Part 4 Have fun

1432 Words
Azan asar baru saja berkumandang. Aku duduk di gazebo depan membaca novel ditemani Mueza, kucing peliharaan keluarga kami. Sesekali aku membelai tubuh Mueza yang berbulu tebal dan lembut di sampingku. Mueza hanya terus menunduk seperti merasa sangat nyaman atas perlakuanku ini. Kepala Mueza mendongak, saat sebuah motor sport masuk ke halaman rumah. Seorang pria berpenampilan rapi membuka helm lalu tersenyum ke arahku. "Nyari Kak Arden, Dit?" tanyaku sedikit berteriak. "Iya, Tha. Arden ada?" "Di kamarnya tuh. Sana masuk aja." Gawaiku berdering. Sebuah pesan singkat dari Kiki mengalihkan perhatianku dari tamu barusan. 'Tha, jadi nggak nonton Pensi di GOR ? Aku udah nangkring di mari loh!' "Ya ampun, aku lupa!" pekikku memukul kening ku sendiri. Aku segera beranjak ke dalam rumah. Aku ini memang pelupa, padahal tadi pulang sekolah kami sudah sepakat akan pergi bersama di sebuah acara Pensi. Tapi aku malah bersantai-santai sejak tadi. Pasti Kiki akan mengomel nanti. Dengan memakai skinny stretch jeans dipadukan dengan blouse berwarna abu-abu aku sudah siap dan kini berjalan ke kamar kak Arden. Kebetulan Ayah dan Bunda sedang ada acara di luar. Jadi aku harus berpamitan pada Kak Arden sekaligus membawanya untuk mengantarku. "Kak," panggilku sambil membuka pintu kamar Kak Arden setengah. Aku muncul di balik pintu dan melihat kedua pria di dalam yang sedang asyik mengobrol. "Mau ke mana?" tanya Kak Arden dengan tatapan menyelidik. "Anterin yuk." "Ke mana?" "Nonton Pensi. Udah ditunggu nih, udah telat. Anterin bentar yuk," rengekku lebih ke arah memaksa. Kak Arden melirik temannya yang sedang memainkan ponselnya dengan melempar-lemparkan ke atas, lalu ditangkapnya lagi. Benar-benar kurang kerjaan, pikirku. "Sama Radit aja tuh, Kakak lagi banyak tugas. Sana, Dit!" tukas Kak Arden sambil menarik tubuh temannya yang masih bingung. "Lah, kok sama gue?" tanya Radit dengan ekspresi anehnya. "Udah, sama elu aja. Udah dandan rapi, kan? Ya udah sana. Temenin adik gue. Jagain! Awas! Jangan ampe lecet, ya," ancam kak Arden sedikit menahan tawa. "Emang lu pikir gue apain adik lu?" tanya Radit menggumam pelan. "Udah, buruan, Dit ah!" tambahku yang langsung pergi ke depan. Aku tidak peduli siapa yang mengantar, yang penting aku harus sampai ke sana segera. Mau tidak mau, Radit menurut. Kami kini pergi menuju GOR dalam rangka memeriahkan ulang tahun salah satu brand motor terkenal di Indonesia. Yah, pensi itu digelar karena acara tersebut. Kerumunan manusia memenuhi sepanjang jalan. Radit lantas menggandeng tanganku dan menerobos masuk. Aku hanya menatap laki-laki di samping dengan senyum simpul. Mencari keberadaan Kiki bukan hal sulit, karena tadi Kiki sudah mengabari di mana ia menunggu kamu. "Loh, itu?" tanya Radit sedikit terkejut, langkahnya terhenti saat menatap beberapa orang di sana. Aku yang penasaran melongok dari balik bahu Radit, yang berjalan di depanku sejak tadi. "Kiki sama Doni?" tanyaku sama terkejutnya. "Kalian janjian sama Doni juga?" tanya Radit berbisik kepadaku. Ekspresi kami sama. Bingung, heran, terkejut dan penuh curiga. "Enggak!" Aku segera melangkah menuju Kiki berada sekarang. Dua orang di ujung sana tampaknya tidak menyadari kehadiran kami. Mereka terlihat tengah saling bergandengan tangan dengan Kiki yang sesekali bergelayut manja di lengan Doni. Radit mengekor lalu segera mengagetkan kedua pasang sejoli itu. Sementara aku berkacak pinggang. Seperti satpam yang memergoki sepasang pencuri. "Oh gini, ya?" tanyaku, menyipitkan mata menangkap basah Kiki dan Doni. Tangan mereka segera terlepas, dan terlihat gugup. "Apa sih?" Doni balik bertanya, dengan bersikap cuek menutupi kegugupannya. "Oh gitu. Janjian ya, kalian?" tanya Radit menyelidik. "Eh sadar dong. Kalian pikir kalian apa? Datang berduaan, gandengan tangan, cie ... Jadian ya," kata Kiki melempar balik tuduhan yang dilayangkan kepadanya. Grup band terkenal ibu kota membuat perhatian kami teralihkan. Tidak peduli lagi atas hubungan terselubung ini. ______ Sudah sekitar satu jam lamanya kami ada di acara ini, Aku yang sudah lelah memutuskan menyudahi dan mengajak yang lain pulang. "Makan dulu lah, laper," pinta Kiki sambil mengelus perutnya. Kami pun sepakat makan terlebih dahulu di sebuah kafe yang tak jauh dari acara Pensi tadi. Suasana kafe belum cukup ramai. Kiki yang duduk bersebelahan dengan Doni makin akrab dengan memilih menu makanan bersama-sama. Kedekatan Kiki dan Doni bagai tidak terendus oleh yang lain. Sementara aku dan Radit menatap mereka heran. Masih tak percaya. Radit membolak-balik buku menu, namun sorot matanya tertuju pada dua orang yang duduk di depan kami. "Gini ya kalau orang jatuh cinta? Dunia serasa milik berdua, yang lain cuma nge-kost aja." "Sejak kapan mereka dekat, ya?" "Mana aku tahu, jejaknya halus banget. Mungkin mereka pakai jalur belakang," tanggapku berbisik di dekat Radit. "Jalur belakang?" Radit mengernyitkan kening. Tanpa disadari, ada seorang wanita berpenampilan seksi mendekati Radit. "Hai, Radit." Radit yang sejak tadi tidak memperhatikan sekeliling, mendadak diam menatap wajah wanita yang kini berdiri di depannya. Lidahnya kelu, bahkan untuk menjawab sapaan wanita tinggi dengan rambut blonde itu ia kesulitan. Seolah ia kehilangan indra pengecapnya. "Dit? Radit?" Kembali wanita ber-style sosialita itu membuyarkan lamunan Radit sambil melambaikan tangan di depan wajah Radit yang masih melongo. "Eh, Stella? Sa ... Sama siapa?" tanya Radit gugup dengan tangan terulur meraih jabat tangan wanita yang sepertinya sudah dikenalnya lama. "Sama Jhon nih," Wanita berbalut pakaian minim itu lantas bergelayut manja di lengan seorang pria yang terlihat kaya dari beberapa perhiasan mahal dan jam tangannya yang bermerek. "Itu KW berapa ya, Don?" Kiki berbisik pelan ke Doni, namun suaranya mampu ditangkap kami semua yang ada di sini. "Uhuk!" aku sengaja tersedak minuman mendengar ucapan sahabatku yang memang kurang waras dan terlalu jujur itu. "KW super kayaknya, Ki. Punyaku aja ini KW 1, kelihatan nggak bedanya sama punya dia." Diskusi Kiki dan Doni makin gencar. Mereka seolah sengaja membuat keadaan sedikit panas. Orang yang dibicarakan naik pitam. "Heh! Maksud kalian apa? KW? Jam tangan gue, ori, tahu!" jerit Jhon tidak terima. "Dit? Dia siapa? Aku pikir, kamu belum bisa lupain aku," tanya Stella melirik padaku dengan tatapan menyelidik. Aku yang sadar akan situasi tidak menyenangkan ini lalu memeluk lengan Radit erat. "Kenalin, aku Aretha, pacarnya Radit." Senyum lebar terukir di bibirku. Sementara Radit diam tak berkutik. Rasanya aku muak melihat wanita di depanku ini. Ingin segera kuusir dia secepatnya. Stella sedikit ragu menerima uluran tanganku. Hingga saat Stella akan mengulurkan tangannya, Aku justru memeluk Radit dengan kedua tangannya. "Jadi dia yang pernah kamu ceritain?" Laki-laki di sampingku hanya mengangguk. "Terus dia ninggalin kamu cuma karena cowok OKB ini?" sambungku dengan nada meledek. Aku langsung menutup mulut menahan tawa, sementara Kiki dan Doni malah sudah tertawa karena memang sependapat denganku. "Oh iya, Stella," panggilku dengan menatap kedua bola mata Stella yang berwarna biru. Sepertinya dia bercita-cita menjadi bule dengan mengubah semua penampilannya. Stella hanya diam tak bereaksi. Air mukanya merah padam. "Tolong ya, Stella. Jangan sok kepedean gitu deh, merasa diri kamu hebat. Kamu pikir Radit masih suka sama kamu? Dia udah punya aku, jadi jangan ganggu dia lagi. Lagian kamu ninggalin Radit cuma demi laki-laki model gitu?" Pertanyaanku yang sedikit menghina itu, tak mendapat respons apa pun dari mereka berdua. "Ehem," Kiki berdeham sambil meneguk lemon tea yang baru saja datang diantar waitress. Keadaan makin memanas. Aku melirik tajam sahabatku yang sedang mengulum bibir menahan tawa. "Dengar ya, Stella ... harta bisa dicari, tetapi rasa nyaman, aman dan tenang berada di sisi pria yang tulus mencintaimu itu lebih penting dari segala harta di dunia ini. Mencintai seseorang hanya karena harta dan kekayaannya hanya akan membuatmu terlihat sangat miskin," sindirky sinis. "Kamu ... kurang ajar! Kamu ngatain aku matre?" tanya Stella membuat kesimpulan sendiri. "Aku nggak perlu jawab pertanyaan kamu. Tanya sama diri kamu sendiri." Stella ditarik John pergi dengan ocehan kotor dan tidak pantas diucapkan seorang wanita. Aku lantas melepaskan tangan yang melingkar di lengan Radit sambil menatap Stella yang pergi sambil mengomel. "Wuih, keren, Tha. Sumpah! Gue suka gaya elo ..." seru Doni. Kiki malah terus tertawa melihat kelakuanku yang pasti menggemaskan hari ini. "Radit ... Radit. Bisa-bisanya elu nemu cewek model begituan," ucap Kiki heran. "Dulu nggak begitu soalnya. Stella dulu kalem, baik, tetapi sejak dia sering diejek teman-temannya karena dia nggak punya barang mahal dia jadi gitu. Karena dulu aku nggak pernah bisa kasih apa-apa ke dia. Akhirnya dia dapat apa yang nggak bisa aku kasih dari Jhon. Ya udah, aku bisa apa. Walau orang tuaku mampu beliin, tapi rasanya nggak etis deh, pacaran dimodalin orang tua." "Keren, Bro. Lagian tu cewek nggak cakep-cakep amat, mendingan juga Aretha ke mana-mana," lirik Doni kepadaku. Aku hanya menaikkan sebelah alisnya menatap tajam Doni yang sedang terkekeh. "Eh, tunggu. Jadi kalian udah jadian nih?" sergah Doni kepada kami. Kami saling bertukar pandang, lalu memutar bola mata karena jengah dengan candaan Doni. Sebuah pukulan kecil mendarat di kepala Doni, dari Radit tentunya. "Bukannya elu yang jadian sama Kiki! Dasar!" "Hahahaha ...."
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD