Part 2 - Hiro Senpai

1721 Words
Siang ini Hiro sedang berada di halaman belakang kampus untuk menemani sahabatnya, Putra. Hiro duduk di sebuah kursi taman yang terbuat dari besi, sambil mendengarkan musik kesukaannya menggunakan headphone. Kepalanya diangguk-anggukkan mengikuti irama yang didengarnya. Hiro tidak menyadari jika ada sepasang mata dari seorang gadis cantik dan imut yang duduk di kursi yang berada tidak jauh darinya. “Ra … Dira!” Ditepuknya bahu gadis tersebut sehingga membuatnya menoleh ke arah teman di sampingnya. “Eh iya, Fris? Kenapa?” tanya Dira. “Kok bengong aja sih, Ra! Lagi ngeliatin siapa sih?” Pandangan Friska kemudian menuju ke arah Hiro yang sedang duduk sendirian. Lalu Dira mencoba menghalangi Friska agar tidak melihat lelaki yang sedari tadi sudah menarik perhatian dirinya. “Oohh ... ngeliatin Hiro senpai? Nyerah aja deh, Ra. Sudah banyak cewek yang nembak dia tapi langsung ditolak saat itu juga. Teman seangkatan kita juga banyak loh, Ra, yang sudah nyoba nembak,” ungkap Friska “Masa sih, Fris? Aku juga nggak ada niat buat nembak dia kok, cuma penasaran aja. Kayaknya setiap ngeliat dia tuh kayak asyik sama dunianya aja. Ngedengerin musik gitu aja. Kecuali kalau sama temennya tuh yang cowok. Temennya juga kayaknya cuma satu orang itu aja deh.” Dira mencoba menyangkal dan memberikan alasannya. ”Iya, Ra. Beneran, mungkin udah punya cewek juga kali ya makanya nggak tertarik sama yang lain,” balas Friska. “Yaahh … telat dong aku.” Raut wajah Dira seketika berubah menjadi sedih. Dia memang tertarik pada Hiro tapi belum terlintas di pikirannya untuk langsung menyatakan cinta. Dia hanya ingin mengenal Hiro terlebih dulu. Tidak lama setelah itu seorang lelaki datang menghampiri Hiro. Kemudian lelaki itu duduk di sampingnya dan menunjukkan sebuah buku bergambar animasi pada Hiro. Raut wajah Hiro yang tadinya tampak tenang kini berubah menjadi sangat senang menerima buku tersebut. “Fris, Fris, lihat deh. Itu Hiro senpai kok senang banget dikasih komik gitu ya? Memang dia suka baca komik ya?” Dira mulai penasaran. Friska melemparkan pandangannya lagi kea rah Hiro. “Nggak tahu, Ra. Bisa jadi memang suka baca komik. Kebanyakan mahasiswa yang ambil jurusan Sastra Jepang kan memang suka baca komik,” jawab Friska. “Kalau suka baca komik, sama kayak aku juga dong ya, Fris.” Tercetak senyum sumringah dari wajah Dira. Dia merasa ada sedikit kesamaan antara dirinya dengan Hiro, sama-sama suka membaca komik. “Dira, kamu juga mahasiswi jurusan Sastra Jepang, jadi kemungkinan kamu punya kesamaan dengan Hiro senpai itu sama dengan kemungkinan semua mahasiswi lain yang juga suka baca komik.” Langsung saja raut wajah Dira yang tadinya sangat sumringah kini cemberut setelah mendengar kalimat yang diucapkan oleh Friska. Dira merasa sahabatnya ini tidak mendukung kebahagiaannya. “Udah deh yuk kita ke kelas aja nungguin jam kuliah mulai! Daripada kamu di sini ngelihat Hiro senpai sambil halu terus kayak gitu.” Friska menarik tangan Dira untuk mengikutinya. Pada akhirnya Dira melangkahkan kakinya dengan lemas dan tidak bersemangat. Sedikit kesamaan antara dirinya dan Hiro ternyata sama sekali bukan hal yang spesial. Di sudut lain, Putra memperhatikan Dira dan Friska yang berjalan menjauh dari kursi yang diduduki mereka sebelumnya. Sebenarnya Putra jatuh hati pada Friska, sahabatnya Dira. Putra menyukai perempuan seperti Friska yang berwajah cantik dengan lesung pipi, kulitnya yang kuning langsat, juga tingginya yang semampai. Friska juga tidak terlalu feminim, tetapi juga tidak tomboy. Benar-benar tipe perempuan yang simple dan menarik untuk Putra. “Ro, Ro, lihat deh ke sana!” Putra menepuk pundak Hiro meminta sahabatnya itu untuk mengarahkan pandangannya ke Friska dan juga temannya yang sedang berjalan menjauh. “Apaan sih Ro Ro Ro Ro! Emang gue Roro kidul?!” ketus Hiro. “Itu lihaatt Hiirroo.. cepetan!” geram Putra sambil menunjuk ke arah Friska yang semakin menjauh. Hiro kembali angkat bicara, “Cewek dua itu? kenapa emang? Ada yang ditaksir?” “Iya itu yang tinggi  semampai itu. Friska namanya. Lu jangan suka sama dia ya. Awas aja!” Putra memperingatkan Hiro agar tidak jatuh hati pada Friska. Hiro menoleh ke arah Putra dan menatapnya sinis. “Putra? Lu tau kan di hati gue ini cuma ada Naurin? Nggak bakal ada yang lain. Cukup Naurin saja.” Hiro mengatakan hal tersebut dengan tegas. Namun, Putra malah mendengar hal tersebut menjadi sesuatu yang miris. Menyedihkan. Karena Putra tahu jika Naurin sudah tidak ada lagi di dunia ini. Hiro masih mengharapkan seseorang yang sudah tidak ada lagi di dunia?   ***   Hiro kini sedang disibukkan dengan kegiatan menyusun skripsinya. Banyak bab yang dicoret-coret oleh sang dosen pembimbing. Harus direvisi sesegera mungkin. “Haduuhh … ini kenapa lagi sih dosen hobi banget corat coret di sini! Enggak tahu apa kalau aku sudah susah payah nyusun nih skripsi!” Hiro meracau karena kesal. “Rin, kamu sini bantuin aku sih. Kamu kan pintar, kalau cuma bantuin aku nyusun skripsi kayak gini sih aku yakin kamu cuma butuh waktu setengah jam saja. Iya kan, Rin?” Hiro berbicara di hadapan bingkai foto Naurin. “Eh, tapi kalau aku sudah lulus nanti aku masih belum tahu nih mau jadi apa, Rin. Kalau kamu sih aku sudah tahu, kamu sering banget kasih tahu aku waktu kita SMA. Kamu mau jadi penerjemah bahasa Jepang. Tapi kalau aku, hasil tes kenaikan level bahasa Jepangku saja pas-pasan banget. Mau jadi apa ya aku, Rin?” Kini Hiro mengeluh di hadapan bingkai tersebut dengan raut wajah lesu. Hiro memilih jurusan Sastra Jepang hanya karena Naurin menyukainya. Naurin sering berkata pada Hiro jika jurusan tersebut adalah jurusan yang sangat dia inginkan. Menjadi penerjemah bahasa Jepang adalah cita-citanya. Karena dengan mengerti bahasa Jepang maka Naurin tidak perlu membaca terjemahan di film animasi favoritnya. Sesederhana itu sebenarnya apa yang Naurin inginkan, hanya ingin mengerti bahasa Jepang untuk menonton animasi favoritnya. Namun, keinginan sederhana itu harus kandas begitu saja karena kecelakaan 5 tahun lalu. Lalu Hiro, dia berusaha sebisa mungkin agar bisa masuk ke jurusan yang Naurin inginkan. Hiro ingin mewujudkan keinginan sederhana Naurin tersebut. Hiro tetap memandang wajah Naurin di foto. Senyum Naurin sangat menyejukkan hati. Hiro ingin melihat senyuman itu. Juga tawa Naurin saat mereka bercanda di masa lalu. Sesosok tangan berkulit pucat memegang salah satu pundak Hiro. Kepala Hiro dengan cepat menoleh ke belakang dan melihat siapa yang memegang pundaknya. Wanita cantik berada di belakangnya dan memberikan senyuman yang sangat Hiro rindukan. “Rin ... Kamu bisa baca pikiran aku ya? Aku kangen kamu, Rin” mata Hiro menatap lurus ke bola mata Naurin. Bola mata yang indah namun sudah tidak bercahaya. Senyum Naurin perlahan mendatar, tangan yang sebelumnya berada di pundak Hiro mulai naik meraba pipi Hiro. Tangan Hiro ikut naik ingin menggenggam pergelangan tangan Naurin. Namun, apa daya, Hiro tak bisa menggenggamnya. Seperti mencoba menggenggam udara yang melayang, kosong, hampa. “Hiro, tolong bantu mama sebentar!” Terdengar suara panggilan mamanya Hiro dari ruangan lain dan membuat Hiro terkejut. Lalu sosok Naurin sudah tidak tampak lagi di hadapannya. Menghilang begitu saja bagai tertiup angin. “Naurin, kenapa kamu pergi ninggalin aku sih?” bisik Hiro pada foto Naurin.   ***   Dira sedang duduk di lantai di depan ruang perpustakaan kampus. Kakinya diluruskan ke depan, di kedua telinganya terpasang headphone, dan kedua tangannya memegang sebuah majalah dengan gambar animasi. Kepalanya dianggukkan perlahan ke atas dan bawah mengikuti alunan musik yang keluar dari headphone yang digunakannya itu. Brruuukk!! “Aduhh! Kaki siapa sih ini ngehalangin jalan?” seru seorang lelaki yang tersandung kaki Dira dan terjatuh. Dengan sigap Dira langsung bangkit dan berdiri karena merasa bersalah. Dilepaskan headphone yang masih terpasang di kedua telinganya. Dia berusaha membantu lelaki tersebut untuk berdiri. “Maaf kak, eh senpai, maaf aku enggak tahu kalau senpai mau lewat.” Dira menunduk meminta maaf pada lelaki yang jatuh karenanya. “Lagian kenapa kakinya enggak di tekuk aja sih! Eh, kamu yang kemarin duduk di kursi taman kan?” tunjuk lelaki tersebut. Dira langsung menegakkan kembali tubuhnya dan melihat siapa lelaki yang dia tabrak. “Eehh Hiro Senpai??” Jari telunjuk Dira mengarah lurus ke Hiro. Raut wajah Dira sangat terkejut, matanya sampai melotot melihat siapa lelaki yang kini berdiri di hadapannya. “Kamu yang kemarin duduk di taman bareng teman kamu itu kan?” Hiro bertanya kembali pada Dira. “Iya, Senpai,” jawab Dira dengan cepat. Kini senyum di wajah Dira mengembang sangat lebar. Dia sangat senang bia bertemu dengan Hiro, senior yang dia sukai. “Teman kamu yang kemarin mana? Kok gak bareng?” tanya Hiro sambil melemparkan pandanganya ke sekitar Dira. “Eh? Teman? Yang kemarin? Friska maksudnya senpai?” “Iya yang kemarin. Duh, jangan panggil senpai. Hiro saja, atau Kak Hiro juga boleh. Siapa nama temannya, Friska?” “I-iya … Fris ... ka..” jawab Dira lesu. Senyum di wajah Dira pun mulai memudar ketika Hiro malah menanyakan Friska, bukan dirinya. “Bilang sama Friska teman kamu itu, ada cowok yang suka sama dia. Eh sudah ya, mau pulang nih. Ingat itu kaki jangan ngehalangin jalan lagi,” tukas Hiro. Dira pun membatu mendengar kalau ada lelaki yang menyukai Friska. Dia mengira jika lelaki tersebut adalah Hiro. Jika harus bersaing dengan Friska, maka Dira sudah pasti kalah. Dira melihat Hiro yang berlalu melewatinya. Raut wajah Dira semakin sedih. Bibirnya cemberut, hatinya sudah merasakan sakit hati. Dira sudah merasa kalah sebelum memulai peperangan. Kemudian Dira berjalan lunglai dengan kepala yang tertunduk. Dia merasa ingin pulang saja. Hiro menghampiri Putra, sahabatnya di parkiran motor. Putra menunggu Hiro untuk pulang bersama. “Put, tadi gue ketemu sama temennya cewek yang lu taksir tuh” kata Hiro. Hiro memberikan tas ransel yang dibawanya pada Putra, dia ingin mengenakan jaketnya. “Yang mana, Ro?” tanya Putra pada Hiro. Hiro menjawab, “Yang kemarin cewek jalan berdua di taman kampus, kan katanya lu suka sama dia. Namanya Friska” “Oh si Friska? Itu sih gue tau, Ro. Gue udah cari info duluan kali.” Diberikan kembali oleh Puta ransel milik Hiro setelah Hiro mengenakan jaketnya. “Jadi udah tahu? Yah … percuma gue nanya ke temennya. Ya sudahlah kalo gitu.” Hiro menaiki motornya dan memberi kode pada Putra agar ikut naik dan duduk di belakangnya. Mereka akan pulang bersama. Lebih tepatnya Hiro akan mengantarkan Putra terlebih dahulu baru dia pulang ke rumahnya. Rumah mereka berdua tidak terlalu jauh, hanya berbeda satu gang saja. Sesampainya di rumah, Hiro langsung menuju ke kamarnya dan mencari sumber kebahagiaannya. Bingkai foto Naurin. “Rin ... aku udah pulang nih!”  
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD