bc

Menyulam Takdir

book_age18+
1.7K
FOLLOW
11.0K
READ
drama
tragedy
like
intro-logo
Blurb

Berusaha untuk terlihat normal di tengah penyakit bipolar dan anxiety yang diidapnya selama lebih dari tiga belas tahun, serta menjadi single parent dalam waktu yang bersamaan merupakan hal yang sangat sulit untuk dilakukan oleh Vidya. Terlebih lagi dengan kehadiran Davin, seseorang dari masa lalunya, membuat semuanya semakin terasa lebih sulit.

chap-preview
Free preview
Topeng
Percayalah! Manusia hidup selalu menggunakan topeng, setiap hari tanpa mengenal waktu. Tidak peduli ia seorang anak kecil atau orang dewasa, mereka menggunakan topeng yang berbeda untuk bertemu dengan orang yang berbeda. Aku, kamu, dan dia, adalah bagian dari mereka yang menggunakan topeng! *** Loyang, mixer, spatula, dan beberapa alat membuat kue tergeletak di mana-mana. Beberapa orang pekerja yang menggunakan celemek terlihat sangat sibuk menakar, membuat, dan memisahkan adonan, ada juga yang disibukkan dengan oven atau kukusan. Di sudut ruangan tampak seorang wanita berusia dua puluh sembilan tahun juga disibukkan dengan kegiatan menghias sebuah cake. Ia terlihat sangat khusuk melakukan pekerjaan hingga tak menyadari salah seorang karyawan telah memanggilnya berulang kali. “Mbak Vidya, ada yang nyariin,” ujar Mona sambil tangannya melepas headset yang terpasang di telinga Vidya. Wajahnya cemberut menunjukkan kekesalan. “Eeh, ada apa?” Vidya menjawab dengan gugup, merasa kaget karena mendadak dipanggil. “Mbaaak, aku manggil udah lebih dari sepuluh kali lo,tapi nggak kedengaran gara-gara ini nih.” Mona menunjukkan headseat yang ada di tangannya ke hadapan Vidya dengan kesal. “Maaf, Mbak lagi bikin cake untuk Bintang, hari ini dia ulang tahun,” Vidya menjelaskan. “Sengaja pake headset biar nggak denger kalian ngegibah di sini.” Mona kembali memajukan bibirnya, kesal, “Ada yang nyariin Mbak, di depan,” ujarnya. “Siapa?” Vidya bertanya acuh, sambil meneruskan pekerjaannya.Berpikir, paling hanya Ariani yang datang ke cafenya seperti biasa. “Nggak tau! cowok, kayanya baru pertama kali datang ke sini.” Mona menjelaskan, tangannya mencolek adonan whipcream dan memasukkannya ke dalam mulut. “Ish, jorok.” Vidya menepis tangan Mona yang terkekeh geli. menyerahkan pekerjaannya pada gadis tengil itu, melepas celemek, dan melangkah keluar menemui tamu yang dikatakan oleh Mona. Rumah Cake, adalah nama cafe milik Vidya, didirikan di atas sebuah ruko bertingkat dua. Bagian atas ruko dijadikan kantor Vidya dan tempat tinggal untuk karyawan yang semuanya berasal dari luar kota. Bagian bawah ruko disulap menjadi cafe dan dapur sebagai tempat memproduksi cake. Cafe dengan interior sederhana berwarna biru laut ini, hampir setiap harinya dipenuhi pengunjung. Di cafe ini nuansa tenang dan damai sengaja ditonjolkan oleh Vidya. Pengunjung yang datang ke cafe tidak hanya menikmati segelas lemon tea dan sepotong cake dengan berbagai varian, tetapi juga bisa memesan cake untuk dibawa pulang. Di dekat meja kasir, tampak seorang pria menggunakan kemeja berwarna putih, duduk memunggungi Vidya yang datang dari arah dapur. “Ehm ... permisi, ada yang bisa saya bantu?” Vidya menyapa laki-laki itu dengan sedikit ragu. Pria berkemeja putih itu berdiri dan membalikkan badannya dengan cepat, mengukir senyum untuk Vidya, sembari membetulkan letak kacamata putihnya. “Hi ...” hanya itu kata yang keluar dari mulut pria tersebut. Ia tersenyum dengan kikuk saat mata mereka bertemu tatap. “Mas Da-vin,” tegur Vidya gagap. Ia tidak menyangka jika pria yang mencarinya adalan Davin. Pria yang telah menghilang setelah membuatnya terpuruk dan merasa sangat buruk. Jantung Vidya berdetak cepat, tubuhnya gemetar, dan mengeluarkan keringat dingin. ia tersenyum, menjatuhkan dirinya di kursi, berusaha untuk terlihat tenang dan normal di hadapan pria itu. Davin mengulurkan tangan ingin menyentuh Vidya, namun diabaikan olehnya, hingga akhirnya pria itu memilih duduk di kursi yang berhadapan dengan Vidya, agar ia bisa melihat wajah wanita yang telah tiga belas tahun ini selalu dirindukannya. Sesekali tangannya membetulkan letak kacamata yang digunakan. “Bagaimana kabarmu?” Davin bertanya, mencoba bersikap akrab. “Mas, bisa lihat. Aku sangat baik!” jawab Vidya ketus. “Aku baru datang dari Surabaya, pindah dan akan tinggal kembali di kota ini menemani Mama,” Davin berkata, “Aku juga akan sering mengunjungimu di sini.” Vidya menundukkan pandangan. Mendengar Davin akan tinggal kembali di kota Pontianak membuat tenggorokannya kering, berulang kali ia menelan ludah yang tiba-tiba saja menjadi terasa sangat pahit. “A-apa aku bertanya dan peduli!” Ia mencoba bersikap frontal di hadapan Pria yang saat ini menatapnya dengan tajam dan penuh rasa rindu. “Aku merindukanmu Vidya, kau tidak senang melihatku datang?” kembali Davin mencoba menggapai tangan Vidya, berusaha menunjukkan kerinduan yang selama ini ia pendam. “Maaf, aku sedang sibuk, bisakah Mas pergi?” pinta Vidya, berusaha menghindari Davin. Suaranya terdengar gemetar walaupun berusaha ditutupi dengan bersikap dingin. Dua buah bulir bening yang ditahan sedari tadi akhirnya luruh. cepat ia palingkan muka menghindari tatapan tajam mata Davin yang penuh selidik. Tanpa menunggu jawaban, Vidya beranjak meninggalkan pria yang telah menorehkan luka tak terobati di hatinya. Tak ia hiraukan tatapan aneh pengunjung cafe yang melihatnya menangis. Davin termangu menyaksikan kepergian Vidya. Seiris tipis rasa bersalah merayap masuk di hati pria itu. Mengusap kasar wajahnya yang tampan, mengalihkan kekesalan yang tak mungkin ia tumpahkan saat ini di hadapan orang banyak. Seharusnya ia mendengarkan nasehat mama untuk tidak menemui Vidya, walaupun wanita tegar itu terlihat baik-baik saja selama tiga belas tahun ini, tetapi luka yang ia torehkan mungkin belum bisa sembuh sepenuhnya. Dengan perasaan yang campur aduk Davin melangkah pelan meninggalkan cafe. Kakinya goyah menapak lantai yang tiba-tiba terasa bergoyang, sesekali ia menoleh ke belakang, berharap bisa melihat sosok Vidya kembali. Sementara di kantornya, Vidya menangis tersedu-sedu di pojok ruangan. Sekelibat bayangan masa lalu melintas, membuat ia hampir tidak bisa membedakan antara ilusi dan kenyataan. Dirinya mencoba untuk bersikap tenang mengambil nafas panjang dan mengembuskannya perlahan. Menutup mata, menetralkan perasaan, dan pikiran yang masih berlomba-lomba untuk diakui bahwa apa yang ia dengar dan rasakan adalah nyata, padahal di dalam hati terkecilnya sangat tahu bahwa itu hanyalah delusi yang harus ia usir pergi. Diraihnya botol obat dari dalam tas. Saat ini ia sangat membutuhkan benda pipih berwarna putih tersebut, dan tak mungkin ia bisa menahan diri. Vidya membutuhkan obat agar dirinya tetap menjadi waras. Lelah ia mengusir kilasan kejadian empat belas tahun silam, tetapi sayang ia kalah mengontrol pikirannya. **** “Aaahhh ... jangan, Mas Davin, tolong lepaskan aku,” lirih suara Vidya,memohon pada pria di hadapannya yang sedang dirasuk setan. Ia menangkupkan kedua tangan di depan d**a, wajahnya penuh lebam, cairan merah keluar dari sudut bibirnya yang berwarna merah muda. Seragam sekolah yang ia kenakan robek, menyisakan pakaian dalam yang hanya menutupi kedua bukit berwarna putih. Terseok-seok ia meraih seprai yang telah terlepas, menutupi tubuh yang tak lagi berbusana. Pria yang sedang diamuk nafsu itu, sedikit pun tidak memedulikan ketakutan Vidya. Bagai singa lapar ia kembali menerkam tubuh mungil remaja yang sudah lemah tak berdaya. Kedua tangannya melepas paksa seprai dan merobek sisa pakaian yang masih menempel. Tangan kasarnya mulai menggerayangi tubuh gadis malang itu. Sekuat tenaga Vidya mencoba melawan keganasan Davin, tetapi sia-sia saja. Semakin ia mencoba melawan, semakin beringas Davin menikmati tiap inci tubuhnya tanpa ada rasa iba. Suara tangis dan permohonan yang dikeluarkan, terdengar bagai candu di telinga Davin, membuat ia makin bersemangat berpacu di atas tubuh gadis yang sudah tak berdaya itu hingga mencapai puncak. Lelah mendaki dosa, Davin terkulai lemas. Terlelap tanpa menghiraukan tubuh lemah yang berada di sampingnya. Ia tidak perlu mengkhawatirkan kalau Vidya akan kabur, dirinya sudah mempersiapkan semuanya dengan matang, memuluskan rencananya menikmati tubuh gadis polos itu tanpa ada gangguan. Dengan kekuatan yang tersisa Vidya mencoba meraih gagang pintu, berharap dirinya bisa lari dari neraka yang saat ini dirasakannya. Namun, baru berjalan beberapa langkah ia sudah di tarik kembali oleh Davin, seakan tidak ingin melepaskan vidya dari cengkeraman nafsu binatangnya. Tanpa daya Vidya hanya bisa pasrah, berulang kali menjadi pelampiasan hasrat pria tak bermoral itu. *** Tubuh Vidya terkulai lemah tak berdaya, tergeletak begitu saja di depan pintu kantor yang terbuka lebar. Kenangan pahit yang kembali hadir akibat kemunculan Davin tidak bisa ditolak, walau sudah belasan tahun ia berusaha menguburnya dalam-dalam. Rasa sakit yang ditorehkan oleh pria itu tertancap dalam di hatinya. "Kenapa kau harus datang, kenapa kau harus menemuiku? Tidak cukupkah luka yang kau tanam empat belas tahun lalu?" lirih Vidya dalam kesendiriannya. Mengumpulkan seluruh kekuatan, dirinya berusaha berdiri, berjalan sempoyongan menuju meja kasir dengan mengukir senyum palsu di bibirnya. “Nis, cake yang tadi Kak Vidya buat tolong di bungkus, ya!” perintahnya pada Anis, tak lupa ia juga membungkus beberapa cake dan minuman dingin yang terpajang di etalase depan. “Mau ngadain pesta ya, Kak?” tanya Anis. “Bintang ulang tahun hari ini, Kakak sengaja membawa pulang banyak cake, sebab dia sangat suka cake apalagi yang rasa coklat dan keju,” jelas Vidya. Wajahnya menampilkan senyum yang sangat lebar, Tidak tampak sedikit pun gurat kesedihan yang tadi sempat ia rasakan. “Ulang tahun yang ke berapa, Kak?” Anis kembali bertanya. Tangannya sibuk membungkus cake buatan Vidya. Vidya tersenyum semringah, “yang ketiga belas tahun.” “Owh, selamat ulang tahun aja untuk Bintang,” balas Anis. “Terima kasih, Kakak pulang dulu. Titip cafe, ya!” Pamit Vidya, kedua tangannya penuh dengan bungkusan cake berbagai varian yang akan dibawa pulang. *** Erna, memperhatikan Davin yang terlihat gelisah sejak kepulangannya tadi siang. Walaupun hal itu berusaha ditutupi oleh putranya, tetapi sebagai orang tua, Erna mengetahui ada sesuatu yang menjadi beban pikiran putra semata wayangnya. “Davin, Mama mau bicara!” tegur Erna lembut, tetapi dengan nada tegas. “Ya, Mah. Ada apa?” jawab Davin sambil lalu. Melewati Erna menuju kamar tidurnya. “Kamu kenapa? Ada yang mengganggu Pikiranmu?” tanya Erna kembali. Sukses menghentikan langkah Davin. Pria itu berbalik, memandang Erna sambil membetulkan letak kacamatanya yang sedikit terturun. “Vidya, Mah. Tadi aku menemuinya dan dia terlihat sangat berbeda, tidak seperti dirinya yang dulu,” jelas Davin. Erna terpaku. Jawaban Davin membuatnya sedikit berang. “Apa yang kau harapkan, Nak? Ingin Vidya terlihat bahagia? Menerima kehadiranmu?” pungkas Erna cepat. “Apa yang sudah terjadi pada Vidya, selama kepergianku tiga belas tahun ini?” Kening Davin mengerut. Mengajukan pertanyaan, berharap sang mama mau berkata jujur. “Mama sudah melarangmu menemui Vidya. Belum saatnya kalian bertemu dan kau sudah membantah. Biarkan anak malang itu hidup tenang tanpa perlu melihat dirimu, apalagi merasakan kehadiranmu!” Erna menjawab pertanyaan anaknya dengan ketus. Menyesali keputusan Davin yang menemui Vidya tanpa seizinnya. “Buat istrimu bahagia dan bebaskan Vidya!” ujar Erna sebelum ia berlalu meninggalkan Davin sendirian. Davin yang mendapat peringatan keras dari Erna semakin bimbang, apa yang telah terjadi pada Vidya selama ini? Gadis remaja yang dulu sangat dicintainya, hingga untuk mendapatkan hati gadis itu, Davin harus melakukan hal-hal bodoh, dan karena kebodohan pula, membuat dirinya harus melepaskan pandangan dari Vidya selama hampir empat belas tahun. Di usia yang ke dua puluh lima, Davin belum juga memiliki seorang kekasih . Belum ada satu wanita pun yang mampu menggetarkan hatinya. Mama dan papanya berniat menjodohkan Davin dengan anak dari sahabat mereka. Seorang gadis muda yang cantik seumuran dengan Davin. Pintar, dan dari keluarga terpandang. Davin yang belum pernah merasakan cinta di usia yang semakin matang, tentu enggan menolak keinginan kedua orang tuanya, walau diakui dirinya juga tidak yakin dengan keputusan tersebut. Alika gadis yang cantik, tapi entah kenapa, sedikit pun Davin tidak tertarik pada wanita itu. Menurutnya Alika terlalu dewasa dan keras kepala. Penampilannya sangat modis bagaikan seorang model. Setiap kali mereka berjalan bersama, tatap mata para lelaki tidak pernah lepas dari Alika, hal ini membuat davin merasa sangat tidak nyaman. Walau demikian sedikit pun dirinya tidak berencana menolak atau memutuskan perjodohan tersebut, ia tetap berkeyakinan, bahwa pilihan orang tuanya adalah yang terbaik. Perasaan berbeda dirasakan Davin saat ia bertemu Vidya untuk pertama kalinya. Gadis remaja berusia lima belas tahun yang terlihat sangat lugu itu mampu membuat hati Davin berdebar-debar, senyum polosnya membuat Davin terbayang-bayang, hingga sulit tidur dengan nyenyak. Semakin ia berusaha melupakan sosok Vidya, semakin membuat dirinya tersiksa. Hanya dengan melihat senyum gadis remaja itu, Davin sudah merasa sangat bahagia. Terasa aneh memang, dirinya bisa jatuh cinta pada seorang gadis yang berumur sembilan tahun di bawahnya, tapi cinta tidak bisa memilih pada siapa akan meletakkan hati. Davin merasa kagum dengan sifat Vidya yang lembut, sederhana, tetapi tegas, serta tidak pernah mengeluh dengan kerasnya keadaan. Menurutnya Vidya adalah wanita yang kuat. Jika harus membandingkan Alika dan Vidya serta memilih salah satu di antara keduanya sebagai istri, Davin akan dengan mantap menjatuhkan pilihan pada Vidya. Namun, apa daya, pertunangan dengan Alika sudah terjadi. Tanggal pernikahan juga sudah ditetapkan, memutuskan hubungan secara sepihak akan membuat keluarga mereka malu. Di tengah kegalauan hati yang ia rasakan, pesona Vidya semakin tidak dapat ditolak. Tanpa merasa malu dirinya memberanikan diri menyatakan cinta pada Vidya yang disambut dengan tawa renyah oleh remaja itu. Vidya menolak cintanya bahkan dengan santai gadis itu mengatakan kalau Davin adalah om-om p*****l yang mencintai anak di bawah umur. Penolakan Vidya membuat Davin merasa terhina, bagaimana pun dirinya adalah seorang Davin yang memiliki pesona bagai seorang dewa. Selama ini dirinya tidak pernah menerima penolakan, tetapi dirinya yang selalu menolak kehadiran wanita-wanita penggila cinta. Tidak akan ia biarkan seorang gadis remaja menolak cinta yang telah ia berikan. Kemarahan dan cinta buta membuat Davin mengikuti bisikan setan. Ia ingin memiliki Vidya selamanya dan hanya dengan merampas kehormatan Vidya, ia bisa memiliki gadis itu dengan atau tanpa cinta.

editor-pick
Dreame-Editor's pick

bc

Nur Cahaya Cinta

read
358.5K
bc

Rujuk

read
907.8K
bc

Pengganti

read
301.7K
bc

PEMBANTU RASA BOS

read
15.5K
bc

AHSAN (Terpaksa Menikah)

read
304.2K
bc

LARA CINTAKU

read
1.5M
bc

Dependencia

read
186.2K

Scan code to download app

download_iosApp Store
google icon
Google Play
Facebook