bc

We Were Friend

book_age0+
841
FOLLOW
4.4K
READ
scandal
powerful
brave
drama
comedy
sweet
like
intro-logo
Blurb

Satheo dan Alfi bertetangga sejak bayi. Rumah sebelahan membuat keduanya menjadi dekat, sebab balkon kamar mereka yang hanya dipisahkan pembatas seukuran pinggang membuat keduanya seringkali berkomunikasi disana.

Sayangnya, dua orang tersebut harus terus-terusan ketiban sial dalam hubungan asmara. Satheo yang tergolong dari keluarga berada seringkali dimanfaatkan cewek untuk memenuhi kebutuhan materinya. Sedang Alfi, yang sebenernya gak jelek-jelek amat – malah menurut Alfi ‘Gilaa, gue cantik banget gini doongg. Definisi cantik tak bercela tuh yaa gue’ dan membuat Satheo ingin melempar benda apapun saat Alfi mengatakan itu di depannya – juga bernasib sial, karena seringkali jadi korban php cowok yang kerap kali mendekatinya, atau sekalinya pacaran, ditinggal begitu saja tanpa alasan yang jelas. Yang paling jelas sih pacarnya selingkuh dan lebih memilih selingkuhannya.

Keduanya sampai bertanya-tanya, memang dosa apa yang pernah mereka lakukan di kehidupan sebelumnya sampai harus menerima nasib buruk seperti ini?

Sampai keduanya bosan dengan hubungan asmara yang selalu berakhir tragis, Satheo dan Alfi akhirnya memutuskan memulai permainan. Mereka harus mendekati lawan jenis yang dipilih oleh lawan main – Alfi memilihkan cewek untuk Satheo, dan sebaliknya – dalam waktu satu minggu, lalu diputuskan setelahnya, semacam ajang balas dendam untuk menuntaskan kekesalan mereka karena seringnya di permainkan.

chap-preview
Free preview
Prolog
"Arghh!! Sial!!" Remaja berpakaian seragam putih abu itu langsung melemparkan tas-nya asal keatas tempat tidurnya. Ia terlihat kesal dan murka. Karena pasalnya, tidak biasanya Alfi marah-marah sehabis pulang sekolah. Satheo yang matanya masih menatap layar playstation melirik sedikit pada Alfi. Gadis manis berambut panjang, bermata bening, serta lekuk wajahnya yang memang serasa tak ada cacatnya itu, kini sedang dilihatnya berbaring di tempat tidurnya dengan kekesalannya. "Ehh, Kunyuk! Ngapain lo udah di kamar gue aja?!" Alfi melempar novelnya yang kebetulan ada di tempat tidurnya itu pada Satheo. Satheo meringis kesakitan karena novel itu mengenai kepala Satheo. "Kurang ngajar nih si Alfi. Kepala gue sakit nih! Kenapa sih lo? Dateng-dateng udah ngomel. Ayan ya lo?" Tanya Satheo ngasal, namun pandangannya sedikitpun tak lepas dari layar playstation itu. "Gue putus sama Rian. Ahh kurang ngajar! Tuh anak cuma PHP-in gue doang." Alfi memulai curhatnya pada Satheo. Satheo hanya mengangguk paham. "Kasian banget lo! Nasib lo di PHP-in mulu. Tapi kali ini mending udah sempet jadian." Satheo tersenyum jail sambil menoleh pada Alfi. Alfi menatapnya kesal, namun jika di pikir memang betul perkataan Satheo barusan. Tapi disaat seperti ini Alfi malas sekali berpikir, pokoknya ia bertindak semaunya saja. "Sialan, lo! Udah sonolah pulang! Tagihan listrik rumah gue naek tau gara-gara lo maen ps disini mulu!" "Iyadah gue pulang! Elo dateng mah kan rusuh, gak bener jadi gue maennya." Satheo bangkit dari duduknya dan keluar dari kamar Alfi. Pintu kamarnya pun tertutup kembali, sahabatnya yang satu ini memang Bisa terbilang lancang. Tapi itu sudah kebiasaannya memang. Keluar masuk rumah Alfi, bahkan kamarnya, tanpa harus seijin empunya rumah. Pasalnya memang Satheo dan Alfi sudah akrab sejak kecil. Rumah Satheo yang memang tepat disebelah rumah Alfi yang membuatnya Bisa seakrab ini. Mereka tidak satu sekolah, namun itu tidak menghalangi keakraban mereka. Alfi menatap bayangan dirinya di depan cermin. Dari ujung kaki hingga ujung kepala ia perhatikan secara detail. Ia menyeringitkan dahinya kecil, sambil sesekali memperhatikan bayangan tubuhnya lagi. "Gue rasa guetuh gak jelek juga deh, tapi kenapa sih cowok demen banget Modusin gue?!" Keluhnya di depan cermin. Memang! Cewek seukuran Alfi ini memang benar tidak jelek sama sekali, justru ia Bisa tebilang cewek sempurna. Matanya yang berwarna bening nan indah ditatap itu, ditambah lagi dengan bibir tipisnya, serta hidung yang Bisa terbilang cukup mancung, dan rambut panjang berwarna hitam pekat berponi depan itu. Lekuk tubuhnya pun tak jauh berbeda dengan para model, tinggi langsing dan berkulit putih. Tapi mengapa nasib percintaannya tidak secantik wajahnya? Mengapa Alfi selalu menderita dalam percintaannya. Ia selalu disakiti oleh orang yang di cintainya. "Rian PEA! Lo mustinya selametan tujuh hari tujuh malem Bisa dapetin gue! Ehh malah gue di PHP-in lagi. Sialan emang tuh orang!" Kesal Alfi dengan bahasanya yang sudah ngawur.   ***   Desain artisektur minimalis menghiasi baground cafe ini. Lampu menyala terang, serta keadaannya yang Bisa terbilang rapi. Ditambah lagi alunan musik masa kini menambah kesan kemewahan di cafe minimalis ini. Namun, jarang sekali jika menemukan bangsawan memasuki cafe ini, karena cafe ini di desain memang untuk menarik perhatian para Remaja, tempat yang enak memang buat 'tongkrongan' remaja. "Fi, bayarin gue, ya?" Satheo menyantap makanannya dengan lahap, sambil sesekali menoleh pada Alfi yang berada dihadapannya. "Beuh? No way!" Saut Alfi singkat. Matanya terkadang mengecek pada layar handphonenya. Karena memang ia makan sambil bermain jejaring sosial. "Dih Alfi. Ayolah, serius gue cuma bawa goceng. Periksa dompet gue kalo kaga percaya." Satheo terus memohon pada Alfi. Alfi terkekeh sedikit, dan menatap sinis Satheo. "Gue bilang juga apa? Si Nadya tuh cuma ngeretin lo doang! Ngeyel sih lo dibilanginnya." Alfi tertawa terbahak mendengar penuturan Satheo. Matanya seolah sinis memandang Satheo, menjelaskan bahwa seseorang bernama 'Nadya' itu memang tak baik untuknya. "Kok jadi bawa-bawa Nadya, sih? Apa hubungannya, Fi?" "Ya jelas berhubungan lah. Coba gue tanya, duit lo abis gara-gara kemaren nemenin shoping si Nadya lo itu kan? Dan, pasti lo di eretin, semua dipinta sama si Nadya, dan pastinya lo nurutin aja!" Cibir Alfi dengan gaya bicaranya. "Aelah. Wajar dong, namnya juga cowo. Lo juga pasti kecowo lo begitu kan? Lagian, cinta itukan mengajarkan kita untuk berbagi?" "Tapi gue gak SEMATRE itu! Berbagi? Bangkrut lo bebagi mulu," Alfi sengaja menekan kata SEMATRE pada penuturan katanya. Satheo masih tidak memperdulikan semua celotehan sahabatnya ini. "Terserah lo dah. Asal jangan nangis bombay aja nantinya ngerengek ke gue!" "Yaudah lah, gausah dibahas. Intinya lo mau bayarin gue apa kaga? Ehh jawabannya mau apa enggak gue kaga peduli, pokoknya lo harus bayarin gue!" "Dih maksa! Minta bayarin sono sama... Nadya?" Ucapan Alfi terdengar terpotong. Matanya langsung mengikuti arah jalan dua orang insan sedang bergandengan tangan mesra. "Udah dong, Fi. Kan gue bilang gak usah bahas itu." Satheo terlihat tidak suka dengan topik pembicaraannya. Ia tidak sadar bahwa Alfi berbicara seperti itu bermaksud lain. "Ish, maksud gue. Noh si Alfi sama cowo siapa tuh?" Nadya menunjuk dua insan yang tadi dilihatnya. "Apaan sih, Fi? Orang Nadya bilang tadi dia lagi di rumah sakit nemenin nyokapnya." Satheo masih tak percaya dan masih menikmati makanannya. "Satheo rabun! Liat noh pake mata lo! Itu si Nadya! Pacar lo, PEA!" Tangan Alfi memutar kepala Satheo agar melihat kearah yang tadi dilihatnya. "Itu Nadya kan, Fi?" Tanya Satheo tak percaya. Ia melihat kini Nadya sedang duduk disalah satu meja cafe tersebut. Nadya tampak tertawa ceria bersama lelaki dihadapannya. "Dari tadi gue bilang apa, Satheo?!" Alfi terlihat keki. Satheo-pun bangkit dari duduknya. Ia langsung berjalan sangar menuju sebuah meja yang terdapat seorang cewek yang sangat dikenalnya dengan seorang lelaki lain. Kesal? Pasti! Marah? Tentu! Itulah yang dirasakan Satheo. Brakk!!! Satheo mengguncang meja makan yang ditempati Nasya bersama leleaki tadi, seluruh pandangan di café itupun ini mengarah pada mereka. Satheo tak peduli akan tatapan itum, yang penting sekarang ia marah besar pada sang kekasih yang tadi di belanya di depan Alfi. "ohh, jadi disini rumah sakitnya?" Satheo berbicara dengan nada sinis, Nadya pun tersentak kaget. Bibirnya terlihat begitu kelu untuk mengucapkan kata-kata. Ia tau jika Satheo marah itu seperti apa, maka dari itu ia terlihat ketakutan. "ehh lo siapa ya? Maen gebrak meja orang aja!" lelaki yang tadi bersam Nadya pun kini angkat bicara. Satheo menatapnya sinis. "wow, ini korban selanjutnya yang bakal di eretin elo, Nad. Barusan dia ngebela elo loh?" Satheo pun menatap dari ujung kepala hingga ujung kaki lelaki tersebut. "maksud lo apa bilang cewek gue tukang ngeretin?" "cewek lo? Dia cewek gue juga kali! Dan sekarang gue tau jelas dia kayak apa? Dia gak ada bedanya sama seorang pengemis, bahkan gue rasa dia lebih hina dari seorang penegemis!" glekk!! Ucapan Satheo benar-benar langsung ngena dihati Nadya. Serendah itukah Nadya dipikarannya kini? "stop, Sat! Lo gak bias seenaknya aja ngejudge gue kayak begitu! Gue tau gue salah, tapi gak gini juga caranya, Satheo Karisma!" Nadya yang sedari tadi diam pun mulai angkat bicara. "bodo amat, gue gak peduli!" Satheo langsung pergi meninggalkan café tersebut, Alfi yang dari tadi bengong melihat Satheo marah pun langsung mengekori Satheo yang berjalan menuju parkiran. "Lo yang nyetir." Satheo melemparkan kunci mobilnya pada Alfi. Alfi pun dengan tepat menangkapnya. Selama perjalanan, tak ada percakapan antara Alfi dan Satheo. Alfi tau jika Satheo sedang marah, ia tak mau diganggu. Jadi Alfi pun hanya focus menyetir. Alfi menoleh pada Satheo, melihat tatapan Satheo yang tampak kecewa. Matanya merah, sepertinya ia begitu kesal. Amarahnya tadi kian memuncak. Saking fokusnya dalam lamunannya, Satheo tak sadar bahwa Alfi mengajaknya kesebuah tempat yang cukup sepi. Alfi membawa Satheo ke sebuah pantai yang sudah lumayan sepi. Tepat diatas batu karang yang cukup besar, mereka duduk berirngan berdua. Satheo tampak terus memperhatikan air laut yang banyak itu di pesisir pantai. Air itu begitu tenang, damai, setidaknya perasaan Satheo sedikit nyaman dengan melihat ketenangan itu. "Makasih ya, Fi." Tanpa menengok ke Alfi, Satheo mengucapkan terimakasihnya. "What for?" Tanya Alfi datar. "For everything, for anything what do you do for me." "Gue gak mungking ngebiarin sahabat gue terpuruk cuma gara-gara cewek." Satheo menengok kearah Alfi, ia tersenyum lembut. "Gak usah dibahas lagi yah, bener kata lo. Nadya bukan cewek baik." "Makanya lo jangan durhaka sama gue! Apa yang gue bilang tuh selalu bener!" Ucap Alfi so pede. Satheo hanya terkekeh geli melihat sahabatnya berlaku seperti itu. "So iye lo!" Gatakan kecil mendarat dikepala Alfi. Alfi meringis kesakitan. "Sialan lo ahh!" Alfi memegangi kepalanya yang tadi di jitak Satheo. "Fi, taruhan yuk." Alfi langsung menatap Satheo serius saat Satheo mengajaknya taruhan. "Taruhan apa?" Tanya Alfi penasaran. "Dalam waktu satu minggu, lo harus Bisa dapetin seorang cowok. Tapi cowoknya itu gue yang nentuin loh." Jelas Satheo. Alfi terdiam sejenak, menimbang-nimbang ajakan Satheo. "Oke! Gampang lah itumah.." "Eits, jangan maen gampang dulu. Gue belom jelasin peraturan maennya ya." Satheo tersenyum penuh arti pada Alfi. Sepertinya akan ada hal aneh dalam taruhan ini. Alfi menatap Satheo tajam, berusaha mencari tau bagaimana permainannya itu. "Maksud lo?" Alfi memicingkan matanya. Tangan Satheo pun langsung mendorong wajah Alfi. "Komuk lo jangan di jelek-jelekin ahh, kocak tau!" Satheo terkekeh melihat ekspresi Alfi seperti itu. Alfi merunggut sebal Satheo berkata seperti itu. "Udah ihh Satheo! Mending lo jelasin deh aturan maennya!" Alfi mendorong pundak Satheo. "Lo pindah ke sekolah gue, karna cowok nya itu disekolah gue. Dan enggak dengan penampilan lo kaya begini. Siapa orangnya juga kalo ngeliat lo begini langsung naksir!" "Terus, gue musti gimana? Kunir dua, pake kacamata tebel, dikasih tompel di pipi gitu?" Alfi memperagakan menguncir rambutnya dengan tangannya. Satheo menggeleng. "Bukan! Sini gue Bisikin." Satheo mendekatkan wajahnya pada telinga Alfi. "Sarap! Parah itumah, Sat!" Alfi langsung terkejut ketika Satheo memBisikannya. "Bodoamat! Cemenlah, masa gitu aja gak mau!" Satheo berusaha mengucilkan Alfi, agar ia mau menerima tantangannya. "Oke, tapi lo juga harus nerima tantangan dari gue. Besok gue kasih taunya!" "Siapa takut!" *** Pagi-pagi sekali, Alfi sudah keluar dari rumahnya. Berlari terpogoh-pogoh menuju sebuah mobil yang sudah tersedia di depan gerbangnya. Mobil yang sudah tidak asing dimatanya. Alfi memasuki mobil berwarna hitam metalik itu. Dilihatnya seorang lelaki sudah terduduk di depan setir mobil tersebut. "Kepangin dulu nih rambut gue." Alfi menyodorkan dua buah ikat rambut pada Satheo. "Dih, gue mana Bisa ngepang! Ada-ada aja nih manusia." "Bodoamat, belajar lah." Alfi pun mulai mengepang dua rambutnya sendiri. Lalu setelah selesai mengepang rambut, ia mencari sesuatu dibelakang mobil Satheo. "Bagus gak?" Alfi menunjukan wajahnya pada Satheo setelah memakai kacamata yang dibawa Satheo. "Ada-ada aja lo, masa rambut di kepang dua pake kacamata begini. Cari yang laen." Satheo membuka kacamata yang dipakai Alfi. Jelas saja, karna Alfi malah memakai kacamata Satheo yang pinggirnya berwarna merah. Yang jelas itu kacamata gaya, benar-benar tidak pantas untuk penampilannya sekarang. "Pake yang ini." Satheo memberikan sebuah kacamata yang ukurannya lumayan kecil, dan cocok pula dimata Alfi. "Gue biar diapain aja udah cakep kok, Sat." Alfi melihat wajahnya di depan kaca spion mobil Satheo. "Gue belom selesai ngerubah elo, Alfi." "Aelah, gue udah kaya power ranger dirubah." Alfi masih sibuk mengatur poni rambutnya yang sengaja dimodel di depan. "Buka kacamata lo, pake ini." Satheo memasangkan sebuah soflen dimata Alfi. Namun hanya disalah satu matanya. *** Seluruh pandangan mata dari mulai parkiran sampai sekarang di koridor, semua mengarah pada Satheo dan Alfi. Mereka bertanya-tanya siapa sebenernya yang berada disebelah Satheo. Alfi dituntun Satheo untuk berjalan, karena Satheo menyuruh Alfi pura-pura buta. Mata sebelah kirinya sengaja Satheo pakaikan soflen agar terlihat rusak. Dan kini Alfi berjalan dengan tongkat, ditambah lagi dengan kepangan duanya, dan kacamatanya. Serta polesan bedak yang sengaja Satheo pakaikan berwarna kecoklatan. Membuat kulit wajah Alfi menjadi agak dekil. Karena itulah seluruh mata memandangnya. Seorang Satheo Karisma, lelaki yang Bisa terbilang populer karena ketampanannya serta orang tuanya pemilik yayasan sekolah tersebut. "Itu dia, namanya Refal." Satheo menunjuk seorang lelaki yang sedang berada diatas gedung sekolah ini. "Refal? Keliatannya itu cowok beda deh?" Alfi menatap seseorang bernama Refal tersebut. "Emang, dia itu gak pernah deket sama yang namanya manusia yang berada disekolah ini. Kerjaannya cuma diem disini terus. Cewek paling cakep disini aja kaga pernah dia sapa." Jelas Satheo. Alfi langsung terdiam. Berusaha berpikir sebentar. "Cewek paling cakep disekolah ini aja gak pernah dia sapa. Apalagi model gue begini? Gue ngaca diri gue sendiri kayak begini aja ogah lo." Alfi langsung pesimis terlebih dahulu. Jelas saja, penampilannya kini bukan hanya tampil sebagai siswi culun, tetapi juga cacat. Sedangkan Refal? Yang dingin seperti itu dan tidak pernah bergaul dengan orang lain? Bisakah Alfi mendapatkannya? "Itusih derita elo, Fi." Satheo menggaruk kepalanya sambil nyengir menunjukan sederetan giginya.

editor-pick
Dreame-Editor's pick

bc

Enemy From The Heaven (Indonesia)

read
60.7K
bc

I Love You Dad

read
282.8K
bc

Aku ingin menikahi ibuku,Annisa

read
52.9K
bc

HYPER!

read
556.8K
bc

Dependencia

read
186.4K
bc

Possesive Ghost (INDONESIA)

read
121.1K
bc

True Love Agas Milly

read
197.7K

Scan code to download app

download_iosApp Store
google icon
Google Play
Facebook