BAB 2 (HILANG)

2073 Words
Aku masih tetap tidak bersuara. Yang bisa kulakukan hanya menangis sejadi-jadinya. "Tadinya aku berpikir, kamu tidak akan bisa melihatku. Dan itu membuat ku sangat sedih. Tetapi kesedihanku  sirna ketika kamu mulai menyapaku. Akhirnya, harapanku benar-benar terkabulkan. Sejujurnya, aku berbohong tentang keluargaku. Ayah, Bunda, Kakaku, dan juga Bi Atik, mereka semua sudah tidak tinggal di perumahan itu. Mereka sudah pindah. Maafkan aku karena telah berbohong, Nai. Terima kasih karena selama ini kamu selalu menyemangatiku dan mau berteman denganku. Aku menyayangimu ...," ucap Raka lagi. "Hiks ..., a-aku juga menyayangimu, Raka. Terima kasih karena selama ini kamu juga mau bermain denganku. Aku benar-benar akan merasa kesepian. Aku pasti akan sangat merindukanmu," ucapku sambil masih berlinang air mata. "Aku juga akan sangat merindukanmu, Nai. Sebenarnya, aku  ingin memelukmu untuk yang terakhir kalinya. Tetapi sayangnya, hal itu tidak akan mungkin terjadi. Nai, kamu jaga diri baik-baik, yah! Aku akan selalu berada di sisimu," ujar Raka dengan memasang senyumannya yang khas. "Sepertinya, waktuku juga sudah habis. Aku akan pergi sekarang. Selamat tinggal, Naion. Selamat tinggal, Kakek ...," ucapnya. Setelah mengucapkan kalimat perpisahan ia kemudian menghilang begitu saja. Aku masih sangat bersedih. Tiba-tiba Kakek menyentuh kepalaku, beliau mengatakan bahwa saat ini yang dibutuhkan oleh Raka adalah doa agar dia bisa pergi dengan tenang. Aku dan kakek duduk di samping makam Raka, sambil memanjatkan doa untuknya.Setelah berdoa, aku dan kakek mulai meninggalkan kuburan Raka. Meski masih sedih, aku harus mengikhlaskan kepergian sahabatku itu. Di sana ia tidak akan merasakan sakit lagi. Tuhan, aku berharap Raka mendapat teman-teman yang baik di surga-Mu. Amin! Melihat kembali suasana yang sangat ramai ini, aku menanyakan hal tersebut kepada kakek. "Kakek, kok aku melihat banyak orang aneh di kuburan ini?" Kakek menatap ke arahku. "Seperti apa bentuknya, Nak?" "Ada yang pakai taring trus matanya melolot banget, sampa-sampai kayak udah mau keluar dari tempatnya," jawabku. "Trus? Ada lagi?" Aku mengangguk. "Ada juga yang mukanya pucat banget, Kek! Trus matanya tuh hitam. Yang aku lihat, mereka banyakan perempuan. Emang ada yah, Kek, kuburan kayak gini? Ini taman pekuburan pertama yang Naion lihat sangat meriah. Kakek menghentikan langkahnya. "Nak, semua yang kamu lihat itu adalah mahluk-mahluk halus yang di sebut dengan sebutan hantu." "Hantu? Jadi mereka semua hantu, Kek? Naion gak pernah lihat mahluk seperti itu sebelumnya." "Iya, mereka semua adalah hantu. Apa kamu merasa takut?" Senyumku mengembang. "Gak! Apa yang mesti ditakutkan? Mereka semua gak menakutkan kok!" Raut wajah kakek berubah menjadi serius. "Kamu yakin gak merasa takut sama sekali?" Aku menggelengkan kepalaku. Wajah Kakek kembali ceria. "Kamu akan menjadi seorang anak indigo yang spesial, Nak!" ucap beliau. Kami berdua pun kembali melangkah keluar dari taman pekuburan ini, kemudian pergi meninggalkan tempat itu. Selamat tinggal, Raka.                                                                           ῳ_ ῳ AUGURY GIRL ῳ_ ῳ Naion berusia 18 tahun     Hari demi hari, minggu demi minggu, bulan demi bulan, sampai tahun demi tahun, sudah kulewati dengan segala pahit, manis, asin, bahkan  hambarnya hidup yang kujalani . Saat ini aku duduk di bangku kelas tiga SMA. Tanpa terasa, usiaku pun semakin bertambah. Dan tahun ini, umurku genap 18 tahun. Mama berkata padaku bahwa,  diusia seperti itu seseorang akan  memulai mencari-cari jati diri. Atau bahkan sudah mencoba membuat peta konsep kehidupannya. Jujur, aku tidak tahu dengan apa yang akan kulakukan di masa depan. Dibandingkan  harus berpikir keras dengan apa yang akan terjadi di masa depan. Aku lebih suka mengikuti, di mana alur kehidupan membawaku. Intinya, aku penganut motto ‘hidup seperti lary.’ “Nai …” Seseorang menepuk pundakku. Aku menoleh ke arahnya.  “Lo dipanggil wali  kelas untuk datang menghadap di ruangannya, setelah pulang sekolah,” ucap salah satu teman kelasku, Juna. “Lo pasti tidur, ‘kan?” “Gak, lah! Entar lagi kan ibu Erna masuk. Masa, iya, gue tidur?” jawabku santai. “Jam istirahat sisa berapa menit, sih?” “Kira-kira 3 menit lagi,” jawabnya. “Nai, lo tuh udah sering kedapatan tidur. Gue curiga lo dipanggil sama Bu Diva karena kelakuan lo yang sering tidur di tengah pelajaran! Tidur kok di kelas, yang ada tuh tidur di rumah! Di sekolah mah tempatnya belajar.” ujar cowok berwajah blasteran Indo-jepang itu. “Berisik deh, lo! Yaaah … mungkin Ibu Diva emang ada keperluan kali, makanya beliau manggil gue buat minta tolong.  Eh, by the way, Arisa mana?” Aku menoleh ke kiri dan ke kanan, tetapi tidak menemukan sahabat gue itu. “Katanya dia keluar buat beli pulpen.” Juna mulai kembali duduk di bangkunya yang hanya bersebrangan dengan tempatku dan juga Arisa. “Oh, okeey ..”  Tidak berselang lama, tiba-tiba Juna kembali mendatangiku. Dan dari ekspresi wajahnya, ia terlihat seperti sedang penasaran dengan sesuatu hal. “Nai, gue mau nanyain sesuatu, nih! Boleh, gak?” “Boleh! Tapi tanyanya jangan yang berhubungan dengan pelajaran. Lo tau sendiri lah kapasitas otak gue gimana.” Juna menggelengkan kepalanya cepat. “Ngapain gue nanyain lo soal pelajaran? Orang lo aja sering nyontek di gue dan Arisa. Ini sesuatu yang lain, Nai.” Keningku berkerut. “Yang lain?” Cowok bernama lengkap Arjuna Panji itu mengangguk. “Tapi, lo jangan marah yah?” Jujur, aku semakin penasaran dengan apa yang ingin dikatakan oleh Juna. “Nai, katanya lo bisa melihat mahluk-mahluk selain manusia, yah?” mendengar pertanyaan Juna, aku sedikit terkejut. “Kata siapa?” tanyaku. “Kata anak-anak yang lain. Mereka  pernah  ngeliat lo  ngomong sendirian di bawah pohon, depan sekolah kita. Entah dimana sumbernya, mereka langsung nge-judge lo bisa ngelihat hantu,” ucapnya. “Oh, gitu …” ucapku mangut-mangut. “Trus, jawabannya apa?” tanya Juna lagi. Aku menoleh ke arahnya. “Mereka benar. Gue memang bisa melihat mahluk-mahluk tak kasat mata. Contohnya, seperti sosok gendoruwo yang ada di pohon depan sekolah.” Juna menatapku dengan pandangan yang tidak bisa ku artikan. Ia seperti orang yang baru saja mengetahui rahasia negara yang hanya orang-orang tertentu saja yang mendapat informasi itu. “Lo, serius?” tanya lagi. Aku mengangguk. Ia langsung memegang kepalanya menggunakan dua tangan. “Oh, God!” pekiknya. Sontak aku menutup mulutnya. Itu karena, seketika pandangan seluruh teman yang berada di kelas,  mengarah tepat ke aku dan Juna.  “Lo tuh cowok yah, Jun! Masa cowok kek gitu, sih?” “Namanya juga orang terkejut, Nai. Eh, eh … jadi, selama ini lo tuh anak indiroom?” “Indigo, Juna!” “I-itu maksud gue. Lo—“ “Hai, gengs …” ucap Arisa yang baru tiba. “Juna, lo kok duduk di tempat gue?” tanya Arisa heran. “Sa, lo udah tahu kalau si Naion itu anak indigo?” tanya Juna tiba-tiba. Arisa menatapku dengan tatapan yang bisa kuartikan seperti, ini—anak— kenapa? “Iya, gue udah tahu,” jawab Arisa singkat. “Apa hanya gue yang baru tahu sekarang?” ujar Juna. “Gak, kok! Kata lo tadi, semua anak-anak sekolahan udah pada tahu, ‘kan?” jawabku. “Gak— maksud gue tuh— udahlah! Intinya, gue baru tahunya sekarang,” ucap juna terbata. “Sejak kapan kamu tahu, Naion bisa ngelihat hantu?” tanya Juna lagi ke Arisa. “Sejak gue masih SMP. Kan gue satu sekolah dulu,” jawab Arisa. Yah, aku dan Arisa bertemu di sekolah menengah pertama (SMP) dan aku berada di kelas yang sama pula. Arisa adalah teman pertama yang mengetahui bahwa aku adalah anak indigo. Aku tidak pernah memberitahukannya, ia mengetahui dengan sendirinya. Bahkan ketika beberapa orang mengataiku anak yang aneh, bukannya menjauh, ia malah memberitahu kepadaku untuk tidak mengambil hati omongan mereka semua. Dan ia tetap masih mau berteman denganku, sampai sekarang. Orang-orang  selalu mengataiku aneh, tetapi itu tidak pernah membuatku sedih, atau bahkan berputus asa. Aku malah menganggap bahwa, tidak ada salahnya kita menjadi seorang yang aneh. Aneh itu unik, dan yang unik pasti selalu nampak lebih spesial dari yang lain. Daripada menyesali dengan apa yang telah Tuhan berikan, lebih baik menerima kemudian mensyukurinya. “Woi … ibu Erna udah ke sini,” teriak Rangga. Juna pun langsung kembali ke tempatnya. Dan tidak berselang lama, ibu Ena pun datang. Pelajaran pun di mulai.   Sepulang sekolah, aku datang menemui ibu Diva di dalam ruangannya, ditemani oleh Arisa sahabatku. Dan ternyata benar apa yang dikatakan oleh Juna. Aku mendapat teguran oleh bu Diva karena sudah banyak guru yang melaporkan bahwa, aku selalu tidur di jam pelajaran. Sebenarnya, itu bukanlah tidur. Mungkin, tubuh kasarku memang terlihat seperti sedang tertidur. Namun kenyataannya, aku sedang melakukan perjalanan astral bersama dengan teman-teman hantuku di sekolah ini.                                                                            ῳ_ ῳ AUGURY GIRL ῳ_ ῳ Hari ini Aku, Arisa, Juna, dan beberapa teman lainnya sedang melakukan kerja kelompok di rumah Ratna. Seusai, menyelesaikan tugas, aku dan Arisa pamit karena waktu sudah menunjukkan pukul 22.00, yang artinya sudah hampir tengah malam. Mereka yang masih tinggal, sedang menunggu jemputannya datang. Juna dan ayah Ratna juga sempta menawari kami tumpangan. Namun, kami menolak. Kami tidak ingin merepotkan orang-orang. Karena jarak rumahku dan rumah Arisa lumayan dekat, cuman beda dua lorong— akhirnya kami  memilih untuk tidak di jemput. Lagian, aku merasa kasian dengan Papa. Beliau pasti sangat lelah. Aku tidak mau menambah rasa lelahnya dengan menjemputku pulang. Toh, aku bisa pulang sendiri. Aku dan Arisa mulai berjalan keluar dari perumahan Ratna yang sudah lumayan sepi. Perumahan ini terletak di sudut kota, dimana lingkungannya nampak masih asri dan terjaga. Pepohonan tinggi masih dibiarkan menjulang naik, kayu-kayu seperti obor pun masih terpajang manis di pagar  rumah warga. Intinya, suasana di kompleks ini mengingatkan kita akan suasana pedesaan yang sangat sejuk dan damai. Meskipun, ia berada di pinggiran kota. Suara gemercik dedaunan terdengar sangat jelas. Perlahan, angin pun mulai menerpa kulit kami, menciptakan sensasi dingin yang lama ke lamaan akan membuat buluk kuduk kita bergidik. Seperti desa pada umumnya, dipagi sampai di sore hari, suasananya nampak damai dan tentram. Namun ketika sang malam sudah terbangun, seratus persen suasananya akan sangat berubah. Perubahan itu akan sangat terasa, ketika kalian keluar malam-malam seperti yang kulakukan saat ini dengan Arisa. “Nai, lo gak ngelihat sesuatu yang aneh-aneh, ‘kan?” tanya Arisa padaku dengan wajah cemas. “Sejauh ini, gak ada yang aneh. Daritadi aku cuman liat setan lokal aja, kok. Jadi, gak usah takut. Kan, ada gue di sini!” jawabku sambil tersenyum. “Setan lokal?” tanya Arisa. Aku mengangguk. “Lo jangan nakut-nakutin gue, Nai. Setan lokal kan juga serem!” ucapnya. Arisa mulai menggandeng lenganku. "Eh tunggu, emang ada setan turis?"  Aku menepuk pelan dahiku. "Plis, deh, Sa!" "Nai, gue takut setan itu muncul. Gue yakin banget muka mereka tuh serem parah!" “Gak serem, kok! Meskipun gak semuanya baik, yah, setidaknya mereka gak ngeganggu kita. Lagian, aku yakin mereka gak akan berani mendekat,” ucapku santai. “Kenapa?” tanya Arisa lagi. “Karena mereka takut sama gue! Hahaha …” Arisa mencubit lenganku. “Lo tuh, yah! Nai, jangan bercanda dong lo!” “Aww … sakit tau, Sa! Aku gak bercanda kok! Kamu jangan takut. Nih, yah aku kasi tau. Semakin lo nunjukin rasa takut, secara otomatis mereka akan lebih tertarik buat gangguin lo.” “Beneran?” tanyanya. “Yap! Makanya jangan takut. Lagian, kita juga udah mau sampai gerbang.” Arisa mengangguk. Kemudian, kami lanjut berjalan. Saat ini kami sudah sampai di depan gerbang yang bertuliskan Perumahan Gowa Lestari. Aku dan Arisa mulai menongok ke kanan dan ke kiri, berharap ada bentor yang akan lewat di depan kompleks ini. Ssssstttt… kwok … kwok … Kami berdua terkejut mendengar suara yang muncul secara tiba-tiba. Arisa kembali mengambil lenganku. “Nai, itu suara apa?” Kwok … kwok … kwok … Aku mengedarkan pandangan, berharap menemukan sesuatu yang menjadi sumber suara aneh itu. Ketika aku melihat ke belakang, tiba-tiba sudut mataku menangkap satu sosok yang bentuknya menyerupai binatang. Sebenarnya, mahluk seperti mereka bisa dinamakan dengan siluman. Aku mencoba mempertajam pengelihatan, guna memastikan jenis siluman apa yang saat ini tengah memasuki kompleks tempat tinggal Ratna. “Neng … “ lagi-lagi, aku dan Arisa terkejut. Namun, kali ini kami tidak dikejutkan dengan suara aneh. Abang bentor (Becak Motor) menyapa kami berdua secara tiba-tiba. “Aduh, Bang! Kaget banget, aku!” ujar Arisa. “Hehehe … maaf, Neng,” ucap abang bentor. “Mau ke mana, Neng? Mau naik bentor, kan?” Tanya abang itu. “Iya, Bang! Kami berdua mau ke perumahan Bumi Batara. Kira-kira, ke sana harganya berapaan yah, Bang?” tanyaku. “Sepuluh ribu doang kok, Neng.” “Yaudah, yuk, Sa!” Aku mulai naik di atas bentor itu. Namun, Arisa belum ada tanda-tanda ingin naik. Arisa sibuk mencari sesuatu di dalam tasnya. “Nai, sepertinya uang gue hilang deh!” Aku kembali turun dari bentor. “Lo simpan di mana, emang?” “Gue simpan di dalam dompet kecil, Nai,” jawabnya lemas. “Berapa yang hilang?” tanyaku. “Lima ratus ribu, Nai. Mampus nih gue!” jawabnya. “Neng-nya lupa kali taro dimana …” ucap Abang bentor. “Aku ingat banget, Bang. Aku taronya tuh di tas ini! Bahkan sebelum pulang, aku masih sempat nge-cek kembali isi dompetku, dan uang itu masih ada,” ucap Arisa berap-api. Seketika aroma kemenyan yang bercampur dengan bau amis darah, dan juga bau lilin tercium dihidungku. Dan saat ini juga, aku mengetahui siapa dalang dari ini semua. “Sa, lo tunggu di sini bentar, yah! Bang, tolong jagain temen aku dulu. Aku gak bakalan lama, kok!” ucapku sambil mulai berlari.                                                                                BERSAMBUNG
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD