After Married : Part 3 - End

2534 Words
Tiga hari kemudian, Sara menikmati masa indah-indah di rumahnya. Wanita itu sibuk mencari ide akan diapakan bisnis Abinya. Ia sempat mencuri dengar saat Feri dan Abinya bicara. Ia tak enak kalau Feri yang harus mengelolanya karena pekerjaan lelaki itu banyak sekali. Kalau ditutup sayang sekali. Tapi dikelola juga tak ada yang mengurusnya. Ia jadi pusing sendiri. Lalu satu nama terpikirkan olehnya. Dulu Killa sempat menawarinya untuk bisnis rancangan baju mom and baby. Tapi apa Killa mau memakai kain dari toko Abinya? "Bi," panggilnya ketika melihat Abinya melintas. Lelaki paruh baya itu menghampirinya. Ia memasang wajah manjanya. Lelaki paruh baya itu terkekeh geli. Anaknya ini sekali pun sudah menikah tetap saja wajah kekanakannya tak pernah bisa hilang. "Kain itu Abi dapatkan dari supplier atau produsennya langsung?" Lelaki paruh baya itu mengambil duduk di depannya. "Produsennya. Kenapa memangnya?" Wajahnya langsung sumringah. "Bagaimana kalau tokonya ditutup saja, Bi. Kita langsung ambil barang dari produsennya lalu diekspor ke Indonesia. Temanku mengajakku untuk bisnis baju mom and baby. Dia desainer yang cukup terkenal di Amerika." Abi mengangguk-angguk. Beliau setuju akan pemikiran putrinya. "Lalu kamu mengurus bisnis itu sendiri di Indonesia?" Sara mengangguk cepat. Tentu saja. Tapi ia pasti akan melibatkan Faradila. Wanita itu hanya mengandalkan butik hijabnya sejak keluar dari kantor. "Abi setuju saja. Tapi Abi ingat kan, kamu sudah punya suami. Apapun yang kamu lakukan harus dengan persetujuannya," pesan Abi yang membuatnya meringis. Selama menikah dengan Faiz, ia memang terbiasa mengambil keputusan sendiri karena Faiz menyerahkan semuanya sepenuhnya kepadanya. Tapi sepertinya, akan berbeda dengan Feri. Ia tak bermaksud untuk membandingkan. Namun melihat watak Feri yang agak keras itu... "Ya, nanti Sara akan bicarakan pada Abang," tuturnya. Abi menebar senyum tipis. "Jadi, anak Abi sudah membeli tiket untuk pulang?" Sara menghela nafas seketika. Meskipun merindukan Feri, ia belum mau pulang karena masih merindukan Abinya. Menemani lelaki paruh baya ini. Aih, lagi pula ia tak menyangka Feri akan langsung menyusulnya setelah ia berkata seperti itu. Seharusnya ia memberitahu perasaannya setelah seminggu di sini. Jadi semuanya tak terburu-buru seperti ini. Hihihi. @@@ "Ada apa?" tanya lelaki itu ketika mengangkat teleponnya. Ia sedang duduk di kursi kerjanya. Matanya menghadap ke jendela besar di sebelah kanan. Ketika nama Sara muncul berkelip-kelip di ponselnya, ia langsung sumringah. Kantuknya hilang sudah. Aih, wanita ini benar-benar membuatnya tak betah di kantor. Rasanya ingin terbang menyusulnya ke Kabul lalu bersembunyi di sana. Menghabiskan hari-hari berdua. Eciyee ciyeee. Kenapa ia jadi alay begini? Hahaha. Tidak-tidak. Ini bukan alay. Ini namanya rindu tauk! "Soal bisnis Abi, Bang. Sara punya ide. Rencananya toko akan ditutup saja. Kain-kainnya bisa diambil langsung dari produsennya dan diekspor ke Jakarta. Rencananya, Sara mau cari penjahit di Jakarta. Soalnya, Killa mau mendesain baju mom and baby dari kain-kain itu. Abang setuju gak?" tanyanya menggebu. Wanita itu bersemangat sekali. Apalagi ia juga sudah memberitahu Killa dan Faradila tapi tidak memberitahu soal pernikahannya. Ia masih malu mengakuinya pada mereka. Nanti juga mereka akan tahu sendiri. "Asal bisa membagi waktu dengan keluarga saja. Aku tak masalah, Sar," tutur lelaki itu, ringan. Senyumnya tak berhenti mengembang. "Tentu, Bang. Abang di mana? Masih di kantor?" "Masih. Dua jam lagi baru akan pulang ke rumah," tuturnya lalu ia teringat sesuatu. "Oh ya, aku sudah pesankan tiket untuk kamu pulang minggu ini," lanjutnya yang membuat Sara menggigit bibirnya seketika. Ia baru ingat kalau ada hal yang lebih urgensi untuk dibicarakan dengan lelaki ini. Tentunya, terkait kepulangannya ke Indonesia. "Eung, Bang," panggilnya takut-takut. Feri berdeham menunggu lanjutan kalimat istrinya. Sara menarik nafas dalam-dalam. "Kalo seminggu lagi gimana? Sara kan mau ngurus penutupan tokonya. Belum ketemu Abdul juga," tuturnya yang membuat Feri emosi seketika. Apa wanita itu tak tahu ia sudah sangat merindukannya? Lelaki itu menarik nafas dalam-dalam sambil mengusap wajahnya. Ia menyandarkan punggungnya. Tiga hari ini ia banyak menghabiskan waktu di kantor dari pada di rumah karena ketiadaan istrinya. Ia juga malas berlama-lama di rumah karena selalu menjadi korban bully adik-adiknya yang sengaja mampir ke rumah akhir-akhir ini. Asem kan? Lagi pula ia sudah membeli rumah bekas yang hanya berbeda beberapa blok dari rumah Mami dan Papi. Hanya tinggal memperbaiki interiornya saja. "Nanti aku kirim kan orang kepercayaanku ke sana," tuturnya dengan rahang mengetat. Nada bicara berubah dingin. Sara terdiam tapi belum menyerah. Ia sudah terbiasa dengan beragam permintaannya yang selalu dipenuhi sedari kecil. Saat bersama Faiz pun begitu tapi dengan lelaki ini....aish! Rasanya sulit sekali. Sara agak menahan kekinya. "Bang, ayolah," rengeknya. Feri menghela nafasnya kuat-kuat. Baru saja akan mengomeli wanita itu, teleponnya sudah diputuskan. Ia menggerutu dan sedikit membanting ponsel ke meja. Ia marah? Jangan ditanya! Sementara di seberang sana, Sara terus memandang ponselnya dengan dongkol. @@@ Di hari kelima ini, ia baru nampak gelisah. Masalahnya lelaki itu tak mau mengangkat teleponnya sejak kemarin. Pesannya pun diabaikan. Aish! Dengan setengah kesal, ia membanting ponselnya ke atas ranjang. Kelakuannya persis seperti saat SMA dulu. Bedanya, dulu ponselnya tak secanggih sekarang. Untuk menelepon sampai ke luar negeri masih belum bisa. Hanya bisa melalui telepon kabel. Itu pun biayanya mahal sekali. Wanita itu kesal dan marah. Pelampiasannya pada bantal guling lalu menangis. Feri mengabaikannya. Benar-benar mengabaikannya. Tingkahnya berubah pola menjadi remaja labil seperti dulu. Abi yang tak kunjung melihat wajah anaknya sejak subuh, meminta diantar istrinya ke atas agar istrinya bisa membantunya menaiki tangga. Setibanya di depan kamar Sara, beliau mengetuk pintu tapi tak ada jawaban. Yang beliau takut kan adalah anaknya bangun kesiangan tapi saat membuka pintu yang tak terkunci itu, kedua orangtua itu mengernyit heran. Suara tangis menusuk ke telinga. Sekali pun sudah tiga puluh tahun, kelakuannya masih kekanakan. Abi mengambil duduk di sebelah kanannya. Ummi mengambil duduk di seberangnya. Keduanya saling menoleh sebelum bertanya hal yang sama pada Sara. Wanita itu menangis sesenggukan, membuat Ummi dan Abi terkekeh sambil menelengkan kepalanya. "Kenapa?" tanya Abinya halus. Wanita itu bangun. Ia memeluk Abinya. Kebiasaannya sejak kecil tak pernah hilang. Ia memang begitu manja karena anak satu-satunya. "Abang marah. Sejak kemarin telpon dari Sara diabaikan. Pesan dari Sara tak dibalas," tuturnya yang membuat Abi menggeleng geli. Anaknya ini bukan remaja lagi bukan? Tapi kenapa tingkahnya kekanakan sekali? Caranya menyampaikan itu juga sama. "Jangan-jangan kamu buat masalah sama suamimu ya?" curiga Abi. Wanita itu diam lalu mengerucutkan bibirnya. Ah, kalau begini Abi paham sekali apa permasalahannya. Tapi beliau tak mau menanyakannya. Sebenarnya semalam Feri meneleponnya untuk memberitahu kalau lelaki itu sudah membeli tiket pulang untuk Sara. Feri sengaja langsung menghubungi Abi agar Sara tak bisa tinggal lama di sana. Biar mertuanya yang mengusir Sara agar mau pulang ke Indonesia. Hihihi. "Abi sudah beli kan tiket pulang untuk kamu," bohongnya. Kalau beliau berterus terang, Sara pasti akan merayu Feri untuk izin lebih lama tinggal di sini. Dulu saat masih bersama Faiz, Sara memang kerap tinggal berbulan-bulan di sini dari pada mengikuti suaminya. Faiz memang tak bisa menolak permintaan Sara. Ia sudah terbiasa untuk selalu mengabulkan apapun permintaan Sara. Alhasil, Faiz sering bolak balik Jakarta-Kabul. Lelaki itu memang tipe pengalah dan sangat bersabar dalam menghadapi Sara. Tapi tidak dengan Feri. Lelaki itu berkemauan keras. Seorang wanita yang hidup dengannya harus menuruti kemauannya. Pemaksa ulung. Tapi bukan berarti, Feri otoriter. "Tapi, Bi. Sara masih mau di sini. Sara masih mau nemenin Abi sama Ummi," tolaknya, keras kepala. Kenapa semua menantu perempuan di keluarga Adhiyaksa sangat keras kepala? Tak icha, tak pula Caca. "Jangan jadikan alasan menemani orangtua agar bisa tinggal lebih lama disini. Abi tahu kamu masih ingin tinggal, tapi status kamu bukan hanya sebagai anak Abi. Kamu sudah menjadi istri. Tak baik hidup berumah tangga berjauhan dengan suami," nasehat Abinya. Menantunya memang harus lebih tegas pada sikap Sara yang manja seperti ini. Sara nampak bungkam. Agak sulit melawan Abinya kalau sudah mulai berceramah seperti ini. Abi menelengkan kepalanya melihat kelakuan anak perempuannya ini lalu memilih beranjak. "Rapi kan baju kamu. Bawa satu koper saja. Sisanya akan Ummi kirim kan ke Jakarta," tutur Ummi sebelum menghilang dari kamarnya. Wanita itu mendesah keras. Masih tak ingin pergi dari sini. Ketika ia hendak mengambil ponselnya untuk mencoba menelepon Feri dan merayunya, lelaki itu sudah lebih dulu meneleponnya. Senyumnya mengembang seketika. "Assalammualaikum, Bang." Sapanya sumringah. Semangat sekali. Berbeda seratus delapan puluh derajat dengan tadi. Padahal wajahnya masih sembap. Begitu kentara kalau baru saja menangis. Di seberang sana Feri malah menjawab salam dengan datar dan tak enak didengar. Sara langsung diam. Ia tahu suaminya masih marah. "Jangan lupa, minggu pagi berangkat ke bandara. Tiket sudah aku kirim kan ke Abi. Kabari aku kalau sudah sampai di Jakarta, aku akan menjemputmu." Tut. Tut. Tut. Rasanya Sara ingin menjambak lelaki itu saat itu juga. @@@ Dengan setengah hati ia memasuki taksi. Ummi dan Abinya menahan tawa melihat wajahnya yang begitu tak rela meninggalkan rumah. Apa boleh buat, pikirnya. Ia tak mau Feri semakin marah padanya. Lagi pula Abi juga sudah mengusirnya secara halus. Lelaki paruh baya itu harus membuatnya pergi karena kalau tidak, ia tak kan kembali ke Jakarta. "Salam dari Abi dan Ummi untuk mertua dan suamimu," pesan Abi ketika ia menyalaminya. Ia mengangguk malas. Ummi malah terkekeh akan sikapnya yang kekanakan itu. Tapi mereka abaikan. Karena sekali bersimpati akan sikap manja wanita satu ini, ia akan terbang tinggi dan berharap Abi akan menahannya lebih lama. Tapi sayangnya tidak. Kedua orangtua itu malah dengan senyum sumringah saat melepas kepergiannya. Di sepanjang perjalanan, ia hanya termenung. Pun sampai tiba di bandara dan masuk ke dalam pesawat. Ia diam saja. Tak banyak bicara. Ia hanya mengirimi pesan sekedarnya kepada Feri untuk memberitahu posisinya. Lelaki itu membaca pesannya tapi dengan sengaja tak membalasnya. Ia kesal tentu saja. Rasanya marah sekali karena diabaikan. Tapi yang tak ia tahu, Feri malah bersorak senang karena ia akan segera tiba di Jakarta. Lelaki itu tak henti-hentinya melirik jam. Padahal Sara akan tiba jam setengah dua belas malam nanti. Tapi ia sudah tak sabar menanti kepulangannya. "Daddy, Mommy kapan pulang?" Bocah itu datang kembali untuk bertanya hal yang sama sejak kemarin. Feri terkekeh lalu mengangkat bocah itu ke pangkuannya. Bukan hanya Feri yang rindu. Bocah kecil yang lucu ini juga sama. Sejak berhari-hari yang lalu, ia tak sabar menanti kepulangan Sara. Katanya, Tiara ingin memamerkan Mommy-nya pada teman-teman sekolahnya. Ia gerah terus diledek karena tak punya ibu tapi sekarang tidak lagi.   "Nanti malam sayang," tuturnya yang membuat bocah itu bersorak girang lalu melompat dari pangkuannya. Detik selanjutnya, bocah itu sudah berlari menyusul Oma dan Opanya yang bersantai di taman belakang. Ia pasti heboh bercerita kalau ibu barunya akan segera ke mari. Rumah ini memang nampak sepi minggu ini. Karena sejak pagi, Fadlan dan Icha keluar untuk melihat rumah baru mereka yang sudah lama selesai. Mereka berencana membeli perabotannya dengan menyicilnya. Mengisi barang di rumah baru sedikit demi sedikit. Toh, Mami juga belum mengizinkan mereka untuk pindah. Dengan kepergian suami dan istri itu ada yang cemberut di samping Feri. Seperti biasa, gadis itu memang selalu kebagian mengasuh ponakan-ponakannya. Terkadang mengasuh Ardan, Dina, Fasha atau Tiara. Tapi paling sering mengasuh bayi kembar itu. Oke, ia memang tak banyak mengeluh dibanding saat mengasuh Ardan dan Dina. Kedua bocah tengil itu selalu menguras habis tenaganya. "Ih, tadi katanya Kak Fadlan bakal sampe sore di rumah. Ini udah jam empat kok gak nyampe-nyampe?" omel gadis itu di telepon. Ia capek juga mengurusi si kembar tiga ini biar kata mereka lucu-lucu. Feri terkekeh geli mendengarnya. Ia mengusap rambut gadis itu. Yang diusap malah cuek saja. "Nah kan! Ish! Malah pacaran!" gerutunya. Fadlan pasti mencari kesempatan dalam kesempitan, pikir Feri. Kalau sudah berdua pergi dengan istrinya, lelaki itu pasti malas pulang ke rumah. "Pokoknya Airin gak mau tahu, Kak Fadlan sama Kak Icha pulang sekarang!" kecamnya lalu berteriak histeris. Entah apa yang diucapkan Fadlan, gadis itu menangis sambil berteriak. Feri menelengkan kepalanya. Hobi sekali menjahili Airin, pikirnya. "Ada apa lagi sih?" tanya Mami. Wanita paruh baya itu datang tergopoh-gopoh karena mendengar teriakan Airin. Rumahnya tak pernah tenang. "Bukan Feri, Mi," bela Feri. Ia merasa tertuduh karena Mami memelototinya. Mami mengira ia yang mengerjai Airin sampai menangis sesenggukan. Dan Feri juga baru menyadari kalau gadis itu benar-benar menangis. Astaga! Lan....Lan..., pikirnya. "Kak Fadlan nih, Mi! Gak pulang-pulang! Airin mau pergi sama temen kan jadi gak bisa!" lapornya lalu menyodorkan ponsel pada Mami. Saat ponsel itu berada di tangan Mami, mulutnya tak berhenti mengomeli anak lelakinya yang satu itu. Feri terpingkal-pingkal mendengar omelan wanita paruh baya itu. Ada saja hiburannya selama tinggal di rumah ini. @@@ Tepat dijam sebelas malam, lelaki itu sudah siap dengan jaket hitamnya. Ia berpamitan pada Mami, Papi dan pasangan romantis yang berangkulan di depan televisi itu. Mereka sengaja menunggu kedatangan Sara. Sementara Airin jangan ditanya. Begitu Fadlan muncul di pekarangan rumah, gadis itu langsung kabur dan mengatakan akan menginap di rumah Cristine. Airin memang sering kelayapan akhir-akhir ini. Tapi ia biar kan saja lah. Namanya juga anak muda. "Hati-hati nyetirnya. Kalo ada apa-apa segera telpon ke rumah. Jangan ngebut-ngebut," pesan Mami. Ia mangut-mangut saja. Dengan semangat empat lima ia melangkah menuju mobilnya lalu masuk ke dalam kuda besi itu. Sesuai pesan Mami, ia mengendarai mobil tak terlalu cepat tapi tak terlalu pelan juga. Masalahnya kalau ia lamban mengendarai mobil, ia khawatir dicegat preman di jalan. Tapi selama ini, hal semacam itu tak pernah terjadi sih. Dan jangan sampai terjadi. Sebenarnya Fadlan menawarkan diri untuk menemaninya menjemput Sara, tapi ia menolaknya. Tentu saja ia tak mau diganggu kalau ingin berdua dengan wanita itu. Begitu tiba di bandara, ia merapatkan jaketnya. Tangan kanannya mengambil jaket coklat miliknya, kalau-kalau Sara tak mengenakan jaket jadi ia bawa untuk jaga-jaga. Lumayan pula buat romantis-romantisan di bandara. Ahay! Ia tertawa kecil mengingat ide terselubung ini. Rasanya sudah lama sekali tak bersikap romantis seperti ini. Eaak! Dengan gagahnya ia keluar dari mobil kemudian berjalan menuju pintu kedatangan. Saat ia tiba di sana, pemberitahuan mengenai pesawat yang ditumpangi Sara tepat mendarat. Hal yang membuatnya lega namun juga gugup. Seminggu tak bertemu rasanya bagai sewindu. Rindu yang tersimpan erat kian menggebu. Lalu malam ini akhirnya keduanya bertemu. Sepuluh menit ia berdiri, Sara tak muncul juga. Padahal satu per satu penumpang pesawat itu sudah menampakkan batang hidungnya. Sekitar lima menit kemudian, baru lah wanita itu muncul dengan gamis kuning keemasan dan kerudung kuning agak kecoklatan. Matanya meluber ke mana-mana mencari sosok Feri padahal lelaki itu sudah tiba di sampingnya. Ia agak terkejut ketika lelaki itu menepuk bahunya. Pada akhirnya, mau tak mau ia tersenyum. Marahnya menguar begitu saja ketika melihat lelaki ini. Aduhai.....jatuh cinta itu benar-benar bisa membuat setan menjadi malaikat. Amarah yang ia simpan lenyap sudah. Lenyap bersama angin yang bersahutan malam ini. Uhuy! Ia segera mencium tangan lelaki itu. Feri hanya mengusap kerudungnya lalu meletakkan jaket coklatnya di bahu perempuan itu. Tangan kirinya meraih koper Sara dan menggeretnya sementara tangannya sudah merangkul bahu wanita itu. Rasa bahagia itu menyelinap melalui celah hati mereka. Hanya berjalan berdampingan seperti ini saja, sudah membuat keduanya lupa akan masalah kemarin. Memang dikala rindu menyerang itu bisa membutakan segalanya. "Aya udah tidur, Bang?" tanyanya ketika masuk ke dalam mobil. Lelaki itu mengangguk sembari menghidupkan mesin mobil. Lalu ia mengatur posisi bangku Sara agar wanita itu bisa berbaring. Wanita itu menatapnya dengan senyum. "Tadi dia mau nungguin kamu, tapi aku suruh tidur," tuturnya lantas berdeham. Ia tak sengaja melirik Sara yang tampak berbinar menatapnya. Perempuan itu memang selalu menayapnya terang-terangan semenjak menikah. "Kamu istirahat aja. Nanti aku bangun kan kalau sudah sampai di rumah." Sara mengangguk namun ia tak ingin memejamkan mata. Akhirnya, di sepanjang jalan itu, ia terus menatap suaminya dari samping dengan tangan kanan yang menggemgam lengan kiri lelaki itu. Perjalanan singkat menuju rumah namun cukup membuat Feri tak bisa menghentikan senyumnya. Pernikahan ini membuatnya sangat bahagia. The End
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD