1st Teen - Screaming Woods

1468 Words
          Mereka telah tiba di Canterbury sabtu siang itu dengan diantar oleh saudara Coddie. Pria itu telah berbaik hati untuk membantu mereka mencari transportasi selama liburan mereka. Setelah perjalanan yang cukup melelahkan, mereka tiba di stasiun Pluckley setelah melewati Ashford. “Kita akan cari penginapan di Pluckley Village. Naik taksi lebih baik,” saran Coddie dan tanpa menunggu jawaban kedua temannya, ia langsung memanggil sebuah taksi. Jalanan telah berubah menjadi lebih sunyi dan langit telah berubah jingga. Ada lebih banyak pepohonan di sekitar mereka sebelum mereka melihat sebuah papan nama Pluckley dan berhenti sejenak di depannya. “Yah, welcome to Pluckley Village, ladies,” seru Coddie dengan bersemangat. Tampaknya perjalanan mereka sama sekali tidak membuatnya lelah.           Michelle patut mengakui bahwa desa itu layak dikatakan sebagai desa paling berhantu di Inggris. Jalanannya benar-benar sepi seperti kota mati dan ada kesan suram pada tempat itu. Tapi, bangunannya cukup indah. Gadis itu memberi tanda pada Coddie untuk langsung mencari penginapan sebelum gelap. Mereka menyusuri jalanan sepi itu dan mencari papan nama sebuah penginapan. Beruntung, Rowena menemukan seorang wanita tua yang bersedia memberitahu mereka di mana mereka bisa menemukan penginapan, Parsonage Cottage.            Sepasang pemilik tempat itu menyambut mereka. Istri sang pemilik, Lorraine mengantar mereka ke salah satu kamar yang masih sangat kokoh walaupun menurut ceritanya Parsonage Cottage adalah penginapan tertua di Pluckley yang usia rumahnya sudah mencapai 400 tahun lamanya. “Kalian akan sekamar saja ?” tanyanya dengan ramah. Michelle mengangguk sambil tersenyum. “Murid seperti kami perlu menghemat, Lorraine. Dan kami tidak akan lama menginap di sini. Masih akan berjalan-jalan melihat Pluckley,” jawabnya. “Oh, di sini banyak tempat yang dapat dijadikan tempat wisata alami. Kalian harus mencoba untuk mengunjunginya. Di sini juga sangat banyak hutan kalau kalian suka menjelajah,” kata Lorraine bersemangat sembari berjalan ke arah pintu kamar. “Um, bagaimana dengan Screaming Wood ?” tanya Michelle dengan penasaran. Coddie dan Rowena sama sekali tidak mendengar percakapan mereka karena sibuk memperebutkan kamar mandi. “Oh, hutan yang paling sensasional itu ? Sebenarnya itu nama lain dari Dering Wood. Tempat yang bagus jika kalian suka dengan tantangan mistis. Banyak para petualang yang mencoba masuk ke sana untuk menikmati sensasi jeritan menyeramkan di sana. Bahkan, menurut ceritanya banyak yang hilang di hutan itu. Kau mau mencoba kesana, nak ?” Lorraine memandangnya dengan penuh selidik. “Aku sedikit berminat ke sana,” kata Michelle jujur. “Well, kau bisa mencoba ke sana dengan mobil di sini. Bisa menyetir ?” Lorraine tampaknya tidak akan bertanya macam-macam. Mungkin karena sudah banyak yang mencoba ke sana untuk wisata. “Ya. Boleh kupinjam 'kan untuk ke sana besok ?” Michelle mulai bersemangat.  “Tentu saja. Jika kau tidak menemukanku untuk kunci mobilnya, cari saja Delila. Selamat malam,” senyum Lorraine dan dia menutup pintu kamar mereka.           Michelle kembali ke dalam dan menemui Coddie yang akhirnya menyerah melawan Rowena dengan telinga memerah. Sepertinya Rowena berhasil menariknya keluar dari pertarungan dengan menjewer telinganya. “Jadi, besok kita mau ke mana dulu ? Kita punya waktu tiga hari di sini,” kata Coddie mengusap-usap telinganya.  “Aku berencana untuk pergi ke Screaming Wood. Kau mau ikut atau ada tempat lain yang ingin kau datangi ?” Michelle memandang Coddie. “Hutan berhantu itu ??? Tentu saja aku ikut ! Bagaimana mungkin kau pergi ke sana tanpa melibatkan aku ??? Ohh, Screaming Wood juga menarik perhatianku karena ceritanya yang menarik !” Coddie mulai berceloteh ria lagi. Michelle hanya menjelaskan sambil lalu padanya bahwa dia telah meminjam mobil Lorraine untuk kesana. ***           Michelle memaksa mereka untuk bangun pagi-pagi sekali. Ia tidak ingin sampai di Dering Wood terlalu siang dan hari telah menjadi sangat terik. Coddie yang kemarin sangat antusias untuk pergi pun mengumpat sebal karena Michelle sampai harus meneriakinya untuk memaksanya bangun. “Apa kau harus membangunkanku demikian ??? Kita memang akan ke sana ! Tapi, tidak harus sepagi ini 'kan ??? Aku masih kurang tidur sejak kita sampai kemarin !” gerutunya. “Kau yang mengajakku kemari 'kan, Cod. Jadi, jangan mengeluh dan segera pakai jaketmu atau kutinggal !” gertak Michelle dengan meninggalkannya. Ia pergi mencari Lorraine yang ternyata telah pergi ke Pluckley Butchers. Delila telah dititipkan kunci mobil olehnya sehingga tanpa bersusah payah Michelle berhasil mendapatkan mobil Ford tua berwarna merah hati.           Michelle yang mengambil alih untuk menyetir. Ia tidak mau membiarkan Coddie yang masih mengantuk untuk membawa mobil di area yang tidak dikenalnya. Langit masih berwarna biru gelap dan udara pagi di sana sangat dingin. Michelle membawa mereka melewati Smarden Road yang rapi. Tidak berapa lama, mereka telah sampai Dering Wood Lodge. Michelle memarkirkan mobilnya di tepi jalan.           Matahari pagi mulai bersinar dan mereka dapat merasakan secercah kehangatan di tempat itu. Karena banyaknya pohon, cuaca di Dering Wood lebih dingin dari tempat penginapan mereka. “Sudah hampir masuk musim salju 'kan ?” tanyanya pada Rowena. Rowena hanya mengangguk dan memandang berkeliling.           Mereka dapat melihat dari luar bahwa hutan itu sangat sunyi dan lumayan mencekam. Pohon-pohon kurus dan tinggi menyebar di sekeliling kawasan itu. Michelle mulai melangkahkan kakinya masuk ke kawasan hutan itu. “Kau benar-benar akan masuk ke sana ?” Rowena membelalak padanya. Michelle terus melangkah dan mengangguk tanpa menoleh padanya. Gadis itu langsung membenarkan ranselnya yang melorot. “Kau boleh menunggu di mobil kalau kau tidak mau ikut. Tidak masalah bagi kami," kata Coddie dan ia mengikuti Michelle menuju Dering Wood. Rowena memilih untuk ikut bersama mereka daripada harus sendirian di tempat sesepi itu. Ia berlari kecil mengikuti keduanya sebelum tertinggal jauh.            Michelle terus masuk ke dalam hutan dengan memandang ke sekelilingnya. Hutan itu benar-benar sunyi saat mereka masuk. Tapi, Michelle merasa ada suara samar-samar dari kejauhan. Ia tidak bisa menebak apa yang dikatakan suara itu. “Kau dengar itu, Cod ?” tanyanya pelan. Matanya tetap awas memandang ke setiap penjuru hutan itu. Ia memelankan langkah kakinya hingga berjingkat. “Apa ? Aku tak dengar apapun,” jawab Coddie dan ia mulai memasang telinganya juga. “Ssst...ada suara orang. Apa turis lainnya ?” gumam gadis itu. “Mana ada turis gila seperti kita yang datang sepagi ini. Mereka biasanya mengunjungi Screaming Wood malam-malam untuk merasakan sensasinya. Mungkin kau kebanyakan berkhayal, Michelle," Coddie berkacak pinggang dan memandang ke beberapa pohon sekitar. Michelle menggaruk kepalanya sesaat dengan bingung. Ia benar-benar merasa ada suara tadi.       Tiba-tiba, terdengar kembali suara jeritan di kejauhan. Michelle dengan cepat memandang ke arah suara itu. Tidak terlihat apa-apa. Ada kabut tipis yang menghalangi pemandangannya. “Terdengar lagi ! Kau benar-benar tidak mendengarnya ?” Michelle memandang Coddie dengan heran. Pria itu hanya menggeleng bingung. “Tadi ada suara wanita menjerit,” jelas Michelle. Coddie langsung menoleh ke belakangnya dan memandang Rowena. “Apa ? Aku tidak menjerit sama sekali. Jangan menakutiku seperti itu,” kata Rowena bergidik. “Tidak. Bukan dia. Suaranya dari arah yang cukup jauh. Apa ada yang tersesat ?” selidik Michelle. “Mungkin saja," jawab Coddie.            Michelle kembali berjalan dan menajamkan pendengarannya. Ia masih bisa mendengar suara wanita itu sayup-sayup dari kejauhan. Tapi, semakin ia melangkah ke dalam hutan, ia semakin dapat mendengar suara itu dengan lebih jelas.           Jantungnya berdegup dengan kencang. Bukan karena takut tapi, karena tegang untuk mencari sumber suara itu. Ia sudah tidak memperhatikan belakangnya lagi. Semakin lama ia semakin mendengar dan mengerti apa yang dijeritkan wanita itu. “Kemari ! Kemari !” itulah yang dapat ditangkap oleh Michelle. Ia mulai berlari kecil untuk mencari suara itu hingga tidak memperhatikan arah larinya lagi.           Kemudian, ia mendengar jeritan lainnya. Lebih dari satu orang dan mereka tidak berkata apa-apa seperti wanita sebelumnya. Hanya jeritan melolong dan tangisan. Tidak hanya wanita kali ini. Michelle juga dapat mendengar suara pria dan wanita lainnya bahkan anak kecil yang sedang menangis. Ia mulai berpikir bahwa tidak mungkin kedua temannya sama sekali tidak mendengar suara-suara itu. Dengan cepat ia menoleh ke belakang untuk bertanya lagi pada Coddie. “Hey, Cod. Kau tak ―” sebelum Michelle menyelesaikan kata-katanya, ia tersentak karena menyadari bahwa Coddie dan Rowena tidak ada di belakangnya ! Tampaknya, ia berlari terlalu jauh hingga kedua temannya tidak dapat menyusulnya. “Cod ??? Rowena ???” panggilnya dan ia memutar tubuhnya memandang pepohonan. Suaranya bergema di hutan itu. Tanpa disadarinya, suara-suara jeritan itu telah menghilang. Hening kembali hingga Michelle menyadari bahwa ia kini sendirian di tengah hutan itu.           Tidak ada jawaban dari kedua orang itu. Michelle memanggil mereka berkali-kali dan mulai mengingat-ingat jalan yang dilaluinya sebelumnya. Tapi, nampaknya semua sudut hutan itu terlihat sama baginya. Ia tidak tahu darimana arahnya datang lagi. Michelle mulai panik dan merongoh saku jaketnya. Ia mengambil ponsel untuk menghubungi mereka. Sialnya, tidak ada sinyal di hutan itu. Saat sedang sibuk-sibuknya mencari sinyal, Michelle kembali mendengar suara lain. “Kemari ! Ayo kemari ! Kau tidak salah jalan !” suara gadis kecil memanggilnya. Michelle tersentak dan mengira ada orang yang melihatnya dari hutan itu lalu memanggilnya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD