Di sebuah kamar inap yang disediakan oleh pihak rumah sakit, ada sepasang suami istri yang tengah berbincang mengenai masa depan dengan begitu mesra. Mereka membicarakan banyak hal, seolah itu adalah saat-saat yang paling berharga bagi keduanya. Memang, ketika sudah bersama orang terkasih, seberapa lama pun waktu berlalu maka tak akan ada yang bisa merasakannya. Semua berlalu dengan cepat, begitu saja, tanpa peringatan.
Ranjang sang istri yang berada di dekat jendela, dapat memudahkannya untuk menatap pemandangan yang ada di luar selama ia dirawat di Rumah Sakit Yurogane. Mereka tidak akan menunggu lebih lama di sana. Tepat setelah mengurus biaya administrasi terakhir, keluarga dengan tanda lahir unik tersebut nanti akan diperbolehkan pulang ke rumah oleh dokter dan beberapa perawat.
Wanita berambut hitam dan agak ikal itu berbaring di ranjang pasien dengan selimut putih yang menutupi kedua kaki sampai buah dadanya, seolah melindunginya dari dingin yang menyergap. Raut wajah sang wanita tampak lelah karena telah berjuang selama beberapa jam, sejak kemarin sore, tetapi seulas senyum kebahagiaan terpancar jelas dari wajah ayunya.
Wanita itu telah berhasil melahirkan putrinya dengan selamat. Sungguh, kebahagiaan yang tiada duanya di dunia, melebihi kebahagiaan saat mendapat peta harta karun terpendam di pulau bajak laut. Siapa pun wanita yang baru saja melahirkan, hanya mereka yang belum siaplah yang tidak bisa menerima buah hatinya dengan raut wajah penuh syukur dan haru.
"Bayi yang cantik sekali," komentar Hideki seraya menatap sayang malaikat kecil yang diberikan tuhan kepada mereka. "Persis seperti ibunya," ucapnya melanjutkan.
Lelaki itu lalu mengelus kepala mungil bayi perempuan yang beberapa jam lalu telah dilahirkan ke dunia ini oleh sang istri melalui persalinan yang normal dan aman. Betapa bahagianya ia karena telah diizinkan menjadi seorang ayah dari bayi perempuan yang teramat cantik wajahnya. Hideki terus menatap anaknya yang sedang berada di pelukan sang istri dengan tatapan penuh cinta.
Jika ada cinta kedua kepada makhluk ciptaan tuhan, maka anaknya lah yang berhasil mendapatkannya. Hideki tersenyum hangat, benar-benar merasa terberkati karena kehadiran putri kecil mereka merupakan anugrah yang harus mereka jaga dengan sebaik-baiknya.
Kaede—sang istri yang mendengar pujian sang suami tersenyum tipis. Wanita itu tahu betapa dalamnya sang suami jatuh hati kepada putri mereka dan tentu saja dia tidak akan keberatan berbagi kasih, sebab malaikatnya begitu berharga. Kaede kemudian angkat bicara untuk memecah keheningan di antara mereka. "Aku sudah menemukan nama yang cocok untuknya," ucapnya jujur.
Hideki lantas menengadahkan wajah, dan menatap kedua bola mata sang istri yang berwarna cokelat gelap dengan tatapan yang begitu lekat. "Kau akan memberi nama putri kecil kita apa, Sayang?" tanyanya lembut. Ia sangat ingin anaknya memiliki nama yang sangat indah, seperti rupa sang bayi yang menyerupai malaikat kecil tak bersayap.
Wanita Akibara yang sedang menatap bayi kecil yang sedang tertidur pulas dalam dekapannya pun tersenyum manis. "Namanya adalah ... Akibara Rin," jawab Kaede sambil mengecup pipi gembil dan merona milik sang bayi. Betapa cantiknya Rin, putri kesayangan mereka.
Hideki agaknya penasaran dengan pemberian makna di balik nama putri mereka. Ia tidak ingin anaknya memiliki nama yang tidak bagus nantinya. Nama anaknya haruslah memiliki makna yang sangat indah seperti rupa malaikat sang bayi kecil. "Apa arti dari namanya itu, Sayang?" tanya sang suami sekali lagi.
Lelaki itu benar-benar ingin tahu tentang makna yang terkandung dalam nama anak perempuan mereka. Nama adalah doa, sekaligus berkat yang akan Dewa turunkan kepada anak mereka kelak.
"Akibara Rin memiliki arti ... seorang gadis pengikut dewa yang bermartabat," jawab Kaede setelah mengelus kepala bayi kecil mereka dengan penuh kasih sayang. Rin kecil yang tertidur pulas dalam pelukannya tampak begitu menggemaskan. Wanita itu terkikik geli saat melihat bibir anaknya tampak mencari-cari sumber makanannya. Buru-buru Kaede memberinya ASI. "Aku berharap kebahagiaan untuk Rin kelak."
Hideki ikut tersenyum. "Arti nama yang sangat indah," puji Hideki seraya mengecup kening sang istri—menyampaikan rasa terima kasih yang tak terhingga kepadanya karena sudah berjuang melahirkan putri kecil mereka. Pria itu mempertahankan posisinya selama beberapa saat, lalu mundur perlahan dan beralih mencium anak perempuannya.
"Semoga Rin dapat melalui semua yang akan terjadi kelak dalam hidupnya," ucap sang ayah berharap. Mereka hanya ingin putri mereka tumbuh semakin kuat, dan dapat melenyapkan sesuatu tak kasat mata yang tengah mengintai mereka dari kejauhan.
Kutukan mengerikan, dari sang iblis monyet. Keluarga Akibara benar-benar mengharapkan yang terbaik untuk anak-anak penerus perjuangan mereka, dan salah satu penerus mereka adalah ... Rin. Bayi kecil yang baru saja lahir ke dunia yang fana ini.
***
Rin tersenyum manis sembari menyodorkan keranjang buah berukuran sedang kepada seorang wanita tua yang tadi dibantu olehnya. Melihat sang nenek tua tampak kewalahan saat membawa keranjang, anak berusia tujuh tahun itu lantas menolongnya. "Ini, silakan ... keranjang buah punya Nenek!" ucap gadis kecil itu dengan riang. Nenek tua lantas menerimanya sambil tersenyum kecil.
"Terima kasih banyak," ucap wanita tua itu seraya mengelus puncak kepala anak perempuan yang telah membantunya membawakan keranjang buah. Padahal ia tidak meminta, tetapi anak itu dengan sigap melakukannya tanpa disuruh "Kamu anak yang baik sekali, Nak," pujinya seraya tersenyum manis.
Anak perempuan itu tertawa kecil, memperlihatkan gigi-gigi mungil yang belum rapi. Bahkan, gigi depannya tampak ada yang menyerupai gigi kelinci di bagian atasnya. Tawa riangnya terdengar begitu lucu, "Tak apa, Nek! Rin senang membantu Nenek!" ungkapnya sambil mengedipkan mata.
"Rin! Ada di mana kamu, Nak?" teriak seorang wanita berparas cantik dengan penampilannya yang cukup mencolok karena terlihat sangat indah. Gaun berwarna violet miliknya membaluti tubuh sintalnya dengan pas, terlihat sangat anggun. Wanita itu sedang mencari keberadaan sang anak yang tiba-tiba saja menghilang dari pandangan ketika ia sibuk memilih buah-buahan.
Rin yang mendengar teriakan tersebut lantas membalikkan badannya, tak jauh di belakang sana, Rin menemukan sang ibu tengah berlari menghampiri mereka dengan napas yang tersengal-sengal.
"Astaga ... ternyata kamu ada di sini," ucap ibu kandung sang anak begitu tiba di depan Rin.
Rin yang merasa bersalah langsung memeluk pinggang Kaede, tingginya yang hanya sebatas perut sang ibu membuatnya mendongak dan menatap netra berwarna cokelat milik ibunya dengan lekat.
Gadis kecil itu lalu berkata, "Maafkan Rin karena menghilang tiba-tiba, Bu." Rin lantas menoleh ke arah wanita paruh baya yang tengah berdiri mengamatinya. Nenek tua yang ia tolong.
"Tadi Rin pergi untuk membantu Nenek ini."
Kaede yang mengerti alasan sang putri menghilang tiba-tiba darinya hanya bisa tersenyum manis, ia lalu berkata, "Tak apa, Sayang."
Wanita yang diperistri oleh Hideki sepuluh tahun yang lalu segera berjongkok, dan membawa Rin ke dalam pelukan hangat yang erat. "Tapi lain kali, ingat untuk izin dengan Ibu ya," ucap wanita itu lagi seraya mengelus kepala Rin dengan sayang.
Kaede lalu bangkit berdiri dan menundukkan badannya sedikit pada wanita tua yang berada di depannya. Sebuah bentuk sopan santun dari Asia Timur. "Maaf sudah merepotkan Anda, Bu," ucapnya perlahan. "Rin tak membuat Anda kesusahan, bukan?"
Wanita paruh baya dengan gurat keriput yang cukup kentara di wajahnya itu balas tersenyum kecil, turut membungkukkan sedikit badannya pada wanita anggun yang memiliki tanda lahir khas keluarga Akibara di pipi kanan.
Bentuknya seperti taring hewan yang terbalik.
"Tidak, tidak. Rin anak yang sangat baik. Dia membantu saya mengangkat bawaan ini tadi," jawab Hikaru—wanita tua itu—sambil tersenyum manis.
Kaede menggangguk sekali, merasa bangga karena anak kesayangannya telah mampu membuat orang lain senang dengan kehadirannya. Itu suatu kunci untuk menuju kebahagiaan yang abadi.
"Ya, benar, Bu. Rin memang anak yang baik," balas Kaede sambil mengusap kepala anak perempuannya secara perlahan.
***
Seorang gadis berkuncir dua terlihat sedang sibuk menyapu lantai kuil yang dipenuhi dengan kelopak bunga kering yang berjatuhan dari pohon sakura yang ada di samping rumahnya. Musim gugur di Jepang telah tiba. Gadis itu sudah tidak sabar lagi dengan perayaan tahun baru yang akan datang beberapa bulan lagi. Sang gadis Akibara sudah menunggu beberapa waktu untuk perayaan istimewa ini.
Rin telah mempersiapkan banyak hal untuk menyambut pesta tahun baru nanti, seperti berbagai rencana untuk memeriahkan kuil Akibara, ia akan menggelar doa bersama. Atau mungkin membuat panggung untuk para aktor kabuki* di kuilnya? Rin benar-benar bersemangat! Dia sangat menantikan hari itu tiba!
Sebab, walau dirayakan setiap tahunnya, Rin selalu saja merasa rindu dengan kegiatan yang dia dan keluarganya lakukan selama hari itu berlangsung.
Perayaan tahun baru di Jepang adalah hari penting bagi para penganut Shinto. Pada malam itu, lonceng di kuil Buddha akan berdentang sebanyak 108 kali. Satu dentangan akan menghapus satu dosa, hingga denting lonceng terakhir di tengah malam.
Selama tiga hari pertama setiap tahunnya, orang-orang akan berkumpul bersama-sama untuk merayakan tahun baru dengan makan dan minum dalam jumlah banyak. Seluruh rumah akan dibersihkan dan dihias dengan cantik.
Rin selalu menghabiskan tahun baru bersama keluarga kecilnya di kuil Akibara milik mereka. Hanya mengkhususkan diri untuk beribadat saja di hari itu setelah makan bersama-sama.
Salah satu hal paling penting yang juga mereka lakukan selama tiga hari itu adalah mengunjungi tempat-tempat suci atau tempat beribadat.
Hampir 98 juta orang di seluruh Jepang akan mengunjungi satu kuil selama perayaan. Setidaknya, ada tiga juta orang mengunjungi kuil Meiji untuk berdoa demi memperoleh peruntungan di sepanjang tahun.
Bagi Rin dan keluarga, tidak lengkap rasanya jika tidak berkunjung ke kuil yang didedikasikan untuk memuja arwah Kaisar Meiji dan istrinya—Permaisuri Shōken. Ketika selesai berdiam diri di rumah, mereka akan pergi ke sana bersama-sama.
Rin sejak kecil telah diminta untuk menjaga kuil Akibara keluarga mereka. Alasannya jelas karena gadis itu berasal dari keluarga yang taat beragama. Bagi sang gadis Akibara, menjadi penjaga kuil itu sudah menjadi keharusannya sejak lama sekali. Seolah itu adalah takdirnya.
Sehingga ketika ia ditawarkan untuk menjadi seorang gadis kuil oleh keluarganya, gadis itu dengan cepat menerima tugasnya sebagai miko itu dengan senang hati. Tanpa ada unsur paksaan sama sekali, karena ini memang keinginan hatinya sendiri. Seperti sebuah takdir yang harus siap ia terima sepenuh hati.
Seorang miko mempunyai peran penting dalam kepercayaan Shinto. Shinto adalah agama dan landasan utama dalam budaya Jepang, dan hanya ada di negara matahari terbit itu. Miko merujuk kepada gadis kuil atau seorang pendeta pendamping yang pada zaman dulu dipercaya sebagai dukun. Namun, pada zaman modern seperti sekarang ini, miko berperan banyak dalam acara adat di kehidupan kuil sehari-hari.
Mereka dilatih untuk melakukan berbagai macam acara adat khusus seperti penyucian, meramal, mengusir roh-roh jahat, melakukan tarian suci yang disebut kagura, dan mereka juga bertugas merawat kuil tempat mereka mengabdi seperti yang sedang dilakukan oleh Rin sekarang ini.
Tujuan miko adalah untuk melayani masyarakat yang datang ke kuil dengan melestarikan kehidupan dan membawa kebahagiaan bagi semua orang.
Kira-kira itulah yang menjadi alasan Rin menerima sepenuh hati tugasnya sebagai miko, karena ia ingin membuat orang lain bahagia.
"Selamat datang." Rin menyambut rombongan tamu dari luar negeri yang datang ke kuil Akibara di dekat pintu gerbang yang disebut dengan torii*. Gadis muda itu menangkupkan kedua tangan di depan d**a, sembari menundukkan badannya sedikit.
"Wow, she's so beautiful." Seorang turis mancanegara yang datang bersama rombongannya menunjuk ke arah Rin, gadis yang dibicarakan oleh tamu asing itu pun hanya bisa menyunggingkan senyum tipis sambil merapikan poni yang menutupi paras ayunya.
Seperti itulah keseharian Rin, gadis yang hampir memasuki usia 18 tahun dalam menjalani kehidupan sehari-harinya.