bc

TEMARAM

book_age0+
1.0K
FOLLOW
11.9K
READ
love after marriage
fated
drama
tragedy
sweet
like
intro-logo
Blurb

Sebuah kesalahan yang tidak disengaja mendasari pernikahan Pamela yang rapuh. Pamela tidak akan bisa memutar waktu, dia hanya harus terus berjalan mengikuti kemana takdir membawa langkahnya. Di saat Pamela merasa sudah cukup bersabar, dia akhirnya menyerah. Semua bertambah menyakitkan saat bayinya yang belum lahir menjadi korban. Tapi mengapa suaminya--Travis tidak melepaskan dirinya setelah ia menyerah. Pamela pun terjebak pada penyesalan mantan suami dan cinta yang baru.

chap-preview
Free preview
Kepergian
   Di sebuah kompleks kawasan elite di Manhattan, terdapat sebuah rumah berlambang Singa bersayap yang diukir penuh kehati-hatian--lambang dari keluarga Manex. Manex, pendominasi ekonomi di USA--hanya sebagai nama agung yang tidak mampu membuat kehangatan di rumah si bungsu pewaris Manex industri. Rumah yang sepi berlambang singa bersayap itu sudah menjadi saksi pernikahan yang dingin sepasang pengantin baru yang hanya berusia sembilan bulan. Rumah yang menjadi saksi jika sang istri telah menyerah pada kedinginan suasana rumah. Sekarang, salah satu sang penghuni tengah mengepak bajunya. Ia menghela nafas berat namun penuh keikhlasan. Pamela Bennet memasukkan baju-bajunya ke dalam kopernya. Kini, sudah tidak ada lagi yang tersisa diantara dirinya dan Travis. Pamela harus merelakan pernikahan mereka yang usianya baru menginjak sembilan bulan. Pernikahan tanpa cinta yang terjadi karena suatu keterpaksaan.    "Aku tidak akan membawa apapun dari rumah ini selain baju-bajuku, Travis. " Pamela berkata pada dirinya sendiri. Dia sudah terbiasa bercakap-cakap dengan dirinya sendiri seolah hal itu menjadi kebiasaan yang tidak pernah ia tinggalkan. Hal yang menandakan jika sebenarnya dia selalu kesepian.    Disela-sela kegiatannya, Pamela melirik ke arah tabloid yang menampilkan gambar suami dengan mantan tunangannya untuk kesekian kali. Tabloid yang memberitakan gambar menyakitkan dengan kata-kata penarik minat pembaca akan hubungan kedua orang tersebut. Tetapi Pamela sudah kebas dengan semua ini. Memang sejak dia menikah dengan Travis, mantan tunangannya itu memilih menjadi sekretaris Travis.    Jika ada yang bertanya apakah dirinya tidak keberatan sang suami dekat dengan sang mantan tunangan, tentu saja ia keberatan. Namun dia tidak memiliki hak. Disini dialah pihak ketiga itu. Pihak yang memisahkan mereka berdua secara paksa.    "Ini memang yang terbaik Travis, maafkan aku yang menjadi duri di antara hubungan kalian, " ucap Pamela pada dirinya sendiri. Dia tersenyum tulus dan mengedarkan pandangannya ke seluruh ruangan. Lalu matanya menuju ke bingkai foto besar yang tergantung di dinding. Satu-satunya foto Travis tersenyum meski dengan terpaksa.    "Sudah saatnya kita berpisah. Kudoakan semoga kau bahagia bersama Selena. " Pamela melepas cincin pernikahannya dan meletakkan di atas meja nakas. Menjadi satu dengan surat perceraian yang ia tanda tangani. Kini dia siap melangkahkan kakinya menuju hidup yang baru.    Sudah cukup dia menanti kedatangan Travis di malam hari.    Sudah cukup dia berharap suaminya membuka hati untuknya.    Sudah cukup perasaan cemburu ketika melihatnya tersenyum dengan mantan tunangannya.    Pamela lelah. Dia tidak tahan lagi.    Dengan memantapkan tekat Pamela menyeret kopernya dan diisi baju-bajunya.    "Hidup baru, aku datang, " ucap Pamela penuh semangat meski terdengar getir. Dia menuju mobil yang sudah lama dia pakai semenjak Senior Hight Scool. Mobil tua berwarna merah maroon dengan sedikit masalah saat mengendarainya. Tetapi Pamela sudah jatuh cinta pada mobil itu, dia tidak ingin menerima hinaan dengan menerima mobil baru pemberian keluarga Manex.    "Kau sahabat sejatiku, " ucap Pamela pada mobil buntutnya.    Dengan hati-hati Pamela memasukkan kopernya ke dalam bagasi, hanya satu koper sebab dia tidak memiliki banyak baju saat menikah dengan Travis.    "Selamat tinggal Manex house's."    Dia memandang rumah besar ini sejenak. Sebelum memalingkan wajah dan masuk ke mobil. Dia menyetir mobilnya perlahan menelusuri jalanan. Mobilnya melaju dengan lurus sama seperti tekadnya yang teguh.    Dalam perjalanan menuju bandara, Pamela berjanji tidak akan menangis lagi. Tidak boleh ada air mata. Sudah cukup dia memaksakan pernikahan ini. Dia tidak ingin membohongi perasaannya yang terus mengatakan jika Travis akan mencintainya. Dia sudah melepas harapan untuk dicintai Travis.    Beberapa menit perjalanan menuju bandara, sesuatu yang tidak menyenangkan terjadi. Ban mobilnya tiba-tiba kempes di tengah jalan. Ingin rasanya Pamela berteriak dan mengumpat. Tetapi dia tidak ingin membuang tenaganya karena hal mengumpat dan memaki tidak akan menyelesaikan masalah.    "Bagaimana ini, aku bisa terlambat naik pesawat, " keluh Pamela. Dia terpaksa menepikan mobilnya di pinggir jalan. Dia bingung bagaimana caranya tiba di bandara. Apalagi saat ini dia berada di jalan bebas hambatan yang kecepatan mobil tidak memungkinkan untuk melambat.    "Aku harus tiba tepat waktu agar tidak tertinggal pesawat. "    .    .    .    Sementara itu, Travis datang ke rumahnya dengan sedikit perasaan enggan. Kemeja putihnya kusut, dasinya longgar dan acak-acakkan.Jika saja Pamela tidak menelpon maka dia tidak perlu mengalami kesialan karena terburu-buru meninggalkan kantor dan berakhir mengalami sedikit kecelakaan, yah mungkin karena Selena juga sedikit menghambat kepulangan Travis tetapi tetap saja, kesialan Travis karena telepon dari Pamela. Dalam kecelakaan itu, dia memang tidak cedera tapi dokter menyuruhnya istirahat di rumah sakit untuk pemeriksaan lanjutan.    "Mengapa rumah sangat sepi dan gelap? " tanya Travis pada dirinya sendiri. Tidak biasanya rumah gelap seperti ini. Pamela biasanya menyalakan lampu dan tidur di sofa untuk menunggunya. Dia perlahan membuka pintu rumah tetapi tidak bisa.    "Mengapa Pamela mengunci rumahnya? " Travis semakin penasaran dengan segala hal yang ia anggap aneh. Dia mengambil kunci dari balik jasnya dan membuka pintu. Gelap.    Tangan Travis meraba-raba tembok untuk menemukan saklar dan menyalakan lampu.    Tik.    Ketika lampu menyala, Travis secara naluriah melihat ke arah sofa tempat Pamela biasanya tertidur ketika menunggunya. Ternyata tidak ada sang istri di sofa itu.    "Dimana dia, seharusnya dia menyambutku dengan rasa bersalah karena menyebabkan aku terluka, " gerutu Travis.    Tanpa sadar kakinya menuju kamar mereka. Lebih tepatnya ke kamar Pamela. Sebab dia sama sekali tidak pernah datang ke kamar Pamela semenjak mereka menikah. Travis lebih memilih tidur di kamar lain.    Ceklek.    Ternyata kondisi kamar Pamela juga gelap dan kosong. Travis kembali menyalakan lampu kamar Pamela.    "Mengapa dia tidak ada di kamar? " tanpa sadar dia terus bertanya semenjak ia datang.    Travis menangkap selembar kertas di atas nakas. Perlahan dia mengambil kertas perjanjian perceraian yang sudah ditanda tangani oleh Pamela.    "Hem, akhirnya kau menyerah juga, " lirih Travis.    Ada perasaan tidak menyenangkan yang muncul setelah dia menaruh kertas perceraian itu. Dadanya terasa seperti diremas dan terasa hampa. Dia mungkin terbiasa melihat Pamela yang tertidur di sofa karena menunggunya. Atau Pamela yang memandangnya takut-takut ketika dia datang lebih awal pada saat menawarkan makanan. Tapi dia tidak terbiasa dengan kekosongan seperti sekarang.    "Bukankah ini yang aku harapkan? Berpisah dengannya yang sudah menjebakku agar tidur bersamanya? "    Drrt Drrt.    Travis mengambil ponsel yang ia taruh di balik jasnya. Dia merasa aneh karena yang menelponnya adalah seseorang yang memutuskan hubungan dengan istrinya--Pamela.    'Ayah mertua...? Mengapa dia menelponku. '    "Hallo? "    "Huh, Selamat Manex. Sekarang kau sudah mendapatkan apa yang kau inginkan. Selamat, sekarang kau benar-benar bebas dari putriku. Aku ucapkan selamat karena kau tidak akan pernah melihat putriku seumur hidupmu. Dan aku ucapkan selamat karena kau membunuh bayimu sendiri!? "    Deg!    "A-apa maksudmu, Pamela hanya pergi dari rumah dan --"    "Apa kau tidak melihat berita tentang kecelakaan pesawat menuju kota L. Pamela...hiks Pamela... "    "..."    "Dia pergi menaiki pesawat menuju kola L! Dia terdaftar menjadi salah seorang yang naik pesawat itu! "    Tut tut tut...    "Tidak mungkin... " rintih Travis. Tubuhnya merosot terduduk di ranjang.    "I-ini tidak mungkin... "    "Pamela... Mengapa kau menghukumku seperti ini. Kau seenaknya membuatku menikahimu dan sekarang kau kabur di saat aku menghukummu karena berbuat licik. Hiks Pamela... !"    "Pamela! "    ***    Pemakaman yang digelar dihadiri oleh kerabat dan teman-teman Pamela. Travis yang hancur karena penyesalan tidak bisa menyembunyikan air matanya.    "Aku tau kau menyesal Travis tapi maaf, aku tidak akan berduka untukmu. Kurasa Pamela lebih baik pergi ke alam sana dari pada tersiksa dengan sikapmu, " Clark berkata sekilas dan meninggalkan Travis yang enggan beranjak dari pusara.    Dia tau apa yang Clark katakan pantas dia terima. Dia memang sudah mengabaikan Pamela selama ini. Dan membiarkan dia terluka sendirian.    Tiba-tiba dia merasakan pukulan di pipi kanannya yang disusul pukulan di pipi kirinya. Josh menggila dan memukul Travis dengan brutal.    Teman-temannya Travis berusaha menghalangi Josh memukul Travis yang babak belur. Pria paruh baya itu menangis dan memaki Travis. Dia kemudian berteriak pada mantan suami putrinya ini.    "Kau menyalahkan Pamela karena mengira dia menjebakmu agar tidur dengannya hah!?  Bagaimana mungkin putriku yang juga mabuk bisa menjebak orang. Kau juga saat itu tengah mabuk tetapi mengapa kau hanya melimpahkan kesalahan pada putriku!! "    "Apakah waktu itu Pamela yang menyuruhmu minum alkohol!? "    "Apa dia yang mengajakmu menuju kamar hotel tempat pernikahan kakakmu! Aku sudah melihat dengan mataku sendiri di CCTV jika kalian bertemu secara tidak sengaja. Tapi mengapa kau menjadikan putriku sasaran amarahmu! "    Josh masih meneriaki Travis yang duduk di tanah depan pemakaman Pamela. Pria itu menunduk dan tidak berani melihat Josh. Rasa bersalah yang menghantamnya membuatnya tidak mampu menatap mata seorang ayah yang kehilangan putrinya. Putri yang ia jadikan kambing hitam atas peristiwa yang tidak ia inginkan.    "Padahal aku ingin kau hanya menjaganya sampai dia melahirkan. Tetapi apa yang kau lakukan? Kau bahkan tidak mau menolongnya pada saat dia akan melahirkan hingga menyebabkan bayinya meninggal di perut!?"    "Kau monster tidak punya perasaan! Dasar iblis!? "    Jederr!    Travis mendongak menatap Josh dengan mata terbuka lebar. Dia seakan tidak mempercayai apa yang baru saja dia dengar. Bagaimana mungkin bayinya meninggal ketika di perut Pamela, bukankah? "    Deg.    Pamela memang memanggilnya waktu itu, dia memang terdengar kesakitan.    "Agggrr...!"    "Ya Tuhan. Apa yang sudah aku lakukan!? " Travis menjerit di tanah. Dia mencengkeram tanah itu dan memukul-mukulnya.    "Pamela--Pamela!! "    Hari itu, disaksikan oleh teman-temannya Travis menjerit dan menangis penuh penyesalan. Mereka menunduk menyesali kejadian mengerikan ini. Clark hanya dia melihat sahabatnya menyesal. Dia hanya bisa melihat Travis menyesali semua perbuatannya dan sikap dinginnya pada Pamela. Clark tidak menyangka jika keangkuhan Travis menyebabkan bayinya meninggal dengan cara mengerikan. Kini dia harus hidup dengan menanggung perasaan bersalah seumur hidupnya.     "Jadi karena ini kau menyerah padaku. "    "Maafkan aku Pamela. Hiks Pamela--"    Josh tertawa melihat Travis.    "Kau tidak akan bahagia Travis. Kau akan terus menderita! Pernikahanmu dengan wanita selain Pamela akan menjadi nerakamu!"    Josh terus berteriak pada Travis. Segala kutukan ia lemparkan pada pria yang berlutut didepannya. Josh sebenarnya juga tidak tahan menerima kenyataan jika dirinya juga berperan dalam penderitaan sang putri. Seandainya saja dia tidak marah ketika Pamela hamil maka putrinya pasti memiliki tempat untuk pulang selain dari rumah Travis.    Seandainya saja Josh tidak menyuruh Pamela agar tidak pernah datang ke rumah ini karena kecewa maka Pamela saat ini pasti sudah menggendong bayinya dan tersenyum bahagia. Tapi kini, dia kehilangan putrinya. Kehilangan cucunya. Semua karena kebodohannya dan keras kepala.    Kini, tidak ada lagi senyum dari gadis manis yang selalu terlihat segar. Hanya penyesalan yang menyakitkan yang ia terima. Mungkin Tuhan marah padanya karena menyia-nyiakan Pamela sehingga dia mengambil putrinya secepat ini.    "Pamela...hiks. "    Tbc. 

editor-pick
Dreame-Editor's pick

bc

Everything

read
278.3K
bc

A Piece of Pain || Indonesia

read
87.5K
bc

Hello Wife

read
1.4M
bc

A Million Pieces || Indonesia

read
82.3K
bc

Just Friendship Marriage

read
507.7K
bc

A Secret Proposal

read
376.5K
bc

CEO Pengganti

read
71.2K

Scan code to download app

download_iosApp Store
google icon
Google Play
Facebook