bc

POPULAR (BAHASA INDONESIA)

book_age12+
1.0K
FOLLOW
9.3K
READ
possessive
badboy
badgirl
powerful
drama
sweet
bxg
like
intro-logo
Blurb

Menjadi populer dan banyak dikenal orang itu memang menyenangkan. Setiap yang dilakukan pasti tidak luput dari perhatian banyak orang yang selalu ingin tahu. Tapi apakah benar semenyenangkan itu? Bagaimana dengan menjadi populer malah menimbulkan masalah

chap-preview
Free preview
Chapter 1
Kring... Kring... Kring... Setelah suara bel tanda istirahat berbunyi, seluruh siswa langsung berhamburan keluar dari kelas. Tujuan utama mereka tentunya adalah kantin, meskipun ada beberapa orang yang memilih tempat lain untuk menghabiskan waktu istirahat mereka. Tidak ada bedanya dengan seorang gadis yang kini sedang membereskan buku-buku di mejanya. Sesekali ia melihat ke arah pintu kelasnya memastikan seseorang yang biasanya berdiri disana saat jam istirahat sudah berada disana. Senyum gadis itu merekah saat melihat seorang lelaki tampan sudah bersandar di depan pintu kelasnya dengan tangan yang ia lipat di depan dadanya seperti biasa dan pandangan lurus menatap gadisnya yang masih sibuk membenahi barang-barang. Setelah sudah rapi, gadis itu langsung bergegas mengambil sebuah kotak makan berukuran sedang dari laci mejanya. Dengan senyum cantiknya ia menghampiri lelaki itu, tanpa saling berbicara dan hanya saling melemparkan senyuman manis, mereka langsung bergegas pergi dari depan kelas. Mereka berjalan menyusuri koridor sekolah, saat di jalanlah baru mereka saling bercerita. Bercerita tentang hal apa pun yang dapat membuat mereka sama-sama tertawa. Gadis itu adalah Sisi Laeta, siswi yang tidak jauh berbeda dari siswi-siswi pada umumnya. Cantik memang, tapi tidak begitu menarik perhatian penghuni sekolah lainnya. Sementara lelaki yang kini sedang berjalan bersama Sisi adalah Ali Arnata, kekasihnya sejak 5 bulan yang lalu. Lelaki tampan, namun belum cukup populer untuk dikenal banyak orang di sekolah ini. Sepertinya tampan tidak cukup untuk menjadi terkenal di sekolah berkelas seperti SMA Tunas Bangsa. Untuk menjadi terkenal, modal utama mereka sebenarnya adalah kaya dan juga bergaya. Sayangnya kedua hal itu tidak menjadi modal hal utama oleh Ali dan Sisi sehingga mereka tidak begitu menonjol di sekolah. Ya hanya sesekali nama Sisi disebut karena Sisi memang tipe siswi yang pintar, namun sepertinya tidak ada yang peduli. Bagi mereka menjadi pintar itu membosankan. Namun itu bukan masalah bagi mereka, dikenal atau tidak, yang penting mereka sama-sama bahagia dan membahagiakan. “Li, ngapain kesini?” Sisi menahan lengan Ali saat mereka sudah akan memasuki kantin. “Makan lah, kamu lapar kan?” “Iya sih, tapi gak usah disini deh. Lagian gak ada bangku yang kosong lagi kan.” “Itu di pojokkan ada yang kosong kan.” Ali menunjuk bangku paling sudut di kantin dengan dagunya sementara Sisi mengikuti pandangan Ali. “Tapi kan itu....” “Udahlah, gak papa kok,” Ali langsung memotong ucapan Sisi dan menariknya memasuki kantin menembus keramaian. Ali bernafas lega saat sudah berhasil duduk di bangku yang ia incar. Sementara Sisi tampak tidak nyaman. Matanya menyapu sekitar untuk memastikan semuanya aman. “Udah santai aja Sayang, lagian ini kan tempat umum. Ya udah katanya kamu bawa sesuatu buat aku.” Menyadari kecemasan kekasihnya, Ali langsung mengalihkan perhatiannya dan sepertinya berhasil. Gadis itu langsung kembali tersenyum saat mengingat sesuatu. “Sebelum kamu lihatin apa yang kamu bawa, aku mau pesan minum dulu ya, dari pada entar kita seret,” ucap Ali yang mendapat anggukan setuju oleh Sisi. Brakkkkkk!!!! Baru saja Ali akan bangkit dari duduknya untuk memesan minuman, suara gebrakan meja langsung mengagetkan mereka. Sekumpulan lelaki datang dengan wajah tidak sukanya. Sisi langsung tertunduk takut, apa yang ia takutkan terjadi sudah. Sementara itu, Ali malah terlihat tenang. Bahkan ia memutar bola matanya malas melihat sekumpulan orang yang akan merusak kesenangannya. “Eh, berani banget lo duduk di tempat kita,” ucap salah satu dari mereka yang berdiri paling depan. Sudah bisa dipastikan bahwa ialah ketuanya. Gino CS, geng paling populer sekaligus paling ditakuti di sekolah yang beranggotakan Gino, David, Luki dan Panca. Ali tersenyum tipis mendengar ucapan Gino. Sesaat kemudian ia tampak mencari-cari sesuatu di sekitar meja. “Mana? Katanya punya lo, kok gak ada tulisannya?” Tanya Ali dengan nada mengejek. Gino maju selangkah dengan tangan dikepal merasa geram mendengar ucapan seseorang yang tidak ia tahu namanya itu namun sudah berani melawannya. “Banyak omong ni orang, hajar aja,” ucap Panca. “Jangan... please kami minta maaf. Kami gak tahu kalau ini meja kalian. Kami udah mau pergi kok, maaf banget,” ucap Sisi langsung melerai pertengkaran itu. Dengan cepat Sisi menarik Ali keluar dari kantin. Ia tidak ingin mereka menjadi pusat perhatian karena sudah banyak orang yang melihat ke arah mereka. Lagi pula Ali tidak mungkin melawan mereka karena ia hanya sendiri. Ali yang ditarik Sisi hanya diam, rahangnya masih terlihat mengeras pertanda bahwa amarahnya masih belum mereda. “Kita duduk disini aja ya.” Sisi melepaskan tarikan tangannya saat mereka sudah sampai di salah satu bangku taman belakang sekolah yang masih kosong. Ada beberapa bangku disini, namun hanya tinggal satu yang kosong. Disini bisa dibilang cukup ramai. “Kita itu kan memang biasanya istirahat disini, kamu sih tadi pakai ajak aku ke kantin. Tempat kita itu disini Li, bukan disana. Sini duduk.” Ali hanya diam tak bergeming sementara Sisi sudah duduk. “Sayang, sini duduk,” ucap Sisi lagi. Ali menatap Sisi sejenak kemudian ikut duduk di samping Sisi. “Mereka bikin sekolah ini seolah-olah kerajaan dan mereka adalah rajanya, sementara kita rakyat jelatanya. Harusnya tadi kamu gak tarik aku biar aku kasih pelajar cowok-cowok songong itu,” ucap Ali kesal. “Udahlah, gak usah diladenin. Lagian kalau kamu lawan mereka, kamu bakal jadi incaran mereka. Kamu mau dikerjai habis-habisan?” “Aku gak takut, aku cuma gak mau aja bermasalah di sekolah ini makanya selama ini aku diam.” “Iya... iya... aku paham, udah ah gak usah dipikiri, entar jam istirahat keburu habis. Mending kita makan sekarang,” ucap Sisi kemudian membuka kotak makannya. “Taraaaaaaaaa...... ini dia, sponge cake ala chef Sisi .” Dengan begitu bangga Sisi memperlihatkan kue yang ia bawa. Ali tersenyum melihat Sisi yang selalu antusias memperlihatkan kue buatannya. “Ini rasa vanila. Nah ini akan jadi menu baru di Laeta Bakery. Kalau menurut kamu ini enak, aku bakal langsung tulis di menu dan bikin rasa lainnya juga. Coba deh.” “Aman gak nih? Ntar aku diracun terus aku di apa-apain, kan aku belum siap.” Ali tertawa geli setelah mengucapkan kalimat itu, sementara Sisi langsung mencibir. “Semua kue di Laeta Bakery itu aman, tanpa pengawet,” balas Sisi . Ali hanya mengangguk membenarkan kemudian mengambil satu potong kue buatan Sisi dan memakannya. Sisi memperhatikan setiap detik saat Ali sedang mengunyah, menantikan kalimat yang akan Ali lontarkan setelah memakan kue buatannya. Ali selalu menjadi pertama yang mencoba di setiap menu yang ia buat, karena Ali adalah pencinta kue jadi Ali sangat tahu kue yang enak dan tidak. Selain itu, Ali sangat jujur dalam menilai kue buatan Sisi sehingga Sisi sangat butuh penilaian dari Ali. “Jadi gimana?” Tanya Sisi. Ali tampak berpikir sejenak. “Ini kemanisan Sayang,” balas Ali. Sisi menautkan alisnya mengingat apakah ia kebanyakan memasukkan gula. Ia mengambil sepotong kuenya kemudian memakannya. Memang agak terlalu manis. “Oke, jadi kayaknya takaran gulanya harus dikurangi deh.” “Tapi enak kok.” Ali kembali memasukkan potongan kue lainnya ke dalam mulutnya. “Eh enak aja pakai tambah. Kalau tambah bayar,” canda Sisi. Mendengar candaan Sisi, Ali langsung memasukkan potongan-potongan kue lainnya ke dalam mulutnya hingga mulutnya penuh. Sisi tertawa geli melihat mulut Ali yang penuh dengan kue. *** Setelah mengantar Sisi pulang ke toko rotinya, seperti biasa aktivitas Ali sepulang sekolah adalah menjadi pelayan disalah satu kafe untuk menambah uang sakunya. Sesekali ia menjadi penyanyi kafe saat penyanyi kafenya tidak bisa hadir sebagai tambahan. Namun hari ini sebelum ke kafe bintang, tempat Ali bekerja, Ali singgah sebentar ke sebuah toko perhiasan. Baru saja kakinya melangkah memasuki toko perhiasan itu, sudah banyak berbagai perhiasan yang indah yang ingin ia beli. Beberapa saat mengedarkan pandangannya ke sekeliling toko, matanya terhenti pada sebuah kalung dengan liontin kecil berkilau. “Mbak, boleh lihat kalung yang itu?” Ali menunjuk kalung yang ia maksud. “Ini Mas,” ucap penjaga toko memberikan kalung itu pada Ali. Ali tersenyum melihat kalung yang indah itu, pasti akan lebih indah jika gadisnya yang memakainya. “Ini berapa ya Mbak?” “Ini Rp.1.200.000 Mas,” ucap penjaga toko itu yang seketika membuat Ali menghela nafas panjang. Ali terdiam sejenak mengingat berapa uang yang ia punya. Ternyata ia hanya punya setengah dari harga kalung itu. Bagaimana bisa ia membeli kalung itu? “Hmmmm gini Mbak, uang saya belum cukup tapi saya akan beli kalung ini. Beberapa hari lagi saya akan balik kesini. Kalungnya jangan dijual ke siapa-siapa dulu ya Mbak, kalau bisa disimpan aja. Saya bakal balik lagi kok,” ucap Ali meyakinkan penjaga toko perhiasan itu. Penjaga toko itu tersenyum melihat Ali. Tidak habis pikir saja ada lelaki yang terlihat begitu ingin membelikan perhiasan, meskipun perhiasan ini sebenarnya biasa saja. Pasti ia akan membelikan untuk orang yang spesial, pikir penjaga toko itu. “Iya Mas, kalungnya gak bakal saya jual,” ucap penjaga toko itu yang membuat senyum Ali merekah. “Makasih Mbak, makasih banyak.” Ali keluar dari toko perhiasan itu dengan senyum yang mengembang. Di pikirannya kini hanya satu, ia harus mencari uang untuk melengkapi uangnya. “Semangat Ali, lo pasti bisa. Bikin dia senang!” Ucap Ali menyemangati dirinya sendiri.  *** “Ini Li, gaji kamu buat minggu ini.” Ali mengambil amplop yang diberikan oleh atasannya. Diambilnya amplop itu dengan senyum bahagia. Meskipun ia tahu isinya tak seberapa, namun cukup untuk menambah uang membeli kalung yang ia inginkan dan sedikit ia sisihkan untuk keperluan pribadinya yang tidak seberapa. “Makasih Pak.” “Iya sama-sama. Oh iya, besok ada yang mau buat pesta di kafe ini, kamu mau jadi penyanyinya? Ya lumayan lah bayarannya buat tambahan. Kebetulan yang pesta orang kaya, jadi dia udah bayar mahal,” tawar Leo, pemilik kafe tempat Ali bekerja. “Wah saya mau Pak,” balas Ali antusias. “Ya sudah, besok kamu datangnya malam aja ya. Acaranya malam soalnya.” Ali langsung mengangguk cepat.  Setelah menerima gajinya yang memang dibayar seminggu sekali, Ali langsung bersiap untuk pulang sebab hari sudah mulai malam. Sebelum pulang, Ali mengganti seragam kafenya terlebih dahulu. Setelah itu Ali langsung bergegas menuju tempat kos miliknya. ***  Ali memarkirkan motornya di parkiran kos, setelah itu ia langsung bergegas menuju kamar miliknya. Badannya sudah terasa begitu lengket. Seperti biasa, baru saat malam harilah Ali bisa membersihkan diri sebelum ia tidur. Namun langkah Ali melambat saat melihat seseorang berbadan tinggi tegap berdiri di depan pintu kamar kosnya. Ingin rasanya Ali menghindar agar tidak bertemu dengan orang itu, namun rasa lelah dan keinginan untuk segera beristirahat membuat ia memilih untuk tak acuh saja. Akhirnya Ali melanjutkan langkahnya, tanpa berniat menyapa orang itu, ia langsung membuka pintu kunci kamar kosnya. “Nata,” suara panggilan itu membuat Ali lagi-lagi menghela nafas kasar. Terpaksa ia mengurungkan niat untuk memasuki kamarnya. Ia berdiri di depan pintu sembari menunduk tanpa berniat untuk menatap orang yang baru saja memanggilnya. “Papa baru pulang dari Amsterdam, papa bawa ini buat kamu.” Ali hanya melirik malas pada tas belanjaan yang dibawa oleh orang itu tanpa ingin tahu apa isinya. “Saya gak butuh itu. Kalau gak ada yang mau dibicarain lagi, Bapak bisa pulang,” ucap Ali dingin. “Nata, jangan ngomong kayak kita seolah-olah gak pernah kenal. Papa ini papa kamu.” Ali hanya diam. “Ali Arnata!” Kini orang itu terdengar meninggikan suaranya. Ali mendongakkan wajahnya menatap orang di hadapannya. “Maaf bapak Arya Hermawan. Ini sudah malam, jika bapak tidak ada kepentingan yang lain, saya ingin beristirahat. Dan jika saya boleh meminta tolong, tolong berhenti mengganggu saya.” Ucapan Ali terdengar begitu tegas dan sarat akan kebencian. “Mau sampai kapan kamu bersikap dingin kayak gini? Papa udah jelasin sama kamu kalau semua yang terjadi bukan atas keinginan papa. Pulanglah Nak, tempat ini gak bagus buat kamu.” “Sepaling tidak di tempat gak bagus ini saya gak akan ketemu orang yang udah bunuh ibu saya.” “Papa gak pernah bunuh mama,” balas Arya tegas. Sungguh, kata-kata Ali seperti itu selalu dapat menorehkan rasa pedih dihatinya. Sudah satu tahun dituduh sebagai pembunuh oleh anak sendiri membuat hidup Arya terasa sangat menyedihkan. “Gak bunuh? Apa maksudnya gak bunuh? Kalau bukan karena tanda tangan s****n yang Papa kasih ke dokter, Nata gak mungkin kehilangan mama!” Ali menatap tajam Arya dengan nafas naik turun tidak teratur pertanda bahwa ia sedang emosi. “Mama bakal makin tersiksa dengan alat-alat itu, mama udah harus pergi. Apa kamu mau lihat mama sakit terus? Dokter juga udah bilang kan kalau mama gak ada harapan.” “Tapi Nata masih punya harapan kalau mama bisa sembuh. Sepaling tidak, Nata bisa rasain kalau mama selalu ada. Udah lah Pa, bilang aja Papa memang mau mama gak ada biar Papa bisa leluasa kerja karena Papa memang gila kerja,” ucap Ali sinis. Arya menggeleng pelan tidak membenarkan ucapan putra semata wayangnya itu. “Kalau kamu masih belum bisa maafin papa, sepaling tidak kamu terima semua fasilitas yang papa kasih ya. Kamu anak Arya Hermawan, gak seharusnya kamu hidup kayak gini.” “Hidup kayak gini udah cukup kok. Nata mau istirahat, kalau Papa benar-benar mau bantu, cukup dengan biarin Nata hidup dengan kehidupan Nata sendiri,” ucap Ali kemudian masuk ke dalam kamar kos nya. Ali mengusap wajahnya kasar, dipijatnya pelipisnya saat merasa kepalanya mulai pusing. Ia selalu saja merasa emosi yang meluap-luap saat berdebat dengan ayahnya itu. Dihempaskannya tubuhnya pada ranjang kecil miliknya. Pikirannya melayang pada masa-masa kecilnya. “Nanti kalau ditanya di sekolah jagoan mama namanya siapa, Nata jawab apa?” “Ali Arnata bu guru.” “Pintar, panggilannya siapa?” “Nata.” “Pintar anak mama.” “Ma, Arnata itu apa?” “Singkatan nama mama dan papa, Arya Natalie. Nata kan anak mama sama papa.” “Tapi Ma, teman-teman Nata panggilnya Ali, bukan Nata.” “Ya gak papa, kan sama aja. Tapi mama sama papa kan panggilnya Nata.” Ali tersenyum sendiri mengingat Ali kecil pada saat itu. Mamanya benar-benar wanita yang sangat lembut. Sesaat kemudian senyumnya memudar saat mengingat kejadian beberapa tahun yang lalu. “Nata gak setuju Papa tanda tangani surat-surat pencabutan alat bantu mama.” “Tapi kita harus lakuin itu Nat, mama udah gak bisa bertahan.” “Nata bilang enggak ya enggak! Nata bakal gak punya mama kalau Papa tanda tangani itu.” “Papa tetap akan tanda tangani ini.” “Pa, Nata masih butuh mama. Mama pasti bisa sembuh.” Ali memejamkan matanya erat-erat mengingat saat kelam itu. Ibunya meninggal sekitar satu tahun yang lalu atas kanker otak yang ia derita. Ali sebenarnya juga tidak tega jika melihat ibunya selalu sakit-sakitan. Namun yang ia inginkan adalah ibunya sembuh, bukan pergi untuk selama-lamanya. Ali meraih ponselnya yang ada di sakunya. Disaat-saat seperti ini yang ia butuhkan adalah Sisi. Entah mengapa hanya dengan mendengar suaranya, Ali bisa merasa lebih damai. Ali terpejam sembari menunggu telefonnya tersambung dengan Sisi. Tidak butuh lama terdengar suara lembut dari seberang sana yang membuat Ali kembali tersenyum. Halo Laeta Bakery, ada yang bisa dibantu? Sayang, gak usah bercanda deh. Hahaha... sewot amat. Kamu udah pulang? Baru aja sampai kos Ya udah kamu langsung istirahat deh. Kamu emangnya udah pulang dari toko? Belum, ini masih beres-beres di toko Oh ya udah, aku mau mandi dulu. Kamu entar hati-hati pulangnya. Siap bos Kamu cinta aku Hahaha.. kebiasaan deh, yang benar itu aku cinta kamu Aku juga cinta kamu Ihhh... ngeselin... udah ah sana mandi. Bye Dah sayang Ali tertawa setelah menutup telefonnya. Seperti yang ia kira, ia merasa sudah lebih baik sekarang. Ali langsung bergegas untuk mandi setelah itu langsung beristirahat. *** “Bu Bos, sisa bahan kue nya ini mau di letakin dimana?” Sisi yang baru saja menutup telefon dari Ali langsung dikagetkan dengan suara seseorang dari belakangnya. “Jujun, lo ngagetin gue aja deh. Letakin aja di kulkas, itu masih baru semua,” balas Sisi sembari melanjutkan membereskan dapur toko rotinya. Sisi yang merupakan anak yatim piatu yang sudah ditinggal kedua orang tuanya sejak ia kecil yang memiliki usaha roti. Usaha ini ia dapati dari peninggalan orang tuanya. Kini Sisi tinggal dengan sahabatnya Megi yang juga merupakan karyawannya di toko roti. Sementara Juno, yang lebih sering di panggil Sisi Jujun itu adalah sahabat Sisi sejak kecil yang juga membantu Sisi di toko roto sebagai pengantar roti jika ada yang memesan.  “Ah kelar juga.” Sisi menyeka peluhnya lega saat melihat toko rotinya sudah rapi. “Pulang yuk,” ajak Juno. “Eh Megi mana?” “Dia kan udah pulang dari tadi, dia pamit duluan karena sakit perut.” “Oh iya.” Sisi menepuk dahinya saat mengingat bahwa tadi Megi sudah meminta izin padanya. “Ni uang yang pesan antar hari ini,” ucap Juno sembari memberikan uang hasil penjualan kepada Sisi. “Makasih batinis,” ucap Sisi kemudian tertawa keras. “Stop ya panggil gue kayak gitu!” “Lah panggilan lo kan memang gitu kalau ada yang pesan lewat telefon. Batinis, antari roti dong,” ledek Sisi. Juno hanya mampu menggeleng kecil sembari ikut tertawa menerima ledekan Sisi atas julukan yang diberikan oleh pelanggan roti yang kebanyakan ABG itu yaitu Batinis ‘Abang Roti Manis’. Akhirnya Sisi dan Juno pun bergegas pulang. Toko roti milik SIsi memang selalu tutup pukul 9 malam dan akan buka kembali pukul 10 pagi. Saat Sisi sekolah, Megi lah yang akan memegang kendali toko rotinya karena Megi sudah tidak bersekolah lagi, ia lebih tua 2 tahun dari pada Sisi, begitu pula dengan Juno. Namun bedanya, Juno melanjutkan ke jenjang kuliah. Ia akan membantu Sisi di toko saat ia sedang tidak ada jam kuliah. Mereka bertiga kenal dan menjadi sahabat karena orang tua mereka adalah teman lama.

editor-pick
Dreame-Editor's pick

bc

Over Protective Doctor

read
473.1K
bc

Marry Me If You Dare

read
222.5K
bc

Romantic Ghost

read
161.9K
bc

Bridesmaid on Duty

read
161.8K
bc

Suddenly in Love (Bahasa Indonesia)

read
75.9K
bc

Mendadak Jadi Istri CEO

read
1.6M
bc

MOVE ON

read
94.6K

Scan code to download app

download_iosApp Store
google icon
Google Play
Facebook