bc

Perfect Two

book_age16+
809
FOLLOW
4.2K
READ
family
drama
sweet
no-couple
like
intro-logo
Blurb

Kiara Sanjaya memiliki kisah hidup yang penuh perjuangan dan air mata. Terlebih setelah ayahnya meninggal, menyusul sang ibu yang sudah lebih dulu menghadap sang Khalik. Berjuang sendiri demi hidupnya sendiri, hingga membiayai kuliahnya sendiri. Belum lagi ibu tiri dan dua kakak tiri yang selalu memberinya masalah. Beruntung, Evans Rodriguez yang merupakan pemilik cafe tempat ia bekerja mau membantunya hingga berkali-kali. Namun ternyata, akhir dari kisah mereka tak berhenti sebatas bos dan karyawan. Evans malah meminta Kiara untuk menjadi wanitanya. Siapkah seorang Kiara menjadi nyonya Evans, di usianya yang masih sangat muda?

Gambar: Pixabay @maura24

Font: Alice, Montserrat Classic (Canva)

Desain: silvia_meigita

chap-preview
Free preview
Kiara's Routine Day
Kehidupan Kiara saat ini bukanlah sesuatu yang dia harapkan. Bukan sesuatu yang dia sukai. Setelah ibunya meninggal saat dia berumur sepuluh tahun, perlahan ayahnya berubah. Beberapa kali ayahnya ingin menikah tapi masih bisa ditolak Kiara dengan mengingatkan sang ayah, bahwa cinta ayahnya hanya untuk ibunya seorang dan dirinya. Tapi sayangnya, bujukan itu tidak berlaku untuk yang satu ini. Entah apa yang dilakukan oleh wanita dengan dua anak perempuan kembar yang usianya dua tahun lebih tua dari Kiara itu hingga ayahnya benar-benar menikahi wanita itu, di usianya yang pertengahan empat puluhan. Wanita itu memang terlihat cantik di usianya yang kira-kira hampir sama dengan ayahnya. Namun tersirat wajah tidak suka pada Kiara sejak pertemuan pertama mereka. Dua gadis yang akan menjadi kakak tirinya itu juga demikian. Bahkan tak jarang mereka mencaci Kiara. Singkat cerita, dengan bujukan ayahnya, akhirnya Kiara menyetujui jika memang ayahnya menikah lagi di usia ke tujuh belas Kiara. Penderitaannya dimulai saat sang ayah, Jack, meninggal dunia. Ayahnya mengalami kecelakaan saat akan berangkat kerja dan meninggal di tempat. Hal itu mau tak mau membuat keadaan di dalam rumah peninggalan ayahnya jadi rumit. Semua pembantu di dalam rumah akhirnya dipecat karena mereka harus berhemat sekarang. Yang bekerja mencari uang selama ini hanyalah sang ayah. Ayahnya bukan seorang yang memiliki perusahaan besar, yang bisa terus dijalankan walau ayahnya tak ada. Ayahnya hanyalah seorang karyawan yang menjadi kepercayaan sang pemilik perusahaan. Terlebih saat ini Kiara masih seorang mahasiswi yang butuh biaya kuliah. Kiara kini menjadi seorang pembantu di rumahnya sendiri. Ibu dan dua kakak tirinya berlaku semena-mena pada Kiara. Semua pekerjaan rumah dilakukan oleh Kiara. Belum lagi kalau dua gadis nakal itu berbuat ulah yang akan membuat Kiara semakin lelah dan terpojok. Padahal dia harus kuliah, mengerjakan tugas kuliah dan juga kerja part time untuk memenuhi biaya kuliahnya. Dua gadis yang memang sudah menyelesaikan program diplomanya itu tak sedikitpun memahami Kiara. Seperti cerita Cinderella saja, tapi sayangnya Kiara belum bertemu sang pangeran. Mungkin memang tidak akan bertemu. Kiara tak punya waktu untuk itu. Ia terlalu sibuk dengan urusannya tugas dan pekerjaan. "Kau hampir terlambat lagi, Kia," sapa Joanna, sahabatnya di kampus. Kiara memaksakan senyumannya. "Kau lupa, aku punya tiga bayi di rumah," gerutunya. Joanna sudah mengerti siapa yang dimaksud tiga bayi itu. Ya, siapa lagi kalau bukan ibu dan kakak tirinya. "Oh ya, aku hampir lupa itu. Dan kau harus bersyukur pak Andre sedikit terlambat," bisik Joanna saat langkah pria dingin menyebalkan itu memasuki kelas mereka. Itu artinya mereka tidak bisa membahas apa-apa lagi sekarang. "Ssstt." Alan yang berada di sisi lain Joanna meletakkan telunjuk di bibirnya, mengingatkan kedua sahabatnya. Ketiganya memusatkan pikiran pada sosok pria tampan berusia tiga puluh yang berdiri di depan kelas. Di tangannya ada pointer yang menunjuk pada slide yang ditampilkan oleh proyektor. Pria itu sudah mulai menjelaskan topik kuliahnya hari ini. "Bye, Jo. Bye, Lan. Aku harus ke cafe sekarang," pamit Kiara setelah keluar kelas. Kebetulan kelasnya berakhir sebelum jam makan siang. Kini saatnya dia bergegas ke cafe, memenuhi kerja part time-nya. "Aku akan mengantarkanmu, Kia," kata Alan. Kiara menggeleng sambil berjalan menjauh. "Tidak usah, aku bisa sendiri. Sudah biasa, Lan. Bye," teriak Kiara sambil memercepat langkahnya. Ia harus menaiki angkot dari depan kampus untuk mencapai cafe. "Dia memang selalu seperti itu. Tidak ingin terlihat lemah dan selalu mandiri," celutuk Joanna mendekati Alan yang mematung melihat Kiara menaiki angkot di depan sana. Ingin sekali dia membantu Kiara, tapi gadis itu selalu saja menolak keinginnya dengan halus. Benar kata Joanna, dia memang tidak ingin terlihat menyedihkan. Tidak ingin dikasihani. Meski bebannya seberat itu, dia tidak pernah mengeluhkannya pada kedua sahabatnya ini. Kiara tiba pada saat yang tepat. Kondisi cafe tempatnya bekerja sudah dipenuhi pelanggan yang akan makan siang. Dengan segera mengganti pakaiannya dengan seragam, dan bersiap menerima pesanan apa saja yang disebutkan pelanggan. Pemilik cafe sendiri senang dengan kinerja Kiara. Meski gadis itu terlihat sering kelelahan, tapi dia tidak pernah mengeluh. Menikmati pekerjaannya ternyata menjadi kunci dirinya untuk tetap bertahan. Evans, pemilik cafe itu sudah memperhatikannya sejak Kiara memohon untuk bekerja di sana. Penampilan awal Kiara membuat pria tampan nan hangat itu tidak percaya. Dalam penilaian pertamanya, gadis itu seorang gadis manja yang bahkan mengurus dirinya sendiri saja mungkin tidak mampu. Tapi nyatanya, dugaannya salah. Berbanding terbalik dengan apa yang dilihatnya sekilas pada diri Kiara. Melewati jam makan siang, kondisi cafe mulai sepi. Hanya sesekali ada pelanggan yang datang. Memang puncak keramaian di cafe itu adalah di sekitar jam makan saja. Baik pagi, siang, maupun malam. Kiara yang sudah mempunyai kesepakatan dengan pemilik cafe, membuka bukunya di salah satu meja di pojok ruangan. Menyelesaikan tugas kuliahnya karena berniat di tempat ini hingga malam nanti. "Lagi banyak tugas ya?" sapa seseorang yang tidak lain adalah Evans, pemilik cafe. Dia mengambil duduk di hadapan Kiara. Pria ini memang lebih sering menghabiskan waktu di cafe, memperhatikan jalannya bisnis kecil-kecilan miliknya. Kiara menoleh dengan cepat, kemudian menganggukkan kepala. "Iya, kak. Mumpung sepi, ngerjain dulu. Nanti malam dilanjut lagi kalau nggak kelar," jawab Kiara. Evans sendirilah yang meminta Kiara memanggilnya dengan sebutan itu dan tidak perlu menggunakan bahasa formal. Tidak ingin menciptakan suasana sekaku itu di dalam cafe. Bukan hanya dengan Kiara saja, tapi dengan semua karyawannya. Tidak ada pembedaan sama sekali. Dia benar-benar pria yang baik hati dan sangat hangat. Tidak lantas gila hormat karena dia adalah pemilik cafe. "Ya sudah, selesaikan saja dulu. Mumpung sepi juga, masih ada yang lain yang bisa menangani," balas Evans dengan tenang. Sama sekali tidak ada kemarahan akan hal ini. Dirinya juga pernah berada di posisi seperti Kiara. Bukan hal yang menyenangkan. Dia bahkan mencoba memahami apa yang sedang diselesaikan Kiara. Kebetulan dia juga dulu mengambil jurusan management seperti yang sedang dijalani Kiara saat ini. Kiara melarutkan diri dengan tugas-tugas kuliahnya. Tidak ingin terusik dengan kehadiran Evans di hadapannya, sekalipun memang sulit dilakukan. Ia merasa sedikit canggung saat Evans terus-terusan melihat apa yang dia lakukan. Satu sifat baik Evans lainnya adalah memperhatikan setiap karyawannya. Dia bisa mengetahui jika ada salah satu karyawan yang sedang mengalami masalah. Dia sangat tanggap. Dan perhatiannya akan karyawannya sungguh luar biasa. Tidak ada pemaksaan atau penekanan dan sejenisnya pada karyawannya. Itulah yang membuat Kiara senang dan aman ada di sana selama lebih dari dua tahun ini. "Kak, aku mengantarkan makan malam dulu ke rumah. Nanti balik lagi ke sini," pamit Kiara saat ingin mengantarkan makan malam untuk tiga orang di rumahnya yang hanya menghabiskan waktunya dengan bersantai di rumah. "Istirahat saja untuk malam ini, Kia. Kau terlihat sangat lelah," kata Evans. Memang, wajah Kiara sangat jelas kelelahan. Siapapun yang melihatnya akan mengetahuinya. "Tapi kan pekerjaanku belum selesai, kak," sanggah Kiara. "Tidak apa. Kau pulang saja daripada besok kau sama sekali tidak bisa bekerja atau kuliah. Tenang saja, kakak tidak akan memotong gajimu. Pulanglah," katanya dengan lembut. "Baiklah. Terima kasih, kak," katanya tulus dan diangguki oleh Evans dengan senyuman yang tak ketinggalan. Sifat khas pria tampan satu ini. Kiara berlari ke bagian belakang cafe untuk mengganti seragamnya. Anak itu, sudah kelelahan masih saja punya tenaga untuk berlari, batin Evans. Entah kenapa, dia merasa senang menyaksikan Kiara dengan sifat khasnya itu. Kiara menunggu bus yang akan membawanya ke rumahnya. Dia adalah pelanggan setia angkutan umum seperti angkot dan bus. Meski harus bersesak-sesak, tapi dia bisa menghemat pengeluarannya. Tidak suka diantarkan oleh teman atau siapa saja. Hanya supir angkot dan bus sajalah yang boleh mengantarkannya. "Aku pulang," sapa Kiara ramah setibanya di rumah. Jam sudah menunjukkan jam tujuh malam. Waktu dimana biasa pengisi rumahnya ini akan mencercanya dengan berbagai jenis omelan dan cacian saat mereka meminta makan malam. Seperti bayi saja! Tapi Kiara tidak mempermasalahkan hal itu lagi. Sudah terlalu biasa baginya. Hal itu tidak berefek apa-apa lagi. Awalnya memang sangat terasa. Tapi kini sudah seperti angin lalu saja. "Kau kemana saja? Bagaimana dengan makan malam?" tanya Salsa dengan nada marah. Hanya menanyakan makan malam saja wanita itu harus berteriak. Dia kan butuh tenaga lebih untuk melakukannya. Kalau dia sudah lapar, kenapa tidak memelankan suaranya. Buang-buang tenaga saja! Tapi itu sudah jadi tabiatnya. "Akan aku siapkan segera," kata Bila. Setelah menyimpan tasnya ke kamarnya yang berada di bagian belakang rumah -kamar bekas pembantunya dulu- dia membuka bungkusan yang dia bawa dari cafe. Makan malam. Tiga orang yang duduk di meja makan menikmatinya dengan sesekali terdengar celotehan. Kiara sendiri makan di dapur, ditemani guguk kesayangannya, Bonie. Anjing jenis chow chow berbulu tebal warna pirang dengan kaki pendek itu adalah hadiah dari sang ayah di ulang tahun terakhirnya bersama sang ayah. Bonie sudah menjadi seperti tempat curhat Kiara saja. Kisah hidup yang semakin menyamai kisah Ella si Cinderella. Lalu dimana pangerannya? Kenapa belum memunculkan batang hidungnya? Rasanya Cinderella tidak se-lama ini bertemu pangerannya! Ponsel butut berwarna hitam itu berkedip, pertanda ada pesan masuk. Kiara meraihnya, dan ternyata dari Alan. "Bagaimana keadaanmu, Kia? Kau baik-baik saja? Tadi aku melihatmu sekilas, kau terlihat kelelahan." Sangat perhatian! Mungkinkah pria yang menjadi sahabatnya itu adalah sosok pangerannya? Pria yang sudah menemaninya hampir dua tahun di bangku kuliahnya? "Aku baik-baik saja, Lan. Tidak perlu mengkhawatirkanku. Apa kau masih belum tau aku juga?" seloroh Kiara. Kebetulan tugas kuliahnya sudah selesai, Kiara bisa sedikit bersantai malam ini. Tapi sayangnya, seperti tau kondisi Kiara yang bersantai, dua kakak kembar itu tiba-tiba saja berteriak memanggil Kiara tepat setelah ia mengirimkan pesan balasannya untuk Alan. Kiara berlari ke depan, ke ruang keluarga dimana dua saudara kembar itu kini berdiri. Di tangan keduanya ada gaun dengan model yang sama, namun beda warna. Entah apa masalah dua gadis ini sekarang. "Ini gaunnya kenapa belum dicuci?" teriak keduanya bersamaan. Benar-benar kembaran yang kompak. Mungkin mereka sejiwa, sejiwa untuk menyiksa Kiara. "Kalau kotor kan harusnya ditaruh di keranjang cuci," kata Kiara dengan nada datar. Ia cukup jengah dengan sifat dua gadis itu yang sering sekali seperti ini. "Oh, kau melawan kami? Kau ingin kami adukan ke mama?" tanya Luna menaikkan suaranya satu oktaf. Kiara menyerah. Dia tidak akan pernah menang melawan kembaran galak dan manja ini. "Baiklah, baiklah. Aku akan mencucinya malam ini." Kiara mengambil gaun dari tangan keduanya. Malam-malam begini, dia harus bergumul di belakang lagi -di tempat cuci. Tentu saja kegiatan mencucinya tidak dengan mesin cuci. Mesin itu sudah dijual tahun lalu demi memenuhi kebutuhan tiga orang itu dan alasan ingin menghemat biaya listrik. Alhasil, Kiara harus menghabiskan waktu untuk mengucek di kamar mandi. Bersiap merasakan panas di kedua tangannya disertai pegal di lengan dan punggungnya. "Itu harus sudah rapi besok. Kami akan ke pesta teman," teriak Lala saat Kiara sudah hampir memasuki tempat cuci. Usai menyelesaikan kegiatan mencuci malam-malamnya, Kiara kembali membaringkan badannya di ranjang. Diraihnya ponsel bututnya. Ada satu pesan lagi dari Alan. "Baiklah. Istirahat yang cukup jika kau memang kelelahan. Besok kau masih harus lebih bersemangat lagi." Kiara tersenyum. Dia memang sudah merencanakannya kalau saja duo cerewet itu tidak mengganggunya tadi. Benarkah sosok Alan yang akan menyelamatkannya dari kondisi menyedihkan seperti ini? Lalu kapan hal itu terjadi? Huh, Kiara saja masih belum cukup umur untuk dilamar dan diajak menikah. Jadi jauhkan saja pikiran akan datangnya pangeran yang akan melamarnya saat ini, kalaupun hal itu memang benar akan terjadi. Yang pasti tidak dalam tiga tahun ini, sebelum dia menyelesaikan kuliahnya. Pendidikannya sangat berarti baginya untuk menaikkan taraf hidupnya kelak. Itu berarti dia harus bertahan tiga tahun lagi. *** Kiara terbangun saat mendengar alarm dari ponselnya. Ternyata khayalannya tentang pangerannya mampu membuatnya terlelap semalam. Sekarang harus kembali ke dirinya yang sekarang. Menikmati kenyataan yang ada untuknya. Bangun pagi-pagi sekali untuk menyelesaikan pekerjaan rutinnya setiap pagi. "Aku berangkat," pamit Kiara saat semuanya sudah selesai. Dirinya sendiri sudah dalam keadaan rapi dalam balutan kemeja dan jeans lusuh yang sudah keseringan dipakai. Tidak ada pilihan lain lagi. Dia harus tetap mengenakannya, setidaknya masih rapi dan bersih. Di kakinya juga terpasang sneakers yang entah sejak tahun kapan dimilikinya. Sudah tidak terlihat lagi warna aslinya. Kiara berlari menuju ruangan Andre untuk mengumpulkan tugas yang diberikan kemarin ke loker. Tugas itu harus dikumpulkan sebelum jam delapan pagi ini. Jika tidak, sudah tau sendiri apa akibat yang akan diterima dari dosen tampan tapi galak itu. Kiara menarik nafas lega, dia beberapa langkah lebih cepat karena dari sisi lain sosok dingin itu sudah muncul dengan langkah tegapnya. Itu berarti dia akan mengambil tugas yang sudah terkumpul sekarang juga. Dan tugas yang dikumpulkan setelahnya sudah pasti tidak akan dianggap ada, dan siap-siap saja menerima hadiah istimewanya. "Anda baru tiba, nona?" tanya suara berat itu saat Kiara berbalik ingin meninggalkan koridor yang terkesan menyeramkan karena kehadiran Andre. Kiara membalikkan tubuhnya menghadap Andre. "Iya, pak. Tapi saya tidak terlambat kan?" cicit Kiara gugup. "Anda beruntung kali ini, lebih cepat sedetik dari saya. Lain kali, pastikan jam anda menunjukkan waktu yang benar." Kiara menundukkan kepala pada pria itu, kemudian berbalik lagi meninggalkannya. Kiara mengatur nafasnya yang masih ngos-ngosan saat tiba di kelas. Setelah mengumpulkan tugas itu, dia harus mengejar waktu lagi agar tidak terlambat memasuki kelasnya pagi ini, yang juga diisi oleh dosen sama tegasnya dengan Andre -pak Ronald. Sepertinya hampir semua dosennya memiliki sifat yang seperti itu. Kecuali pak Arman. Dosen dan guru besar itu sangat santai dengan kelasnya. Menurutnya, memasang wajah menyeramkan di depan mahasiswa itu bukannya mendatangkan hal baik, malah membuat mahasiswanya menyumpahinya. Pria berusia diujung lima puluhan itu juga sangat humoris. Membuat banyak mahasiswa mengaguminya, menjadikannya sosok dosen kesayangan. "Tugas dari pak Andre kemarin sudah selesai? Kau masih punya waktu satu menit buat ngumpulin ke loker beliau sekarang kalau tidak ingin dicincang tuan es itu," kata Joanna saat melihat Kiara tiba di kelas, detik-detik terakhir sebelum kelas dimulai. "Udah, Jo. Barusan aku dari sana ngumpulin. Untung belum telat karena pak Andre udah datang ngambil pas aku ngumpulin tadi," jelas Kiara dengan terpotong-potong. Nafasnya masih belum teratur. "Nih, minum dulu," kata Alan dan menyerahkan botol minumnya pada Kiara. Kiara meraihnya dan meneguknya beberapa kali. Menghabiskan sepertiga dari botol berukuran satu liter itu. Kedatangan pak Ronald membuat kelas hening seketika. Kiara juga menahan nafasnya yang masih terasa belum normal. Siapapun yang mengeluarkan suara di kelas ini saat tidak diperlukan, akan dikeluarkan dan siap-siap saja menerima nilai tidak bagus di mata kuliahnya. Ancaman yang tidak disukai setiap mahasiswa. Hari ini Kiara tidak masuk kerja di cafe karena kuliahnya sampai jam lima sore. Penuh sekali. Dia langsung pulang ke rumah. Pekerjaannya di rumah sudah mananti. Apalagi karena dia tidak bekerja di cafe, maka dia harus memasak makan malam sendiri. Kemudian memandikan anjing kesayangannya. Ah, dia juga harus merapikan gaun yang dicucinya semalam. Seperti permintaan dua gadis kembar itu, dia harus melakukannya sekarang sebelum mendapat omelan berlanjut dari ibu gadis itu. Entah kenapa, sulit bagi Kiara memanggilnya ibu. Sikap yang ditunjukkan wanita paruh baya itu bukan sikap seorang ibu. Itu adalah alasan utamanya, selain tidak ingin menggantikan posisi ibu kandungnya di dalam hatinya. Tapi sialnya, gaun tebal itu belum kering karena memang hari ini tidak begitu cerah. Musim penghujan sepertinya belum benar-benar berakhir. Kedua gadis itu mengetahui kondisi gaunnya yang belum siap untuk digunakan. Teriakan mereka menggema memenuhi seluruh rumah. Sampai sosok yang paling dihindari Kiara memunculkan dirinya. Salsa. "Apa yang kau lakukan? kenapa mengurus gaun saja tidak becus? Lalu apa yang harus dikenakan Luna dan Lala malam ini? Atau kau berniat ingin menggagalkan mereka menghadiri pesta itu karena kau cemburu tidak bisa menghadirinya? Jangan bermimpi ketinggian Kiara! Lakukan saja pekerjaan rumahmu dengan benar. Kau tidak akan pernah cocok untuk berada di pesta seperti itu. Dan lagi, hentikan saja kuliah sialanmu itu. Kau hanya menghabiskan waktumu sia-sia. Toh juga tidak akan berguna!" Amarah dan makian panjang itu keluar begitu saja dari mulut Salsa. Tidak mempertimbangkan perasaan Kiara sama sekali. Memang seperti itu sejak dulu. "Dan ini apa?" Salsa mengangkat tempe orek yang tersaji di meja makan. "Kau hanya menyediakan ini untuk makan malam? Sudah kubilang kan, hentikan saja kuliah sialanmu itu. Kau hanya membuang-buang uang saja melakukannya. Cukup bekerja dengan baik saja. Dasar gadis sialan!" maki Salsa lagi. Kiara mengangkat wajahnya, mengumpulkan keberanian menentang wanita itu. Sepertinya kesabarannya sudah habis oleh ketiganya. "Kalau tidak ingin makan makanan sederhana, seharusnya anda bekerja juga, nyonya. Bukan hanya memerintah saja layaknya tuan putri. Anda bukan tuan putri seperti apa yang ada di dalam bayangan anda!" Salsa menatap heran. "Ough, kau berani melawanku? Kau ingin mengakhiri hidupmu sekarang?" ancamnya dengan mata melotot lebar. "Lakukan saja! Itu jauh lebih baik daripada aku harus menjalankan hidup seperti sekarang ini," balas Kiara. Dalam hatinya, kalaupun wanita ini membunuhnya sekarang, dia akan ikhlas. Mungkin memang akan jauh lebih baik seperti itu. Emosi wanita ternyata semakin memuncak melihat keberanian Kiara yang selama ini ia tau hanya menunduk patuh saja pada semua perintahnya. Tangannya terangkat. "Keluar dari rumahku sekarang! KELUAR!" teriak Salsa dan menunjuk pintu belakang. Kedua putri kembarnya juga hanya melongo melihat ibunya. Tidak sadarkah wanita itu kalau rumah ini adalah milik Kiara? Kiara berlari ke kamarnya, mengambil barang seperlunya. Yang paling dia pentingkan adalah buku-buku kuliahnya. Menarik tali Bonie, keluar dari pintu belakang rumah. Cuaca juga seperti sangat mendukung suasana hatinya. Hujan turun deras disertai petir yang menyambar. Dramatis sekali. Kiara berhenti di halte bis, memikirkan kemana dia akan mengungsi sekarang. Haruskah meminta bantuan pada Joanna atau Alan? Tapi dia tidak ingin mendengar nada kasihan dari kedua sahabatnya itu. Lalu kemana tujuannya sekarang? Tidak mungkin hanya duduk diam di halte ini. Itu sama sekali tidak membantu, malah memperburuk keadaan. Bisa-bisa dia dikira orang gila dan diamankan pihak berwajib. Sebuah mobil nissan juke putih berhenti di depan halte dimana Kiara duduk ditemani Bonie yang sudah mulai kedinginan. Sampai sekarang, Kiara masih menimbang-nimbang pilihan mana yang paling tepat untuknya. Tapi, sepertinya dia mengenali mobil ini. "Kia!" Seorang pria tampan dari dalam mobil meneriakkan nama Kiara dari kaca jendela yang dibuka setengah. Kiara mengamati siapa yang ada di bali sana. Ternyata benar, dia adalah Evans, bos Kiara di cafe. Kemudian pria itu keluar dengan bertudungkan jaket kulit hitamnya. "Apa yang kakak lakukan di sini?" tanya Kiara dengan tampang bodohnya. Evans mendecih. "Kau bodoh sekali. Bukannya kakak yang seharusnya menanyakan hal itu? Kau ngapain duduk di halte sendirian malam-malam begini? Pakai bawa-bawa tas sama anjing segala lagi. Kau mau kabur?" selidik Evans. "Bukan kabur kak. Tuan putri di rumah sudah tidak menginginkan tenaga kerja yang lemah ini lagi," balasnya, yang entah kenapa jadi melow. "Memangnya apa yang kau lakukan? Seingat kakak kau bukan seorang yang senang melanggar aturan." "Boleh nggak aku tinggal di cafe, kak? Setidaknya sampai aku menemukan tempat tinggal baru. Kosan mungkin atau kontrakan." Bukannya menjawab pertanyaan Evans, dia malah balik mengajukan pertanyaan juga. "Kau benar-benar ingin pergi? Tidak ingin mencoba bersabar atau memberikan kesempatan kedua bagi keluargamu?" bujuk Evans. Mungkin Kiara memang sedang kesal dengan keluarganya, tapi bukankah setiap orang berhak mendapatkan kesempatan kedua? Apalagi itu adalah keluarga sendiri, sekalipun tanpa hubungan darah. Evans tau kalau Kiara tinggal dengan ibu dan dua kakak tirinya, tapi tidak tau keadaan yang sebenarnya. Kiara hanya menceritakan yang seperlunya saja saat dia meminta bekerja di cafe milik Evans. Dia membutuhkan alasan untuk menerima Kiara bekerja dengannya. "Kalau memang tidak boleh, tidak apa, kak. Mungkin aku akan meminta bantuan Joanna atau Alan saja." Kiara mengeluarkan ponsel dari sakunya, ternyata basah kena hujan dan tidak bisa dinyalakan lagi. Benar-benar sial. Kenapa tidak ada yang mendukungnya sama sekali? Haruskah kembali ke sarang singa itu lagi? "Boleh saja. Tapi bagaimana jika ibu dan kakakmu mencarimu? Mungkin mereka hanya sedang kesal saja tadi." "Aku ingin sendiri saja, kak. Ah, itu bisnya sudah datang. Aku berangkat duluan ya, kak," pamit Kiara setelah bis yang ditunggunya datang. Sepertinya hujan lebat tadi membuat operator bis menghentikannya sementara. Dia segera bangkit dari duduknya dan membenarkan letak tali tas di punggungnya. Evans menahan lengan Kiara. "Kita naik mobil kakak saja. Kebetulan kakak juga akan ke cafe. Tadi hanya ada urusan sebentar dari sekitar sini. Kau akan kedinginan jika berada lebih lama di luar. Bajumu saja sudah basah basah semua." "Tidak apa kak, aku baik-baik saja," tolak Kiara. Tidak ingin menyusahkan pria ini. Sudah cukup dengan mengizinkannya tinggal di cafe sementara waktu. Itu sudah sangat membantunya. "Ayo, Bonie," ajak Kiara pada anjing pintarnya untuk menaiki bis, tapi cekalan tangan yang menahannya lebih cepat dari langkahnya.

editor-pick
Dreame-Editor's pick

bc

Penjara Hati Sang CEO

read
7.1M
bc

Over Protective Doctor

read
473.1K
bc

See Me!!

read
87.8K
bc

JODOH SPESIAL CEO JUDES

read
287.6K
bc

PATAH

read
514.0K
bc

Hurt

read
1.1M
bc

My Ex Boss (Indonesia)

read
3.9M

Scan code to download app

download_iosApp Store
google icon
Google Play
Facebook