bc

The Sudden Marriage (Completed)

book_age16+
1.6K
FOLLOW
12.0K
READ
revenge
love after marriage
fated
arranged marriage
goodgirl
drama
tragedy
sweet
virgin
like
intro-logo
Blurb

"Menunggu jodoh itu seperti menunggu kematian. Tak perlu ditunggu, namun sibuklah mempersiapkan."

Ilma Sofia Azzahra, gadis muda, cantik, berperilaku baik, dan saliha harus dihadapkan pada situasi yang menegangkan ketika berada dalam satu mobil di malam hari bersama pria bule bernama Kelvin Bradley Smith. Pengusaha muda tampan, maskulin, metroseksual, dan flamboyan.

Diketahui, Kelvin menaruh dendam kepada mantan sahabatnya yaitu kakak sulung Ilma. Kelvin menggunakan kesempatan melampiaskan dendam kepada Ilma saat mobil yang ditumpangi mengalami kecelakaan. Akibatnya, Ilma menderita amnesia juga trauma setelahnya.

Hal tak terduga pun menambah pelik kisah hidupnya, manakala ibunda Kelvin berniat menjodohkan Ilma dengan pria yang telah mencelakainya.

Apakah mereka menyetujui dengan rencana perjodohan tersebut?

Akankah keduanya berdamai dengan hati masing-masing?

Bagaimana rencana ke depannya setelah mereka dihadapkan pada pernikahan yang sangat tiba-tiba?

chap-preview
Free preview
Bab 1. KERETA SENJA
Senja merona terbentang indah di atas nabastala, mengantar dua wanita menuju stasiun kereta. Wanita yang lebih muda menggamit lengan wanita di sebelahnya yang sedang berbadan dua. Di tangan kirinya terselip jaket bertuliskan nama perguruan tinggi terbaik di ibukota. Mereka melangkah ke bangku di pojok stasiun, menunggu kedatangan kereta. Dua puluh lima menit kemudian, sirine tanda kereta terdengar, menandakan sebentar lagi tiba. Mereka segera bersiap-siap melangkah. Cuaca sore hari nan cerah, membuat tubuh gerah. Wanita muda menuntun kakaknya yang tengah hamil tua, memasuki pintu gerbong kereta. Di dalam, wanita muda tampak kebingungan, mengarahkan pandangan ke sekeliling ruangan. Tak ada satu pun bangku kosong tersedia. Dia berharap ada orang yang mau memberikan bangkunya untuk sang kakak. Namun, semua penumpang sibuk dengan posisi nyamannya.  Si wanita melirik ke arah dua pria yang duduk di sebelah pintu kereta. Dari penampilan dan fisik, mereka tampaknya pria berwarga negara asing. Wanita muda yang dikenal bernama Ilma Sofia Azzahra mencoba memberanikan diri untuk menyapa mereka. "Hello, excuse me! Would you mind to give a seat for my sister? She's having a baby ... please?" pintanya sopan. Pria muda tak menjawab, ia meraih jas di atas pahanya, lalu berdiri mempersilakan wanita hamil untuk duduk. Laki-laki di sebelahnya merespons sama, hendak bangkit mempersilakan Ilma duduk di bangkunya. Namun, gadis itu menolak halus. "Oh, no ... no. It's okay. I'm just fine!" Dia tersenyum kepada pria yang usianya lebih tua. Tak enak mengambil bangku dari orang yang lebih membutuhkan. "Kamu nggak kebagian bangku, Ma?" tanya sang kakak. "Nggak apa-apa, Kak. Nanti, nunggu kalo ada bangku kosong aja. Oh, ya, pakai jaketku, biar dedenya nggak kedinginan," sahutnya. "Nggak usah, nanti kamu kedinginan." Rahma menimpali. "Nggak, kok, aku malah gerah," ujar Ilma sambil meletakkan jaket di atas perut buncit kakaknya. Dia mendekat ke tiang pembatas bangku, menyandarkan punggungnya sambil membetulkan kerudung pasmina cokelat muda yang membalut kepala, dipadu dengan gamis modern berwarna dusty pink. Tak jauh dari posisinya, pria muda berwarga negara asing itu berdiri. Tangannya memegangi hand strap pada gerbong kereta, sedangkan tangan kiri sibuk memainkan ponsel berlogo buah apel. Kereta melaju menembus senja di lorong kereta kota tua. Melewati stasiun satu ke stasiun berikutnya, hingga menjelang malam. Sesekali, angin berembus menyibak kerudung si gadis muda. Maniknya, menatap sang kakak yang sedang tertidur lelap. Alunan lirik lagu, 'Oh, Allah the Almighty', dari nada dering ponselnya berbunyi. Membuyarkan pikiran gadis itu. Dia menggerakkan badan, meraih tas ransel tempat alat itu disimpan. Tangannya sibuk membuka resleting tas. Tiba-tiba, laju kereta mendadak berguncang keras. Tubuh Ilma berdiri tak seimbang. Gadis itu hampir jatuh tersungkur, sebelum tangan kekar menyangga tubuhnya. "Oh ... I'm so-sorry." Terkejut, saat menyadari ternyata tangan pria asing itu sedang memegangnya. Pria itu menggangguk, terpancar jelas dari wajahnya ada rasa sungkan saat mereka bertatapan. Buru-buru, Ilma kembali ke posisinya semula. Dengan cepat mengambil gawai, lalu menutup resleting tas dan menggantungkan ransel di pundaknya. Merasa gugup karena tak sengaja bersentuhan dengan lelaki yang bukan mahramnya. "Halo. Assalamualaikum ... Bilah?" sapanya setelah menekan tombol panggilan. "Waalaikum salam. Hei, Ijah! Lu, lagi di mana, nih?" Perempuan berlesung pipi menjawab melalui telepon. "Aku lagi di kereta, nganter Kak Rahma ke rumah Umi Yusuf." Ilma menatap layar ponselnya. Permintaan video call dari sepupunya Nabilah terpaksa dia izinkan. "Cuma berdua?" "Iya, Kak Yusuf lagi ke luar kota." "Eh, itu, cowok bule di belakang lu ... siapa, Jah?" Nabilah mengalihkan perhatian pada sosok pria asing di sebelah Ilma. "Penumpang ...," ucapnya dengan mengecilkan suara, Ilma lupa membawa earphone-nya. "Ehemm! Beneran, nih, cuma penumpang?" selidik Nabilah. "Huss. Aku nggak kenal dia, tahu! Udah, ah. Teleponnya nanti aja, ya." "Yah! Besok ketemu di mana? Gue sekalian jemput Mama di bandara." "Hmm ... di masjid agung aja, selepas Zuhur." "Oke. Bye." Ilma mengantongi ponsel di saku rok gamisnya. Sesaat kemudian, terdengar ponsel berdering dari arah belakang. "Hi, Mom! Yep. Uh'um. Yes. I'm with The Professor now ... okay. We'll arrived soon. See you, Mom!" Pria asing itu tampak sedang berbincang di telepon. Mata birunya beradu pandang saat ia menoleh ke arah pria satunya yang duduk di sebelah kakaknya Ilma. Ilma sedikit gusar, penumpang dari stasiun berikutnya mulai bertambah. Gerbong kereta menjadi penuh dan sesak. Dia menggeser badannya mencari hand strap, tanpa sengaja semakin dekat berada di sebelah pria asing itu. Perasaannya semakin tak nyaman. Namun, dia tak punya pilihan. Andai saja kakaknya mau menggunakan jasa pengemudi online, pasti tak akan sekacau ini. Sang kakak sudah terbiasa dan lebih menyukai naik transportasi umum. *** Kereta terus melaju, para penumpang naik turun silih berganti. Cuaca yang panas menyebabkan aroma tubuh bercampur peluh menambah bau badan tak sedap. Di antara semua penumpang, hanya tubuh pria bule itu yang berbeda. Parfum yang ia gunakan seperti aroma buah segar, kuat dengan wangi s*****l yang khas. Wangi maskulin pria dewasa, pribadi yang aktif, energik, dan suka melakukan kegiatan di luar. Satu jam lebih gadis itu berdiri, menunggu bangku kosong, tetapi tak ada satu pun yang tersedia. Dia harus pasrah, hingga kereta berhenti di tempat tujuan. Tubuhnya terasa lelah, beberapa kali Ilma mengganti posisi tangan yang bergantung pada hand strap kereta. Rasa kantuk pun tak tertahankan. Hingga kepalanya bersandar pada lengan yang terangkat ke atas. Terlelap sejenak, tanpa sadar tangan seseorang menahan kepalanya sebelum tubuh Ilma terjengkang ke belakang. Ilma terbangun dan menoleh. Tak ada kalimat yang terucap selain kata terima kasih kepada pria bule yang berdiri di sebelahnya. Ilma menghela napas pelan, jari tangannya memijat kening yang terasa sedikit pusing. Merogoh saku, lalu menatap layar ponsel untuk melihat waktu. Matahari sudah terbenam, hari mulai gelap berganti dengan cahaya lampu yang terlintas melalui kaca jendela kereta yang terus berjalan melewati sudut perkotaan. "Ma, sini duduk!" Kakaknya menawarkan bangku di sebelah setelah seorang penumpang turun. Dua puluh menit kemudian, mereka tiba di tempat tujuan. Mereka singgah di masjid terdekat untuk menunaikan ibadah salat Isya, sebelum melanjutkan perjalanan menuju rumah mertua kakaknya. *** Musim kemarau masih memantau kota ini. Ilma melangkah menuju masjid agung dengan desain yang unik dan klasik. Seorang lelaki paruh baya yang diketahui sebagai marbot menyapa gadis berwajah tirus itu. "Assalamualaikum ... Neng, tamu undangan, ya? Di dalam sedang ada acara akad nikah," sapa marbot tersebut. "Waalaikum salam, Pak. Oh, bukan. Saya cuma mau salat Zuhur." "Oh, kalo gitu Neng salatnya di lantai atas, ya. Di bawah banyak orang." Ilma mengangguk. Setelah mengucapkan terima kasih, dia bergegas mencari tempat untuk berwudu. Kemudian, menuju lantai atas dan mengenakan mukena. Di bawah, terdengar suara penghulu mengawali proses ijab kabul. Suasana riuh dimulai saat para saksi berkata, "SAH." Diringi ucapan hamdalah dari semua tamu yang hadir. Lalu, disusul dengan doa untuk pasangan yang resmi menikah. Bersamaan dengan itu, Ilma selesai mengerjakan salatnya dan turut mendoakan kedua mempelai. "Ijah, lu di mana?" Suara cempreng Nabilah terdengar melalui saluran telepon. "Di bangku taman, depan masjid." "Tunggu, ya! Gue bentar lagi nyampe." "Oke." Gadis itu membuka tasnya. Mengambil novel yang dia sukai, serius membaca, seolah-olah sedang menghayati cerita didalamnya. Plukkk Sesuatu terjatuh menyentuh lututnya. Ilma menatap ke bawah, tampak buket bunga mawar putih tergeletak di lantai. Dia memungutnya, menengok sekeliling. Tepat di belakangnya, beberapa undangan yang menghadiri acara akad nikah tengah berkerumum. Ilma baru menyadari sorak-sorai mereka tengah menanti pelemparan buket bunga dari pengantin wanita. Seorang wanita dengan pakaian formal tercantum di kartu identitas sebagai staff wedding organizer menghampirinya. "Mbak, selamat, ya. Semoga segera menyusul," ucapnya tulus. "Ehmm, ini bunganya untuk saya?" tanya Ilma kikuk. "Iya, Mbak. Emang sengaja dibuat dari bagian acara pernikahan khusus untuk pengiring pengantin dan para undangan." "Oh, terima kasih ...," balasnya tersipu. "Hei, Ijah!" Nabilah berseru. Gadis berwajah blasteran itu keluar dari mobil Volkswagen-nya. Ilma mengemasi buku dan membawa buket bunga, mengapitnya dengan kedua lengan. Bergegas melangkah menuju mobil Nabilah. Dia bisa melihat kening sepupunya berkerut sambil menatap buket bunga di tangannya. "Uwoww! Tumben Ijah dapat kirimin bunga. Pasti dari secret admirer lu, ya? Siapa? Siapa?" cecar Nabilah menggodanya. "Ada, deh. Mau tahu aja!" "Let's me guess! It's just so hard to ignore you. Just so hard to not look at you. I don't know what it is about you. That makes me feel like I --" "Hey, enough. Enough ... hhh. Buket ini aku dapat dari mempelai pengantin itu di sana!" Telunjuk Ilma mengarah pada kerumunan orang di depan masjid. "Owh. That is awesome! Hei, lu tau, nggak, Jah? Biasanya nih, ya, kalo cewek dapet buket bunga pengantin, nanti dia bakal nyusul jadi pengantin," celoteh Nabilah. "Iyeuh, segitunya, Inah! Mitos aja dipercaya," kilah Ilma. "Ishh, dibilangin. Kualat ntar, lu! Kagak percaya banget omongan gue," sungutnya. "Diih, emang apa hubungannya nggak sengaja dapat buket bunga sama nikah?" "Ya, adalah, Ijah. Awas aja, kalo ucapan gue terjadi. Eh, iya, gue baru ingat. Lu bilang minggu kemarin lu pernah mimpi dipatok ular, kan? Ingat nggak? Nah, itu udah sinyal, Ijah!" "Iih, apaan, sih? Lu jauh-jauh kuliah di Jerman, masih percaya aja sama mitos." Muka gadis itu berubah merah, menutupinya dengan mengerucutkan bibirnya. "Eits, jangan salah. Gue bukannya apa-apa. Itu kata orang tua, lho. Jangan menampik. Pamali tahu!" Nabilah menarik lengan sepupunya sembari menyuruh masuk ke dalam mobil. Ini hari pertama aku gantiin Nafisha, ngajar ngaji keponakannya," ujar Ilma. "Udah tahu rumahnya?" tanya Nabilah, pandangannya fokus mengemudi. "Udah. Fisha nganterin aku ke sana, minggu kemarin sebelum dia berangkat umroh. Belok kanan terus di depan temboknya ada tiga kontainer tempat sampah." Nabilah membelokkan mobilnya sesuai petunjuk Ilma.  Tak lama, mereka menemukan rumah yang dituju. Mobil Nabilah berhenti tepat di pinggir jalan depan kontainer berwarna hijau, kuning, dan merah. Dari warnanya, dipastikan tempat sampah itu berbeda fungsi. Nabilah membuka kaca jendela mobil, melongokkan wajah. Tampak dari luar, bangunan megah dikelilingi pagar tembok, garasi, serta dilengkapi pos satpam. "Ini rumahnya?" Nabilah menoleh ke arah Ilma yang sedang melepas sabuk pengaman. "Hu'um." Saat hendak keluar dari mobil, Nabilah mengulurkan kantong berisi buket bunga yang diletakkan di jok belakang. "Bunganya jangan lupa disimpan, ya, Jah. Jangan dibuang!" Dia mengingatkan sambil terkekeh. Ilma membalasnya dengan tatapan meledek dan tersenyum lebar. "Thanks, ya, Inah, udah nganterin aku." "Ok. Aku mau langsung jemput Mama." "Ati-ati, titip salam buat Tante Anna." Nabilah mengangguk sambil menautkan jempol dan telunjuk membentuk huruf 'O'. Lalu, menutup pintu dan melajukan kendaraannya. Sementara, Ilma menuju pintu garasi dan menekan bel. Seorang satpam menyambutnya. "Selamat sore, Pak. Saya Ilma, guru private-nya Reina," sapa Ilma ramah. "Oh, Neng Ilma. Silakan masuk!" seru Pak Satpam. Ilma melangkah menuju halaman luas dipenuhi dengan berbagai jenis tanaman hias juga bunga nan indah. Rumah megah bergaya arsitektur perpaduan Eropa dan Amerika, dengan dinding bercat putih, dan warna cokelat tua pada pintu utama. Di pinggir tembok, terdapat pohon pinus dan kamboja berjajar rapi, menambah suasana asri. Di sebelah rumah, garasi besar dengan pintu terbuka cukup untuk menyimpan empat mobil. Sebuah mobil terparkir di halaman. Seorang ART membuka pintu utama, disusul sosok wanita yang sudah dikenal Ilma sedang mendorong kereta bayi. Eliza, putri sulung pemilik rumah yang juga ibu kandung Reina. Di belakangnya, suami Eliza menggendong salah satu bayi kembar mereka. Saat melihat Ilma, ibu muda tersebut menyambutnya gembira. "Hai, Ilma! Mama sama Reina ada di dalam," ucapnya, menghampiri gadis itu. Suami Eliza, membuka pintu bagasi mobil. Abhirama--bayi kembar itu--merajuk saat melihat ayahnya pergi. Eliza mencoba menenangkan masih dengan posisi menggendong saudara kembar perempuannya, Abhinaya. Melihat itu, Ilma refleks mendekati Eliza untuk menawarkan bantuan menggendong Abhinaya. "Biar saya gendong, Kak," katanya. Ilma sangat menyukai anak kecil. Pertama kali bertemu Eliza, Ilma belum berkenalan dengan si kembar. Abhinaya, langsung mau digendong olehnya. Tak berbeda dengan Reina, sikapnya mudah akrab dengan siapa saja. Dia tak henti-henti mengelus tangan mungilnya dan menciumi pipi makhluk kecil itu. Mengajak bercanda dan Abhinaya merespons dengan tawanya yang sangat menggemaskan. Bu Sophia, pemilik rumah muncul dengan cucunya mengekor di belakang. Ilma menyalami tangan wanita dermawan berdarah Inggris-Belanda. Wajah tuanya masih menyiratkan kecantikan di masa muda. Ilma menyapa, sambil mengelus kepala Reina. Gadis berusia tujuh tahun itu mencium tangannya. Eliza memeluk sang ibu, mencium kedua pipi putrinya sambil berpamitan. Reina adalah putri sulung dari suami pertama Eliza, mereka bercerai saat Reina berusia empat tahun. Sejak Reina lahir, Bu Sophia yang merawat dan hingga sekarang tinggal bersamanya. Sebelum mereka masuk ke mobil, Ilma mengembalikan di kembar pada ibunya. Menurut keterangan dari sahabat Ilma--yang merupakan kerabat mereka--yaitu Nafisha. Bu Sophia merupakan keluarga mualaf yang sudah lama, sebelum suaminya meninggal. Dari keempat anaknya, hanya Eliza yang masih teguh memeluk keyakinannya yang terdahulu. "Nena belajar mengajinya mau di dalam atau di halaman belakang, Sayang?" tanya Bu Sophia. "Di dalam aja, Oma. Di kamar Nena, ya," jawab gadis cantik itu polos. "Ayo, masuk, Nak!" ajak Bu Sophia pada Ilma. "Oh, ya, Bu ... kalo boleh, saya mau numpang salat Asar dulu?" pinta Ilma saat mereka menuju tangga. "Oh, tentu saja boleh. Silakan, Nak! Di atas saja, ya. Di kamar Reina." "Oma, Nena boleh ikut salat berjamaah sama Kak Ilma?" Bu Sophia menoleh ke arah Ilma, gadis itu mengangguk. "Kata Kak Ilma boleh, Sayang." Wanita itu mencium kening cucunya. Di kamar Reina, Ilma menggelar sajadah. Diikuti Reina sedang memakai mukena. Ilma menunggunya hingga gadis kecil itu selesai, lalu bersiap mengerjakan salat. Diam-diam, Bu Sophia memperhatikan mereka. Bulir bening mengalir di pelupuk netranya. Usai salat, mereka berdoa bersama. Reina mendekati, lalu mencium tangan guru private-nya. Ilma meneruskan bacaan Iqra yang sudah dipelajari Reina sebelumnya. Gadis kecil itu memang pintar, dia dengan mudah membaca setiap huruf dan bacaan dengan cepat. Ilma tersenyum semringah memandanginya, seolah-olah sedang membayangkan gadis kecil itu adalah putrinya. Kelak jika sudah berumah tangga, Ilma akan mengajari anak-anaknya hal yang sama seperti saat ini dirinya sedang mengajar Reina. Bersambung

editor-pick
Dreame-Editor's pick

bc

Mengikat Mutiara

read
142.1K
bc

The Unwanted Bride

read
111.0K
bc

Sweetest Diandra

read
70.5K
bc

MOVE ON

read
94.9K
bc

Istri Kecil Guru Killer

read
156.3K
bc

His Secret : LTP S3

read
650.1K
bc

Hello Wife

read
1.4M

Scan code to download app

download_iosApp Store
google icon
Google Play
Facebook