After Married : Part 1

2087 Words
Kisah Feri dan Sara Usai makan malam, keluarga Adhiyaksa pamit pulang ke Jakarta kecuali Feri. Lelaki itu disuruh tinggal untuk bermalam di rumah Sara. Tiara menangis karena tak mau pisah dengan Mommy barunya. Bocah itu meraung-raung digendongan Papi. Apa boleh buat. Untuk malam ini saja, Tiara dijauhkan dulu dari orangtuanya. Bagaimana pun para tetua tentu paham kan pentingnya malam pertama setelah akad? Sara tak tega melihat bocah itu. Wanita itu menangis ketika melambaikan tangan ke arah Tiara yang sudah masuk ke dalam mobil. Ia tak tega sebenarnya. Namun apa boleh buat. Untuk malam ini saja. Karena ia yakin, malam-malam setelahnya Tiara akan memaksa untuk tidur bersamanya. Feri meremas lembut bahunya. Mengatakan kalau Tiara akan baik-baik saja. Bocah itu hanya baru merasa ada yang memerhatikannya. Jadi wajar jika tak mau lepas. Dan lagi, sudah lama ia merindukan sosok seorang ibu. Ketika sudah datang pengganti, jadi terasa riang dan nyaman. Wajar bukan? Walau posisi Sara tak akan pernah bisa menggantikan ibu kandung Tiara namun kini, perempuan itu lah ibunya. Tak perduli apakah darah itu ikut mengalir atau tidak di dalam tubuh Tiara. Abi menitahkan keduanya untuk melepas lelah. Sara yang baru tiba di Kabul tadi siang pasti lelah sekali. Apalagi besok pagi akan menyambut keluarganya dari Jerman. Jadi, untuk mematuhi perintah Abinya, ia masuk ke dalam kamar seraya merapikan bajunya ke dalam lemari. Feri tampak menikmati punggung dan tangan Sara yang bergerak luwes memasukkan baju ke dalam lemari. "Abang mau mandi?" tanya wanita itu disela-sela kesibukannya. Ia sadar kalau sedari tadi Feri memerhatikannya. Feri tersenyum tipis. Ia masih betah memandang wanita itu. "Iya," tuturnya. Lalu ia beranjak ke koper miliknya dan mengambil baju di dalam sana. Ia tak membawa banyak baju mengingat tak bisa berlama-lama di sini. Ada tanggung jawab pekerjaan yang dipegangnya di Jakarta dan sulit ditinggalkan dalam waktu semendadak ini. Ya, begini lah nasib nikah dadakan yang digelorakan oleh keluarga besarnya. Ia tak mungkin membiarkan Fadli terus memegang kekuasaannya berhari-hari. Kasihan lelaki itu. Ia pasti diomeli istrinya karena terus menerus lembur di dua kantor. Saat Feri masuk ke dalam kamar mandi, Sara selesai memberesi baju-bajunya. Wanita itu beranjak dan berjalan mendekati koper kecil milik Feri di dekat pintu kamarnya. Ia memperhatikan baju-baju lelaki itu. Tak banyak. Hanya ada dua helai kaos dan kemeja semiformal dua helai. Kalau dihitung-hitung, baju itu hanya cukup untuk dua hari. Sementara ia sudah mengangkut semua bajunya ke sini. Sebagian ia bawa dengan dua koper besar. Sebagian ia paketkan ke mari. Kalau sudah menikah begini berarti mau tak mau ia balik lagi ke Indonesia bukan? Aish. Ia berkacak pinggang. Kesal karena harus kembali membawa baju-bajunya yang banyak ke tanah air. Tapi berhubung ada Feri ini ya sudah lah ya. Hanya saja, yang menjadi masalah itu, nasib bajunya yang masih dalam perjalanan ke sini. Itu bagaimana ya? Aaaah....ia menggeleng. Nanti saja itu dipikirkan. Lalu ia memilih melepas kerudungnya. Rambutnya tak jauh beda dengan saat remaja dulu. Pirang bergelombang tapi sedikit mengembang. Ia memang jarang mengurus rambut lagi setelah kepergian Faiz. Kini ia harus kembali mengurus rambutnya kalau mau Feri betah disisinya. Kemudian ia keluar dari kamar. Hendak mengambil minum sekaligus membuat teh madu untuk Feri. Ia ingat benar lelaki itu demam dua hari yang lalu. Ia tak mau Feri jatuh sakit di hari pertama pernikahan mereka. Sementara Feri baru saja keluar dari kamar mandi. Ia mengernyit heran saat tak melihat sosok istrinya. Mungkin keluar, pikirnya. Ia berjalan enteng menuju koper kecilnya. Mengambil baju dari sana lalu memakai kaos oblong yang dibawanya. Kemudian melepas handuknya namun saat tangannya baru meraih boxer, ia terkaget saat pintu dibuka dan Sara berteriak histeris. Wanita itu kaget dan malu atas apa dilihatnya. Cepat-cepat ia tutup pintu kamar itu lagi. Lalu mengelus dadanya. Tangan kanannya sampai gemetar memegang gelas. Air teh madu itu sedikit tumpah gara-gara kejadian tadi. Kini ia malah tersenyum tipis. Malu atas apa yang dilihatnya tadi. Sementara Abi dan Umminya melangkah menaiki tangga dan bertanya apa yang terjadi. Ia mesem-mesem sendiri karena malu. Jantungnya berdegup kencang dan ia belum berani masuk. "Gak apa-apa, Abi. Sara nyaris terpeleset tadi," tuturnya dengan wajah menunduk, berupaya menyembunyikan rona merah yang muncul dipipinya. Laki-laki dan wanita paruh baya itu tak menaruh curiga. Ia menghela nafas lega karena tak dicurigai. Namun masih malu untuk masuk. Aish, apa yang harus ia lakukan? Ia tak mungkin kan menunggu di depan kamar sampai pagi? Jadi detik berikutnya, ia beranikan diri untuk masuk. Ia bisa bernafas lega saat melihat Feri sudah memakai baju dan celananya. Lelaki itu duduk di tepi ranjang, berpura-pura tak tahu akan kejadian tadi. Sebetulnya Feri merasa lebih malu. Hihihi. "Eung, Bang. Ini teh buat Abang. Aku taruh di sini," ujarnya sambil meletakkan gelas berisi teh madu itu di nakas lalu ia kabur ke kamar mandi. Saat pintu kamar mandi itu dikunci, Feri tertawa terbahak-bahak tanpa suara. Ia merasa lucu dan gemas akan tingkah Sara tadi. Tapi ia juga malu. Jujur saja, ia tak tahu Sara akan masuk saat ia menerjunkan handuknya dan meraih boxer. Lelaki itu menghela nafasnya usai tertawa yang ditahan-tahan. Ia segera beranjak mengambil teh madu buatan Sara dan duduk tenang meminumnya. Kemudian membuka ponselnya. Seketika ia terbahak-bahak saat membaca pesan-pesan di grup Adhiyaksa yang dibuat Fadli di line. Adik-adiknya heboh menggodanya dengan tema malam pertama. Ia mesem-mesem saja. Tak mau membalas percakapan mereka karena paham tipikal mereka. Pasti tak akan selesai-selesai jadi lebih baik tak ia ladeni. Dan lagi, adiknya yang satu itu tak punya otak. Jadi jangan sekali-kali meladeninya dengan topik seperti ini. Pintu kamar mandi terbuka ketika ia menandaskan tehnya. Sara muncul dengan gamis batik berwarna coklat. Feri kira wanita itu akan memakai baju yang membuatnya sesak nafas. Tapi ternyata perkiraannya salah. Namun ia terpaku saat melihat rambut yang biasanya tertutup jilbab itu. Masih sama memesonanya dengan dulu. "Bang," panggil wanita itu disela-sela kegiatan menyisir rambutnya. Feri yang dari tadi tak berkedip menatapnya kini mulai mengedipkan matanya. Lelaki itu berdeham. Bau khas jasmine menguar dari tubuh perempuan itu saat Sara mendekatinya. Ia jadi panas dingin sendiri. "Rencananya Abang mau di sini berapa lama?" tanyanya lembut. Matanya tak sungkan menatap Feri. Malah lelaki itu yang gelagapan. Ia bukannya kesurupan tapi grogi. Hihihi. "Dua hari. Besok menyambut keluargamu. Besoknya lagi kita balik ke Jakarta," tuturnya. Sara nampak diam. Ia sibuk menimbang-nimbang. Ia sudah lupa akan kejadian memalukan yang terjadi di dekat pintu kamar tadi. "Kenapa?" tanyanya. Sara memanyunkan bibirnya. Wanita itu nampak bimbang. Ia nampak berpikir sesuatu. Harus kah ia mengutarakannya? Tapi ia takut Feri akan marah. Jadi bagaimana? Setelah menimbang-nimbang, akhirnya ia menggeleng lemah. "Enggak," bohongnya lalu meraih gelas teh madu yang sudah tandas isinya. "Mau ke mana?" Tanya lelaki itu. Ia mengikuti langkah istriya yang gamang saat keluar kamar. "Mau naruh ini ke dapur," tuturnya. Feri ber-oh ria. Saat Sara keluar kamar ia bernafas lega. Ia heran kenapa jantungnya selalu abnormal setiap di dekat wanita itu? Sementara Sara nampak bengong di dapur usai mencuci gelas tadi. Ia duduk di dekat pantry sambil melongo. Ummi yang melintasi dapur dan melihatnya malah mengulum senyum. "Sar," wanita itu berucap lembut, memanggilnya. Sara mendongak dengan tatapan kosong. "Kembali ke kamarmu. Suamimu pasti menunggumu di sana," cerocos wanita itu kini dengan senyum lembut. Sara mengangguk lemah. Ummi benar. Ia harus kembali ke kamar dan jangan mengacaukan malam ini. @@@ "Feri, Sara! Ummi dan Abi tunggu di mushola!" Seru Ummi setelah mengetuk pintu beberapa kali. Sara menyahut dari dalam. Ia baru selesai mandi. Wanita itu segera mengambil bajunya dan memakainya. Lalu memberesi tempat tidur sementara Feri mandi. Setelah itu ia mengambil baju koko untuk Feri di kamar Abinya. Menilik Feri tak membawa itu, ia berinisiatif meminjam punya Abinya dan sarung. Meski ia yakin pasti akan terlihat kebesaran di tubuh Feri menilik tubuh Abi Sara yang besar dan tinggi. Sementara Feri tampak kurus meski tinggi. Setelah mendapatkan koko dan sarung, ia segera beranjak menuju ke kamarnya. Melangkahi tangga dengan pelan atau ia akan terjatuh. Namun baru saja membuka pintu ia kembali histeris melihat Feri tanpa handuk lagi. Ia menutup pintu itu dengan cepat sementara Feri terkekeh-kekeh di dalam kamar. Suami barunya itu tak bisa menghentikan tawanya bahkan saat Sara masuk ke dalam kamar. Ia mendapat serangan bertubi-tubi dari Sara. Keduanya tergelak di atas ranjang. "Gara-gara Abang aku harus ngambil wudhu lagi!" omelnya saat beranjak. Feri menatapnya dengan geli. Lagi pula ia mana tahu Sara akan datang. Ia tak bermaksud memamerkan diri. Ini benar-benar tak sengaja. Lelaki itu bangkit dari keterbaringannya tadi. Ia masih terkekeh geli sementara Sara sudah mengomel dari dalam kamar mandi. Biasanya ia berganti baju di walk in closet. Tapi di kamar Sara tak ada itu. Kamarnya tak luas. Mungkin hanya seluas kamar Tiara. Rumah ini pun tak begitu besar. Tak seperti rumahnya. Mungkin rumah ini hanya seperdelapannya dari luas rumah Feri, rumah Mami dan Papi. "Lain kali kalau mau ganti baju dikunci dong, Bang. Kalau orang lain yang lihat gimana?" cerca wanita itu saat keluar dari kamar mandi. Feri malah santai. Lelaki itu memakai sarungnya. Sara masih mengomel sembari memakai mukenanya. "Paling Tiara yang lihat," tuturnya yang membuat Sara melotot seketika. Lelaki itu terkekeh geli sembari memakai baju koko milik Abi Sara. Merasa lucu dengan kejadian ini. Karena semalam pun begitu. Bedanya, Feri mulai terbiasa dengan Sara. @@@ Feri manut-manut saja saat keluarga Sara dari Jerman datang bertandang. Ia tak bisa bahasa Jerman sementara tak semua keluarga Sara bisa berbahasa Inggris. Kebanyakan mereka berbicara dalam berbahasa Jerman dan sebagiannya lagi berbicara dengan bahasa Arab. Feri nampak kagum melihat cara mereka berkomunikasi. Ada beragam bahasa yang didengarnya. Sepertinya ia akan meminta Sara mengajarinya bahasa Arab dan Jerman padanya juga Tiara. Agar kalau bertemu lagi dengan keluarga wanita itu, ia tak kagok dan lebih mudah berbaur. Mereka makan siang bersama. Berceloteh apa saja hingga malam tiba. Tak nampak satu pun dari mereka yang ingin beranjak pulang. Sara bilang memang sudah kebiasaan keluarga besar kakeknya. Mereka akan pulang kalau sudah larut malam. Sementara Feri dan Sara memang cukup lelah kan. Baru satu hari tinggal di Afganistan dan belum sempat istirahat yang benar-benar istirahat. "I've never been there before. But I saw on the internet, there are many beautiful places." Feri mengangguk. Dengan senang hati ia bercerita tentang Indonesia kepada adalah satu sepupu Sara. Mereka tampak tertarik dengan ceritanya. Feri tentu tak hanya bercerita tentang tempat wisata-wisata yabg kece badai di Indonesia tapi juga sejarahnya yang indah. Jujur saja, meski Feri pernah lama tinggal di Amerika, ia masih ingat banyak tentang sejarah Indonesia. Selain itu, ada yang menakjubkan lagi bagi Feri, mereka memang satu keturunan tapi tak semuanya beragama Islam. Ada tiga keluarga yang Kristen. Tapi mereka tak mempermasalahkannya. Bagi mereka soal keyakinan adalah urusan pribadi masing-masing. Sara dan Abinya termasuk orang yang sangat menghormati apa yang dipilih mereka. Karena memang kakek Sara bukan seseorang yang Islam sejak lahir. Neneknya lah yang Islam. Dan Feri sih memang terbiasa dengan hal semacam itu karena ia pernah tinggal lama di Amerika. Staf-staf di kantornya duku juga dari berbagai latar belakang agama yang berbeda. Benar saja, sekitar jam satu malam baru rumah mereka sepi. Feri sedikit bisa bernafas lega. Rasanya tubuhnya remuk sekarang. Apalagi besok harus pulang. Ia belum memesan tiket. Sara masuk ke kamar mandi duluan. Wanita itu gerah di sepanjang acara kumpul-kumpul tadi. Sementara Feri nampak tekun menatap ipad-nya. Membaca laporan dari sekretarisnya dan curhatan Fadli yang menyuruh kakaknya segera pulang. Setelah membaca semuanya dan membalas pesan Fadli dengan mengiyakannya, ia membuka halaman baru untuk mengecek ketersediaan tiket. Ia akan pilih penerbangan yang tercepat. Biaya tak masalah yang penting ia bisa segera sampai di tanah air. Sara keluar dari kamar mandi. Masih dengan gamis tapi berbeda warna namun coraknya sama. Wanita itu memang suka memakai batik kalau di rumah. Karena bahannya licin dan dingin. Wanita itu menggosok rambutnya dan memerhatikan Feri yang nampak serius menekuni ipad dari cermin. "Abang jadi pulang besok?" tanyanya. "Iya. Kamu mau yang jam berapa?" tanya lelaki itu. Sara menarik nafasnya. Ia berjalan menghampiri Feri dan menyempil duduk di sampingnya. Lelaki itu bergeser agak ke tengah ranjang. "Ada yang pagi jam delapanan sama yang sore jam tigaan. Ini yang paling cepat sampenya," tunjuknya pada wanita di sebelahnya. Sara nampak diam. Ia memejamkan matanya sekilas. "Bang," panggilnya lemah. Feri hanya berdeham. Ia masih menimbang-nimbang ingin berangkat pagi atau sore. Kalau harga tak masalah. Yang penting ada yang menemaninya di perjalanan panjang ini. Wanita itu gugup. Jemarinya saling meremas lalu menundukkan wajahnya. "Kalau Sara nyusul nantinya gimana?" tanya perempuan itu yang sontak membuat Feri menoleh. Wanita itu menarik nafas dalam lalu memberanikan diri menatap Feri. "Setahun lebih aku gak pulang kesini buat jenguk Abi. Aku baru pulang sekarang. Kalau Abang ngizinin, Sara tinggal di sini dua minggu aja. Terus menyusul Abang ke Jakarta. Gimana?" tawarnya pada lelaki disampingnya yang mematung. Feri tak tahu harus menjawab apa. Ia sangat keberatan sekali. @@@
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD