BAB 2 : Pertemuan

2670 Words
Yura berdiri mematung, melihat ayahnya yang menunjuk-nunjuk ibunya dengan mata menyala-nyala penuh emosi, sementara ibunya berdecak pinggang menantang. Kedua orang tuanya memberikan pemandangan pertengakaran tepat ketika Yura membuka pintu. "Sudah aku bilang aku tidak mengambil uangmu!" Geram Mia penuh emosi. "Halah..! Kalau bukan kau siapa lagi, kau memang pandai menghabiskan uang! Sementara aku! Aku mencarinya sendirian, banting tulang kehabisan modal dan kau enak sekali santai-santai di saat usaha sedang kritis." "Kau gila. Mungkin saja uangmu di tarik pihak Bank!." "Aku sudah menanyakanya!. Bukan mereka pelakunya, pasti kau yang sudah menghabiskan uang segitu banyaknya." "Aku memakai uang sesuai keperluan. Lalu aku harus mengambil uang dari mana jika tidak darimu?. Kau ingin kita kelaparan hah?" Teriak Mia. "Kerja! dasar bodoh tidak berguna!." "Haruskah ayah mencaci maki ibu?" Tangan Yura mengepal menahan emosi, namun suaranya begitu dingin tak sampai kematanya. Yura sudah bosan pertengkaran di antara keluarganya, selalu tentang uang dan uang. Mereka akan bersikap seperti orang yang tidak saling mengenal ketika sedikit di atas, namun ketika terjatuh akan saling menuduh. Mereka tidak pernah memikirkan keadaan Yura. betapa tidak tahu malunya orang tua Yura, mereka menekan dirinya untuk sukses. Namun sepanjang hari Yura hanya menerima hinaan dan pertengkaran, terkadang Yura sendiri yang menjadi sasaran tangan ringan mereka. "Kau jangan ikut campur urusanku, masuk kedalam kamar dan belajar dengan benar." Tomi bertolak pinggang dengan angkuh. "Apakah kalian tidak malu, berteriak-teriak seperti orang gila setiap hari?" Serigai emosi tergambar di wajah Yura. "Apakah kalian akan terus seperti ini di hadapanku, tanpa memikirkan perasaanku!" Yura berteriak keras dan melempar sepatunya ke lantai. "Apa-apaan kau ini?, datang-datang ikut campur, dasar tidak sopan" Tomi melotot memperingati, namun Yura hanya tertawa sinis. Respon ayahnya selalu di luar dugaan. Bukannya menyesali perbuatannya, malah balas memarahi Yura, seakan dirinya yang paling benar dan terus menerus bersombong diri. "Sopan?. Mengacalah" jawab Yura menohok. "Apa katamu?" Tomi melangkah mendekat dengan dagu terangakat angkuh. "Ayah tidak sopan." PLAK Tamparan keras langsung mendarat di pipi Yura, "Masuk kamarmu. Dan renungkan kesalahmu!" Bentak Tomi. Yura melewati orang tuanya begitu saja, ia memasuki kamarnya dan membanting daun pintu dengan keras, sampai membuat kedua orang tuanya berhenti berdebat dan saling memaki lagi. Inilah rumahnya. Tempat yang selalu membuatnya nyaman, tapi terkadang terasa sangat mengerikan. Menguras setiap emosinya, karena pertengkaran kedua orang tuanya yang selalu memaki satu sama lainnya. Tanpa melihat keberadaan Yura, yang semakin tersakiti oleh tindakan keduanya. Yura sudah tumbuh dewasa. Jika saat kecil melihat kedua orang tuanya bertengkar, dia akan bersembunyi dan tidak tahu apa-apa. Tapi sekarang berbeda, semuanya terasa sangat menyakiti hati dan segala pemikirannya. Yura tumbuh menjadi sosok gadis yang dingin dan terkadang kasar kepada siapapun, dia bersikap seperti itu untuk meluapkan segala emosi, dan tekanan psikologinya yang terjadi di rumahnya. Yura tidak memiliki tempat untuk meluapkan emosinya selain memendamnya dalam diam. Itulah kenapa sebabnya, dia tidak pernah percaya dengan suatu hubungan antara dua orang yang saling mencintai. Dulu kedua orang tuanya bersatu karena cinta. Tapi, cinta mereka sudah kadaluwarsa karena waktu. Di saat itulah, hanya kepingan keburukan satu sama lainnya yang bisa mereka tunjukan. Bukan kasih sayang lagi yang terjadi, namun saling menyakiti satu sama lainnya. Pandangan Yura terhadap cinta begitu buruk setelah dia tumbuh dewasa. Yura memandang langit di balik jendela, mendengarkan Tomi yang sekarang berbalik memarahi sikap kasar dan tidak sopannya. Yura bersikap kasar seperti itu bukan tanpa alasan, Yura sudah sangat jengah dengan sikap mereka, yang seakan tidak pernah menghargai keberadaannya sebagai anak. Mereka bukanlah sosok orang tua yang cukup sempurna bagi Yura. Mereka tidak peka, terhadap apa yang sebenarnya harus di lakukan oleh orang tua yang sesungguhnya. Yura sangat muak dengan sikap diamnya tanpa memberontak, tapi dia tidak memiliki kekuatan untuk melakukan itu semua. Namun, hatinya semakin terkikis dan kelam karena terlalu lama diam, dia rindu sebuah kasih sayang, perhatian, dan di akui keberadaanya. Semuanya telah menjadi gumpalan kekecewaan yang perlahan harus dia telan begitu saja. Dia benci semua ini, namun Yura tidak bisa memungkiri, jika dia tetap menyayangi kedua orang tuanya. "Dasar anak kurang ajar" suara Tomi masih memaki dari luar. Yura tersenyum kecut memejamkan matanya, menahan air mata untuk tidak terjatuh sedikitpun, saat mendengarkan makian-makian yang merusak rasa percaya dirinya. Dasar bodoh! Air mata Yura terjatuh membasahi pipinya yang memerah bekas tamparan Tomi. Yura mengacak-ngacak rambutnya sesekali menjambak penuh frustasi. Jantungnya berdegup lebih cepat, tubuhnya terasa lemas tak bertenaga, kedua telapak tangannya yang bergetar memucat, air matanya terjatuh lagi namun tak mengeluarkan isakan dan suara sedikitpun. *** Gedung olahraga sekolah Raymen tampak mulai ramai, bangku penonton mulai di penuhi para atelit dan penonton lainnya. Yura sudah tidak canggung lagi memasuki area sekolahnya, karena dia sudah terlalu sering datang. Tidak ada satupun yang mengganggunya, meskipun saat baju seragam mereka berbeda, teman-teman Raymen juga sangat ramah dan menyenangkan. "Yu." Stefan menyapanya dengan senyuman jenaka. "Kau datang juga ternyata." "Kau tidak ikut bertarung?." Tanya Yura sekadar basa-basi. Stefan tertawa malu, dia meraih bahu dan memeluknya dengan akrab. "Aku lebih tertarik mengikuti Olimpiade Fisika, atau lomba memasak dari pada harus bermain kasar di ring." "Wah.. lihat siapa anak sombong ini?" Yura menggeleng-gelengkan kepalanya tidak percaya. "Yu" Raymen berteriak memanggilnya, dia tersenyum melambai-lambaikan tangannya, melakukan pemanasan dengan petarung lainnya. "Lihatlah. Dia langsung bersemangat hanya dengan melihat kedatanganmu." Stefan menurunkan tangannya ke pinggang Yura. Raymen langsung melotot melihatnya, dia memperlihatkan kepalan tangannya penuh ancaman kepada Stefan. "Padahal tadi dia uring-uringan membicarakan monyet." Kedua bola mata Yura langsung membulat sempurna, "bukan monyet, tapi calon pangeranku." "PANGERAN? Kau menghianati cintaku?!." Stefan berteriak terkejut. Yura langsung menyikut perutnya dengan kuat dan pergi menemui Raymen. Raymen tersenyum cerah tengah bersiap-siap menunggu giliran. Yura berlari kecil untuk segera sampai di hadapannya. "Kau datang rupanya" Raymen berdecak pinggang tersenyum senang, Yura hanya tertawa sombong, menyampirkan tangannya di bahu Raymen dengan kaki berjinjit seperti penari balet, berusaha untuk menyamai tingginya. Dengan sigap Raymen memeluk pinggang Yura, menahan agar gadis itu tidak terjatuh. "Menungguku ya?." "Tidak" Raymen cemberut berpura-pura tidak peduli. Padahal, sesungguhnya sejak pertama memasuki gedung olahraga Raymen sudah mencari-cari keberadaan Yura. cukup lama Raymen di buat kesal dan uring-uringan, menyalahkan Brian yang membuat Yura tidak datang pada pertandingannya. Namun kini, Raymen merasa lega, karena Yura lebih mementingkan dirinya. Yura langsung melepaskan pelukanya hingga terlepas dari jangkauan Raymen. "Ah.. ya sudah aku pulang saja" Yura balas cemberut. "Jangan" Raymen cepat dan segera menahannya. Raymen menarik tangan Yura dan membawa gadis itu duduk di kursi penonton, mereka duduk berdampingan melihat atlit yang sedang bertarung di ring. "Kenapa kau datang?." "Pengetahuan tidak bisa menggantikan persahabatan Ray -Patrick Star." Jawab Yura sambil menepuk-nepuk bahunya Raymen. Alis Raymen terangkat perlahan, bersama'an dengan sudut bibirnya yang membentuk senyuman malu-malu, dia langsung memeluk Yura singkat. "Aku tahu, kau tidak ingin memetik pengetahuan di komunitas itu. Tapi, terimakasih karena kau lebih memilih datang kemari." "Sama-sama Ray." "kenapa wajahmu pucat?" Raymen menyentuh wajah Yura, dia terlihat khawatir melihat perubahan wajahnya yang menjadi pucat. Yura mengusap dahinya yang terasa hangat normal, namun tubuhnya saja sedikit lemas saja, dan kedinginan tanpa alasan. "Aku hanya lemas saja." Kekhawatiran Raymen bertambah. "Mau minum?." Yura mengangguk nyengir, tanpa banyak kata lagi Raymen pergi ke belakang, di ikuti oleh pandangan Yura yang terus mengikuti setiap gerak geriknya. Rupanya Raymen menghampiri sekumpulan anak perempuan yang langsung antusias melihat kedatangannya. Tidak susah-susah bagi orang populer sepertinya, untuk mendapatkan sebotol minuman mineral. Hampir semua gadis langsung menyerahkan minumannya untuk Raymen, dengan suka rela. "Ini" Raymen memberikannya kepada Yura, dan membukakan tutup botolnya terlebih dahulu. "Terimakasih. Kapan giliranmu?." "Sebentar lagi." "Mana Andin?." "Dia di sana" Raymen menunjuk kekasihnya dengan dagu, Yura mengikuti arah pandangannya dimana Andin berada. Andin tersenyum memaksakan lagi saat melihatnya, Yura membalasnya dengan tatapan sedingin Ice. "Raymen Samperson, Huang Chen." "Ah giliranku" Raymen langsung berdiri penuh semangat saat namanya di panggil. "yo! Go go semangat oppa!. Fighting!" Yura berteriak seperti seorang fangirl yang menyemangati idolanya. Raymen tersenyum menawan dan terlihat malu-malu, tanpa memperdulikan teriakan semangat dari orang-orang di sekitarnya lagi. sekali lagi Raymen melihat Yura, lalu dia berlari turun dan menaiki ring. Yura tahu, Raymen mulai terobsesi dengan olahraga, karena dorongan orang tuanya yang selalu menekannya untuk hidup sehat. Terutama dalam olahraga dan pola makan, di tambah belajar ekstra keras. Karena impiannya yang ingin menjadi seorang pilot. Raymen dan rivalnya saling membungkuk, memberi hormat, sebelum mereka pertarungan di mulai. Lonceng berdenting, Semua orang bersorak memberi semangat saat Raymen dan Chen mulai bertarung. Yura mengusap keringat dingin yang ada di telapak tangannya, dia duduk dengan lemah, merasakan kehilangan tenaganya lagi, dia merasakan jantungnya berdebar dengan cepat lagi. Kepalanya pusing melihat keramaian dan mendengar teriakan orang. Raymen mulai kehabisan nafasnya, sementara dia mendapat tendangan keras, beruntun di dadanya. Chen lawan Raymen sangat kuat dan hebat. Yura mulai kesulitan membuang nafasnya. Cahaya matahari sore membuatnya tidak nyaman, menerobos tengah-tengah gedung olahraga yang terbuka, membuat Yura merasa semakin merasa tidak baik-baik saja sekarang. Tubuhnya memberikan resfon yang buruk, keringat kembali bercucuran membasahi wajahnya, Yura menggigil kedinginan dengan pandangannya sedikit kabur. Yura memutuskan untuk beranjak dari duduknya, dan pindah. Mencari tempat duduk yang jauh dari hingar-bingar orang. Namun baru saja dia mengayunkan kakinya beberapa langkah, tubuhnya limbung ke belakang dan dia terjatuh pingsan. *** Yura terbangun dengan lemah setelah merasakan kedinginan di kakinya, jari-jari tangannya ikut memaksa dan mendesak untuk bergerak. Pandangan Yura mengedar, tatapannya berhenti saat menangkap sosok pria memakai snelli dan stetoskop yang menggantung di lehernya, dia tersenyum hangat dan menawan. "Dia sudah sadar" ucap sang dokter sambil memeriksa denyut jantungnya. "Apa ada masalah dengan jantungnya?." "Iya dok" suara Raymen menjawab. "Pantas, denyut jantungnya sejak tadi tidak beraturan." "Heh" Yura menatap tajam Raymen penuh ancaman, kesadarannya terkumpul saat Yura tahu dia ada di Rumah Sakit. Yura paling malas untuk pergi ke Rumah Sakit, pantang baginya untuk meminum obat lagi, setelah penderitaanya sekian tahun di masa lalunya. "Apa?" Raymen balas melotot, namun suaranya seperti bisikan kekhawatiran yang tidak dapat dia sembunyikan. "Kau yang minum obat." "Ck! Anak ini." Decih Raymen jengkel, setengah mati dirinya di buat khawatir, sampai-sampai meninggalkan pertarungan begitu saja dan membawa Yura ke rumah sakit. Setelah sadar, Yura malah tidak menunjukan rasa berterimakasihnya sama sekali. "Apa?" Yura menaikan kedua alisnya dan menendang-nendang kakinya, berusaha menggapai Raymen, sang dokter terlihat kebingungan melihatnya. "Kenapa tidak mau minum obat?" tanya sang dokter dengan penasaran. "Tidak mau saja dok" Yura menggeleng seperti anak kecil. Sang dokter bersedekap dengan tegas, wajah tampannya langsung berubah serius. Dia menuliskan resep obat yang harus di ambil Raymen, "Ambil di apotik paling ujung." Perintahnya dengan tegas. Raymen langsung mengangguk patuh dan segera pergi, sementara sang dokter tetap diam menunggu. Yura memicingkan matanya penuh curiga, dia tidak yakin jika orang yang berdiri di hadapannya adalah dokter. Yura dan sang dokter saling melihat penuh penilaian. Yura bergeser dari tempat berbaringnya dan melihat ke bawah lantai, menilai penampilan sang dokter dari ujung kaki sampai ujung kepalanya. Apa dia benar-benar dokter?, kenapa wajahnya seperti model. Mata Yura semakin memicing dengan tajam, berspekulasi. Yura masih meneliti penampilan si dokter yang berdiri dan membalas tatapannya juga. Penampilan dokter tersebut terlihat sangat berbeda, lebih muda dari dokter pada umumnya yang biasanya terlihat tua. Namun, dokter yang satu ini, dia modis, ber'aura kuat dan bersih seperti orang suci. Dan yang terpenting bagi Yura adalah, wajahnya yang terlihat seperti seorang model. Dengan garis rahang yang begitu tegas, matanya terlihat mencerminkan seberapa cerdasnya dia, hidungnya runcing menelusuri bibirnya yang merah penuh, dengan kulit putih bersinar seperti seorang bintang. Sangat tampan. "Anda dokter gadungan? Atau artis yang sedang syuting?." Yura melontarakan pertanyaan yang cukup tidak sopan. "Gadungan?" Dia menaikan satu alisnya merasa tertarik, lalu di rongohnya kartu identitas yang tidak di pakai, namun di simpan di dalam saku snellinya. Yura membacanya dengan teliti dan memastikan. Mulutnya ternganga penuh kekaguman, gadis itu langsung malu saat mengembalikan kartu identitasnya lagi. "Maaf" ucap Yura merasa menyesal, Armin hanya mengangguk terlihat tidak keberatan. "Jadi, kenapa dengan jantungmu?." "Mungkin sering minum kopi" jawab Yura sekenanya, enggan memberikan keterangan yang sesungguhnya. "Kopi memang mengandung kafein yang dapat membuat jantung bisa berdetak lebih cepat, tangan kamu bergetar tiba-tiba, dan itu untuk orang yang meminum secara berlebihan. Tapi, membuat pingsan terdengar terlalu berlebihan. Kecuali, ada sesuatu yang serius." "Tidak ada dokter, aku serius." "Aku tidak suka orang seperti ini." Gumam Armin tampak kesal. "Permisi." Raymen muncul di balik pintu, membawa selembar obat kapsul di genggamannya "Ini obatnya dokter." "Terimakasih" Armin langsung membuka salah satu obatnya. Sementara itu Yura bersedekap kesal, masih menatap tajam Raymen yang bediri di sampingnya terlihat masih khawatir. "Minumlah" perintah Armin setelah membelah obatnya menjadi dua bagian kecil, Yura hanya menatapnya ragu. "Ayo mimum" perintahnnya lagi dengan tegas. Yura terpaksa mengambilnya dan dengan ragu menelannya penuh keterpaksaan. Kedua bola mata Yura melotot, dia ingat ada sesuatu yang dia lupakan!. "Minumnya mana?" mulutnya terkatup rapat, suara Yura tertahan menahan pahit di lidah, obatnya pun belum dia telan, namun mulai mencair di lidahnya. "Astaga! iya aku lupa" Raymen panic. "Biarkan saja. Itu hukuman untuk orang yang berbohong" jawab Armin menahan geli, melihat Yura memejamkan matanya menahan pahit. Rupanya dia tahu Yura berbohong jika masalah jantungnya karena kopi. "Tunggu" Raymen berlari seperti pelari marathon, keluar mencari air. Tidak berapa lama Raymen datang membawa satu gelas air yang sudah oleng kesana kemari, karena dibawa sambil berlari. Yura langsung meneguknya sampai tandas. "Uhuk." Yura terbatuk-batuk merasakan rasa pahit di lidahnya yang masih menempel kuat. "Lebih baikan?" Raymen bertanya setengah tertawa, melihat Yura menyeka air matanya menangis kepahitan. "Patrawali kau tahu rasanya?, sangat pahit" Yura terisak seperti anak kecil, memeluk Raymen yang menepuk-nepuk punggungnya masih tertawa merasa lucu. "Dia dokter yang jahat Ray." Yura terisak menunjuk sang dokter penuh tuduhan, Armin tersenyum geli menggelengkan kepalanya tidak membenarkan. 4. Snelli: jas putih seorang dokter 5. Stetoskop: alat medis akustik yang di gunakan untuk memeriksa suara dalam tubuh *** Keadaan Yura mulai membaik, dia memaksakan diri untuk bangun setelah merasa cukup beristirahat dengan terbaring tanpa melakukan apapun di atas ranjang. Hari sudah sore, dia harus segera pulang, karena orang tuanya pasti akan mencarinya. Sementara Raymen masih setia menemaninya dan membantunya bangun. "Mau aku gendong?" Tawar Raymen, namun mimic mukanya tidak menunjukan kesungguhan dari penawarannya. "Tidak!" Yura menjawab cepat dan melotot. Raymen tertawa geli melihat ekspresinya yang terlihat lucu. "Ngomong-ngomong bagaimana dengan seleksimu tadi?" Sambung Yura. "Aku kalah di ronde ke tujuh" Raymen menghembuskan nafasnya dengan berat. Dia terlihat kecewa, karena hasilnya tidak sesuai dengan apa yang dia harapkan. "Kau telah melakukan yang terbaik" Yura tersenyum menyemangatinya, "Aku minta maaf, pasti kau kerepotan karena aku sakit." Sambungnya lagi merasa bersalah. "Kau benar, aku rasa aku harus menghargai apa yang telah aku usahakan" jawab Raymen setengah merenung. "Ngomong-ngomong, sejak kapan kau merasa bersalah padaku karena ulahmu?" tanyanya sambil menyipitkan matanya curiga, Yura tertawa membenarkan. Raymen kembali menuntunnya dengan hati-hati. Sebenarnya, pertarungan Raymen dan Chen belum selesai sepenuhnya, mereka hanya bertarung sampai ronde tiga. Namun, Raymen langsung meninggalkan pertandingan karena khawatir melihat Yura pingsan. Hasilnya, kini Raymen di diskualifikasi. "Kalian mau kemana?" Armin sudah berdiri di hadapan mereka berdua. "Kami mau pulang. Aku sudah merasa baikan" jawab Yura dengan semangat. "Kau sangat tidak pandai berbohong" Armin mendesis tidak suka. "Aku sudah baikan dokter, lihatlah" Yura melompat-lompat seperti anak kangguru, dia juga menunjukan gerakan seperti atelit yang melakukan pemanasan. "Terlihat sehat bukan?" Tanya Yura yang kembali bergerak lincah. Sekarang Yura berlari di tempat. Beberapa perawat yang lewat tersenyum geli, melihat tingkah gadis itu. Raymen hanya membalikan badannya menahan tawanya yang hampir meledak. Armin membulatkan bibirnya, lalu mengatupkannya lagi dia merasa geli sendiri, "Baiklah. Tapi jika jantungnmu terasa seperti tadi lagi, datanglah kesini dan temui aku, ada suatu tes yang belum dilakukan, untuk memastikan apa kau perlu perawatan jalan, konsultasi, atau tidak. Itu pun jika kau menyayangi tubuhmu." "Iya dokter, siap" Yura baru berhenti bergerak setelah mendapat persetujuan darinya. "Ambil ini" Armin memberi secarik kartu nama kepada Yura, lalu dia pergi setelah seorang suster memanggilnya dari ruangan sebelah. Yura mencari nafas dengan cepat kelelahan setelah kepergian Armin. Tubuhnya terjatuh ke lantai merasa kelelahan. Tangan Raymen terulur "Ayo." "Aku lelah" Yura merengek seperti anak kecil, Raymen tertawa ikut membungkuk. Tanpa berkata-kata lagi, pria itu menggendong Yura dengan mudah, reflex Yura mengalungkan tangannya pada leher Raymen. "Apa aku berat?" Tanya Yura berbasa-basi dengan kepala terjatuh di ceruk leher Raymen. "Ya, kau sangat berat. Dasar babi" PLAK Yura langsung menampar mulut Raymen, "b******n" *** To be continue..
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD