'Riola Permata Wijaya'

1438 Words
Dua orang gadis cantik turun dari dalam mobil Terrios putih tepat di gerbang sekolah SMA. Dengan senyuman manis, keduanya bersalaman kepada Prabu, papa mereka. "Belajar yang rajin ya, Violet. Jangan sampai ranking kamu turun," ujar Prabu seraya mengacak rambut Violet sekilas. "Iya, Pa." Violet tersenyum, memaksakan kedua lesung pipinya terbit. Prabu mengeluarkan kotak makan dan menyerahkannya pada Violet. "Ini. Jangan lupa di makan, ya," ucapnya. Violet meraihnya dengan senang hati. "Terima kasih." "Buat Ola mana, Pa?" tagih satu anaknya yang lain seraya membuka telapak tangan ke arah Prabu. "Eh? Kirain tadi kamu kemas sendiri bekal kamu. Papa lupa," ujar Prabu beralasan. Gadis itu--Riola, menarik kembali telapak tangannya dan tersenyum miris. Sejak kapan papanya menyiapkan bekal untuknya seperti kepada Violet. "Ola juga lupa." "Yaudah, sekarang kalian ke kelas. Nanti telat." Setelah mengatakan itu, Prabu berlalu dari SMA VENUS. "Yuk ke kelas." Violet menuntun lengan Riola, namun gadis itu melepaskannya. Riola kemudian menggeleng kuat saat melihat seorang cowok dengan wajah datar tengah berjalan menuju kantin. "Duluan aja, nanti Ola nyusul," ujar Riola dan ngacir meninggalkan Violet. "Rivano, hei!" teriak Riola melengking. beberapa orang mulai menatapinya sinis. "Dih, cewek pecicilan. Sungutnya gak pernah diem." "Beda banget sama Violet yang anggun." "Centil." Umpatan-u*****n receh yang Riola dengar, sudah menjadi sarapan setiap paginya. "Rivan, dipanggil nggak denger." Riola menggelayutkan tangannya pada Rivano tanpa izin. Rivan tersentak, menoleh kepada gadis yang entah sejak kapan sudah berada di sampingnya. "Elo? Ngapain?" Dengan cepat, Rivano menarik tangannya dari cekalan Riola. "Kangen," rengek Riola. Merasa muak dengan suara manja itu, Rivano menyumbat kedua telinganya dengan earphone yang selalu ia bawa ke mana pun dan di mana pun. "Rivan mau ke mana? Nggak ke kelas?" tanya Riola yang masih setia berada di samping Rivano dan mengikutinya berjalan. "Rivan jawab, dong!" Riola kembali bersuara saat cowok di sampingnya malah diam saja seolah tak ada yang mengajaknya bicara. "Mau lo apa, sih? Tiap ketemu sama gue suka ngikut terus kayak ekor," ketus Rivano. "Emang kenapa?" "Ganggu tahu, gak!" "Tapi Ola suka sama Rivan," cetus Riola keras. Dia sudah tidak malu lagi mengatakan itu karena semua juga tahu kalau Riola adalah gadis pemuja Rivano. "Tapi gue nggak. Simple, kan?" "Rivan gak suka sama Ola?" "Gak. Gue udah bilang ini berapa kali Ola?" kesal Rivano. "Hm, sekitar 29 kali, mungkin," jawab Riola enteng. "Harus gue tambahin biar genap?" "Maksudnya?" bingung Riola. "Gue gak suka sama lo!" tegas Rivano penuh penekanan. Ini adalah penolakan Rivano yang ke 30 kali. "Kenapa? Apa karena Ola dikira cewek nakal?" "Udah deh, Ola. Gue gak suka sama lo. Itu aja." Dengan langkah cepat, Rivano menjauhi Riola dan memasuki kantin. Riola enggan mengejar, dia lebih memilih berbalik dan berjalan ke kelasnya. "Kenapa sih Rivano? Dia benci kali ya sama Ola." Riola bermonolog di sela-sela langkahnya menuju ke kelas. "Suka ngerokok, sih. Pantes aja si Rivano gak mau." "Gak nyadar diri banget sih, dia." "Iya. Sok ngejar cowok jago matematika kayak Rivano." "Rivano lebih cocok sama Violet!" Bisikan jahat selalu menerobos telinga Riola dengan halus. Setiap detik, dia tidak bernapas dengan tenang di SMA VENUS. Yang terdengar di sini hanya u*****n yang membandingkan dia dengan Violet, saudari tirinya. _ Riola memasuki kelas dan menyimpan tasnya di meja dengan lesu. Violet yang melihat pemandangan itu, langsung menatap saudarinya heran. "Kenapa?" "Rivano nolak Ola yang ke tiga puluh kali," cetus Riola jujur. Violet tertawa, merasa lucu dengan tingkah Riola. "Udah. Gak usah ngejar dia lagi. Toh, dianya aja gak peduli sama kamu," ujar Violet. "Iya tapi kenapa Rivan gak suka sama Ola? Apa karena dia nyangka Ola ini nakal seperti kata orang? Ola nggak nakal, kok. Vio juga tahu kan kalau Ola gak suka ngerokok?" jelas Riola panjang lebar. Violet mengangkat bahu tidak tahu. "Aku tahu. Tapi pandangan orang ke kamu nggak gitu." "Terus Ola harus gimana biar nggak di cap sebagai bad .... Apa sih namanya.." "Bad girl?" sela Violet. "Nah itu. Gimana caranya?" "Aku juga gak tahu. Biarin aja lah mereka jelek-jelekin kamu. Yang penting, kamunya nggak merasa," ucap Violet. Belum sempat Riola menyahut, pak Herman datang ke kelas untuk memulai pelajaran Ekonomi. _ Istirahat tiba, Violet pamit pada Riola untuk ke Aula mempersiapkan lomba balet yang akan ia ikuti mewakili SMA Venus bulan depan. Violet memang memiliki banyak bakat dan pintar. Tak heran, semua siswa siswi SMA VENUS membandingkan Riola yang tidak bisa apa-apa dengan Violet yang bisa apa-apa. Riola meninggalkan ruang kelas yang sudah kosong dan menuju ke kantin untuk menemui Rivano, tentunya. "Hai, Rivaaaaan!!" teriak Riola. Beberapa orang langsung menatapnya tak suka. Merasa terganggu jika Riola ada di sekitar mereka. "Van, bahaya.. Bahaya.." Dave dan Lukman berdiri sambil meniru suara Ambulance sebagai peringatan bahwa Riola datang. Ini adalah kebiasaan yang selalu mereka lakukan jika Riola berjalan mendekat. "Gawat.. Gawat.. Gue harus sembunyi!!" Rivano bolak balik tak menentu. Mencari tempat untuk sembunyi dari makhluk itu. "Percuma elah. Dia udah di belakang lu!" sentak Lukman. "Rivan!" Riola memeluk Rivano dari belakang dan membuat banyak orang merasa risi. "Apa apaan sih, lo!" bentak Rivano. Ia langsung mendorong tubuh Riola agar menjauh. "Van, lu jangan kasar-kasar sama cewek." Dave memperingati. "Bodo. Emang dia cewek?" ujar Rivano menajam. "Ih, ya iyalah Ola cewek. Nih, cantik gini masa mau di bilang cowok," ujar Riola sambil mengeluarkan senyuman termanisnya. "Kalau lu cewek lu gak bakalan murahan kayak gini!" cecar Rivano pedas. Riola manyun, mencoba menetralisir perasaannya yang mendadak buruk. "Rivan jahat!" rengek Riola. "Van, lu gak boleh bilang kayak gitu," cibir Dave. "Bodo. Emang dia bisanya ganggu orang doang." Rivano duduk dan memasang earphone seperti yang biasa ia lakukan. Dave, Lukman dan Rivano menikmati makanan mereka yang baru di kirim oleh salah satu penjual. "Lo ngapain masih di sini?" sinis Rivano. "Liatin Rivan ganteng makan." Dave dan Lukman bergedik ngeri mendengar ucapan Riola. "Ngapain lo liatin gue? Gak ada faedahnya." Rivano memasukan sesendok mie ayam ke dalam mulutnya. "Seneng aja liat pangeran makan mie ayam." Riola cengar-cengir geli mendengar kalimatnya sendiri. "Parah lu, Ola. Jangan manggil si Rivan pangeran. Dia itu cuman katak yang terkutuk," ujar Lukman. "Ihhh.. Kan katak di kutuk juga aslinya pangeran," ucap Riola tak mau kalah. "Ola, gue mohon ya sama lo. Sekarang mending lo pergi! Biarkan gue makan dengan tenang," mohon Rivan sambil mengatupkan kedua tangannya. Dave dan Lukman melongo melihat tindakan memalukan itu. "Kenapa harus pergi, sih?" "Kali ini aja, ya. Jangan ganggu gue. Plissss..." kembali Rivano memohon dengan terpaksa supaya Riola pergi dari hadapannya. "Iya, deh. Tapi nanti pulang nya bareng, ya?" "Apa?" sentak Rivan. "Pulangnya bareng," ulang Riola. Dave dan Lukman berbisik-bisik meledek Rivano. "Gak mau. Mending lo di sini sampe magrib juga gapapa." "Ih, Rivano mah gitu." dengan sigap, Riola merampas kunci motor yang tergantung di saku celana Rivano dan berlari cepat keluar kantin. "Hei! Lu bawa apaan?" teriak Rivano sambil berdiri marah. "Cuman kunci motor doang, kok." terdengar suara Riola samar-samar yang entah sudah dimana wujudnya. "s**l!" Rivano mengecek celananya dan tidak ada kunci motor miliknya disana. _ Riola kembali ke kelas dengan hati yang berbunga-bunga. Riola yakin hari ini dia akan pulang bersama Rivano karena kunci motornya ia tahan. Kelas masih kosong karena waktu istirahat belum habis. Riola mencium bau rokok yang menyengat di area kelas dan asap-asap yang masih terlihat samar-samar. "Siapa yang merokok di sini?" herannya. Riola menyemprotkan pewangi ruangan yang memang sengaja di beli ketua kelas dari uang kas. Meski begitu, aroma rokok masih saja tercium. Tak lama kemudian bel berbunyi dan disusul dengan teman-teman Riola memasuki kelas. "Astaga, bau rokok," ujar Rio sang ketua murid. "Bau banget." "Gak salah ngerokok di kelas? Emang gak ada tempat lain? Bikin malu nama kelas kita aja." Seluruh pandangan tertuju pada Riola yang masih memegang pewangi ruangan di tangannya. "Gak usah ngabisin pewangi ruangan cuman buat ngilangin bau asap rokok lo!" cibir Vanesa, salah satu teman sekelas Riola. "Ini...." Belum sempat Riola melanjutkan, Vanesa merampas pewangi ruangan dari tangan Riola. "Lo itu kenapa sih, Ola? Kenapa lo gak tahu malu ngerokok di kelas!" cecar Vanesa. Riola menggeleng kuat, berusaha mengelak tuduhan tak mengenakan itu. "Sumpah! Ola nggak ngerokok. Gak pernah," elaknya. "Berhenti ngeles. Kita punya buktinya, Ola!" Rio mengangkat tinggi-tinggi sebungkus rokok beserta koreknya. Dan rokok itu berasal dari bawah meja Riola. "Itu bukan punya Ola!" "Kita laporin aja ke BK. Nanti kalau nggak, dia malah keenakkan," ujar Vanesa final. Sementara teman-teman yang lain hanya menatap Riola dengan tatapan sinis. Riola terduduk lemas di bangku, merasa tak bertenaga setelah tuduhan itu mengarah padanya. Namanya Riola Permata, gadis baik-baik yang terus saja di anggap nakal. Merokok, meminum alkohol, adalah tuduhan yang selalu menembakinya. Riola tahu, ada seseorang yang sengaja menyimpan rokok itu di bawah mejanya. Tapi entah siapa orang kurang kerjaan itu. _ To be continued. Terima kasih sudah membaca^^ Jangan lupa support^^
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD