Part 1

1177 Words
Dengan susah payah Titha memapah tubuh proporsional Dave yang sudah tak berdaya menuju parkiran mobil. Sesekali Dave terhuyung dan meracau tidak jelas karena kesadaran laki-laki tersebut mulai menipis. “Dave, sekarang aku antarkan kamu ke rumah yang mana?” Titha bertanya setelah dia dan Dave menduduki kursi di dalam mobil. “Bawa saja aku ke mana pun kamu mau,” balas Dave asal. Titha memasangkan seatbelt pada tubuh Dave yang terus bergerak lasak. Dia melirik jam yang melingkari pergelangan tangan kuning langsatnya. Dia menghela napas saat mengetahui sudah jam setengah satu malam. Sambil berpikir Titha menoleh ke arah Dave yang kini sedang duduk bersandar pada kursi penumpang di sampingnya. Dia bingung harus mengantarkan ke mana sahabatnya ini. Jika mengantarnya ke rumah yang berada di kawasan perumahan elite Teras Ayung, dia tidak enak hati. Penjagaan di sana cukup ketat, apalagi sekarang sudah tengah malam. Jika ke rumah yang di wilayah Batubulan, dia sendiri lupa jalannya. Tanpa banyak berpikir lagi Titha langsung menyalakan mesin mobil dan mulai menjalankannya. Dia akan membawa Dave ke kontrakannya, mengingat hampir semua tetangga yang mengontrak di lingkungannya sedang pulang kampung. “Dave … Dave …, jika sudah merasa banyak minum, seharusnya kamu segera pulang. Bukannya malah bertahan di sana. Jika sudah begini, aku juga yang repot jadinya,” gerutu Titha karena waktu tidurnya tersita. Ketika tadi Titha baru memasuki alam mimpi, seseorang menghubungi ponselnya berulang kali. Dengan perasaan kesal bercampur jengkel, Titha pun pada akhirnya menjawab panggilan yang masuk ke ponselnya tersebut. Saat ingin memaki sahabatnya karena telah mengganggu waktu istirahatnya, dia mengernyit ketika bukan suara Dave yang didengarnya. Pemilik suara itu mengaku seorang bartender dan menyuruhnya untuk segera menjemput Dave yang sudah mabuk. Titha bergegas mengganti pakaian tidurnya setelah mendapat kabar tersebut. Dia tidak ingin sahabatnya membuat ulah di tempat yang dikunjunginya tersebut. Apalagi bartender tadi mengatakan, jika Dave mulai berteriak-teriak tidak jelas sambil mengumpat. Untungnya tempat yang dikunjungi Dave letaknya cukup dekat dari tempat tinggal Titha, sehingga membuatnya cepat sampai. Titha datang mengendarai motor bebeknya dan dengan terpaksa dia harus menitipkan kendaraan kesayangannya itu di kelab malam tersebut. *** Titha membawa Dave memasuki kontrakannya yang sederhana. Untung saja halaman tempatnya mengontrak luas, sehingga tidak menyulitkannya memarkirkan mobil milik Dave. Keringat Titha mengucur akibat kewalahan membawa tubuh Dave yang cukup berat, apalagi dengan kondisinya seperti sekarang ini. Titha membaringkan Dave pada ranjangnya yang tidak terlalu besar, tapi cukup untuk menampung dua tubuh orang dewasa. Dave terus saja meracau saat Titha membantu melepaskan sepatunya. “Ya Tuhan, orang ini menyusahkan sekali,” gerutu Titha kesal. “Tha, cepat nyalakan AC-nya. Di sini gerah sekali, aku tidak tahan,” suruh Dave dengan mata setengah terbuka, sedangkan Titha mendelik mendengarnya. “Kamarku tidak ber-AC. Sebentar aku akan menyalakan kipas angin dan hanya itu yang ada.” Titha langsung meraih remote dan menekan tombol on agar kipas angin yang terpasang di dinding menyala. “Tha, cepat singkirkan bajuku ini! Benar-benar sangat mengganggu.” Tangan Dave dengan kasar ingin merenggut kancing kemejanya sendiri. “Ish! Pelan-pelan, Dave.” Titha menampik tangan Dave yang kembali ingin membuka kancing kemejanya sendiri dengan kasar. Dia membantu membukanya, sehingga Dave kini hanya memakai singlet abunya. “Tidurlah! Aku sangat lelah, jadi jangan berisik!” Titha berjalan menuju satu-satunya sofa yang ada di kamarnya. Titha akan tidur di sana meski saat bangun nanti dia merasa pegal-pegal, karena sofa itu tidak cukup menampung tubuhnya yang semampai. *** Titha merasa ada yang mendekap tubuhnya sehingga sulit digerakkan. Dia juga merasakan benda kenyal mencecap lehernya dari belakang. Tubuh Titha menegang ketika embusan napas beraroma alkohol mendera indera penciumannya. “Jangan bergerak! Tetaplah pada posisimu, Tha!” Geraman di belakang tubuhnya semakin membuat tubuh Titha menegang sekaligus kaku. Titha menahan tangan laki-laki yang kini membelai perutnya dengan gerakan memutar. “Dave, apa yang kamu lakukan?!” hardiknya marah dan tidak mengindahkan perintah Dave. Dia sangat terkejut dengan posisinya yang begitu intim dengan sahabatnya sendiri, meski pakaian mereka masih utuh. Bukannya jera mendengar nada marah sang sahabat, Dave semakin erat memeluk tubuh Titha. “Tenanglah, Tha, nikmati saja kebersamaan ini,” ujar Dave parau sambil terus mengimpit tubuh Titha karena hasratnya sudah menjalar dan menguasai pikirannya. ”Aku sengaja memindahkanmu ke sini karena kasihan melihatmu tidur meringkuk pada sofa yang jelas-jelas tidak cukup menampung tubuhmu,” Dave menambahkan. Titha memberontak agar pelukan Dave terlepas, sebab rasa takut kini memenuhi pikirannya. “Dave, kumohon jangan lakukan ini padaku. Aku ini Titha, bukan kekasihmu! Dan kita hanya bersahabat. Jangan nodai persahabatan kita dengan perbuatan terlarang ini. Ingatlah kekasihmu, Dave!” Titha mengiba dengan nada lirih meminta belas kasihan. Tanpa diduga, Dave yang sedari tadi mendengar lirihan sahabatnya, langsung membalik tubuh Titha. Kini dia menindih tubuh Titha. Ditatapnya lekat mata cokelat Titha yang memancarkan ketakutan, kemudian diciumnya kedua netra itu bergantian dengan sangat lembut. “Bukankah saat ini kamu sedang tidak mempunyai kekasih? Jadi, tidak ada salahnya jika kita bersenang-senang sedikit,” bisik Dave yang sudah mulai mengulum daun telinga Titha. “Memang! Namun, bukan berarti kamu bisa memperlakukanku dengan lancang seperti sekarang! Dave, aku bukan salah satu perempuan yang biasa menaiki ranjangmu untuk diajak tidur. Kumohon, hargailah aku sedikit sebagai sahabatmu.” Pemberontakan Titha percuma, mengingat tubuh kekar Dave membuatnya lelah sendiri. Dia berpikir mungkin sahabatnya ini akan luluh dan melepaskannya jika melihat ketakutannya, apalagi kini air matanya sudah menampakkan diri. Dave menyatukan kedua tangan Titha di atas kepala perempuan itu sendiri. Agar tidak lepas, dia memegangnya dengan menggunakan sebelah tangannya. Sebelah tangannya lagi dia gunakan untuk menyusut air mata pada salah satu sudut mata Titha. “Aku tidak akan menyakitimu. Aku juga berjanji akan melakukannya dengan penuh kelembutan, sebab aku sangat menghargaimu, Tha.” Dengan sorot mata yang sudah dikuasai kabut gairah dan hasrat, Dave menatap lekat wajah Titha. Mendengar perkataan Dave, tubuh Titha kembali menegang. Titha menggelengkan kepalanya kuat-kuat dan dia semakin ketakutan saat perutnya merasakan benda keras mulai menusuknya. “Dave! Sadarlah! Kamu mabuk! Aku bukan jalangmu! Kamu akan menyesalinya setelah sadar nanti!” bentak Titha beruntun sambil bercucuran air mata. Dia sengaja mulai menggeliat, dengan harapan tubuh Dave segera menjauh. Gerakan Titha ternyata membuat Dave semakin b*******h. Dengan cepat dia menyambar bibir Titha dan melumatnya membabi buta. Tangannya yang tadi digunakan menyusut air mata Titha kini sudah berpindah dan mulai meremas salah satu p******a milik perempuan tersebut yang masih bersembunyi. Dave mengabaikan air mata Titha yang kini sudah mengalir deras. “Aku tidak mabuk. Aku mengingat semuanya dari kamu menjemputku di kelab malam, hingga kamu memutuskan untuk membawaku ke sini. Aku mendengar semua keluh kesahmu tentang waktu istirahatmu yang terganggu karena kamu menjemputku di kelab malam. Oleh karena itu aku akan membalas jasamu yang sudah begitu memedulikanku, Tha,” bisik Dave terengah-engah di sela-sela memagut kasar bibir Titha. Bibir Dave mulai turun dan mencecap lembut serta kuat leher Titha sehingga membuat perempuan tersebut merintih akibat perih yang menyengatnya. “Kamu bukan jalang! Dan kamu harus tahu jika aku sudah putus dengan kekasihku. Tepatnya dia yang memutuskanku. Sekarang aku sama seperti dirimu. Single. Kini aku ingin memilikimu, Sayang.” Suara Dave semakin parau karena hasratnya sudah di ubun-ubun. Titha membelalakkan mata ketika dengan sekali sentakan Dave merobek pakaiannya. Mulutnya langsung kembali dibungkam oleh Dave ketika hendak menjerit. Air mata Titha terus saja mengucur. Dia sudah tidak berdaya pada keadaannya sekarang. Harta yang dia miliki satu-satunya kini akan direnggut dengan paksa oleh sahabatnya sendiri. Dia tidak pernah membayangkan kejadian seperti ini akan menimpanya. Entah bagaimana hidupnya sebentar lagi setelah kejadian ini. Bagian berharga tubuhnya telah dikoyak sebelum mentari tersenyum menyapanya. Dia yakin ketika mentari itu muncul, pasti sinarnya akan mengejek keadaannya yang sudah ternoda.   
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD