bc

Si Ganteng Maut

book_age16+
1.7K
FOLLOW
7.1K
READ
others
drama
comedy
humorous
intersex
like
intro-logo
Blurb

Beberapa lelaki ada yang dengan percaya diri menyebut dirinya GANTENG. Tentu mereka punya alasan untuk kepercayaan diri itu. Hampir seluruh dunia mengakuinya. Apalagi sebutan ‘Si Ganteng Maut’ sudah melekat padanya selama bertahun-tahun. Tama Wijaya, cowok yang berteman baik dengan Hasta dan Anin. Ya, sejak dia masuk bangku sekolah umum dan bertemu banyak orang. Mereka mengidolakannya dengan sepenuh hati dan jiwa. Sayangnya, dia tak cukup bahagia dengan banyaknya perempuan di muka bumi ini. Tak ada wanita yang sesuai dengan kriterianya. Ia bertekad untuk mencari jati dirinya. Apakah ia seorang homo? Kenapa sulit sekali punya perasaan pada lawan jenis? Ia semakin heran saat dalam waktu-waktu yang berlalu itu, dua teman dekatnya sudah mengoleksi beberapa mantan yang siap dimasukkan ke buku kenangan.

Bagaimana jati dirinya yang sebenarnya?

chap-preview
Free preview
1 - Siapa
Kantin sekolah akan ramai saat jam istirahat tiba. Tempat itu bisa disebut surga bagi perut yang meronta-ronta ingin diberi asupan. Walau sederhana, tujuan utama kantin adalah perpaduan bahan dasar yang lezat disatukan dengan taburan micin yang jumlahnya tak terukur. Semakin banyak micin semakin enak rasanya. Tak banyak siswa yang peduli dengan makanan sehat. Boro-boro memikirkan itu, mereka cukup sibuk dengan padatnya kegiatan sekolah. Di era industri 4.0 ini, semakin unik kreativitas pemerintah dalam menuntaskan masa depan generasi muda. Pergi sekolah, ekstrakulikuler, les di luar sekolah, hingga kegiatan lainnya yang bikin mumet.  Suara heboh dari mayoritas perempuan terdengar begitu keras. Rupanya ada pertunjukan menarik di sana. Seorang lelaki tampan sedang mendapat bunga dan surat cinta. Sungguh suasana yang lumrah. Iri dan dengki terlihat jelas dari para suporter. Tentu mereka merasa kurang layak jika disandingkan dengan cowok itu. Itulah alasan mereka tak berani mengatakannya cintanya. Mereka hanya bisa pasrah menjadi pengagum rahasia. Sadar diri memang penting untuk kebaikan harga diri. “Maaf ya, kamu terlalu baik buat aku.” Alasan klise bukan? Tapi harus disadari bahwa ini adalah alasan terbaik. Bayangkan saja, jika cewek itu ditolak dengan kalimat menohok yang menyakitkan. Itu jauh lebih jahat. Jadi jangan terlalu merendahkan alasan klise ini. Klise itu perlu biar gak sakit-sakit amat. “Tapi aku akan ambil bunganya. Makasih ya,,,,,”ucap cowok itu sambil berpikir tentang sesuatu yang dapat terbaca oleh si cewek. “Audrin.” “Ya, makasih ya Audrin!”balasnya dengan hadiah terakhir yang dapat ia berikan pada adik kelasnya itu, sebuah senyuman manis yang membuat teman-teman Audrin histeris seperti kesurupan massal. Mereka seperti perempuan yang haus cinta dan kasih sayang. Sungguh malang. Cowok itu beranjak dan hendak mencari orang yang ia kenal. Sosok yang ia cari tak kunjung ketemu dan ia langsung beranjak keluar dari kantin. Saat berjalan menuju kelasnya, ia bertemu orang yang dari tadi ia cari. Dua temannya yang tak punya perasaan itu tega meninggalkannya sendirian.  “Kalian kenapa ninggalin gue?”tanyanya kesal. “Oh, udah kelar pertunjukan lo itu? Jadi gimana? Official gak?”tanya Anin pura-pura tertarik. Saking seringnya terjadi, Sallo tak lagi peduli. Terlalu banyak pernyataan cinta tapi tak pernah ada yang diterima.  Anindya Glarissa, cewek sederhana dengan rambut panjang yang tak pernah ia sukai. Rambut keriting yang menyusahkan itu membuatnya selalu siaga dengan mengikatnya tak peduli apapun yang terjadi. Ia tak bisa seperti perempuan lain yang dengan mudahnya membiarkan rambut mereka terurai. Anin tak pintar tapi rajin. Ia tak tahu fashion. Ya, Anin sederhana bukan tanpa alasan. Ia hanya tidak tahu bagaimana hidup hedon. Ia hanya sedang tidak tertarik. “Gue males, An. Gue tuh gak suka cewek kayak gitu.” “Lo sukanya yang gimana?”tanya Hasta dengan senyum liciknya. Hasta Gading Raja, cowok pintar yang ambisius dengan segala sesuatu yang berbau akademik. Ia percaya bahwa kepintaran itu di atas segalanya. Prestasinya bertumpuk sejak dulu tapi ia tak pernah bisa puas dengan itu semua. Manusia memang lahir dengan kepuasan tak terbatas.  “Gue suka yang……..”ucap Tama sambil berpikir keras. Ia tak tahu harus bagaimana menjawab pertanyaan Hasta. Honestly, dia tak tahu cewek seperti apa yang ia inginkan. Tama Wijaya, cowok yang diberi gelar Si Ganteng Maut oleh satu sekolah. Dia tampan, tinggi, berbadan atletis. Oleh karena kesempurnaan adalah milik Tuhan semata, ia juga jauh dari kata sempurna. Sebutan Si Ganteng Maut tak berlaku di lingkungan teman sekelasnya. Awalnya sih bisa dikatakan ganteng, tapi lama-kelamaan Tama tak lagi ganteng di mata cewek-cewek sekelasnya. Semakin dikenal lebih dalam, ia hanyalah lelaki pecicilan yang semakin hari semakin jelek. Walaupun begitu, selain kelas 11 IPA 1, cewek diluaran sana menganggap bahwa Tama adalah defenisi real lelaki extraordinary. “Udah fiks, dia homo Has.”ledek Anin sambil tertawa keras. “Enak aja, gue suka cewek An.” “Eh, gue mau ke perpustakaan. Mau ikut gak?”tanya Hasta setelah melirik jam ditangannya. Masih ada waktu untuknya melihat beberapa buku sebelum kelas dimulai. “Gue nggak. Gue mau ke kelas aja.”seru Anin tak peduli. Baginya membaca buku itu melelahkan dan membosankan.  “Gue ikut Anin.”balas Tama yakin. “Ya udah. Gue duluan.” Hasta pergi sendirian ke perpustakaan. Tempat itu seakan tak menarik bagi siswa di sekolah ini. Hantu-hantu pasti doyan nangkring disana saking sepinya. Hasta langsung mencari buku-buku SAINS yang menarik baginya. Ia langsung di sergap beberapa adik kelas perempuan. “Hai kak,” “Ah, iya, kenapa ya?” “Ini kak, minta tolong diberikan sama Kak Tama ya.”ucap mereka sambil memberikan bungkusan coklat dan cemilan lainnya. Kedamaian Hasta sangat terusik tapi tak bisa ia ungkapkan. Alangkah baiknya tak membuat impresi yang buruk di depan kumpulan cewek itu. Ia hanya tersenyum dan mengangguk. Saat cewek-cewek itu pergi, ia tak lagi bisa konsentrasi dengan tujuannya. Mood nya langsung hilang. Ia segera pergi dan kembali ke kelas.  “Woy, ini buat lo!”ucapnya kesal sambil meletakkan kumpulan cemilan itu di meja Tama. Tama langsung memasang wajah masam. Ia sendiri kesal dengan kelakuan perempuan di dunia ini. Seakan tak ada yang normal. Ya, kecuali teman sekelasnya yang selalu menghinanya dengan sebutan Si Ganteng Maut. Bagi Tama, itu adalah penghinaan yang sangat hina.  “Harusnya lo tolak aja Has.” “Gue juga maunya gitu. Tapi lo tahu kan kalau citra gue di mata sekolah itu baik adanya.”  Branding tak hanya berlaku bagi produk. Manusia juga perlu menciptakan branding yang baik di mata orang lain. Melihat banyaknya makanan di meja Tama, teman-teman sekelasnya langsung datang hendak meminta sesuap nasi. Sudah jadi kebiasaan bahwa Tama diberikan banyak makanan oleh siswi dari kelas lain. “Wah, dapat gratisan lagi nih.” “Mau dong!” “Gak bakal abis lah ya kalau dimakan sendirian.” Tama dengan sigap mengambil choki-choki yang tampak nyata di mata. Choki-choki itu sengaja ia sisihkan untuk Anin. Temannya itu tidak suka coklat tapi choki-choki itu pengecualian. “Oke, lo ambil deh itu semua.” Semua orang langsung menyerbu seperti manusia yang tidak makan berbulan-bulan. Rejeki teman adalah rejeki mereka juga. Rasanya menyenangkan juga sekelas dengan Si Ganteng Maut. Namun, ia tak tahu bahwa di kelas itu ada saja yang tak menyukainya. Sosok yang sejak dulu tak pernah mengobrol dengannya tapi dia selalu memperhatikan tingkah laku Tama. “Tidur lagi tuh orang.”komentar Tama saat melirik ke belakang dan mendapati Anin sedang tidur dengan kepala tertungkup ke atas meja. “Siapa?” “Anin.” “Lo yakin gak suka Anin?” “Apa sih, nanya itu lagi.” “Lagian, lo dengan sadar bilang kalau gak homo. Dan sekarang, cewek yang dekat sama lo cuma Anin kan?” “Lo sendiri?” “Kenapa jadi nanya gue? Gue kan punya pacar.” Entahlah, rasanya Hasta punya pacar khayalan. Sudah sejak lama ia bilang kalau punya pacar. Bilangnya sih, LDR dan jarang ketemu. Tapi siapa yang tahu kebenarannya. Hasta pernah menunjukkan foto untuk menyakinkan Tama dan Anin. Lebih dari itu, Tama dan Anin bahkan berbicara via telepon. Beberapa orang mengatakan bahwa Hasta hanya berdusta. Tapi siapa yang tahu kenyataanya? “Punya pacar bukan berarti gak bisa suka sama orang lain.” “Jangan mengalihkan deh, lo jawab pertanyaan gue tadi.” “Engga Has. Sampai kapanpun engga!” Hasta kembali berkutat dengan soal matematika di buku pelajarannya. Ia melihat Tama beranjak dan menuju ke tempat Anin yang tertidur pulas. Tama membangunkannya dengan kegaduhan. Cewek itu sampai kaget dan bangun dengan mata memerah. Ia menatap Tama kesal. Rasanya ingin membunuh tapi tak bisa. Andai Anin seorang psikopat garis keras, sudah direncanakan bahwa nanti malam ia akan mendatangi rumah Tama dan menggorok lehernya dengan pisau belati.  “k*****t lo anjir!” “Jangan marah-marah, nanti ditangkap polisi.” “Pergi lo bangke! Cowok pea.” “Bangke bangke gini, gue cukup ganteng.” “Agh, andai bisa pindah kelas.” “Masalahnya gak bisa! Ha ha ha” Pertunjukan itu berakhir karena guru sudah datang. Anin yang emosinya meluap-luap mencoba meredamnya dengan menarik nafas dalam-dalam. Itulah alasan tak ada cewek sekelas yang jatuh hati dengan Tama. Dia pecicilan dan gak banget. Suka membuat masalah dan ya, merasa dirinya tampan. Idih, rata-rata cewek sekelas jijik dengannya. Ya, begitulah pernyataan dari mereka. Namun bisa saja ada yang tetap menyukainya meskipun tingkahnya konyol. Hati orang siapa yang tahu. Hasta yang melihat sikap Tama itu mencoba menimbang-nimbang dalam hatinya. Bagaimana tidak muncul kecurigaan? Tama selalu mencari masalah dengan Anin. Tak hanya itu, dulu pernah ada kejadian dimana Anin dilabrak kakak kelas karena masalah sepele. Dan dengan gagahnya, Tama ikut nimbrung diantara mereka. Padahal Anin punya cukup pasukan untuk membantai balik kakak  kelas itu. Walaupun Anin banyak menghabiskan waktu bersama Tama dan Hasta, ia cukup pandai bergaul. Ia punya banyak teman di sekolah. Bahkan Anin punya geng sendiri yang anggotanya adalah cewek-cewek sederhana dan biasa. Ya, sama seperti Anin. Suatu perkumpulan cenderung tercipta jika anggotanya memiliki banyak kesamaan. Tak heran, jika Anin yang sederhana bisa berteman dengan gengnya yang juga sangat sederhana. “Hmm, bosan banget!”seru Hasta di tengah-tengah pelajaran Seni Budaya. Kebetulan tema pelajaran hari itu menggambar. “Seru gini malah dibilang bosan.” “Gue masih penasaran, kenapa lo demen banget bikin Anin emosi jiwa?” “Hahaha, lo liat ya tadi?” “Seisi kelas ngelihat wahai Tama Wijaya.” “Lo percaya gak, ada istilah yang bilang kalau seseorang bisa lahir untuk diusilin. Dan ya, Anin layak untuk itu.” “Lo gak takut dia marah?” “Gak akan. Dia susah marah. Kalaupun marah, dia pasti diam. Jadi, kalau tadi dia teriak-teriak, nanti dia pasti bakal lupa.” Diam itu emas. Ungkapan sederhana yang benar adanya. Selain emas, diam itu juga mengekspresikan keadaan lain. Salah satunya adalah marah. Maka tak heran jika diam itu bisa membunuh.  Hasta tertawa lirih sambil mencoba mendengarkan penjelasan guru lagi. Ia melirik hasil gambar Tama yang bagus. Tama memang cukup berbakat dibidang seni. Disudut kelas tampak Anin yang masih kesal dengan Tama. Dibangunkan dari tidur nyenyaknya memang begitu menyebalkan.  “Masih emosi?”tanya Gena, teman sebangku Anin.  “Dia kenapa sih ya? Gue tuh bingung, mau marah tapi gak etis.” “Hahaha, coba sekali-kali lo balas.” “Iya juga yah Gen. Kenapa gue gak kepikiran ya?” “Lo terlalu pasrah sih. Pembalasan adalah cara terbaik untuk membahagiakan diri sendiri.” “Tapi gimana caranya Gen?” “Cubit ginjalnya.” “Heh, jangan bercanda lo!” “Iya maaf. Pokoknya kalau ada kesempatan aja. Kalau sekarang disuruh, gue juga bingung.” “Ah elah, otak lo sama aja kayak otak gue.” “Kenapa  tuh otak kita?” “Sama-sama gak bekerja.” Gena terkekeh. Anin melirik ke arah Tama dan Hasta. Ia mencoba mengalihkan pandangan. Rasanya tak baik jika tatapan itu berlangsung lama. Ia melihat hasil gambarnya yang jelek itu. Memang tak baik memaksakan bakat. Dengan gambar jelek itu, harga diri Anin bisa jatuh sampai lapisan terbawah. Sungguh dunia sekolah kerap membuat siapa saja takut dan rendah diri. “Mau main gak habis ini?” “Memang pada mau kemana?” “Cewek-cewek satu kelas mau ke rumah Debby silaturahmi.” “What? Kok gue gak tahu?” “Parah sih, semuanya diundang padahal. Emang sih, gak di share di grup kelas. Tapi Debby mengirim private message gitu An.”seru Gena menjelaskan. “Tris, lo dikirim juga kan?”ucapnya pada Trisna yang duduk tepat di depannya. “Iya. Kemarin malam dia kirim. Katanya sih celebration ulang tahun adiknya. Sekalian diajakin cewek-cewek.” “Hmm, fiks ini mah.”balas Anin. “Fiks apa?”tanya Gena dan Trisna serentak. “Fiks dia gak suka sama gue.” “Heh, jangan gitu. Mungkin dia lupa. Gue tanyain sekarang ya?”seru Gena mengambil resiko. “Gak usah Gen, abis ini gue ada janji.” “Yakin? Semuanya pada ikut. Lo doang yang enggak.” “Ga apa-apa. Lagian acara gue hari ini penting banget Gen. Gak bisa ditunda.” “Ya sudah. Tapi gue masih penasaran, kenapa cuma lo yang gak diundang.”seru Gena sambil berpikir keras. “Jujur ya, gue juga gak suka sama dia.”ungkap Trisna. Cewek kalau sudah berkumpul memang identik dengan ngomongin orang. “Tingkahnya aneh bin ajaib.” “Jangan gitu Tris.Mungkin saja kontak gue kelewat, makanya gak ke kirim.” “Bukan cuma gara-gara itu An. Feeling gue mengatakan kalau dia itu diam-diam suka memperhatikan Tama.”  Anin semakin negatif thinking. Apakah mungkin Debby benci padanya karena ia dekat dengan Tama? Ah, padahal Tama itu cowok paling gak banget di dunia ini.  “Fiks, dia cemburu.”seru Gena. “Cemburu sama gue gitu? Idih, ambil aja tuh si Tama. Gue rela luar dalam. Gue dekat sama Tama juga bukan karena apa-apa. Takdir gue aja yang konyol.” Takdir konyol itu menghantarkan Anin dan Tama pada pelabuhan yang sama. Sekolah yang sama, rumah yang bersebelahan hingga status sosial yang sama. Jika sudah begini, tak elok jika menyalahkan takdir. “Menurut ilmu lovable yang gue pahami, dia memperhatikan Tama bukan karena suka tapi karena alasan lain.” “Ah, banyak nonton film lo Tris.”ledek Gena tak percaya. “Terserah deh kalau gak percaya.” Anin sedikit percaya dengan ucapan Trisna. Pernah beberapa kali ia melihat Debby memperhatikan Tama. Dulu sih tampak biasa, karena memang Tama itu the center of attention di mana saja. Jadi rasanya wajar. Tapi saat Trisna merasakan hal yang sama, Anin jadi khawatir. Apa yang diharapkan Debby dari Tama? Tama bukan orang yang suka menyakiti hati orang lain. Saat bel pulang sekolah berbunyi, pelajar yang kelelahan itu berhamburan hendak pulang. Sesuai rencana, cewek-cewek berkumpul untuk pergi ke rumah Debby. Sedang mereka berkumpul, Anin berpamitan dengan Trisna dan Gena. Anin buru-buru pergi sebelum sore. Ia hendak memesan ojek online dan terhadang oleh Si Ganteng Maut. “Gue ikut.” “Tam, emang lo tahu gue mau kemana?” “Iya. Katanya Hasta juga ikut, dia lagi barter motor sama supirnya.” Hasta itu anak orang kaya. Lahir dari ayah seorang polisi dan ibu seorang bidan. Kaya membuatnya tercukupi secara materi. Ia sangat sadar dengan posisinya itu. Beberapa anak orang kaya cenderung down to earth di sekolah ini. Entah karena paksaan atau memang dari hatinya. Mereka mencoba untuk tidak pamer fasilitas mewah yang bisa mereka dapatkan dari orang tuanya.  “Kalau udah gini, gue gak bisa nolak dong ya.” “Iya dong, lagian kalau kita ikut bakal bikin lo rugi? Malah bagus kan. No money to spend for online transportation. Hemat is  our life.” “Kalau lo doang gue rugi Tam. Lo kan sama miskinnya kayak gue.” Mobil jaguar milik keluarga Raja terparkir di depan gerbang sekolah. Tama langsung naik dan duduk di sebelah Hasta. Anin langsung duduk di belakang dengan perasaan yang sulit diungkapkan. Hari ini tepat setahun ayahnya meninggal. Kecelakaan yang membawa pergi orang tersayangnya itu berhasil mengubah hidupnya. Tak mudah untuk terus tertawa menunggu waktunya ia pergi juga. Rasa sedih yang selalu datang saat ia hendak berangkat ke makam ayahnya itu tak bisa hilang. Apalagi mendekati bulan maret setiap tahunnya. Anin selalu berjanji pada dirinya sendiri. Tak boleh terlewat hari di bulan maret ini. Rindu, rindu dan rindu. Rindu yang tak dibalas itu sungguh menyakitkan. Anin menatap ke luar jendela dan melihat betapa sendunya hari ini.  Anak sekolah seperti dirinya tidak cukup kuat untuk merasakan yang namanya kehilangan.  Tama melirik ke kaca mobil dan tahu bagaimana suasana hati Anin. Ia mencoba mencari bahan obrolan agar tak ada yang larut dalam kesedihan. “Oh ya Has, lo diundang sama Debby gak?” “Undang apa?” “Dia bilang hari ini bakal ada acara ulang tahun adiknya. Gue diundang dong. Gue sih gak bakal pergi, buat apa? Gue bisa jadi bulan-bulanan adik kelas di sana.” “Gue gak diundang tuh. Jangan-jangan……” “Jangan-jangan apa?” “Dia suka sama lo!” “Kagak woy. Dia itu cuma punya maksud!”seru Anin ikut nimbrung. “Maksud apa?” “Mana gue tahu, tanya aja sendiri. By the way, gue juga gak diundang kok.” “Seriously?”tanya Hasta kaget. Dia tahu dengan jelas bahwa acara itu memang dihadiri cewek-cewek satu kelas. “Gue curiga, dia benci sama gue gara-gara lo Tam.” “Hmm, menarik ya. Gue perlu tanya tuh si Debby. Gue harus tahu dong salah gue apa.” “Mungkin lo terlalu tampan.”ledek Hasta. Anin dan Hasta tertawa hebat. Tama tak masalah jika membuat temannya itu senang sesaat. Setidaknya ia tak sedih hingga akhirnya nanti tiba di pemakanan. Tama masih ingat hari itu. Hari dimana ia dan Anin pulang sekolah dan mendapati rumah begitu sepi. Tak hanya rumah Anin, tapi rumah Tama juga. Mereka sampai bingung karena tak ada satu orangpun yang mengangkat telepon dari mereka. Dan saat mendengar kabar duka itu, untuk pertama kalinya, Tama melihat Anin menangis terisak. Selama sebulan penuh, Anin tak bisa menyunggingkan senyuman di wajahnya. Ia tak sekolah dan hanya merenung di kamar. Ia seperti kehilangan nyawanya.  Perjalanan jauh itu berhasil mencapai tujuannya. Tak lupa, mereka membawa bunga untuk ditabur disana. Seiring bertambahnya usia, kedewasaan Anin membuatnya tak boleh menangis seperti tahun sebelumnya. Ia harus tegar dan kuat menjalani hidup. Ternyata tak semudah itu. Saat kakinya melangkah, air matanya keluar tak tertahankan. Ia terisak dan menunduk malu karena tak bisa tegar. Tama memeluknya dan berharap dirinya mampu jadi sandaran. Pelukan itu memang sangat berarti. “Kita makan dulu yuk. Lapar.”ajak Tama karena perutnya keroncongan. Mereka sudah berada di mobil hendak perjalanan pulang. Hari semakin sore dan matahari hendak bersiap untuk terbenam. “Boleh sih. Gue ada rekomendasi tempat bagus.”tawar Hasta mantap. Mereka berkendara beberapa menit dan tiba di restoran mewah yang tak pernah dikunjungi oleh Tama dan Anin.  “Tenang, gue traktir pakai kartu kredit bokap.” “Tapi….” “Udah, gak ada tapi-tapian. Kita makan abis itu pulang.” Mereka langsung masuk ke restoran mewah itu. Selama berteman, baru kali ini Hasta menunjukkan the real kekayaannya. Rasanya, rumah milik Tama bisa dibeli oleh Hasta.  “Lo serius nih? Gue kan jadi enak.”seru Anin terkekeh. “Iya An. Biar lo gak kurus kayak sekarang.” “Bener ya Has, besok lo gak tagih kan?”seru Tama. Hasta itu sama saja dengan siswa pada umumnya. Kalau ada yang minjem duit pasti ditagih. Dia selalu bilang, “hutang itu dibawa mati. Daripada nanti lo entar gentayangan, mending bayar sekarang.” Hasta merekomendasikan menu yang lezat untuk dicicipi Anin dan Hasta. Kedua orang itu hanya manggut-manggut dan menyerahkan kendali penuh pada Hasta. Wong jelas, udah beda level cuy. Lezatnya makanan membuat mereka lupa diri dan terkapar dalam keadaan perut penuh. Tiba-tiba seseorang menjatuhkan dompetnya tepat di sebelah Tama. Cewek cantik dengan rambut panjang lurus, kulit putih dan badan bak gitar spanyol. Ia melirik ke arah Tama dan tersenyum. Hal paling spesial dari wajah itu adalah lesung pipi yang charming. “Lo kenapa woy?” “Itu, cewek idaman gue.” Anin dan Hasta langsung melirik ke arah cewek tadi.  “Itu udah mbak-mbak Tam. I think, umurnya 21 tahun.”tebak Anin. “Setuju gue. Dia bukan anak SMA kayaknya.” “Hah? Masa sih? Tapi dia cantik banget loh.” “Oke, kalau gini sih udah jelas kriteria Tama itu gimana.”komentar Hasta dengan kepercayaan diri yang tinggi. Terlihat jelas Tama dan Anin menunggu penjelasan lebih lanjut. “Tama suka sama cewek yang lebih tua.” Anin langsung tertawa terbahak-bahak. Ia tak kuat menahan tawa sampai semua orang hendak memperhatikannya. “Tam, jangan bilang lo suka sama Kak Winda.”ucap Anin sambil tertawa. Winda adalah kakak kandung Anin. “Engga, sumpah demi kerang ajaib. Kak Winda itu nyeremin An.” Sungguh, umur adalah angka yang maknanya penuh misteri. Pikiran orang terhadap umur itu seperti sebuah pemisah. Orang yang tua tentu lebih memiliki kendali atas anak muda. Dan itu bisa jadi keengganan tersendiri bagi anak muda dalam menyampaikan pendapatnya. “Berdoa saja, biar lo ketemu lagi sama tu cewek.”seru Hasta. “Jangan dong Has, entar fansnya pada nangis. Mereka pasti kecewa.”ledek Anin. “Gini aja deh, kalau gue ketemu dia sekali saja. Gue janji bakal nembak dia.”ucap Tama tegas. Ketegasan itu disambut baik oleh Hasta dan Anin. Hati Tama masih bimbang. Sungguhkah ia berbeda? Semoga saja yang terjadi bukan yang ia hindarkan. Segala kata dan harap kadang tak sesuai ekspektasi.  “Amin.”seru Hasta dan Anin serempak. Mereka terkekeh mendengar janji Tama yang rasanya sulit untuk terlaksana. Entah siapa cewek yang tadi muncul itu. Dia siapa, dimana dan bagaimana tak ada yang tahu. Pertemuan sesaat itu tak ada maknanya jika tidak terjadi berkali-kali. Mereka bertiga kembali tertawa hingga makanan habis. Waktu semakin menunjukkan jam malam. Pulang adalah kata terbaik untuk mereka. Hingga keesokan harinya, mereka sadar bahwa membicarakan sesuatu itu harus hati-hati. Janji yang dibuat dengan seadanya bisa jadi kenyataan dan sulit untuk direalisasikan. Kalau sudah begini, tak ada yang bisa menghindarinya.

editor-pick
Dreame-Editor's pick

bc

The Alpha's Mate 21+

read
146.1K
bc

Hello Wife

read
1.4M
bc

Possesive Ghost (INDONESIA)

read
121.0K
bc

DIA, SI PREMAN KAMPUSKU ( INDONESIA )

read
470.8K
bc

Kupu Kupu Kertas#sequel BraveHeart

read
44.1K
bc

Mrs. Rivera

read
45.3K
bc

Suamiku Bocah SMA

read
2.6M

Scan code to download app

download_iosApp Store
google icon
Google Play
Facebook