bc

Connected (Indonesia)

book_age16+
1.7K
FOLLOW
15.1K
READ
murder
dark
arrogant
manipulative
others
drama
tragedy
no-couple
mystery
scary
like
intro-logo
Blurb

Delapan Tahun usai kelulusan, sebuah undangan reuni misterius tiba-tiba dibagikan di depan rumah masing-masing. Tanpa tahu siapa yang mengirim, keseluruhan undangan itu membawa sekelompok teman sekelas kembali berkumpul. Dalam pekat malam yang menelan, perkumpulan mereka menjadi awal permainan mengerikan tak berujung. Mengais harapan pulang sampai mencari keterkaitan dengan masa lalu.

Selamatkan diri, atau kau segera MATI!!!!

chap-preview
Free preview
Undangan Misterius
        Dilan tengah sibuk menyiapkan materi untuk kuliah esok hari. Mentang-mentang kemarin akhir minggu, tidak seharusnya ia menunda-nunda pekerjaan, harusnya begitu, tapi ajakan makan malam bersama oleh Alfa nyatanya tak mampu Dilan tolak begitu saja. Kalau ingin tahu siapa Alfa, dia itu teman Dilan sejak SMP. Mungkin mereka berjodoh sampai-sampai sekelas terus sampai lulus SMA. Setelah lulus, Alfa melanjutkan kuliahnya ke luar negeri dan mereka hanya saling kirim surat beberapa kali karena kesibukan dan keterbatasan biaya masing-masing.         Bagaimana mungkin Dilan bisa menolak ajakan makan pertama kalinya setelah delapan tahun mereka berpisah dengan alasan sedang menyelesaikan laporan dan materi mentah untuk kelas kesukubangsaan, nasionalisme, dan studi gender. Memang butuh banyak waktu untuk menyelesaikannya selain karena tingkat kemalasan Dilan yang diluar nalar sama sekali tidak berkurang sampai ia dewasa. Minimal, kelas komposisi menulis kreatif sudah tertangani berkat bantuan rekannya yang terlalu berbakat dengan kata dan bahasa. Asal ia tidak terprovokasi mahasiswanya untuk membanggakan bakat rekannya di kelas, minggu depan akan berjalan lancar, sepertinya.         Sebenarnya tinggal sedikit lagi sudah beres Dilan mengerjakan laporan dan setengah jalan menyiapkan materi, tapi mendadak ia menyadari sesuatu.         Ia menengok ke pintu kamar apartemennya, dan berpikir; terlalu sunyi. Barangkali Dilan lupa kalau dia tinggal sendirian di apartemen standar yang ia beli dengan uang hasil kerja nya sebagai dosen dan freelance artist.         Otaknya memerintahkan Dilan untuk beranjak sekedar mengecek keadaan apartemen nya sejenak. Entah karena apa, Dilan biasanya tidak mau repot-repot mengelilingi apartemen standar yang memang tidak perlu di periksa. Tidak ada barang yang benar-benar berharga di sini. Dilan menengok jam dinding yang tergantung di dekat pintu masuk, jarum jam menunjuk ke angka dua belas pas.         “Sudah tengah malam, ternyata.” Gumam Dilan pelan.         Kakinya melangkah menuju pintu masuk apartemen dan membukanya. Dilan melongok ke kanan dan kekiri sambil berpikir betapa sepinya. Tengah malam memang saat paling sepi di sini, apalagi dengan keadaan Dilan yang hanya tinggal sendirian. Bola matanya bergulir hingga terhenti ketika sesuatu yang mengganggu terinjak oleh kaki telanjangnya.         Dilan menundukkan pandangannya. Sebuah bungkusan bening berbentuk persegi panjang tergeletak di sana. Dilan segera memungutnya.         “Ini undangan? Dari siapa?” Dilan bergumam bingung. Segera ia masuk dan mengunci pintu.         Dilan mendudukkan dirinya di sofa. Lampu ruang tamu hanya tinggal lampu redup yang selalu Dilan nyalakan ketika sudah malam. Dilan membolak-balik benda yang sepertinya undangan itu. Ia menyobek plastik bening pembungkusnya dan segera membuka isinya.         Agak aneh juga melihat desain undangannya. Di dalam jelas tertulis undangan reuni kelas XII IPA 5, itu kelas Dilan semasa SMA. Lantas, siapa yang meninggalkan undangan ini di depan pintu apartemennya? Saat Dilan pulang dari makan bersama Alfa undangan ini belum ada di sana, seharusnya siapapun yang mengantarnya bisa mengetuk pintu atau membunyikan bel ‘kan?         Dilan meraih hape nya, ragu-ragu menghubungi Alfa di tengah malam begini. Tapi, rasa penasaran Dilan nyatanya jauh lebih berkuasa daripada rasa sungkannya.         “Halo?” suara Alfa terdengar setelah beberapa detik Dilan mendengar nada sambung.         “Sorry ganggu, Al.” ujar Dilan dengan nada sungkan paling mumpuni.         Dilan mendengar Alfa tertawa renyah di seberang sana. “Santai, Lan. Aku juga belum tidur kok. Ada apa?”         “Aku mau tanya, apa kamu dapat undangan juga?”         “Ah! Undangan reuni itu ‘kan?” serunya.         Dilan mengangguk. Barangkali ia lupa kalau Alfa tidak akan bisa menangkap gestur itu.         “Kira-kira, siapa yang bagi ya?”         “Nggak tahu, malam-malam, dan desainnya unik ya? Haha… agak suram gitu. Masa pakai warna hitam dan tulisan merah darah sih.”         Dilan kembali mengamati undangan di tangannya. Benar juga yang dikatakan Alfa. Undangan itu lain daripada yang biasa.         “Terus, kamu datang nggak?”         “Datang lah, pasti. Udah lama banget lho aku nggak ketemu sama yang lainnya. Ini kesempatan bagus.”         Dilan setuju dengan kalimat yang di ucapkan Alfa barusan. Iya, Dilan yang sejak dulu tidak pernah jauh-jauh dari daerah nya saja merasa antusias ingin bertemu kawan-kawan lamanya.         “Tunggu, serius nih reuni jam sembilan malam?”         “Hm… iya nih. Tulisannya emang gitu, udah lah datang aja mungkin yang lain sibuk sama kerjaan masing-masing kalau siang.”         Iya juga. Mungkin itu alasannya mereka memilih reuni malam hari. Dilan mengangguk.         “Oke deh, aku juga akan datang.”         Dilan menutup sambungan telepon setelah mengucapkan salam. Ia kembali membaca isi undangan reuni itu. Meski dia bilang akan datang, nyatanya masih ada rasa bingung dan waspada. Undangan itu tergeletak begitu saja di depan apartemennya, desain undangan itu juga aneh dan kalau dilihat dengan seksama malah jadi seram. Font tulisan di sana bahkan memakai font yang biasa di gunakan dalam film-film horror.         Buru-buru Dilan menggelengkan kepalanya. Ia berpikir mungkin siapapun yang membuat undangan ini pasti ingin sesuatu yang unik makanya dibuat seperti itu. Ya, Dilan sedang berusaha berpikir positif sekarang ini. Memikirkan ia akan bertemu dengan kawan-kawan lamanya membuat Dilan jadi bersemangat. Ia meletakkan undangan itu di meja ruang tamu. Dilan segera menuju ke kamar untuk istirahat.   *           Paginya, Dilan buru-buru bangun untuk kembali mengerjakan tugasnya. Ia harus ke kampus jam sembilan nanti untuk menghadiri kelas yang materinya sedang ia selesaikan malam tadi. Jadwal reuni jam sembilan malam dan Dilan berharap setelah dari kampus ia masih ada waktu istirahat sampai jadwal reuni tiba. Alfa mengiriminya pesan singkat shubuh tadi mengatakan bahwa ia harus tepat waktu untuk acara  reuni nanti malam. Dilan menghela napas sambil berpikir betapa semangatnya pemuda itu untuk menghadiri reuni yang bahkan belum jelas siapa yang mengadakan.         Rekan-rekan Dilan mengatakan untuk ikut acara makan malam bersama setelah kelas selesai, sekalian merayakan ulang tahun salah satu rekan kerja sesama dosen Dilan yang kerap kali membantunya. Sayangnya, dengan berat hati Dilan harus menolak ajakan rekan-rekannya.         Sungguh, Dilan tidak bisa meninggalkan undangan reuni dari kawan-kawan lamanya.         Setelah selesai dari kelas nya, Dilan langsung menyetop taksi yang melintas di depan kampus. Sial sekali bagi Dilan, impiannya untuk tidur sejenak seusai kelas nyatanya sama sekali tidak tercapai. Setelah menghadiri kelas yang berbeda selama tiga kali, sekarang Dilan harus segera menuju sekolahnya dulu untuk acara reuni itu. Alfa bahkan sudah menghubunginya berkali-kali namun terpaksa ia tolak karena masih di tengah acara.         Dilan merogoh sakunya untuk mengambil hapenya. Deretan pesan dari Alfa membanjiri kotak masuk pesan, juga ada sekitar lima belas missed call dari orang yang sama.         Dilan menekan nomor Alfa, bunyi nada sambung tak begitu lama.         “Halo? Kamu di mana, Dilan? Cepat kesini, yang lain sudah kumpul semua lho.”         Dilan menjauhkan beberapa senti hape nya dari telinga. Sial, Dilan tidak tahu kalau Alfa bisa berteriak dengan suara memekakkan telinga begitu.         “Iya, Al tunggu, aku masih di jalan.”         “Ya, sudah. Hati-hati.”         “Oke.”         Dilan memutus sambungannya. Tinggal beberapa menit lagi ia akan sampai di lingkungan sekolah menengahnya dulu. Di ujung jalan sana SMA Dilan sudah kelihatan. Karena memang sudah malam, keadaan juga lumayan sepi.         Setelah membayar dan mengucapkan terima kasih, Dilan segera berlari masuk ke dalam lingkungan sekolahnya. Alfa mencegatnya di dekat halaman depan sembari mengomelinya soal betapa lambatnya Dilan datang. Dilan sama sekali tidak ambil pusing untuk menjawab omelan Alfa karena nyatanya sama sekali tidak ada gunanya.         “Ayo masuk, kamu lama banget, yang lain udah nungguin dari tadi.”         Dilan mengatur napasnya yang tersengal-sengal. Sambil berjalan pelan-pelan Dilan berusaha menetralkan detak jantungnya yang melompat-lompat brutal.         “Iya… iya.” Jawab Dilan terbata.         Ternyata mereka semua sudah berkumpul di depan ruang kelas mereka dulu. Sial, Dilan merasa merinding entah karena apa. Dilihatnya wajah teman-teman SMA nya satu per satu. Mereka semua tampak ceria dengan senyum dan rona wajah gembira. Seolah menemukan permata, mereka semua langsung menghujani Dilan dengan pelukan. Dilan pasrah saja dengan kelakuan teman-temannya karena jujur dalam hati Dilan juga merasa amat bahagia bertemu dengan mereka semua.         Setelah acara pelukan brutal itu Dilan kembali mengamati sekitar. Ada dua orang yang terlupakan eksistensinya sedari tadi. Dilan bahkan baru melihatnya sekarang.         Kiyan dan Kinan.         Dua anak perempuan yang baru menjadi teman sekelas mereka saat pertengahan semester di tahun ketiga. Hingga delapan tahun berlalu, tidak ada satupun dari mereka yang tahu alasan keduanya memutuskan pindah ke sekolah ini, dan kalau Dilan tidak salah ingat, kenapa Kiyan dan Kinan sama sekali tak nampak perubahan pada garis wajahnya?         Dilan menggelengkan kepalanya, dalam hati ia berpikir mungkin ini hanya karena mereka sudah lama sekali tidak bertemu.         “Jadi, siapa sebenarnya yang mengirim undangannya?” tanya Alfa memecah keheningan.         Seluruh orang yang ada di sana hanya terdiam, saling melirik satu sama lain tanpa ada satu orangpun yang mengakui mengirim undangan itu.         Dilan kembali merasakan gesekan asing di tengkuknya. Entah, mungkin karena Dilan memang penakut. Hanya saja…         “Serius tidak ada yang buat nih?” Alex angkat bicara.         Dilan menangkap gelengan kepala dari tiap orang yang ada di sana. Sial, Dilan semakin merasa aneh dengan keadaan sekarang. Dilan melirik arlojinya, pukul sepuluh malam. Suasana sepi nan hening semakin membuatnya merasa kedinginan. Dilan mengusap tengkuknya dengan gugup.         “Ka—kalian tidak sedang bercanda ‘kan? Siapa yang bikin undangannya?” tanya Dilan pelan.         Dilan berharap mereka sedang memainkan lelucon dan segera mengaku bahwa salah satu dari mereka memang membuat dan mengirimkan undangan itu. Sayangnya, ekspresi ketakutan penuh tanda tanya dari masing-masing orang membuat Dilan semakin merinding.         “Kita nggak sedang main lelucon ‘kan?” suara Dilan semakin bergetar mengatakannya. Bola mata Dilan bergulir mengamati satu per satu ekspresi mereka. semuanya terlihat serupa, ekspresi ketakutan paling mumpuni yang membuat Dilan semakin merasa lemas.         Alfa berdehem. “Aku mohon, kalian jangan lakukan candaan ini. Situasi nya sedang nggak mendukung lho. Udah, sekarang kalian bilang siapa yang bikin dan nyebar undangan itu?”         Kembali hanya gelengan saja yang mereka dapati. Dua orang anak perempuan lainnya bahkan sudah menitikkan air mata karena ketakutan.         “Su—sudahlah, mungkin itu hanya sekedar candaan orang iseng saja. Ayo pulang sebelum tengah malam.” Dilan mencoba menengahi, yang lain mengangguk setuju. Dalam hati Dilan kembali berpikir, memangnya ada orang iseng yang tahu detail soal anggota kelasnya, apalagi mengantarkan tepat ke alamat yang bahkan mereka saja yang saling kenal tidak semuanya saling tahu.         Mereka semua berjalan bersama menuju pintu depan, dengan langkah bergetar dan ketakutan yang terus menyelimuti hati mereka. Sayangnya, tidak semudah itu mereka bisa melupakan undangan misterius yang dikirim kepada mereka.         “Kita terkunci.” Dilan berujar pelan, dengan bibir dan tangan bergetar ia berbalik menatap wajah teman-temannya yang semakin diselimuti kengerian. ---    

editor-pick
Dreame-Editor's pick

bc

JANUARI

read
37.1K
bc

Scandal Para Ipar

read
693.5K
bc

Marriage Aggreement

read
80.7K
bc

My Devil Billionaire

read
94.7K
bc

Life of Mi (Completed)

read
1.0M
bc

Menantu Dewa Naga

read
176.9K
bc

Di Balik Topeng Pria Miskin

read
860.3K

Scan code to download app

download_iosApp Store
google icon
Google Play
Facebook