LIFE

3061 Words
“drrtttt...drrrrttt...drrrttt..” handphone ku bergetar tanpa henti dan merusak lelap ku. “duhh... siapa sih?” gumam ku Bukan siapa-siapa dan ternyata ini alarm. Dengan title “Be Ready For Bimbingan Skripsi” sukses memacu adrenalin ku. Mata ku langsung fokus dalam waktu sepersekian detik. Ku ambil bathdrobe ku dan segera meluncur ke kamar mandi. Ku cari baju yang cocok untuk hari ini. Ku pilih kemeja formal dengan warna peach, dipadukan dengan celana formal warna putih. Ku pasang make up tipis di wajah putih ku namun tetap on the point. Ku pakai lipstick merah muda tipis, meratakannya dengan kedua bibir atas dan bawah ku. Untuk urusan rambut hari ini aku tidak ada waktu. Hanya ku tata seadanya. Dan aku pun bersiap untuk asistensi skripsi ku. Di kampus.. “Permisi, Pak...” sapa ku sebelum memasuki ruangan dosesn pembimbing  (dospem) ku. “oh Claudya, ayo mari masuk” jawab dospem ku dengan ramah “baik pak, Terima Kasih...” balas ku sembari memberi senyum dan melangkah masuk ke ruangannya, Aku pun mulai menceritakan perkembangan perbaikan skripsi ku pasca Ujian Akhir ku tiga hari yang lalu. Beruntung dospem ku ini sangat baik dan ramah jadi aku secara pribadi tidak mengalami kesulitan yang berarti selama menjadi anak bimbingannya. Bahkan dia cenderung memuluskan jalan ku. Gayanya sangat santai dan energik, senada dengan usianya yang masih muda. “Claudya sendirian? Oman gak diajak?” Tanya dospem ku. Oman adalah teman satu bimbingan ku. “Iya pak, saya sendirian saja soalnya Oman gak balas pesan saya Pak” jawab ku kikuk karena berdusta. Boro-boro peduli sama dia, anaknya aja gak peduli sama kuliah. “oh ya sudah, tolong sampaikan kepada Oman untuk menemui saya ya” “baik pak, terima kasih. Saya permisi pak” kata ku menutup pertemuan dan beranjak keluar dari ruangannya. Perasaan lega dan bahagia di hati ku, “sedikit lagi...” gumamku dalam hati. Ya, sedikit lagi aku akan menjadi seorang sarjana di usia 21 tahun. Hanya beberapa dokumen pelengkap dan aku siap menyambut hari besar itu.  “Hei Clau, dari mana?” sapa nita teman kelas ku “Eh Nit, dari asistensi dengan pak Nandi. Btw mana pacar lu si Oman? Dicariin sama pak Nandi tuh” kata ku. “Gak tau juga Clau, dari tadi gue coba call tapi gak diangkat” jawabnya “Gimana sih si Oman, gak mau sarjana apa? Payah banget lari-larian mulu” kata ku kesal “Sama gue juga heran, jangankan sarjana seminar proposal aja belum, huhu..” jawab nita sedih “Aelah.. kalau gue jadi lo nih, gue jitak pala dia. Model kayak gitu gue ogah deket-deket, ishh...” “Jangan gitu clau, gue sayang ama dia. Lo teman gue bukan?” tanya nita memanyunkan bibirnya “Iya gue temen lo, sahabat lo. Tapi si Oman tuh, ngeselin. Lo juga nanti yang susah Nit kalau serius sayang sama dia. Sama kuliah aja dia gak bertanggung jawab, apalagi sama lo taa...” kataku tegas “Gue yakin kok sama dia. Jangan gitu lah Clau ngeliat Oman. Masa depan kan gak ada yang tau” jawab nita sabar “iya bodo’ ahh... makan yuk laperr nih” Kami pun berjalan menuju kantin yang letaknya tidak jauh dari posisi kami berbincang. Aku dan nita berpisah untuk mencari menu makanan apa yang kami inginkan. Model kantin kampus kami seperti food court yang sangat besar  jadi untuk memesan makanan saja kadang butuh 10-15 menit. “Udah?” Tanya ku ke nita “iya, udah. Makan apa lo?” nita bertanya. “Makan biasa lah, Nasi Goreng Sea Food” jawab ku. Makanan kami pun dihidangkan. Aku dan Nita menyantap makan siang kami sambil membicarakan hal-hal ringan. Termasuk bagaimana persiapan kami menjelang wisuda. Mulai dari kebaya yang akan kami kenakan, make up, hair style seperti  apa hingga rencana hang out bareng untuk mencari keperluan High Heels dan accesories kami. Tidak lupa kami akan melakukan perawatan total di salon kecantikan langganan kami agar kami tampil maksimal di hari besar itu. “Eh Clau cowo lo datang kan nanti pas Graduation kita. Gue penasaran deh sama cowo lo” Nita memberi pernyataan yang sontak membuatk ku kaget. Wajar saja, sedekat apa pun aku sama Nita, aku belum pernah sekali pun mengenalkannya dengan pacar ku. Aku hanya diam sembari senyum tanpa melihat kepada Nita. “Clau, gue serius nih. Lo kok gitu amat. Sama sahabat sendiri belum pernah lo kenalin ke kita. Entah gue, Rachel, maupun Indy” lanjut nita ketus. Aku hanya diam dan senyum tanpa melihatnya lagi. Nita dan ke kedua sahabat ku lainnya memang belum mengetahui siapa aku sebenarnya. Meskipun sahabat dan aku memang sayang sama mereka tapi tetap saja aku tidak mengizinkan siapa pun untuk masuk di kehidupan pribadi ku yang lebih dalam. Cukup aku dan dunia itu yang tau. Kedua sahabat ku yang lainnya datang dan menyapa kami. ”hei beib..” sapa indy pertama. Disusul dengan rangkulan Rachel untuk kami berdua. Kami memang semua sangat akrab, bahkan lebih akrab dari pada saudara kami masing-masing. Bisa dibilang kami berempat adalah pion di kampus ini. Terutama di Fakultas Ekonomi tempat kami kuliah. “Clau, datang kan? Siapa lagi tuh namanya?” Nita mendesak “Apa nih?” sela Rachel Nita sambil menatap Rachel menjelaskan bahwa dia ingin melihat pacarku, dan meminta dukungan dari Rachel dan Indy. Sebelum mereka melanjutkan, “Nit, gue gak tau. Dia Sibuk. Jadi gak tau dan gue gak bisa mastiin, oke?” jawab ku santai.  “Gue sebagai sahabat kecewa ama lo” nita merajuk. “Come on beib, gue janji nanti pasti bakal kenalin dia ke kalian. Janji tapi timing nya gue belum bisa pastiin, tapi gue janji” ucap ku meyakinkan. “Mmm.. okey”  Jawab Rachel. Dan Indy hanya diam menatap kami bertiga sembari menyantap dessertnya. “Gue pegang janji lo ya” Nita memantapkan. Aku senyum sambil mengangguk. Yang sebenarnya aku bahkan tidak menganggap perkataan ku sebagai janji kepada mereka. “Bingung juga mau kenalin yang mana ke mereka” gumam ku dalam hati. Kemudian bergegas meninggalkan kantin dan pergi Hang Out bersama. Kami mengitari hampir seluruh Mall yang ada di Kota ini. Bersama mereka waktu berjalan begitu cepat dan terasa begitu membahagiakan. Aku sangat senang memiliki mereka di dalam hidup ku saat ini. Waktu kemudian menunjukkan pukul 23.30 dan saatnya kami semua pulang ke rumah masing-masing. Masih banyak yang harus kami kerjakan untuk mengejar persiapan Wisuda yang tinggal beberapa hari lagi. “Thak you, Girls. See you tomorrow yaa” ucapku berterima kasih karena sudah diantar pulang oleh mereka “Iya Clau, no problem!! See you juga..” ucap Rachel dan yang lainnya. mereka berlalu dan aku pun bergegas masuk ke dalam rumah. Tanpa gerakan tambahan, setelah ku bersihkan diri ku dan menjalankan ritual “skin care night routine” , aku langsung merebahkan tubuh ku di atas kasur empuk dan hangat milikku. Ku pejamkan mata sejenak dalam waktu singkat aku pun menyelam dalam samudra mimpi ku.   *****   “ciit..ciitt..ciiiiiitt...” Suara burung-burung bernyanyi dipagi hari, membangunkan  diri ku. Lekas ku buka jendela kamar dan ku hirup udara pagi dengan penuh hikmat. Ku pejamkan mata ku dalam, dan bermeditasi sejenak. Ku nikmati suara burung-burung itu yang seolah bercakap menggosipkan diri ku. Semakin ku perdalam meditasi ku dengan menangkap sumber suara terjauh yang dapat diraih oleh indra pendengaran ku. Aku memang sangat senang melakukan ini. Sangat tenang dan dapat membuat ku fokus seharian. 15 menit berlalu, ku tarik nafas yang panjang dan dalam kemudian menghembuskannya. Ku ulang sebanyak tiga kali sebelum mengakhiri meditasi ku. Ku buka mata ku perlahan, dan “Aaaaaaaaaaaaaaaaaarrrgghhhhh” aku sontak berteriak dengan sangat kencang mendapati kakak sulung ku memakai topeng badut untuk menakuti ku. “What the f**k are you doing?” gerutu ku “Nothing, just give you a morning heart attack” jawabnya sambil tertawa terbahak-bahak “Get out of my room, Robert. You are sick!!!” bentakku “hei... be relax. Gue Cuma mau menyapa adikku sebelum berangkat lagi siang ini. I’ll miss you soo bad” katanya lagi tanpa kuhiraukan dan segera ku ambil bathdrobe ku dan menuju ke kamar mandi. Di ruang tengah di meja makan, semua sudah berkumpul. Ada mama, papa, Robert kakak pertama ku dan Victor kakak kedua ku. “Siang ini robert akan berangkat lagi ke Jepang, mengingat cuti liburnya sudah berakhir” Papa mengawali percakapan. Aku hanya terdiam sambil melirik ke arah robert. Dia melirikku dan ku pasang mata sinis ke arahnya. Ya aku masih sinis mengingat apa yang dia lakukan tadi pagi sungguh menyebalkan. “Papa dan mama harus berangkat juga keluar kota juga, jadi tidak mungkin kesampaian pesawatnya robert”. Papa melanjutkan, “Gak apa-apa ya Rob, kalau kita gak bisa antarin. Atau ada yang bisa ngantarin Robert?” semua diam termasuk aku. “Gak apa-apa pa, santai aja. Aku bisa naik taksi kok” jawab Robert senyum dan melanjutkan sarapannya. “Mmm... kalau hari ini urusan ku cepat kelar aku usahain deh ngantar kamu”, kata ku secara tiba-tiba. Entah apa yang ku pikirkan. Aku pun menyesal mengatakannya. “Baiklah, usahakan kamu bisa mengantar Robert ya Clau” pungkas papa dan ku jawab dengan anggukan. Setibanya di kampus, aku tidak menyangka bahwa semua kegiatan ku begitu lancar. Bertemu dengan dua pembimbing ku dan ketiga penguji ku, sangat lancar tanpa hambatan sama sekali. Bahkan untuk kelengkapan berkas wisuda pun aku telah menyelesaikan dan Voilaa semua urusan ku beres hanya dalam kurun waktu kurang dari 2 jam. Sepertinya memang alam semesta menggerakkan semuanya begitu mudah karena aku harus mengantar Robert. Pikir ku dalam hati. Tanpa berlama-lama, aku pun bergegas menuju ke rumah. Pesawat Robert sekitar pukul 14.45 dan sekarang jam menujukkan pukul 11.15. Aku harus bergegas. Waktu akan semakin sempit. Setibanya di rumah, Robert pun sudah siap dengan perbekalannya. Segera aku membukakan pintu bagasi mobil agar dia dapat mengatur barangnya. Ku serahkan kunci mobil kepadanya, “lo aja yang nyetir ya,gue gak bisa ngebut soalnya”. “Oke, No Problem” Robert menjawab sembari bersiap untuk berangkat. Tak lama kemudian setelah memastikan seluruh rumah aman dan terkunci, aku pun langsung menaiki mobil dan kita berangkat. Tak banyak percakapan diantara kami selama perjalanan. Hal itu memang wajar mengingat aku dan seluruh anggota keluarga di rumah memang tidak terlalu akrab. Suasana di rumah memang sudah sangat kaku sedari dulu. Watak keras papa dan mama mewarnai hari-hari di rumah. Terkadang mereka hanya peduli dengan diri mereka sendri, tidak menyadari bahwa ada ruang kosong di antara kami sekeluarga. Guyonan dan usaha robert sebagai kakak untuk mengakrabkan diri kepada ku beberapa waktu ini terasa sangat asing dan geli bagi ku, justru kadang membuat ku muak. Usahanya terkesan “Too little too late” bagi ku. Entah sejak kapan dia sadar dan ingin mengambil hati ku dan mulai harmonis dengan ku sebagai seorang adik kakak. Tapi hati ku masih terlalu beku untuk itu. “Setelah Wisuda, apa rencana lo?” Robert memulai percakapan “Let’s see. Gue juga belum tau sih. Yang jelas gue harus berkarir, dan gue harus sukses” kata ku optimis. “udah punya pacar belum?” Aku kaget dan melihat ke arahnya, “sejak kapan dia peduli?” gumam ku dalam hati. “Ada deh, rahasia dong” jawab ku jutek menutupi ekspresi kaget ku. “Ada gak? Atau jangan-jangan lo belum laku lagi” lanjut Robert dengan ekpresinya yang sangat menyebalkan. “Gue jitak pala lo ya. Kepo banget sih” kata ku kesal “Ya udah...” Robert mengahiri ketus “Ya udaah...” Balas ku dengan tidak kalah ketus Kami pun tiba di bandara, “Ahh akhirnya” pinta ku dalam hati. Robert pun memberhentikan mobil di area Drop Off, aku turun dari mobil pertama dan disusul Robert dengan menyerahkan kunci mobil. Ku bantu Robert menurunkan perbekalannya, dan selesai dia menutup pintu bagasi mobil dengan rapat. “Baik-baik ya lo di sini. Sukses buat karir lo setelah Graduation nanti” kata robert sembari merangkulku secara tiba-tiba. “Duh.. kenapa kok dia jadi aneh gini sih. Dulu dia gak gini-gini amat” ku biarkan dia merangkulku hingga di pintu keberangkatan. Ku lihat Robert berlalu, dia berbalik dan melambaikan tangannya. Aku pun membalas dengan senyum dan melambaikan tangan. Ku tatap dia dari belakang, “ahh... seandainya kita tumbuh bersama, Rob” kata ku dalam hati. Ya.. robert sejak sekolah dasar sudah jauh dari rumah. Papa dan mama mengirim Robert di salah satu sekolah dasar swasta terbaik dan mengasramakannya. Begitu pun dengan kakak kedua ku Victor. Mereka tidak ditempatkan disekolah yang sama agar tidak bergantung satu sama lain. Papa dan mama menanamkan kemandirian dan individualis yang sangat tinggi kepada anak-anaknya. Hal itu lah yang membuat jarak pemisah diantara kami semua. Bahkan usia tidak mengurangi prinsip mereka itu. Aku tidak mengerti bagaimana cara mereka menyayangi kami. “drrrrttt...drrrrrt....drrrttt” dering handphone ku menyadarkan ku dari lamunan sesaat tentang keluarga ku. “Halo, chel?” kata ku mengangkat telfon. “Clau, lo dimana? Fitting baju buat Wisuda bagusnya kapan?” Tanya Rachel “Gue ada di bandara Chel, habis ngantarin kakak gue si Robert, besok aja kali ya fitiing nya?” Jawab ku “Oh lo dibandara? Ya udah hati-hati lo pas baliknya ya. Ya udah besok aja. Gue info Nita sama Indy ya. Bye..” “oke bye..” Tutup ku. Sepanjang perjalanan pulang dari bandara, jalanan begitu macet dan membuat ku memikirkan banyak hal. Terutama soal hidup ku selama ini.   *****   Ku hela nafas ku panjang, macet sepanjang jalan tak kunjung menapakkan ujungnya. Ku lihat pengapnya udara sore akibat asap kendaraan, membuat ku mulai frustasi. Aku memilih untuk menepi dan singgah di sebuah cafe untuk bersantai sejenak. “Order Ice Capuccino satu sama Waffle Choco Berry with vanilla ice cream satu ya mas, Thank you...” kata ku kepada salah satu pelayan cafe. ”Baik mbak, mohon ditunggu, terima kasih..” pelayan itu pun berlalu. Aku kemudian mencari benda pipih berwarna hitam dari dalam tas ku. Aku mulai panik, dan membongkar seluruh isi tas ku tapi tidak menemukannya. “Handphone ku dimana?” risau ku sendiri. Aku kemudian memasukkan kembali semua barang milikku ke dalam tas, dan segera aku berlari ke mobil untuk mencarinya. Got you!!! Senang ku sendiri. Handphone ku tertinggal di kursi penumpang di sebelah ku. Aku segera kembali ke dalam cafe untuk menikmati orderan ku. “Clau....” terdengar suara seseorang memanggil ku. Aku membalikkan badan sebelum ku raih gagang pintu cafe. Tetapi tidak menemukan sumber suara itu. “Ahh mungkin aku salah dengar...” risau ku dalam hati dan kemudian mendorong pintu untuk segera melangkah masuk ke dalam cafe dan menyantap waffle desser ku. Sembari menghabisan orderan ku, aku memanggil semua sahabat ku lewat Video Call Group di w******p. “Girls... gue sendirian nih di cafe, ngobrol yuk temanin gue. Pada lagi gak sibuk kan?” Sapa ku ke mareka “Iya boleh, tapi gue gak bisa lama-lama, soalnya gue harus ikut nyokap gue ke kondangan jam 7 malam ini. Gue musti dandan dulu” Indy menyahut “Lo di cafe mana Clau, gue samperin aja” Nita menyambung “Gue jauh ta, lagi ada di Maxx Coffie habis dari bandar nganterin kakak gue Robert, ya udah lo sambil VC ama kita sambil dandan aja Indy, bisa kan?” sambung ku  menjawab Nita dan Indy  “Clau itu waffle lo kayaknya enak deh, jadi pengen” Rachel out of the topic. “iyalah enak, ini favorit gue juga nih. Lo kapan-kapan musti coba ini deh” jawab ku ke Rachel.    Aku dan ketiga sahabat ku berbincang banyak dan agak receh tidak terasa waffle dessert ku sudah habis, bersisa Ice Cappucino ku. Aku menyedotnya perlahan, sembari terus becakap dengan sahabat – sahabat ku. “Jadi besok kita fitting baju jam berapa?” tanyaku “Jam 10 pagi aja kali ya, trus siangnya kita nyalon” Rachel memberi saran. “Aku sih yes...” kata Indy. “aku ikut kalian aja” sambung Nita. “So we are deal, besok jam 10 pagi ya, biar gue yang jemput deh. Pertama gue ke rumah lo ya Nit”. “Oke beib...” Jawab Nita. Sambil tertawa dan menghabiskan Ice Cappucino ku, tiba – tiba seseorang meletakkan secangkir Hot Coffe di atas meja ku dan duduk tepat di depan ku. Pandangan ku teralihkan dari handphone mengarah ke siapa yang duduk di depan ku. Aku kaget, terdiam. Wajah ku seperti pucat pasi. Aku beku sejenak tidak bisa menggerakkan badan ku. Mata ku membulat dan memandangi siapa gerangan yang duduk di depan ku. Hati ku berdegup kencang melihat lelaki yang ada di hadapan ku ini. Dia duduk dengan santai, menyandarkan badannya ke sofa, mengangkat kaki kirinya dan dia letakkak di atas paha kanannya. Dia melihat ku dengan penuh suka cita, bibir atasnya melengkung tipis dan diarahkan kepada ku. Matanya sayup memandang ku. Kami saling bertatapan kaku untuk beberapa saat, kemudian terdengar suara dari dalam diri ku mamanggil namanya, “David..., ya dia David” batin ku berbicara sendiri “Claudya Cindy, apa kabar?” David menyapa ramah dan tersenyum. Aku terdiam dan masih tidak percaya dengan apa yang ku lihat di hadapan ku, sampai suara nyaring terdengar dari handphone memanggil nama ku, “Clau, are you oke?” tanya Nita teriak “Lo baik – baik aja kan?” sambung Rachel “Ada apa Clau? Lo jangan buat kita kuatir” gumam Indy Aku menarik nafas dalam dan menghembuskannya panjang, aku mulai sadar dari lamunan mu beberapa saat dan menyadari ini semua adalah nyata. Yaa, sangat nyata dan lelaki yang ada di hadapan ku sekarang ini adalah David. Lelaki dari masa lalu ku. Segera ku normalkan diri ku, dan memperbaiki raut wajah ku. Dan aku mulai senyum se-natural mungkin ke sahabat-sahabat ku, “Girls... udah dulu ya, gue gak apa – apa kok. Cuman kaget aja tadi barusan ada orang jatuh di depan meja gue” dusta ku. “Gue tutup dulu ya telfonnya, udah mau jalan lagi, bye...” ucap ku mengakhiri Video Call Group segera. Tanpa pikir panjang dan tidak menghiraukan David sama sekali, aku mengambil semua barang ku, termasuk kunci mobil di atas meja dan beranjak pergi. David menahan ku dan menggenggam tangan kanan ku dengan tangan kiri nya. “Lepasin gue” bentakku kasar “Cindy, we need to talk” David meminta sambil berdiri mendekat Dengan amarah yang menyulut dan ku tunjuk wajahnya dengan jari telunjuk kanan ku dan berkata, “Berhenti lo, jangan deketin gue. Atau gue teriak” “Cindy, Please....” David memohon.          
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD