bc

UnExpected Love

book_age18+
3.1K
FOLLOW
51.4K
READ
murder
FBI
possessive
sex
playboy
mafia
drama
lies
like
intro-logo
Blurb

Lili Dannett tidak pernah menduga jika situs perjodohan yang diikutinya karena desakan sahabatnya, telah membawanya pada jeratan sindikat mafia berbahaya.

Penyamaran William Mason ditengah kelompok mafia mempertemukannya dengan Lili Dannett yang menjadi mangsa di situs perjodohan yang dibuat oleh Nicole Nostra, putri gembong mafia yang menjadi target utama dalam penyamarannya sebagai unit elit kepolisian.

Seakan berkejaran dengan waktu, William harus segera membongkar sindikat kejatahan mafia terbesar dan juga menyelamatan Lili Dannett. Akankah Nicole menerima kenyataan jika William hadir hanya sebagai jalan masuk penangkapan Sang Ayah?

chap-preview
Free preview
Satu
Ketika Lili merasa mulai terjatuh, ia lupa untuk takut, terlalu sibuk memperhatikan dirinya sendiri. Ia hanya berpikir bagaimana caranya berlari…ya berlari sejauh mungkin dari kenyataan yang ada di hadapannya saat itu. Cinta itu telah pergi beberapa tahun lalu. Namun yang harus diketahui, bukan ia tak menginginkannya, tapi karena pria-pria itu memang ingin pergi. Dan ia kini baru bertanya pada dirinya, kenapa ia tak memperjuangkannya. Dan anehnya ia tak menyesali akan keputusannya. Kini, Lili mendapati foto gadis kecil manis yang terpampang di beranda sosial media milik salah seorang teman kerjanya di Manhattan. Gadis balita yang cantik dengan senyum manis yang menyerupai senyum miliknya. Meski Lili tak memasukannya dalam list pertemanan, namun ia dapat melihatnya saat salah seorang temannya memberikan komen. “Malam ini sepertinya aku tidak akan pulang, Li,” kata Julie dari balik bahunya, ia menoleh ke arah Lili yang duduk di salah satu kursi makan. Lili mengangkat wajahnya untuk menatap Julie dan hanya mendapati punggungnya. Julie sedang berada di depan meja dapur untuk membuat sarapan pagi ini. “Kau ada kencan?” tanya Lili. Terdengar suara kekehan pelan sebelum Julie berbalik sambil membawa satu piring roti yang telah selesai dibakar, ia meletakkannya di atas meja. “Aku harus kembali ke apartemen John, ia kembali malam ini,” Julie menyahut sambil meraih satu lembar roti yang dibakarnya keatas piring lainnya lalu meraih botol selai. “Apa rencanamu malam ini?” Pertanyaan yang meluncur dari Julie usai ia mendapati Lili terdiam sambil memainkan ponselnya. “Li. Lili,” Julie memanggil dan Lili menoleh secara spontan. “Ada apa denganmu?/” Lili mengerjap kaget, meringis memamerkan deretan giginya sebelum ia menyambar roti dihadapannya. “Aku sedang membuka facebook.” “Lalu?” “Tidak ada. Hanya itu,” katanya pendek. Lili meraih botol selai dari tangan Julie. “Aku sudah membuatkanmu sebuah akun perjodohan.” Mata indah Lili membulat seketika tepat saat tangannya akan mulai mengolesi permukaan roti dengan selai. “Apa? Akun perjodohan? Tidak.” Lili mengelak, ia melanjutkan mengolesi rotinya dengan selai, mengigit lalu mengunyahnya dengan cepat dan menatap Julie yang duduk di seberang mejanya. “Kau harus mencobanya. Dan aku telah membacanya, kebanyakan dari mereka berhasil, Li. Mereka menemukan jodoh dan salah satunya teman John.” “Kau membahas hal ini dengan John?” tanya Lili tak percaya dengan memajukan tubuhnya sedikit ke depan, menempel pada pinggiran meja makan. Julie hanya memasang senyum yang membuat Lili mendengus, “Sial.” “Aku sudah memasang beberapa fotomu di akun itu dan memasang foto tercantikmu sebagai foto profile.” “Apa?!” kata Lili nyaris memekik dan Julie beranjak dari kursinya bersama piring kosongnya. “Sudahlah, tak perlu sedramatis itu, Lili sayang.” “Tidak, Julie. Aku tidak akan pernah membukanya.” Lili memasukkan sisa rotinya ke dalam mulut dan mengunyahnya dengan perasaan kesal, ia hempaskan punggungnya ke sandaran kursi di belakangnya. Terdengar bunyi pintu kamar di buka dan tak lama setelahnya terdengar kembali dan Julie muncul dengan menenteng coat dan tas selempangnya. “Ini akunmu. Username dan juga password milikmu.” Sobekan kertas bertuliskan tangan Julie tergeletak di atas meja makan, Lili meliriknya dari sudut mata indahnya dengan wajah manyun sebelum menatap Julie yang menjulang di sudut meja, ia sedang bersiap mengenakan coatnya. Di luar salju masih turun meski sudah tak selebat beberapa hari sebelumnya, namun rasa dinginnya masih menusuk hingga ke tulang sumsum. “Aku pergi dulu. Sampai bertemu minggu depan.” Spontan Lili  menoleh dengan kelopak mata lebar. “John akan ada di London sepanjang minggu ini sebelum ia kembali ke Kanada,” ucap Julie seakan mampu membaca pikiran Lili. Julie berjalan mendekat untuk mengecup pipi sahabat satu apartemennya sebelum ia beranjak, “Jaga dirimu baik-baik dan kabari aku,” kata Julie sambil mengerlingkan sebelah matanya sebelum ia menyambar tas miliknya yang tergeletak di atas meja. Julie pergi meninggalkan ruangan, ia menghilang di balik pintu apartemen. Menyisakan suara pintu ditutup di belakang langkahnya dan kesunyian setelahnya. Lili menghela napas dalam, menyingkirkan sesak di dadanya yang tiba-tiba terasa menyebalkan. Ia buang tatapan matanya kearah jendela. Tampak salju putih bersih yang turun dan menjadikan basah pada kaca jendela apartemen tempatnya tinggal. Lili kembali menatap piring di hadapannya yang telah kosong. Jarum jam menunjukan pukul 7.00 am, sudah saatnya ia untuk beranjak ke kantor, menyeruput kopi dalam cangkirnya. Kopi yang tak panas lagi dan hanya tersisa setengah. Lili beranjak dari duduk, menumpukkan piring bekas tempat roti di atas piring miliknya, begitu juga dengan cangkir dan sendok, semua ia jadikan dalam satu tumpukan sebelum membawanya ke wastafel untuk ia cuci. Pandangan mata Lili jatuh pada secarik kertas yang ditinggalkan Julie untuknya. Kertas bertuliskan username dan password akun perjodohan. “Kau harus mencobanya. Dan aku telah membacanya, kebanyakan dari mereka berhasil, Li. Mereka menemukan jodoh dan salah satunya teman John.” “Tidak akan pernah,” gumam Lili kesal dan langsung beranjak membawa piring dan lainnya sisa sarapannya dan Julie.   *** Tik tok tik tok…. Mulanya ia bersyukur ketika Matthew mengatakan dirinya bisa mengambil cuti sepanjang sisa hari itu. Mereka semua telah menyebar untuk makan siang, yang pasti ia bisa menghindari segala pertanyaan dan keprihatinan palsu. Ketika ia mengarungi jalan Oxford Street, seperti ikan yang berenang melawan gelombang pasang pengunjung dan pembelanja. Sore di bulan Desember, langit biru cerah, matahari yang menyelinap dari balik awan-awan yang menyebar, yang berhasil menciptakan ilusi dalam kepalanya, bahwa hari ini terasa menyenangkan meski dilatari dengan kabut keraguan. Ia hanya perlu berhenti berpikir, itu yang ia pertimbangkan saat ini, jadi ia melakukannya, persis di tengah jalanan yang penuh sesak, sehingga kehadirannya menjengkelkan bagi semua orang. “Lili?” Lili mendongak untuk memandang wajah tersenyum seorang pria jangkung yang berdiri persis di hadapannya. Pada awalnya tidak ada apa-apa sebelum muncul secercah bayangan, pengenalan yang diikuti banjir kenangan. Edward. “Hai, apa kabar?” kata Lili pada akhirnya setelah beberapa detik terkejut. “Aku baik-baik saja, Lili. Senang berjumpa denganmu.” Pria itu mengecup pipi Lili. Seharusnya Lili tidak peduli seperti apa tampilannya, namun entah mengapa ia memeluk dirinya sendiri seakan mencoba untuk bersembunyi. Terpikir konyol rasanya. Ia memperhatikannya. “Aku tidak menyangka melihatmu disini,” katanya dengan wajah semeringah. Edward kembali tersenyum, dan brengseknya ia bertambah tampan dari satu tahun yang lalu. Dia berkulit kecoklatan, seolah baru saja kembali dari suatu tempat yang panas, bercak-bercak pirang tampak di rambut coklatnya. Dia tampak begitu sehat, bersih dan masih teramat sangat nyaman. Pakaian yang dikenakannya tampak baru, mahal dan Lili menduga setelan di balik jas wol panjangnya itu dijahit khusus. Dunia seakan terasa kecil. Lili menatapnya datar, ada jeda beberapa detik. “Kau baik-baik saja?” tanya Edward sambil memamerkan senyum manisnya. “Ya, tidak, aku… hanya sedikit lelah. Pekerjaanku masih menunggu.” “Aku ikut prihatin.” Lili mengangguk, sementara ia menanti percakapan yang ia tidak tahu cara memulainya. Yang bisa Lili ingat hanyalah, betapa ia sangat melukai perasaannya. Lili tak pernah benar-benar menjelaskan mengapa ia tidak bisa menemuinya lagi. Ia hanya meninggalkan flatnya pada suatu pagi, mengabaikan semua teleponnya, dan memutuskan hubungan sepenuhnya. Dia bekerja di London, sama seperti dirinya. Lili masih tinggal di rumah keluarganya, jadi ia menginap di flatnya sesering yang dirinya inginkan, hingga hubungan itu berakhir, dan ia tak pernah kembali lagi ke sana. Seorang pria yang berjalan sambil mengetik pada ponselnya menabraknya. Pria itu menggeleng-geleng seakan ia yang salah, bukan sebaliknya, dia yang tidak melihat ke mana dia berjalan. Pria itu mendengus dan ia membalasnya. “Kau berada di London untuk Natal?”  tanya Lili pada akhirnya. “Ya, sebenarnya aku baru saja pindah ke sini bersama pacarku. Pekerjaan baru di Big Smoke.” Perasaan lega Lili berganti menjadi sesuatu yang lain. Sial, tentu saja dia sudah melanjutkan hidup. Lili mengatakan pada dirinya sendiri bahwa ia ikut senang mendengarnya dan ia paksakan wajahnya untuk menjawab dengan senyum kurang antusias yang diiringi anggukan lesu. “Apa ini bukan saat yang baik?” tanyanya kali ini. Lili menggelengkan kepala, menampik tuduhannya. “Aku baik-baik saja. Aku juga senang bertemu denganmu lagi.” “Aku ingin kau datang ke pernikahanku.” Bagai sambaran petir yang menghanguskan Lili seketika. Matanya melebar beberapa detik sebelum ia menyadari Edward menatapnya dengan bingung. “Ini kartu namaku Lili. Boleh aku meminta kartu namamu?” tanya Edward tiba-tiba sambil mengeluarkan dompet dari dalam sakunya dan mengeluarkan kartu nama miliknya sebelum menyodorkannya kepada Lili. “Akan menyenangkan untuk bertukar kabar kapan-kapan.” Lili membuka tas tangannya, mencari kartu nama miliknya untuk bertukar dengan milik Edward. “Aku harus menemui seseorang dan aku sudah terlambat, tapi sejujurnya aku senang bertemu denganmu, Lili.” Lili menerima kartu nama itu dan menyodorkan miliknya sambil kembali berupaya untuk tersenyum. Edward menyentuh bahu Lili dan menghilang kembali dalam kerumunan orang-orang. Dia tidak sabar untuk pergi. Lili menghimpun kembali semua konsentrasinya. Kakinya membawa dirinya ke bar kecil persis di luar Oxford Street. Lili lupa kapan terakhir datang ke bar itu bersama Julie. Ia hanya berpikir keakraban tempat itu akan membuatnya merasa aman, tapi nyatanya tidak. Lili memesan segelas besar anggur merah dan berjalan menuju satu-satunya meja kosong di dekat perapian yang terbuka. Tanpa kisi pelindung. Lili menatap gelas dalam genggamannya, berusaha untuk memblokir kekacauan musiman di sekelilingnya. Ia sedang berusaha untuk membujuk seorang wanita yang tidak menyukai siapa pun agar menyukainya, dan ia berpikir jika ia menatap gelas dalam genggamannya dengan cukup lama, ia berharap bisa memikirkan sebuah solusi. Saat ini ia tidak memiliki ide apa pun. Pikirannya terasa buntu. Lili menyesap anggur,  dengan sesapan kecil. Rasanya enak. Ia memejamkan mata, menelan, dan menikmati sensasi ketika minuman itu mengaliri tenggorokannya. Lili teringat bahwa dirinya telah bersikap t***l. Seharusnya ia bersikap baik terhadap sikap Amber yang menyebalkan padanya sehingga ia tak perlu mempertaruhkan pekerjaannya seperti saat ini. Lili tak bisa kehilangan pekerjaannya. Tidak, lebih tepatnya belum bisa. Akan ada solusi, Lili yakin akan hal itu, hanya saja ia tidak yakin bisa memikirkannya sendirian. Ia tekan nomor ponsel Matthew. Pria yang menjadi atasannya itu tidak menjawab, jadi ia memutuskan untuk mencobanya lagi. Sayangnya nihil, hanya pesan suara. Ia juga tidak meninggalkan pesan apa pun. Ia merasa butuh untuk memesan segelas anggur lagi. Lili membutuhkan minuman itu untuk membuat dirinya mati rasa, tapi ia tahu jika ia harus mempertahankan pikirannya untuk tetap waras jika ingin mengembalikan segalanya pada jalur yang tepat. Lili harus bisa mengatasi hal ini sendirian, tapi ia merasa tidak bisa. “Tampaknya kau sudah memulai tanpa aku, Lili sayang,” kata Julie sambil melepaskan syal yang panjangnya melilit di lehernya beberapa kali putaran sebelum syal panjang itu meluncur ke kursi di seberang Lili. Lili terperanjat dan bersamaan dengan senyum di wajah cantiknya menghilang. “Ada apa? Kau tampak berantakan, Sayang.” Julie menarik kursi untuk mendekat dan duduk bersisian dengan Lili. “Katakan apa yang terjadi. Wajah cantikmu itu yang jelas sedang depresi,” kata Juli sambil melirik daftar minuman anggur.  “Kurasa aku akan kehilangan pekerjaanku.” Julie menatap wajah sahabatnya, seakan mencari sesuatu. “Apa katamu?” “Amber telah memberi ultimatum. Entah aku yang pergi atau Matthew.” “Dan Matt mengatakan kau yang harus pergi? Begitu saja?” “Tidak juga,” jawab Lili,  ia meraih gelas anggurnya, menyesapnya lagi. “Aku punya waktu hingga Tahun Baru untuk mengubah pikiran Amber.” “Jadi ubah saja pikirannya.” “Caranya?” “Entahlah, tapi mereka tidak boleh melakukan ini padamu, Li.” “Kontrakku berakhir Januari, jadi bisa saja mereka tidak memperpanjangnya tanpa menimbulkan keributan. Aku tidak akan bisa mempertahankan diri, Julie. Lagi pula, kurasa itu memberikan mereka waktu untuk mencari pengganti yang cocok saat libur Natal nanti.” Lili membiarkan Julie mencerna segala yang ia katakan. Setelahnya pembahasan mengenai drama dalam pekerjaan yang tak dapat Lili hindari. Julie memberi Lili percakapan yang menyenangkan disela perasaan ingin menangisnya dan Lili mengungkapkan hal itu pada Julie, “Aku ingin menangis.” “Menangislah kalau perlu, keluarkan itu dari tubuhmu. Beruntung kau penangis yang cantik, Lili.” Julie mengerlingkan sebelah matanya. “Aku sama sekali tidak cantik, Julie,” Lili mendengus. “Kenapa kau bilang begitu? Kau cantik, Lili. Kuakui kau bisa lebih berusaha---” “Tidak. Terima kasih.” Lili memotong. Julie mencondongkan tubuhnya ke dekat Lili. “Dengarkan aku. Tidak mengenakan rias wajah tidak mengapa selama kau tidak terlihat pucat, tapi sungguh aku berkata jujur, kau terlihat pucat, Lili.” Julie manatap sahabatnya dengan mimik prihatin. “Bentuk tubuhmu bagus, tapi tampaknya kau selalu bersembunyi di balik pakaian tua yang sama.” “Aku tidak mencoba untuk bersembunyi.” “Ya, hentikan itu,” seloroh Julie sambil menarik tubuhnya kembali. Menurut Lili apa yang dikatakan Julie benar, ia berantakan. Pikiran Lili kembali kepada Edward, dan kini Lili berpikir Edward pasti mengira dirinya beruntung karena tidak berakhir dengannya. “Aku baru saja bertemu dengan Edward Jackson di Oxford Street, Julie.” “Apa?!” Julie nyaris memekik dan Lili mengangguk pelan. “Tidak penting. Aku hanya merasa sangat berantakan, seperti halnya pecundang. Seandainya saja dia tidak melihatku berpenampilan seperti itu. Ya, itu saja.” “Saat ini kau hanya perlu berfokus pada hal penting. Pergilah membeli pakaian baru, beberapa gaun baru, beberapa sepatu baru, sesuatu yang bertumit, dan jangan lupa membeli beberapa make up sekalian. Kau harus tampak benar-benar bahagia dan percaya diri.” “Ya, kau benar, Julie.” “Jadi pergilah berbelanja, lalu pulang. Tidurlah lebih awal dan sambutlah esok dengan penampilan yang mengesankan, seolah kau sama sekali tidak punya kekhawatiran.” Lili mematuhi perkataan Julie, menghabiskan isi gelasnya dan membayar tagihan. Meninggalkan Julie yang masih akan menunggu John untuk menghabiskan sisa hari ini.   *** Bersambung....Jangan lupa tinggalkan LOVE kalian ya setelh baca. Terima kasih

editor-pick
Dreame-Editor's pick

bc

HOT AND DANGEROUS BILLIONAIRE

read
569.1K
bc

Married With My Childhood Friend

read
43.5K
bc

Beautiful Madness (Indonesia)

read
221.0K
bc

OLIVIA

read
29.1K
bc

Fake Marriage

read
8.3K
bc

Pinky Dearest (COMPLETED) 21++

read
285.7K
bc

My Hot Boss (Indonesia)

read
659.9K

Scan code to download app

download_iosApp Store
google icon
Google Play
Facebook