Bab 2

1554 Words
Chairal Akbar Tanjung. Nama pria yang kini ditarik oleh Campak memasuki pasar K itu hanya diam mengikuti saja kemana gadis yang baru dikenalnya kurang dari satu jam yang lalu. Campak menarik tangan Akbar untuk singgah di sebuah toko pakaian. "Bu, baju ini teh harganya berapa?" tanya Campak. "Oh ini Neng, harganya dua puluh ribu saja atuh. Harga obral," jawab Ibu pemilik toko. Campak menoleh dan melihat badan Akbar, dia sedang mengukur lebar badan Akbar. "Badan kamu teh besar," ujar Campak. Akbar hanya diam. Dia hanya melihat wajah sibuk Campak yang menyipit ke arah badannya. Campak melirik ke arah Ibu pemilik toko, "Bu, kalau celana training itu berapa harganya?" "Ini teh cuma dua puluh lima ribu, Neng," jawab Ibu pemilik toko. Campak menoleh ke arah Akbar lalu memandangi lagi kaki Akbar. Gadis 24 tahun itu sedang mengukur panjang seluruh kaki Akbar. "Kasihan kamu teh, pakai sepatu kulit palsu buangan," ujar Campak terhadap sepatu kulit asli milik Akbar yang difitnah oleh Campak sebagai sepatu kulit palsu buangan. Jika sepatu kulit asli yang dipakai oleh Akbar bisa bicara, dia pasti akan menangis sedih dikatai palsu oleh gadis itu. "Pasti kamu pungut dari tempat sampah, yah? kasihan kamu. Sepatunya teh sudah rusak begini, penuh kotoran, nanti kaki kamu bau," ujar Cempaka. Akbar hanya melihat saja Campak. Dia tidak menginterupsi atau mengatakan keberatannya. Campak menoleh lagi ke arah Ibu pemilik toko, "Bu, baju yang ukuran XL dan celana training yang ukuran XL saja, Bu." Ibu pemilik toko mengangguk mengerti. "Baik, Neng. Tunggu sebentar Ibu ambilkan," ujar pemilik toko sambil mencari ukuran baju dan celana yang diinginkan oleh campak. Sementara itu Campak melihat-lihat ke arah baju lain, "Bu, di sini teh tidak ada celana dalam pria?" "Oh, kalau pakaian dalam, itu Neng! di toko sebelah," jawab Ibu pemilik toko sambil memasukkan baju kaos dan celana training ke dalam tas kresek wajahnya memberi kode ke toko sebelah dengan arahan kepalanya, "ini Neng, semuanya jadi empat puluh lima ribu." Ibu pemilik toko memberikan tas kresek ke arah Campak sambil mengatakan total harga. "Bu, dikurangi lima ribu, bisa?" tawar Campak. Ibu pemilik toko melirik ke arah Campak lalu ke arah Akbar. "Dia teh orang jalanan, kasihan tidak punya pakaian dan rumah, kebetulan saya lihat di jalan, jadi rasa sedih juga pas lihat. Mana sudah kelaparan," ujar Campak mendeskripsikan Akbar pada Ibu pemilik toko. "Ya sudah Neng, empat puluh ribu saja," ujar Ibu pemilik toko ikut iba. "Ok, Bu." Campak membuka resleting tas ransel hitam yang saat dia masuk pasar sudah dia letakan posisinya di depan, ini meminimalisir supaya tidak adanya copet. Dia mengambil uang lima puluh ribu lalu memberikannya pada Ibu pemilik toko. "Entar ya Neng, saya ambil kembalian." Ibu pemilik toko memberikan uang pecahan sepuluh ribu ke arah Campak. "Terima kasih, Bu. Rejeki buat Ibu banyak-banyak," ujar Campak. "Sama-sama Neng. Amin amin amin," balas Ibu pemilik toko. "Permisi Bu, saya ke sebelah." Campak permisi ke toko sebelah. "Iya, Neng," balas Ibu pemilik toko. "Ayo, kita cari *celana dalam." Campak menarik tangan Akbar ke toko sebelah. "Kang, celana dalam laki-laki, ukuran …." Campak melirik ke arah pinggang Akbar, dia bingung Akbar memakai ukuran celana dalam apa. "Kamu teh pakai ukuran apa?" tanya Campak. Akbar, "...." hanya diam. Laki-laki super irit bicara ini tak pernah membalas ucapan atau menjawab pertanyaan dari Campak. Hanya tertawa saat Campak kentut. "Hadeh, kamu teh tidak bicara dari tadi." Campak terlihat pusing karena Akbar tak bicara. "Kalau kamu tidak bicara, bagaimana mau beli celana dalam kamu?" Dia menoleh ke arah pemilik toko laki-laki dan berkata, "Kang, celana dalam laki-laki ukuran XXL saja." "Ok, Neng," sahut pemilik toko. "Mau warna apa?" tanya pemilik toko. "Merah muda saja," jawab Campak. Pemilik toko, "...." apakah laki-laki suka memakai celana dalam warna merah muda? pikir pemilik toko dalam hati. "Neng, celana dalam merah muda untuk laki-laki teh tidak ada," ujar pemilik toko. Campak, "...." dia telah lupa itu. "Ehm, warna merah saja." Koreksi Campak. "Warna merah tidak ada, hanya ada warna biru dongker, biru laut, abu-abu, dan hitam saja, Neng," balas penjual. "Ya sudah, ambil hitam saja biar jangan makan daki." Putus Campak, daripada banyak pikir warna *celana dalam apa, mendingan ambil yang hitam saja. Toh *celana dalam itu tidak ada yang akan tahu warna apa, bukan seperti celana superman. "Satu saja yah, jangan lebih dan tak boleh kurang." "Hehehe!" pemilik toko tertawa. Setelah membungkus celana dalam, pemilik mengatakan harga. "Hanya sepuluh ribu, Neng." "Ok." Campak memberikan uang pecahan sepuluh ribu yang tadi adalah uang kembalian dari membeli baju kaos dan celana training dari toko sebelah. "Terima kasih, Kang," ujar Cempaka. "Sama-sama, Neng," balas pemilik toko. "Ayo kita ke sana." Campak menarik tangan Akbar ke sebuah toko yang menjual sabun dan peralatan pembersih. "Bu, sabun mandi ini satu, sikat gigi satu, sampo satu, dan pasta gigi satu." Campak memperlihatkan barang-barang yang akan dia beli. "Semua berapa, Bu?" "Sebentar yah, saya hitung." Ibu pemilik toko melihat barang-barang yang ingin dibeli oleh Campak. "Oh, semua dua puluh ribu pas," jawab Ibu penjual. "Ok, Bu." Campak membuka resleting tas lalu mengambil uang lima puluh ribu dan diberikan pada Ibu pemilik toko. "Nah, ini barang dan kembaliannya, Neng. Terima kasih," ujar Ibu pemilik toko. "Sama-sama, Bu," balas Campak. Campak menerima peralatan mandi dan memberikannya pada Akbar. "Ini teh kamu pegang." Akbar hanya menerima dan memegang saja tas yang berisi peralatan mandi itu. "Mari ke sana." Tangan Akbar ditarik lagi oleh Campak. Kali ini mereka singgah di tempat yang menjual sandal. Akbar hanya memandang wajah Campak yang akan menanyakan harga sandal plastik yang akan dibeli oleh Campak untuknya. Setelah menanyakan harga, Campak menoleh ke arah Akbar. "Pasar K ini teh ramai, ada banyak barang yang bisa kita beli. Untung kita lewat jalan P, jadi nggak terlalu lama berada di perjalanan ke sini, penumpang angkot juga cuma kamu dan aku." "Kalau di pasar J teh belum tentu ada barang-barang ini, banyak barang-barang bekas mesin. Kita teh mau beli baju bukan beli mesin," ujar Campaka lagi. "Ukuran kaki kamu teh berapa?" tanya Cempaka. Akbar hanya diam saja. "Kamu teh nggak pernah bicara, tadi cuma tertawa saja atuh." Campak cemberut. "Irit sekali." Campak hanya geleng-geleng kepala. "Bang, sandal swallow saja, ukuran sebelas, ada?" tanya Campak. "Ada, yang warna biru saja," jawab pemilik. "Berapa itu?" tanya Cempaka. "Sepuluh ribu," jawab penjual sandal. "Ok. Ini." Campak memberi uang. "Sip. Makasih, Dek," ujar penjual sandal. "Ok, mantul, mantap, sedap," balas Campak. "Hahahaha!" penjual sandal tertawa. Setelah menerima sandal, Campak menoleh ke arah Akbar. "Kita jalan ke sana." Tangan Akbar ditarik lagi dan mengikuti kemana Campak membawanya. Sementara Campak sibuk dengan aktivitasnya, dia tak ingat lagi dengan tujuan awalnya. Ridwan Kamil Usro yang merupakan calon pelanggan dari Campak, mondar-mandir tak jelas. Sudah jam satu siang, namun makanan yang telah dia pesan dari tiga jam yang lalu belum juga hadir. Pria yang merupakan kepala bandara itu hanya bisa menahan lapar. Dia melihat ponselnya. Sudah beberapa kali dia DM ke insta milik Campak, namun belum ada balasan. "Belum dibalas." "Padahal sudah aku DM dari satu jam yang lalu." "Aku sudah lapar." "Kepiting Soka." Wajahnya terlihat seperti akan menangis. Dia memikirkan kepiting soka yang dalam perjalanan. Namun sayang, enam ekor kepiting Soka itu sudah raib masuk ke dalam perut Akbar. Pria yang Campak kira gelandangan. Sementara itu di luar bandara, seorang pria paruh baya yang merupakan supir Akbar keliling sekitar bandara untuk mencari tuannya. "Ditelepon mati, iya mati, karena diblokir otomatis, tidak ditelepon salah." "Duh Gusti. Ada apa ini?" supir terlihat bingung. "Ini karena jalan dibersihkan, aku sampai terlambat menjemput Pak Akbar." "Mana hari ini ada rapat penting di perusahaan." "Bagaimana ini?" "Aku harus apa?" supir pusing. Pria berlogat jawa itu hanya bisa menyesali keterlambatannya. Sudah satu jam dia berputar di sekeliling bandara, namun tak menemukan sang majikan. Sementara itu di pasar K, Akbar hanya berjalan mengikuti kemana Campak membawanya. Sampai di sebuah tempat di dekat pasar, mereka berhenti. "Nah, sampai juga!" seru Campak senang. Campak menunjuk ke arah tempat itu. Campak memasukan uang dua puluh ribu ke dalam tangan Akbar. "Ini teh ongkos mandi kamu. Saya teh harus mengantarkan makanan pesanan-akh! Gusti Allah! aing teh lupa! kalau belum membatalkan pengiriman pesanan aing ke calon pelanggan!" Campak berteriak histeris. "Habis sudah. Habis! orang teh tunggu makan itu." Campak panik lalu merogoh ponselnya, dan benar saja, banyak pesan masuk. "Nah, kan!" mata Cempaka melotot. Campak berlari menjauh dari Akbar sambil menenteng tas kain berisi rantang kosong. "Kamu teh jangan lupa mandi! oh iya! ini teh uang makan buat kamu!" Campak mengambil uang lima puluh ribu lalu berlari ke arah Akbar untuk memberikan uang itu pada Akbar, setelah itu dia berlari cepat pergi meninggalkan pasar itu. "Mati aing! aing mati!" Campak merutuk kealpaannya di sepanjang jalan. Akbar hanya melihat kepergian Campak hingga menghilang dari penglihatan. Lalu dia melihat ke arah tangannya, ada uang tujuh puluh ribu, pemberian dari gadis yang tak tahu siapa namanya. Pria yang merupakan CEO dari perusahaan ArchiBigJen Enterprise itu hanya memandangi uang tujuh puluh ribu dan tas kresek di tangannya. Lalu dia merogoh ponselnya yang berada di saku celana. Baju kemeja warna putih sudah tidak terlihat warna aslinya lagi, hanya warna hitam lumpur got yang telah mengering. Memang benar apa yang dilihat oleh Campak, penampilan Akbar bagaikan orang gelandangan. Beberapa detik kemudian panggilan tersambung. "Pak Akbar, syukur Alhamdulillah!" ujar suara dari seberang. "Jemput saya di pasar K sekarang." Suara bas magnetik terdengar. Klik. Panggilan dimatikan sepihak oleh Akbar. Akbar melirik lagi tas kresek dan uang. ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD