Part 2 Bioskop

1433 Words
Sepulang sekolah kami menuju bioskop beramai-ramai. Karena masih dalam kegiatan MOS, maka sekolah lebih sering pulang awal. Film bergenre action menjadi incaran tontonan siang ini. "Biar aku yang antre tiketnya," kata Dedi sambil menyeret Ari. Kebetulan antrean belum begitu padat. Aku dan Kiki duduk di kursi panjang bersama Doni dan Radit. Dion dan Danu membeli beberapa camilan untuk dibawa ke dalam. Kebetulan bioskop tidak terlalu ramai. Beberapa pasang pemuda pemudi berlalu-lalang. Namun, tiba-tiba tercium bau anyir yang cukup pekat, hingga aku terpaksa menutup hidung sambil mengedarkan pandangan mencari sumber bau ini. "Mamaku telepon. Bentar yah," pamit Kiki menuju keluar. Radit sibuk memainkan benda pipih di tangannya. Sementara Doni baru saja berlari ke arah mobilnya karena melupakan sesuatu. Hanya tinggal Radit dan aku saja di kursi ini. Tak jauh dari kursi yang kami duduki, ada sepasang pemuda dan pemudi yang saling bergandengan tangan. Hanya saja bukan itu yang menjadi masalah, tetapi sosok di bawahnya. Lebih tepatnya di antara kedua kaki si wanita. Ada seorang anak kecil sedang memegangi kaki wanita itu. Tubuhnya yang mirip janin bayi, masih meninggalkan bekas darah di sekujur tubuh, disertai gumpalan merah dengan beberapa tali panjang di sekitar perutnya, membuat aku menutup mulut menahan mual. "Ah, s**l!" umpatku dengan menggumam pelan. "Kenapa? Aku bau, ya? Sampai kamu tutup hidung gitu?" Radit mencium bajunya karena melihat reaksiku yang kurang menyenangkan. "Eh, bukan kok. Bukan gitu maksudnya. Kamu wangi kok, Dit," kataku sungkan. Aku melepas tanganku dari hidung agar Radit tidak berpikir yang tidak-tidak. Radit tertawa. Ia yang awalnya duduk tiga kursi dariku, kini malah pindah ke sampingku. Membuatku bingung. Tapi aku harus bersikap biasa saja di depan Radit agar tidak salah paham, tetapi hal di depan kami membuatku kurang nyaman. "Kamu kenapa?" tanya Radit lagi, dengan ekspresi cemas menatap wajahku. Aku pun beranjak sambil sempoyongan. Rasanya tidak kuat lagi berlama-lama di sini, tubuhku terasa ringan, hingga dalam kondisi setengah sadar aku merasa akan jatuh sekarang. Tapi Radit sudah menangkap ku sebelum aku terjatuh. "Hei ... Aretha? Kenapa?" tanya Radit makin khawatir. Sementara aku terus menutup mulut sambil menatap sosok itu. Kedua pasangan tadi kini justru duduk di depan kami. Tentunya sosok anak kecil itu tetap ada di bawahnya. Tangan penuh darah menjulur berusaha meraih kakiku. Aku berteriak, lalu menarik Radit pergi. Kami terus menjauh, dan tanganku masih memegang tangan Radit. Lebih baik aku tidak dekat-dekat mereka lagi. Tiba-tiba Radit menahan tanganku. "Kamu kenapa?" tanyanya kebingungan. Kedua bola matanya liar menatap bola mataku. Langkah kami pun terhenti. Tatapan Radit yang tajam, membuatku bingung dan cemas. Jujur saja aku takut kalau Radit menganggapku aneh. Karena tidak jarang banyak orang yang mencibirku anak aneh saat menghadapi situasi semacam ini. "Itu .... Maaf. Tadi ... aku ..." jawabku dengan tergagap sambil menunjuk ke tempat tadi. Radit ikut menoleh, lalu mengernyitkan kening. Tiba-tiba bahu Radit ditepuk seseorang. "Ada apa?" tanya pemilik suara berat, yang tidak lain adalah Kak Arden. "Adik elu tuh!" Aku menekan pelipis, sambil mengelus perut yang tadi hampir berontak. Kini semua berkumpul dan bersiap akan masuk ke Theater 1. Danu dan Dion sudah membawa beberapa kantong plastik berisi makanan dan minuman. Melihatku aneh, Kak Arden mendekat. Tanpa banyak bicara, aku hanya menunjuk ke sosok yang tadi aku lihat. Kak Arden diam sejenak, matanya terpejam. Lalu menggandengku berjalan mendahului yang lain. "Eh, Den? Kenapa sih? Kalian main rahasia-rahasiaan, ya?" tanya Radit sedikit berteriak karena langkah kami lebih cepat. "Kenapa sih, Dit?" tanya Doni yang berjalan di sampingnya bersama Kiki. Teman yang lain berjalan di belakang kami. Tentu aku dan Kak Arden mampu mendengarnya karena koridor ini seperti menimbulkan gema. "Tahu tuh, Aretha tadi aneh. Pas lihat orang tadi yang di sana tuh, dia ketakutan gitu." "Jangan-jangan ..." ucap Kiki "Apaan?" "Ada setan!" teriak Kiki lalu menyusul aku dan Kak Arden ke pintu theater 1. _____ Semua sudah duduk di kursi sesuai dengan nomor yang tertera di tiket masuk. Sayangnya, posisi kami duduk terpencar. Rupanya di dalam gedung sudah banyak penonton yang duduk. Dan kami termasuk kelompok yang terlambat. Dedi bersebelahan dengan Kak Arden, dengan posisi paling depan. Aku dan Kiki duduk di pinggir berdampingan di belakang Kak Arden. Di belakang kamu Doni dan Radit. Danu, Dion dan Ari duduk berseberangan denganku. "Kok, bisa mencar gini sih?" tanya Kiki menyerocos kesal. "Kita kesiangan, Ki," sahutku santai sambil membetulkan posisi duduk agar lebih nyaman. Layar lebar di depan mulai menampilkan beberapa cuplikan film yang akan tayang. Perlahan lampu dimatikan. Film pun diputar. Semua diam, fokus menonton. Sembari sesekali meneguk soft drink yang dibeli tadi. Samar-samar ada suara gemerincing dari arah belakang. Aku yang pertama kali menyadarinya, menoleh. Gelap. Hanya itu yang aku lihat. "Kenapa, Tha?" tanya Radit yang duduk di belakangku. "Kamu dengar nggak, Dit?" "Dengar apaan?" "Ada suara gemerincing. Mirip langkah kaki yang pakai gelang kaki gitu deh." "Langkah kaki? Kerincing-kerincing gitu suaranya?" tanya Radit ikut menoleh ke belakang, dengan rasa penasaran yang cukup besar. "Iya, Dit. Dengar nggak? Atau cuma aku yang dengar, ya?" Kulihat Radit menatap serius ke belakang, mencoba mencari bayangan dan gerakan apa pun di kegelapan sana. Ia mengernyitkan kening karena tak melihat atau mendengar apa pun di sana. "Kamu yakin?" tanya Radit yang mulai ragu, menoleh ke arahku lagi. Hanya saja pertanyaan barusan langsung mendapat jawaban. "Aretha ..." kata Radit berbisik sambil menarik lengan bajuku. Aku menoleh ke depan lalu menutup mulut rapat-rapat. Aku melihat sosok wanita tanpa kepala tengah berjalan di dekat kami. Badanku seketika membeku, tanganku menjulur ke depan, mencoba meraih bahu kak Arden. Hanya saja, sosok yang baru saja muncul itu langsung mendekatkan leher tanpa kepala itu ke samping Kak Arden. Anehnya ada suara mendesis entah dari mana. Aku sontak mundur, menempel pada punggung sofa yang ku duduki. "Kenapa, Tha?" tanya Kiki heran. Aku tidak menjawab apa pun, langsung keluar dari tempat itu. Tidak peduli kalau meninggalkan mereka di dalam. Toh hanya aku yang melihat makhluk tadi. Sampai di luar, aku menarik napas dalam-dalam guna mengisi paru-paru. Rupanya Radit, Kiki, Doni dan Kak Arden menyusulku. "Ada setan, ya? Kenapa kagak bilang sih, Tha?" tanya Doni sedikit kesal bercampur takut. Berkali-kali ia menoleh ke belakang. Aku tidak menjawab pertanyaannya itu. Kiki dan Radit melihatku cemas, sambil menawarkan minuman dan tempat duduk padaku. Yah, tubuhku lemas. Sangat. "Yang lain masih di dalam?" pertanyaan itu meluncur tepat saat Danu dan Dion keluar, yang disusul Dedi dan Ari. "Mendingan kita cabut," tukas Dedi langsung berjalan mendahului yang lain. Ari yang baru saja keluar bersamaan dengan Dedi ikut berlari ketakutan. "Kalian kenapa, woi!" teriak Doni penasaran. Danu dan Dion menarik Doni dan mereka berlari diikuti yang lain. Sampai di parkiran, mereka menceritakan kejadian selang beberapa saat setelah aku keluar. Dedi, Danu, Dion, dan Ari secara bersamaan diganggu. Di samping mereka ada sosok makhluk tanpa kepala yang ikut menonton film dengan memegang kepala yang diletakkan di paha. "Gue pikir elu balik lagi tadi, Den. Eh pas gue lihat ... setan! Kan k*****t!" "Anehnya kita ngalamin itu bersamaan. Pas gue berdiri, eh mereka juga," jelas Danu sambil menunjuk teman-temannya yang lain. "Lagian kalian kenapa nggak bilang sih! Kirain mau pada ke toilet doang," cetus Dion kesal. "Sorry ... Kita cuma nggak pengen bikin kalian panik. Jadi semua lihat yang tadi?" tanya Kak Arden. "Lihat!" seru mereka semua bersamaan. "Ya udah. Kita pulang deh. Sebagai gantinya, kita makan di rumahku aja. Bunda habis dapat pesanan katering. Jadi banyak makanan sisa." "Kita dikasih makanan sisa? Astaga ... Kejam amat, lu Aretha!" hardik Ari dengan tampang memelas. Danu mengapit kepala Ari yang masih melongo menatapku. "Buruan. Masih mending makanan sisa. Dari pada elu kagak makan." Sampai di rumah, kami disambut oleh ayah dan bunda. Bunda sangat ramah dan langsung mengajak teman-temanku ke gazebo belakang rumah. Makanan telah tersedia lengkap di sana. "Ayo, makan dulu." "Makasih, Tante. Wah, ngerepotin," kata Kiki langsung mencomot tempe goreng crispy yang masih hangat sepertinya. Karena aroma makanan itu masih terasa pekat di hidungku. "Gaya lu, ngerepotin. Seneng, kan?" sindirku dengan pertanyaan yang membuat Kak Arden tersenyum geleng-geleng kepala. Aku yakin kak Arden sudah kenyang dengan keributan yang disebabkan oleh aku dan Kiki. Yah, bukan rahasia umum lagi. Jika aku dan Kiki bertemu, maka suasana akan ramai dan tentu berisik. "Ini makanan sisa? Makanan utama kayak apa, yah?" "Makanya jangan buruk sangka dulu," sindir Danu ke Ari yang duduk di sampingnya. Sedangkan Kiki langsung mengambil piring tanpa malu-malu. Kiki memang pernah tinggal tak jauh dari kediaman kami. Saat kami masih kecil, kami bertiga sangat dekat. Hingga setelah Kiki memasuki SMP ia dan keluarganya pindah ke sebuah perumahan mewah. Walau film telah kami lewatkan, tetapi justru di rumah itu, semua terlihat senang. Mungkin istilah perut kenyang, hati pun ikut senang adalah hal yang benar. ___
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD