Promise Where | 2

1095 Words
Prangg...! Suara piring yang dibantingkan saling bersautan dengan teriakan-teriakan egois yang bersumber dari dua orang manusia yang kini terlihat saling membenci satu sama lain. Aku menutup mulutku menahan isakan. , abangku merangkul bahu ku kala itu, ia memaksaku untuk pergi dari ruangan itu. Moomy dan Daddy sedang bertengkar hebat, aku tidak tahu karena apa, yang jelas, emosi mereka meletup-letup tak tertahankan. Hari-hariku berjalan seperti biasa, aku bosan. Mendengar semua pertengkaran setiap hari, melihat banyak sisi yang tidak harmonis dari kedua orang tua ku, aku sangat bosan. Aku merindukan hal-hal menyenangkan bersama kalian, bukan teriakan-teriakan keras yang selalu telinga ku dapat setiap harinya pada umurku yang sangat belia ini. Pulang sekolah, aku memasuki kamar ku yang di d******i warna putih berpolet jingga. Tubuh kecil ku memeluk kasur berwarna putih itu erat, meskipun perbandingan antara kasur dan tubuh mungil ini terpaut sangat jauh. Moomy pergi entah kemana, yang jelas selama tiga hari ini aku tidak melihatnya dirumah. Daddy selalu pulang malam dengan kondisi mabuk, beberapa wanita genit sering mengantarnya pulang. Aku terisak sendiri di kamar, memeluk kedua lututku dan menelungkupkan kepalaku di atasnya. Pantaskah anak kelas dua sekolah dasar menyaksikan ini semua? Menurut Abang ku sepertinya ini tidak pantas, ia menginjak kelas tiga SMP sekarang, aku selalu mengaguminya karena ialah satu-satunya orang yang selalu menopang bahu kecilku, memberikan dadanya untuk aku peluk ketika aku merengek menginginkan sesuatu. Hari itu tiba, hari dimana pertama kalinya aku merasakan angin yang bertiup kencang menusuk pori-pori kulit ku. Suara nyaring masuk kedalam gendang telinga ku. Mata ku berkaca-kaca. Aku memeluk Abang ku erat ketika Tante Ralin menarik ku untuk mendekat padanya. Aku menangis tat kala melihat Bang Raka melambaikan tangan dengan seulas senyum yang terbentuk dibibirnya. Aku sedikit kecewa terhadapnya, untuk apa ia menelepon Tante Ralin datang, tujuannya ya untuk membawa ku ke Milan. Dan pada saat itu, aku tidak tahu apa itu Mila. Jujur, saat itu aku berharap Milan adalah sebuah permen warna-warni atau sepotong kue coklat, agar aku bisa membawa dan membaginya pada Bang Raka setelah aku pulang. "Ngelamun aja!" Aku sedikit tersentak ketika Bang Raka menyadarkan ku dari lamunan. Tak salah kan aku melamun? Toh aku menceritakan kejadian yang harus kalian ketahui. "Hehe," ucap ku memamerkan gigi. Aku sekarang sudah berada di rumah. Aku kira Bang Raka masih seperti dulu, namun ternyata perkiraan ku salah. Bang Raka berubah, fisiknya berubah, tapi sikapnya tidak. Jika dibandingkan dengan David, Bang Raka menang telak. "Queen mau makan," rengek ku kemudian menggandeng tangannya. "Manja, abang kira kamu bakal berubah," ucapnya kemudian mencubit pipi ku. "Bang!" panggil ku, ia langsung menoleh. "Ayah masih ada?" tanya ku penasaran, sepanjang perjalanan pulang aku terus menerus memikirkan hal itu. Bang Raka tidak menjawabnya, "beresin pakean kamu, Abang gak mau ya liat itu semua masih berantakan, 30 menit lagi bakal Abang cek!" ucapnya tegas, ia kelewat disiplin dan itu sangat menyebalkan. Ayo tebak, sekarang Bang Raka jadi apa? Dia sekarang sudah menjadi seorang Tentara Angkatan Udara, keren kan? Tak heran ia sangat disiplin. "Ayay captain!" ucap ku cepat, sebelum ia menembakan senapannya. Tidak, aku hanya bercanda. Aku membereskan semuanya kurang dari lima belas menit. Setelah selesai, aku melirik kalender. Pernikahan Bang Raka kurang dari seminggu lagi, dan aku masuk sekolah kurang dari dua belas hari lagi. Senangnya. Seragam ku sudah menggantung rapi, terkadang aku suka berimajinasi, sedikit halu sih. Tapi bukan kah itu hal yang wajar untuk remaja seusia ku? Apa kalian juga merasakan hal yang sama? Sering tersenyum sendiri atau menatap kaca dan berbicara sendiri? Pintu kamar ku yang serba putih kini terbuka, ia melihat ke sekeliling dan semuanya rapi, "good job my queen!" ucap Bang Raka kemudian duduk disamping ku. "Abang mau tanya," ucapnya menatap ku serius. "Tanya apa?" "Masih suka senyum-senyum sendiri di jalan?" tanyanya yang berhasil membuat ku mencebikan bibir. "Masih!" ucap ku ketus. "Masih sering gak sadar kalau ngomong sendiri di tempat umum?" tanyanya lagi. "Ishh! Masih!" jawabku kesal. Bang Raka terkekeh, "ngeri ya gue punya ade kaya lo," ucapnya santai. "Tau ah!" aku melipat tangan didada. "Bang kalau udah nikah mau tinggal dimana?" tanya ku takut kehilangan Bang Raka. "Disini," ucapnya membuat ku tersenyum. "Jadi Queen minggat dari sini!" ucapnya lagi. Aku membulatkan mata, "seriously?" Bang Raka justru terkekeh, "ohh i'm so so so so serious!" ia meniru logat yang aku ucapkan barusan. Aku melemparkan bantal ke wajahnya, dan ia masih saja terkekeh. "Queen doain semoga gak jadi nikah!" ucap ku kesal dan Bang Raka langsung menghentikan kekehannya. "Yaudah, Abang doain kamu aja yang nikah empat hari lagi!" ucapnya kelewat santai. "Abangg...!" teriak ku jengah, ia masih saja menyebalkan. Hari demi hari, persiapan demi persiapan semakin matang dilakukan. Aku melihat proses pre-wed yang sangat lucu, namanya Kak Luna, calon kakak ipar ku yang sangat cantik, ia seperti putri salju menurut ku. Bukan putri salju yang bersama tujuh kurcaci, tapi putri salju yang sering berada di toples di atas meja. Ia putih, manis, dan lembut. Dan cocok untuk dijadikan istri Bang Raka, justru aku bingung, kenapa Kak Luna mau dengan Bang Raka yang sangat menyebalkan? Aku curiga karena pelet ikan dirumah semakin berkurang, mungkinkah Bang Raka memeletnya? Ah, aku berdesis kecil ketika khayalan ku muncul tanpa aturan seperti itu.  Esok adalah hari pernikahan Bang Raka. Aku sangat gembira, malam ini rumah ramai kedatangan tamu, termasuk Tante Ralin yang pulang ke Bandung. Aku tersenyum sendiri di kamar, menatap langit-langit yang kosong polos. Dan ketenangan ku terganggu dengan suara klakson mobil di luar pagar. "Bang Raka pulang!" seru ku kemudian tanpa berhati-hati aku menuruni tangga, harus aku yang menyambutnya. Aku sedikit terjungkal di anak tangga terakhir, namun dengan cepat aku bangkit. Tante Ralin hampir membuka pintu duluan, namun aku menahannya, agar aku yang membuka pintu. Aku membuka pintu dengan bangga, "home sweet home!!" teriak ku. Namun, ada kejanggalan disini, bukan senyuman yang aku dapat dari Bang Raka. Tapi sebuah tatapan sendu yang sulit aku artikan.  Kaos yang dipakainya basah karena keringat, "are u okay?" tanya ku berhati-hati. Bang Raka duduk di sofa, ia mengusap wajahnya kasar. "Luna kecelakaan," ucapnya dengan suara bergetar. Aku merinding, terkejut, tidak percaya. "That's joke, right?" Bang Raka tidak menatap ku, Tante Ralin membungkam mulutnya kemudian mengusap punggung Bang Raka. "Come on! That's not funny!" protes ku yang tak kunjung mendapat jawaban. Bang Raka kini menunduk, "dia lagi koma di rumah sakit, tadinya Raka mau jemput dia di tempat ngambil baju, Raka telat, dia dirampok dan bekas peluru ada di pelipis kanannya," jelas Bang Raka pada Tante Ralin. Tante Ralin memeluk Bang Raka, menguatkannya. Sementara aku, aku tidak sanggup melihat Bang Raka bersedih. Hari pernikahannya kurang dari 14 jam lagi. Aku menangis dikamar ku sendirian, kemudian aku teringat perkataan ku di hari-hari sebelumnya. Aku sedikit merasa bersalah ketika mengingatnya, ketika aku mendoakan Bang Raka tidak jadi menikah. Aku takut, ini terjadi gara-gara perkataan ku. Kemudian aku merinding setelahnya, aku merinding ketika mengingat perkataan Bang Raka yang membalas dengan doa yang membuat ku kesal. Ba-bagaimana jika ucapan Bang Raka terjadi? Ba-bagaimana jika aku yang esok menikah? Aku menggelengkan kepala ku kuat. "Mana mungkin!" ucap ku menyadarkan diri. ❇    
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD