Di Atas Sejarah

961 Words
Daniel menyantap makan siangnya dalam keheningan. Sesekali ia menatap pada sepiring hidangan yang berada di seberangnya. Dulu, yang duduk di hadapannya itu adiknya. Daniel berusaha menepis ingatan tentang adiknya itu, melawan perasaan rindu yang sedang menelusup ke dalam relungnya. Semenjak pelarian Daniel malam itu, ia tak tau lagi bagaimana kelanjutan kasus yang didalangi oleh adiknya itu. Daniel benar-benar tidak tau dan tidak mau tau, tapi sialnya kini ia malah mengingat kembali akan hal itu. Benaknya mulai bersuara. Bagaimana kabar sang adik? Apa dia sudah menerima hukuman? Kalau iya, hukuman apa yang diberikan kepadanya? Daniel jadi membayangkan bagaimana kalau sekarang adiknya sedang mendekam di balik jeruji besi? Kakak macam apa Daniel yang tak pernah melongok keadaan adiknya di kurungan sana? Pasti disana sangat dingin. Sejenak ia menyesali tindakannya yang cukup gegabah, melarikan diri tanpa pikir panjang. Seharusnya ia tak bersikap seperti ini, mungkin disana adiknya sedang membutuhkan dirinya. Detik berikutnya Daniel menggelengkan kepalanya dengan cepat. Tidak, tidak, tidak. Untuk apa Daniel mengingat itu lagi? Jelas kejadian itu hanya membuat hidup Daniel semakin hancur. Biarkan saja bila adiknya sekarang menerima hukuman yang setimpal, ya memang sudah seharusnya begitu. Daniel menghela napasnya, "aku jadi tak berselera makan." Gumamnya. Lantas ia segera membuang sisa makanan di piringnya. Melirik ke atas meja makan, masih ada satu porsi disana. Daniel segera meraihnya dan membuangnya juga. Daniel memang sering begitu, buang-buang makanan. Padahal di luar sana masih banyak yang membutuhkan, tapi Daniel enggan berbagi, dia terlalu apatis. Pikirnya, biar saja, urusan perut itu urusan masing-masing. Setelah mencuci peralatan makannya, Daniel kembali menuju ke ruang kerja untuk melanjutkan penelitiannya terhadap deretan angka yang ia temui. Mengambil posisi duduk senyaman mungkin, membuka kembali catatan dan pena miliknya. Kedua mata Daniel terfokus pada catatan itu, otaknya berputar lebih cepat. Daniel mengetukan pena pada mejanya dengan tempo yang hampir sama dengan detik jarum jam. Ia teringat akan tabel periodik yang pernah dipelajarinya semasa menempuh pendidikan menjadi ahli forensik dulu. Rekannya, Ben, sering menjadikan angka-angka pada tabel periodik ini sebagai sandi. Namun, setelah ia perhatikan dan cocokan lagi, ternyata angka ini bukan berasal dari tabel periodik. Daniel tak dapat menemukan korelasi antara keduanya. Lalu ini sandi dari mana? Di tengah keheningan yang Daniel ciptakan, tiba-tiba salah satu ponsel khususnya bergetar. Menandakan ada sebuah panggilan masuk disana. Daniel menggeser lambang telepon berwarna hijau, kemudian mendekatkan layar ponsel pada pendengarannya tanpa sepatah kata, membiarkan sang penelepon untuk berbicara lebih dulu. "Kalau begitu segera kirimkan padaku!" Ucap Daniel setelah mendengar penuturan dari lawan bicaranya, tanpa basa-basi lagi ia segera mengakhiri panggilan suara tersebut. Dalam kurun waktu kurang dari beberapa detik, ponselnya itu kedapatan pesan masuk berisi beberapa nomor telepon yang tidak dikenal. Menurut informasi yang ia dapat dari si penelepon tadi, nomor-nomor itu adalah nomor yang berada di panggilan masuk ponsel korban pembunuhan di museum. Daniel segera menghubungi salah satu kenalannya yang berwenang untuk melacak nomor ponsel seseorang. "Ehm, aku mengandalkanmu." Ucap Daniel di akhir panggilannya. Ia meminta bantuan pada kenalannya itu agar segera melacak nomor-nomor yang dikirimkan kepadanya tadi. Daniel bangkit dari duduknya, melangkahkan kaki ke tepian jendela dengan kedua tangan yang disembunyikan di balik saku celana. Memperhatikan hiruk pikuk di luar sana. Mereka yang berlalu lalang, haus akan validasi, mengeruk cuan sebanyak-banyaknya, itukah yang dinamakan hidup? Mereka yang selalu menganggap bahwa hidup hanya sebatas hitam dan putih, mereka abai akan abu-abu. Padahal, disudut lain ada beberapa yang menjalani kehidupannya dengan diselimuti keabu-abuan, seperti Daniel ini. Daniel juga pernah ingin menjalani hidup seperti yang lainnya. Bekerja di sebuah perusahaan dengan jam kerja yang teratur, lalu mendapat upah sesuai ketentuan. Dirinya pernah sangat marah kepada semesta, sebab baginya saat itu semesta begitu kejam, terus-menerus menjadikan hidupnya semakin berantakan. Namun, pada akhirnya Daniel tersadar. Dirinya adalah satu dari sekian ribu jiwa yang dipilih semesta untuk menjalani kehidupan yang tidak biasa bukan tanpa sebab, itu semua karena, semesta tau kalau Daniel itu hebat. Lelaki itu akan mampu bertahan sekalipun hidupnya selalu dipenuhi kepelikkan. Dan menjadi seseorang yang bertugas memecahkan sebuah kasus adalah jalan yang dipilihnya. Saat Daniel membalikan tubuhnya, ia melihat ada sebuah kertas yang terselip di antara tumpukan buku-bukunya. Sontak ia segera meraih kertas tersebut, berisi 5 baris dan 5 kolom, dimana tiap matriksnya berisikan huruf dari A-Z. Dan di kolom sisi kiri tertulis angka 1-5, di baris atas pun sama, tertulis juga angka 1-5 yang digunakan sebagi kunci. "Sandi playfair..." Gumam Daniel sembari menganggukan kepalanya. Lelaki itu menempati lagi kursi kerjanya. Menafsirkan angka demi angka yang ia dapatkan dari buku sejarah milik korban pembunuhan di museum itu. 4311231132 Daniel sedikit kebingungan dengan cara membacanya. Selama beberapa detik ia termangu, menatap ke arah kertas berisi sandi playfair itu sebelum akhirnya ia menjentikkan jarinya. Ternyata, dalam teknik ini pesa dienkripsi berdasarkan pasangan angka. Tiap huruf diwakili oleh dua angka, kolom di sebelah kiri menampung angka pertama, sedang di baris atas menampung angka kedua. Daniel menuliskan lagi deretan angka tersebut dengan memberikan jarak pada tiap pasangan angkanya. 43 11 23 11 32 Kemudian Daniel mulai mengejanya, "S... A... H... A..." Belum selesai mengeja, mata Daniel seketika terbelalak. "M! Saham!" Pekik Daniel. Dengan semangat yang begitu menggebu, Daniel segera menafsirkan deretan angka yang lainnya lagi. 22454245 43152411421123 Memiliki arti 'Guru Sejarah'. 142411 142443243324 "Dia disini..." Gumam Daniel, menyebutkan tafsiran deretan angka terakhir. "Dia siapa?" Daniel bertanya pada dirinya sendiri. "Saham... Guru sejarah... Dia disini..." Lelaki itu bangkit dari duduknya, mengetukan jemari pada dagunya, Daniel nampak berpikir keras. "Jelas ini semua perkara saham. Itu artinya... Si korban bukan sekadar guru sejarah biasa." Komputernya yang memang dinyalakan itu menampilkan sebuah notifikasi, ada satu surel yang masuk. Begitu Daniel membaca isi surelnya, lelaki itu menyeringai. Daniel nampak begitu antusias. "Got It!" Seru Daniel, bersamaan dengan lengan kanannya yang terkepal dan dibenturkannya ke meja. Ia meraih salah satu ponselnya, menghubungkan salah satu nomor yang tertera disana. Setelah mendengarkan nada sambung selama beberapa detik, akhirnya seseorang di seberang sana menjawab panggilan Daniel. "Kita harus bertemu segera!" Hanya sebaris kalimat itu yang diucapkan Daniel. Kemudian ia segera memutus panggilan telepon dan segera bergegas untuk menemui seseorang yang dihubunginya barusan.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD