One

870 Words
Malas. Sangat malas. Itulah yang aku rasakan kini. Harus duduk manis di hadapan kedua orang tuaku, dan juga dua orang paruh baya yang ku ketahui bernama Tuan dan Nyonya Renandi. Tepatnya, Tuan Rio Renandi dan Nyonya Kamila Renandi. Keempatnya tampak asyik berbincang. Entah apa isi pembicaraan itu sebenarnya, aku tak mau mengerti. Yang ku lakukan hanya duduk diam sambil tersenyum dan sesekali mengangguk ketika Ayah mengajakku berbicara. Yups. Lupa aku katakan, bahwa keluarga Renandi, adalah salah satu keluarga paling kaya di negeri ini. Renandi grup, sebuah perusahaan properti yang sudah tak asing lagi di telinga para milioner Asia. Sampai saat ini omzet perusahaannya mencapai lebih dari lima triliun per tahunnya. Dan perusahaan itu memperkerjakan lebih dari tiga ribu pegawai. Bahkan dari berita yang ku dengar, Renandi grub juga tengah dalam proses pembukaan cabang baru di Sidney, Australia. Aku perasakan handphoneku bergetar. Jari-jariku segera menari di atas layar untuk membuka lock screen handphoneku. Baru saja aku mau membukanya, yang bisa ku tebak jika isinya adalah pesan dari Fany, sahabatku sejak SMP, hingga sebuah suara mengagetkanku, memaksaku untuk menoleh ke arah sumber suara tersebut. Tunggu! Pria itu.... sepertinya aku pernah melihatnya. Tapi, dimana? Dan sepertinya diapun sepemikiran denganku. Terbaca dari reaksinya yang segera menyeritkan alisnya menatapku. Dan entah mengapa, kesan pertama yang ku dapat darinya adalah 'menyebalkan'. Padahal, di sekeliling kami para perempuan menatapnya dengan tatapan seolah mereka akan melakukan apa saja demi mendapatkan pria itu. Apa dia se-mengagumkan itu? "Ini Bisma. Bisma Renandi, anak tunggal saya dan Kamila. Bisma, beri salam kepada Tante dan Om Kusuma yang sudah menyempatkan hadir malam ini!" ujar Om Rio. "Selamat malam Om, Tante," sapa pria itu. Bisma? Sepertinya tak asing bagiku. Aku berpikir sejenak. Dan...yups. Aku pernah membacanya di buku pewayangan Jawa. Mengingat hal itu membuatku harus berusaha keras menahan tawaku. Ku lihat dia semakin menyerit menatapku. Mungkin akibat usahaku meredakan tawa. Kini dia telah duduk, tepat di hadapanku. "Oh...ya, Bisma, perkenalkan, ini anak Om, Mawar namanya." ujar Ayah memperkenalkanku. Aku tersenyum. Yah...walau hanya senyum palsu. Dan ku harap orang tuaku tak mengetahuinya. "Mawar, sapa Bisma! Dia calon tunanganmu." sambung Ibuku. What??? Coba ulangi satu kali lagi. 'Calon tunangan'? Sejak kapan? "Mak...maksud Tante apa ya?" tanya Bisma yang nampak sama terkejutnya denganku. Sungguh, baru saja aku akan melontarkan pertanyaan yang sama. Kedua orang tuaku dan Bisma tersenyum. Membuatku semakin kesal. But, aku harus menutupinya. Jika tidak pastilah Ayah akan menyantapku di rumah. "Jadi begini, keluarga Renandi dan keluarga Kusuma sebenarnya sudah bersahabat dekat sejak beberapa generasi. Kakek kalian pernah merencanakan tentang perjodohan anak mereka kelak. Namun ternyata anak mereka semua laki-laki. Om Yusuf anak tunggal, sementara papa dan Om Rahman laki-laki. Jadi perjodohan ini baru bisa terlaksana sekarang. Yaitu antara kamu dan Mawar." terang Om Rio. Aku menatap malas ke arah pria bernama Bisma itu. Pakaiannya tapi. Terlalu rapi menurutku. Ku perkirakan usianya sekitar 25 hingga 30 tahun. Hh? Terlalu tua untukku. Usiaku baru 19 tahun. Tidak! Aku tidak mau dijodohkan dengannya. Aku menatap Ayahku kesal. Aku melontarkan tatapan protes pada Beliau. Namun, dengan segera tatapanku melemah saat Ayah memelototiku sesaat, dan kemudian kembali tertawa kecil menyahuti candaan Om Rio. Tidak Ayah...anakmu ini tidak mau dijodohkan dengan dia. Ingin rasanya aku menggebrak meja dan berteriak memprotes keputusan itu. Ini tentang hidupku. Kelak aku dan Bisma yang menjalaninya. Kenapa mereka berbuat sesuka hatinya tanpa meminta pendapatku???? Wait!!! Kenapa pria di hadapanku ini hanya diam? Apa dia menerima perjodohan ini? Harusnya dia protes pada empat manusia paruh baya di depan kami. Bodoh. Dasar pria bodoh. Aku semakin kesal saat melihatnya masih duduk santai seakan tak mendengar pembicaraan apapun yang menyangkut dirinya. Melihatnya sesantai itu, bolehkah aku mencekiknya?   Tik.. Tak.. Tik.. Tak.. Tik.. Tak.. Aku masih terjaga. Suara detak detik jam di dinding kamarku menemaniku. Ternyata suaranya cukup keras ketika tak ada suara lain yang menandinginya. Pukul 1.00 dini hari. Dan otakku masih berkutat dengan hal yang sebenarnya tak harus aku pikirkan saat ini. Pertunangan. Ah....aku merasa bodoh. Harusnya aku menolaknya dengan lantang tadi. Terutama saat mereka menentukan tanggal pertunanganku dengan Bisma. Satu bulan lagi? Ku pikir aku masih terlalu muda untuk itu. Dan pria itu...benar-benar membuatku naik darah. Dia hanya duduk diam, menuruti ide gila orang tua kami.   ***   "Astaga!!!" terdengar suara pekikan seorang wanita. Yah..pasti itu ibu. Untuk apa ibu datang dini hari begini ke kamarku? Bahkan akupun masih meringkuk nyaman di tempat tidurku. "Mawar!! Ini sudah hampir setengah tujuh. Kenapa kamu belum siap-siap? Bukankah hari ini kamu ada kelas pagi?" Ah Ibu. Menggangguku saja. Aku baru saja terjun ke dunia mimpiku. Kenapa Ibu datang dan mengatakan....tunggu! Setengah tujuh?? Aku melirik malas ke arah jam dinding kamarku. Astaga! Aku segera terpenjat saat menyadarinya. "Sampai kapan kamu mau malas-malasan terus begini, Mawar? Kamu sudah setahun kuliah, tapi masih saja kesiangan." omel Ibuku. "Aduh Ibu...kenapa tidak membangunkanku dari tadi?" balasku segera bangkit dari tempat tidur. "Awww..." aku meringis saat kakiku menyandung selimut. Membuatku kembali berbaring di lantai. "Cepatlah mandi! Kenapa malah tidur disitu?" kesal Ibu Bolehkah aku kesal padanya? Kenapa Ibu tidak paham jika aku terjatuh, dan ini bukan kemauanku. Aku mendesah malas mendengar omelan Ibu. Aku berjalan, lebih tepatnya berlari kecil ke arah kamar mandi. *** Hay, ini cerita pertamaku di dreame. Aku akan membawa kalian masuk ke dalam kisah rumit Bisma dan Mawar melalui cerita ini.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD