bc

Netraruna

book_age16+
102
FOLLOW
1K
READ
dark
badgirl
tragedy
comedy
bxg
humorous
mystery
scary
coming of age
lonely
like
intro-logo
Blurb

Pol dan Die adalah dua orang yang pernah saling terhubung di masa lalu. Namun ingatan yang memudar seiring berjalannya waktu membuat mereka tidak bisa saling mengenal saat bertemu kembali. Namun, sebuah peristiwa tidak terduga membuat keduanya berinteraksi bahkan bertukar tubuh. Dari sana, satu per satu rahasia dan masa lalu mereka terungkap. Termasuk, alasan dibalik mata Die yang berubah merah di saat-saat tertentu.

chap-preview
Free preview
Satu
"Aku penasaran, kamu manusia atau Setan?" ❣❣❣ Gadis berambut hitam panjang sepinggang yang selalu dikepang dua itu membuatku penasaran. Apalagi, dia duduk di bangku sebelahku. Kami teman sekelas dan sebangku. Meski begitu aku hampir nggak pernah mendengarnya bicara padahal dia nggak bisu. Dulu pernah sekali, saat pertama bertemu. Setelahnya, nggak lagi. Aku nggak tahu banyak hal tentangnya. Setahuku, dia hanya gadis yang nggak pernah mengganti gaya rambutnya, selalu diikat dua dengan tali rambut berwarna merah. Padahal, kebanyakan gadis-gadis di kelasku selalu mengubah gaya rambut mereka, entah digerai, ekor kuda atau dikepang satu atau dua. Meski begitu, ikat rambutnya terkadang berwarna merah tua, merah muda atau merah darah. Itu cukup melegakan, setidaknya, meski gaya rambutnya tetap, ikat rambutnya berubah. Hal yang paling membuatku penasaran, setidaknya minimal selama tujuh hari dalam sebulan, dia akan absen. Alasannya bermacam-macam, seperti sakit, izin atau tanpa keterangan. Meski begitu, dia nggak dikeluarkan dari sekolah. Ajaib! Siapa dia sebenarnya? Untuk memuaskan rasa ingin tahuku, aku pernah ke rumahnya dulu. Jika boleh menilai, dari skala 1-10 untuk kategori rumah terjorok dan terseram, sudah pasti rumah gadis itu berada di skala 11. Rumahnya sudah seperti sarang Setan. Rumput di depan rumahnya dibiarkan panjang, nggak terurus dan pohon beringin besar di samping rumahnya itu mampu membuatku ingin segera kabur. Gadis itu juga sangat lemah, lebih lemah dariku. Dia selalu melewatkan jam pelajaran olahraga. Alasannya, karena fisik yang 'rapuh'. Itu konyol. Maksudku, rapuh darimana? Dia terlihat sehat, kulitnya putih dan wajahnya selalu tampak merah, nggak ada tanda-tanda dia sakit atau sekarat. Wajah gadis itu memang cantik, aku akui itu. Dengan hidung mancung, pipi yang sedikit chubby dan bibir yang tipis, dia sangat bisa dikatakan manis. Walau begitu, aku lebih suka menyebutnya cantik. Jika diperhatikan dengan seksama, manik matanya selalu berubah-ubah. Awalnya aku mengira dia memakai softlens, tetapi dugaan itu salah. Buktinya dia selalu tidur. Seseorang yang memakai softlens nggak boleh tidur tanpa melepas softlens. Makanya, aku yakin dia nggak pakai. Warna manik matanya terkadang hitam dan salah satu atau dua-duanya merah. Dia juga sering seperti orang kaget atau meneteskan air mata ketika tidur. Dia seperti bermimpi buruk setiap hari. Aku selalu kasihan setiap kali dahinya tertaut, seolah dia sedang melihat sesuatu yang menyeramkan. Nama gadis itu adalah Die Isalive. Dia bukan alien atau bule melainkan pribumi. Aku nggak suka memanggilnya dengan nama, lebih suka menyebutnya dengan gadis itu. Lagipula apa-apaan dengan namanya itu? Die is alive? Sekarang, seperti biasa, aku sedang mengamatinya yang sedang tertidur pulas. Jam pulang sekolah sudah usai sejak tadi, tetapi gadis itu masih memproduksi iler. Aku sebenarnya mau pulang, tapi batal dilakukan. Aku penasaran dan sudah nggak tahan. Aku butuh jawaban tentang pertanyaan yang selalu menggelayut dalam pikiranku selama ini. "Hei." Aku mencolek sedikit bahunya, beberapa kali sampai dia dan membuka mata. Kali ini, manik matanya setengah merah setengah hitam. Aku belum rabun sehingga sangat yakin dengan apa yang aku lihat sekarang. "Hei, boleh aku tanya sesuatu?" tanyaku memberanikan diri. Dia nggak menjawab hanya mengerjabkan matanya dua kali. Setelahnya, dia menarik sedikit ujung bibirnya lalu menegakkan tubuhnya. Dia menoleh ke arahku. Walau takut, aku nggak berniat menghindari tatapannya sehingga kami bertatapan dalam diam. Hatiku berkecamuk, rasa penasaranku semakin memuncak. Manik mata merah itu menguat, kini keduanya menjadi merah. Dengan memantapkan hati, bibirku bergerak untuk menanyakan pertanyaan yang selama ini aku pendam. "Aku penasaran, kamu manusia atau setan?" Dia menyeringai lebar. "Setan," jawabnya. "Di belakangmu!" What? Aku meloncat kaget sehingga tersandung kaki meja membuatku. Kemudian aku melihat bintang-bintang, padahal masih siang. Selanjutnya, aku dipenuhi kegelapan. Pingsan. *** Kejadian kemarin membuatku kehilangan muka di depan gadis itu. Meskipun dia nggak menyinggung soal 'pingsan'nya aku, aku penasaran bagaimana caranya dia bisa menelpon orang tuaku untuk datang menjemputku. Bukan nggak tahu berterima kasih, tetapi sangat ajaib dia bisa menelpon orang tuaku dengan ponsel milikku. Bagaimana bisa dia tahu password-nya? Aku bahkan belum pernah memberitahu atau memperlihatkan password-ku padanya. Apa dia segenius itu? Si gadis aneh itu? Impossible. Aku sudah memperhatikannya sejak lama dan menyimpulkan bahwa gadis ini sangat pemalas. Catatannya kosong. Saat ulangan, dia nggak pernah menjawab penuh. Dia hanya menjawab satu sampai dua soal di soal uraian dan menyilang bebas di soal pilihan ganda. Dia nggak pernah dapat nilai di atas empat puluh. Namun, akan ada hari dimana dia mendadak jadi genius, tiga hari sebelum 'cuti' seminggunya. Dia menoleh ke arahku tiba-tiba membuatku yang sedang menyesap teh kotakku langsung terbatuk. Sebagian teh bahkan muncrat dan kemana-mana. Dia nggak mengatakan apapun, hanya mengambil tisu dan meletakkannya di atas genangan teh. Untuk beberapa detik mata kami bertemu dan kedua manik matanya hari ini berwarna hitam. "Hei," panggilku. Dia bergeming, mengabaikan panggilanku. "Die," panggilku. Dia menoleh malas. "Makasih untuk yang kemarin," ucapku. Dia mengangguk. Setelahnya menunduk dan memejamkan mata seolah berkata 'jangan ajak aku bicara!'. "Kamu tahu darimana password handphoneku?" tanyaku, mengabaikan sinyal peringatan yang dia berikan. Dia tampak menghela napas, masih dengan mata terpejam. "Die, Die," panggilku lagi. Dia akhirnya membuka mata. Sayangnya, tatapan marah yang aku dapat, bukan jawaban. Die beranjak dari kursinya lalu keluar kelas. Entah kemana., aku nggak berniat untuk mengejarnya. Selain capek, dia pasti sudah menghilang lagi. Maksudku, dia akan bolos sampai jam terakhir. Setelahnya, akan kembali dan tidur di kelas sampai semua murid di sekolah pulang. Tentu saja, aku selalu pulang paling akhir. Bukan ingin menemaninya tapi menelitinya. Walau sampai sekarang, aku belum mendapatkan jawaban dari rasa penasaranku. "Kamu mengajaknya bicara lagi, Pol?" tanya Tsabit, teman sekelas sekaligus sahabat baikku. Aku mengangguk kecil. "Dia jawab?" tanyanya lagi. Aku menggeleng lemah. "Sudahlah, menyerah saja," katanya menasehati. "Nggak bisa," tolakku. "Kenapa sih segitunya suka sama dia?" tanya Tsabit yang seketika membuatku melotot kaget. "Hah?" "Semua murid satu sekolah sudah tahu kali kalau kamu ngejar-ngejar dia," kata Tsabit dengan senyuman miringnya. "Aku nggak suka dia," bantahku. "Nggak usah malu-malu, Pol. Kami semua akan mendukungmu," katanya mengabaikan bantahan yang aku katakan. "Aku beneran nggak suka dia, Bit," tegasku. "Nggak suka? Lalu untuk apa kamu sering melihatnya bahkan tanpa berkedip? Untuk apa pulang terlambat hanya demi ngejagain dia yang lagi tidur? Kamu juga suka banget nanyain tingkahnya dia ke temen-temen, Pol. Setelah semua itu, kamu masih aja nyangkal?" sahut Tsabit yang membuatku hanya bisa nyengir kuda. “Atau jangan-jangan kamu penguntit m***m?” tuduh Tsabit. “Gila! Nggaklah,” bantahku cepat. "Kalau gitu, kamu suka dia kan? Ngaku, deh. Nggak akan ada yang ngerebut cewek kayak gitu darimu," ujar Tsabit memaksaku mengaku. "Bukan gitu, Bit," sangkalku. "Ada alasan kenapa aku melakukan itu." Dahi Tsabit berkerut sebentar. "Apa alasannya?" tanyanya penasaran. "Begini, Dia itu--." "Iya, terserah kamu mau bilang apa," potongnya kemudian. "Aih, belum juga aku jelasin," protesku. "Aku dengar kemarin kamu pingsan," katanya mengalihkan pembicaraan. “Kok tahu?” "Dan Die yang menolongmu?" tanya Tsabit lagi mengabaikan pertanyaan dariku. Aku mengangguk mengiyakan. "Fix, nikahi saja dia lalu ubah jadi manusia normal," saran Tsabit yang membuatku melotot kaget ke arahnya. "Dia manusia, Bit!" teriakku yang membuat Tsabit ternganga. "Kaget, Njir! Makan ini! Aku tahu kamu menyukainya," kata Tsabit yang segera memasukkan camilan ke mulutku. Aku terpaksa mengunyah camilan yang ada di mulutku. Tsabit nggak berkata apapun setelahnya. Aku ingin bertanya mengapa dia menyebut Die sebagai manusia yang nggak normal tetapi sepertinya dia nggak akan memberiku jawaban. Jadi, aku urungkan saja niat itu. *** Sekolah telah usai. Kelas sudah sepi, matahari telah bergeser dari tengah-tengah bumi. Seperti hari-hari sebelumnya, hanya ada aku dan Die di kelas. Lorong sekolah sudah kosong. Hanya senyap yang menjadi saksi bahwa aku masih melakukan aktivitas yang sama berulang kali seolah jika aku melewatkannya, aku akan merugi. Saat ini Die tengah tertidur seperti biasa. Dia belum ngiler, karena baru beberapa menit tertidur. Tadi kami sama sekali nggak bicara, lagi. Aku menjadi penasaran padanya di hari pertama pertemuan kami. Kami memang satu sekolah tetapi belum pernah sekelas. Saat masuk ke dalam kelas, dia berteriak 'ketua kelas' kepadaku. Setelahnya, aku benar-benar menjadi ketua kelas. Entah itu kebetulan atau bukan, yang pasti selain sapaan tiba-tiba itu, dia nggak pernah bicara padaku lagi. Baru kemarin dia mau menjawabku. Itu pun dengan jawaban yang ambigu. Aku mulai membereskan buku-bukuku, berniat pulang. Aku nggak mau lagi kejadian kemarin terulang, jadi sepertinya aku harus berhenti menunggu dia bangun untuk pulang. Selesai berkemas, aku menyampirkan tasku ke pundak. Aku amati dia yang masih tertidur pulas. Aku hendak melangkahkan kaki untuk pulang ketika tiba-tiba angin semilir berhembus dan tercium bau anyir darah. Aku menelan ludah ketika tengkukku terasa dingin. Bulu kudukku meremang tanpa ada alasan yang jelas. Aku menatap ke sekitarku, entah kenapa ruang kelasku jadi semakin luas dari biasanya. Papan, kursi, meja seakan terisi penuh  padahal nggak ada apapun disana. Aku menelan ludah dan merasa mulai gila ketika melihat penghapus papan tulisku mulai melayang beberapa detik. Aku jatuh duduk, bahuku seakan ditekan hingga pantatku terpaksa duduk lagi di kursiku. Aku mendadak meriang, tubuhku menggigil tanpa sebab. Kaki dan tanganku mendingin. Aku menoleh, menatap Die dan dia masih hanyut dalam mimpinya. Aku menatap Die selama beberapa waktu, rasa nggak nyamanku memudar. Melihatnya membuatku sedikit lebih baik. Entah kenapa aku mendekat. Aku ingin melihat wajahnya secara lebih jelas. Perlahan aku merebahkan kepalaku di meja sehingga kini wajahku menghadap ke wajahnya. Aku kemudian mendekat secara perlahan hingga jarak wajahku dan wajahnya hanya tinggal beberapa inci. Aku amati baik-baik wajahnya. Dia terlihat seperti manusia pada umumnya jika begini. Dia memang manusia sih. Aku menggeser lagi wajahku hingga jarak kami terlalu dekat. Hembusan napasnya bahkan mengenai wajahku. Dalam sekejap dia membuka matanya membuatku hanya mampu membeku karena kepergok. "Jangan ngasih ciuman, kamu bukan pangeran!" Aku menautkan alis. "Aku nggak bermaksud begitu," ungkapku jujur. Die menjauh, menegakkan punggung. "Bagus," katanya. "Karena jika kamu melakukannya, kamu akan menyesal!" Aku menelan ludah, tengkukku mendingin lagi melihat tatapan sinis dan seram Die. "Kamu segitunya ingin mengamatiku?" "Heh?" "Begitu penasarannya sampai mau mati?" "Heh?" "Kalau begitu, kenapa kamu nggak jadi aku saja?" Aku melongo. Matanya saat ini berubah orange. Aku belum rabun bukan? "Aku minta maaf jika aku mengganggumu selama ini tapi…" Aku mulai ketakutan bahkan suaraku terdengar bergetar. Dengan cepat, aku mencoba bangkit. "Maaf, maaf," ucapku lalu mulai berjalan pergi. Aku terduduk lemas di lorong kelas. Saraf-saraf kakiku terasa lepas. Die sangat menyeramkan barusan. "Hei!" "Aaa!" jeritku lantas mendongakkan kepalaku, menatap Die yang sudah berdiri di depanku. "Aku serius," katanya. "So-soal apa?" tanyaku terbata-bata. "Kamu jadi aku," jawabnya. "Heh?" Jadi dia? Aku belum gila hingga berniat jadi perempuan. "Aku masih ingin jadi lelaki," kataku. Die mengangkat sudut bibirnya sedikit, membuatnya jadi terlihat makin menakutkan. Gadis itu berjongkok dengan wajah yang sengaja didekatkan ke wajahku. "Pol. Maafkan aku!" "Hah?" Die mendekat lalu memberikan sebuah ciuman di pipi. Aku menjerit histeris, segera bangkit dan berlari pergi. Meski merasa tubuhku lebih ringan, aku tetap berlari. Meski rambutku terasa melayang-layang, aku juga tetap berlari. Namun, aku terdiam saat melewati kaca besar di depan ruang kepala sekolah. Aku membeku. Bayangan di cermin bukan aku!

editor-pick
Dreame-Editor's pick

bc

Penjara Hati Sang CEO

read
7.1M
bc

Mengikat Mutiara

read
141.9K
bc

Bridesmaid on Duty

read
161.8K
bc

Unpredictable Marriage

read
280.4K
bc

HOT AND DANGEROUS BILLIONAIRE

read
569.1K
bc

T E A R S

read
312.4K
bc

My Husband My CEO (Completed) - (Bahasa Indonesia)

read
2.2M

Scan code to download app

download_iosApp Store
google icon
Google Play
Facebook