k kayak Royan, Bri? Kenapa aku nggak bisa lawan Mama Papa yang selalu melimpahkan kesalahan sama aku, kenapa? Kenapa aku lahir?" Lea sama sekali tidak menggubris ucapan adiknya. Dia masih saja meracau pilu. "KAK LEA TENANG! Dengerin aku. Kakak masih punya aku. Kakak masih punya—" "AWAS!" Brian menegang mendengar teriakkan Lea yang begitu nyaring . "Kak Lea! Ada apa?" pekiknya panik. Namun tidak ada jawaban hingga.... "ARRGHH!" Sambungan terputus setelah suara benturan yang keras terdengar beberapa kali. Membuat laki-laki itu semakin geming, hanya cucuran keringat dingin dan jantungnya yang berpacu hebat saat itu. ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD