"Seperti Asas Pauli dimana setiap orbital maksimum menampung dua elektron maka orbit cinta hanya cukup terdiri dari hatiku dan hatimu,"
- Pascal Ramadhan -
"Ami, mau pesen apa?" tanya kak Pascal dengan mata berbinar seolah aku bisa melihat Bima sakti dari bola matanya sekarang.
"Terserah kakak," jawabku dengan enggan.
Kak Pascal menaikkan satu alisnya.
"Kamu cewek rupanya," katanya dengan wajah serius.
"Hah? Tentu saja aku cewek. Kakak pikir aku waria?" gerutuku kesal.
Kak Pascal hanya tersenyum.
"Denger, Ami. Konsep terserah itu hanya berlaku untuk cewek plin-plan dan nggak mandiri. Jika kamu mau bahagia, kamu harus bisa mengambil keputusan dan nggak boleh bimbang, kamu paham?" omel kak Pascal.
Aku hanya mengembuskan napas panjang.
"Lagipula, jika aku pesankan bakso batu dan air toilet, kamu mau?" tanya kak Pascal dengan mata yang sedikit dipicingkan.
"Nggak sih," jawabku.
"Makanya, konsep terserah nggak usah kamu anut! Itu nggak akan buat kamu imut atau sejenisnya," kata kak Pascal lagi.
"Iya, iya," sahutku malas.
"Kejam amat, Cal. Beneran pacaran?" tanya seorang cowok bertubuh jangkung dengan kepala plontos yang langsung duduk di samping kak Pascal.
"Ini bukan kejam, tetapi memberikan pembelajaran hidup yang benar," sanggah kak Pascal.
"Haha, gayamu! Sok banget," ledek cowok itu.
Cowok itu menoleh ke arahku lalu tersenyum manis.
"Sabar ya, dia memang begini potongannya," katanya.
Aku hanya mengangguk kecil.
"Kamu sohibku bukan? Ngapain bilang gitu pada pacarku, Milki?" protes kak Pascal.
Cowok bernama Milki itu terkekeh pelan.
"Sorry, keceplosan," katanya sambil cengengesan.
Milki Aditya, begitu nama panjangnya. Dipanggil Milki, walau kadang diplesetkan menjadi milkshake atau milkita, sahabat kak Pascal sejak orok, tetanggaan dan selalu satu kelas pula sejak SMP. Begitu info yang aku dengar. Kemana-mana mereka selalu berdua sehingga nyaris dianggap homo kalau saja kak Milki itu bukan playboy cap dua jempol.
"Kemarin si Anis ke rumahku sambil nangis, kamu mencampakan dia?" delik kak Pascal yang langsung disambut sengiran kak Milki.
"Nggak, dia yang mencampakan aku," bantah kak Milki.
"Kamu yang dicampakkan, kok dia yang nangis?" tanya kak Pascal.
Kak Milki hanya mengangkat kedua bahunya lalu menunjuk ke arahku membuatku kaget sekaligus heran.
"Coba tanya pacarmu, dia kan cewek!" saran kak Milki lalu memasukkan satu pentol bakso ke mulutnya.
Kak Pascal pun menoleh ke arahku.
"Kenapa bisa begitu?" tanya kak Pascal beneran nanya.
"Hah? Mungkin dia ngerasa bersalah?" jawabku ngasal.
"Bener gitu?" tanya kak Pascal lalu menoleh lagi ke kak Milki.
"Bisa jadi," jawab kak Milki memberikan jawaban gantung.
"Emang kenapa dia harus ngerasa bersalah?" tanya kak Pascal lagi.
"Dia ketahuan," jawab kak Milki.
"Kalau?"
"Kalau lagi jalan sama mantannya," sambung kak Milki.
"Hah? Mantannya yang mirip p****t panci itu?" tanya kak Pascal memastikan.
Kak Milki ngakak mendengar pertanyaan polos dari kak Pascal. Aku juga, rasanya kak Pascal terlalu blak-blakan dalam menilai orang lain.
"p****t panci, kejam amat Cal,"
Kak Pascal nyengir.
"Ya kan bener, wajahnya gosong gitu,"
"Bukan gosong, emang kulitnya item," sanggah kak Milki.
"Oh, pure black ya? Nggak kayak si Maimunah," sahut kak Pascal.
"Kenapa si Maimunah?" tanya kak Milki.
"Kulit wajah dan tubuh beda jauh," jawab kak Pascal yang ngebuat kak Milki lagi-lagi ngakak.
"Awas kedengeran, ntar kamu ditabok pake bedaknya yang berkilo-kilo itu," kata Kak Milki mengingatkan.
"Ih, ngeri," sahut Kak Pascal sambil bergidik ngeri.
Kak Milki pun hanya tertawa geli melihat respon kak Pascal.
"Oh, ya, Ami, mau pesan apa?" tanya kak Pascal fokus kembali ke pertanyaan pertama.
"Siomay aja, Kak," jawabku yang kali ini sudah menemukan jawaban mau pesan apa.
"Yakin?" tanya kak Pascal memastikan.
"Iya, emang kenapa Kak?" tanyaku heran.
"Satu siomay mengandung 52 kkal lho. Jadi karena satu bungkus berisi 5-7 buah, maka totalnya 260-364 kkal," jawab kak Pascal menjelaskan.
"Trus?"
"Nggak takut gendut?" tanya kak Pascal.
"Nggak," jawabku.
"Wah keren," puji kak Milki sambil tepuk tangan.
"Hah?" tanyaku heran.
"Keren banget deh kamu."
Pujian itu membuatku menoleh menatap seorang cowok berpostur tubuh tinggi, besar dan berpipi chubby yang datang dengan membawa kotak bekal.
"Lama amat, rapat redaksinya alot?" tanya kak Milki pada cowok yang kemudian duduk di sampingku.
Cowok itu mengangguk mengiyakan.
"Parah," jawabnya. "Ada masalah sama pembuatan majalah bulan ini, makanya rapatnya nggak kelar-kelar."
"Harus jadi lho! Bulan ini jadi memuat cerpen buatanku kan?" kata kak Milki sedikit khawatir.
Cowok itu mengangguk.
"Tenang, bukan soal itu yang jadi masalah," jawab cowok itu menenangkan kak Milki.
"Sip," sahut kak Milki merasa lega.
"Oh, anak curut siapa nih?" tanyanya sambil menoleh ke arahku.
Anak curut? Dia minta diawetin?
"Oh, ini Valenci, pacarku," kata kak Pascal memperkenalkan aku.
"Salam kenal, Kak," kataku sembari mengulurkan tangan.
"Iya," sahutnya lalu ngebuka kotak bekalnya tanpa berniat menyambut uluran tanganku.
Oke, jadi gini rasanya jadi kacang.
"Jangan diambil hati. Harp memang begitu, harus serba higienis kalau mau jabat tangan sama dia. Dia punya virus rabies," jelas kak Milki lalu tertawa geli.
"Sembarangan," desis kak Harp nggak terima.
Cowok di sampingku ini namanya kak Harahap, biasa dipanggil Harp. Lumayan terkenal karena merupakan ketua redaksi majalah di sekolahku. Selama ini aku hanya sekadar tahu saja, belum pernah ngobrol. Kalau bukan karena kak Pascal, aku tidak mungkin bisa mengobrol dengan kak Milki atau kak Harp.
"Kalian belum pesen apa-apa?" tanya kak Harp yang melihat aku dan kak Pascal belum memesan makanan atau minuman apapun.
"Belum, ini baru mau pesen. Tunggu ya, Ami," kata kak Pascal lalu beranjak pergi.
Aku pun hanya mengangguk dan bengong karena ditinggal sendiri bersama dua cowok yang baru aku kenal hari ini.
"Hei," panggil kak Harp yang membuatku menoleh ke arahnya.
"Ya, kak?" sahutku sopan.
"Namamu Valenci atau Ami? Kenapa dia memanggilmu Ami tapi memperkenalkanmu dengan nama Valenci?" tanya kak Harp merasa bingung.
"Nama lengkapku Valenci Anggraini Wijaya, Kak," jawabku.
"Lantas, kenapa dipanggil Ami?" tanya kak Harp lagi.
"Ami, dalam bahasa Prancis artinya sayang! Pascal manggil dia gitu buat menandai kalau Valenci itu pacarnya, miliknya," jawab kak Milki menggantikan aku menjelaskan perihal mengapa aku dipanggil Ami oleh kak Pascal.
Kak Harp menaik-turunkan kepalanya sebagai tanda ia mengerti.
"Oh begitu," katanya, sepertinya udah paham.
"Kamu bawa apaan, Harp?" tanya kak Milki sambil menunjuk kotak bekal yang dipegang kak Harp.
"Ah, ini makanan," kata Harp lalu menunjukkan isi di dalam kotak bekalnya pada kami.
"Mau?" tawarnya.
Aku langsung mengeleng cepat saat melihat isi kotak bekal Harp adalah brokoli, selada, mentimun dan sayuran hijau lainnya.
"Niat amat dietnya," sindir kak Milki sambil mengambil satu potong mentimun dari kotak bekal kak Harp.
"Iya, Pascal bilang kalau kadar gulaku naik lagi, aku harus diet sehat," jelas kak Harp.
"Patuh amat sama Pascal," kata kak Milki.
"Ya, mau gimana. Dia yang menyelamatkan aku saat insiden waktu itu," sahut kak Harp lalu mengembuskan napas kasar.
"Ah, peristiwa yang heboh itu?" tanya kak Milki seolah mereka berdua lagi bernostalgia. Mereka lupa kalau ada anak curut lagi nguping.
Eh, ngapain aku nyebut diriku sendiri begitu? Astaga.
"Btw, kamu kenapa pacaran sama Pascal?" tanya kak Milki padaku, sepertinya proses nostalgia sudah kelar.
"Diancam Pascal?" tebak kak Harp.
Aku segera menggeleng cepat.
"Bukan, Kak," sanggahku.
"Lantas, kok bisa pacaran?" tanya kak Milki kepo.
"Dia butuh hormon cinta, sedangkan aku kelebihan. Jadi, biar seimbang, kami pacaran," sambar kak Pascal yang rupanya sudah kembali.
"Nih, siomaymu," kata kak Pascal sambil meletakkan sebungkus siomay di depanku.
"Lah, nggak ada kacangnya kak?" tanyaku saat melihat siomayku polosan.
"Tips sehat makan siomay atau batagor ala Pascal : no sambal kacang," jelas kak Harp yang langsung membuatku meradang.
"Nggak enak, Kak," protesku.
"Yang penting sehat. Makan," perintah kak Pascal mutlak membuatku hanya bisa manyun.
"Jadi, kamu pacaran karena kelebihan hormon cinta?" tanya kak Milki masih membahas alasan bagaimana aku dan kak Pascal bisa pacaran.
Kak Pascal mengangguk setelah meminum air mineralnya.
"Iya, hormon cintaku sudah aktif tapi masih dianggurin, jadi daripada mubazir, aku pakai aja buat pacaran sama Ami," jelas kak Pascal yang entah kenapa membuatku terkesan dijadikan pelampiasan hormon cinta yang dianggurin saja.
"Kenapa nggak pacaran sama yang lain? Darimana tahu kalau hormonmu sudah aktif?" tanya kak Milki lagi.
"Aku kan sudah 17 tahun, wajar dong kalau tertarik ke lawan jenis? Kenapa harus Ami, karena kebetulan dia yang kutemui lagi kekurangan hormon cinta," jelas kak Pascal terlalu jujur.
"Oh bisa gitu ya," kata kak Milki sambil ngangguk-ngangguk.
"Bisalah, yang penting kan konsep pacarannya masuk akal," kata kak Pascal.
"Konsep? Pacaran aja pake konsep? Kamu pikir lagi mau bikin pesta ulang tahun pake konsep segala?" sindir kak Harp.
"Segalanya butuh konsep dan asas," sahut kak Pascal.
"Udah mirip koperasi aja pake asas," ledek kak Milki.
"Emang konsep pacaran kita pake asas apa kak?" tanyaku jadi pengen tahu.
Kak Pascal tersenyum kecil ke arahku.
"Konsep pacaranku memakai asas Pauli dimana setiap orbital maksimum menampung dua elektron sehingga orbit cinta hanya cukup terdiri dari hatiku dan hatimu," jawab kak Pascal.
"Huweek!" seru kak Milki dan kak Harp bersamaan.
"Mual aku denger Pascal ngengombal," kata kak Milki sambil melipat kedua tangannya seolah dia merinding mendengar ucapan kak Pascal barusan.
"Jangan ke makan ngombalan receh Pascal, Valenci," nasehat kak Harp.
"Kenapa?" tanyaku.
"Nanti kamu keracunan janji manis!" jawab kak Harp yang langsung disambut gelak tawa kak Milki.
"Dasar, kalian ini sohib macam apa sih? Mengapa jadi jelek-jelekin aku depan pacarku?" protes kak Pascal.
"Haha, ya gila aja sepanjang aku kenal kamu, baru kali ini kamu ngombal gitu," kata kak Harp.
"Wajar, dong. Kan aku baru kali ini pacaran," kata kak Pascal yang membuatku menoleh kaget ke arahnya.
"Jadi, aku pacar pertama kakak?" tanyaku yang tanpa sadar tersenyum senang.
Kak Pascal mengangguk mengiyakan.
"Seneng ya, Val?" goda kak Milki.
Aku hanya memperlebar senyumanku.
"Banget."
"Tuh kan? Cewek gitu aja udah baper," decak kak Milki sambil geleng-geleng kepala.
Aku cuek. Saat ini mataku fokus ke kak Pascal yang ternyata menjadikan diriku yang sempat dicampakan ini sebagai pacar pertamanya.
"Kalau kamu?" tanya kak Milki yang membuatku yang sempat melayang napak lagi di bumi.
"Apanya, Kak?" tanyaku.
"Pascal pacar pertamamu?" tanya kak Milki memperjelas pertanyaannya.
Aku menggeleng.
"Bukan, yang kedua," jawabku dengan jujur.
"Baah, haha, Pascal yang kedua," ledek kak Milki tertawa keras.
"Biarin! Yang terpenting itu bukan urutannya tapi siapa yang berhasil miliki pada akhirnya," sergah kak Pascal.
Kak Milki nggak peduli, masih saja ngakak. Lama-lama aku lempar juga mulutnya pakai siomayku.
"Jadi, kenapa mau nerima Pascal, Valenci?" tanya kak Harp yang nggak ikut tertawa. Sepertinya kak Harp tipe cowok yang serius dan jarang ketawa untuk hal-hal yang kurang bagus jika berkaitan dengan kak Pascal.
"Karena ganteng?" tanya kak Harp yang membuatku mengamati kak Pascal.
Jika aku perhatikan baik-baik, kak Pascal memang ganteng.
"Pascal emang ganteng dan tinggi sih. Pinter juga, makanya cewek-cewek kayak cium bau feromon[1] dari seluruh permukaan tubuhnya," celetuk kak Milki.
"Ngawur kamu," sanggah kak Harp.
"Yang kayak gitu nggak mungkin, Mil!Anggapan kalau feromon dapat menarik lawan jenis itu salah tauk! Karena zat feromon hanya dikeluarkan serangga untuk menunjukkan suatu perilaku atau pertumbuhan tertentu. Selain itu, nggak ada bukti ilmiah yang mengatakan kalau manusia bisa saling bertukar feromon. Bahkan, nggak ada yang namanya feromon di antara manusia!" jelas kak Harp panjang-lebar.
Kak Milki menghela napas panjang.
"Udah mirip Pascal aja suka ngoceh Kimia," sahut kak Milki rada BT.
"Itu bukan Kimia, Kak," sanggahku.
"Itu Biologi!" imbuhku yang membuat ketiga cowok itu menoleh kaget ke arahku bersamaan.
"Kenapa?" tanyaku.
"Kamu ternyata pintar juga," puji kak Milki.
"Hah?"
"Pantesan Pascal tartarik ke kamu, ternyata kamu pandai di pelajaran menghafal," ujar Kak Milki menambahkan.
"Eh?"
"Pascal ini meski pandai Kimia dan mapel yang berkaitan dengan hitung-menghitung, dia lemah di mapel yang harus menghafal," jelas kak Harp.
"Iya, bahkan dia selalu tidur di mapel Sejarah," kata Kak Milki menimpali.
"Terus, terus bongkar aja aibku," sindir kak Pascal yang langsung membuat kak Milki dan Harp nyengir kuda.
"Udah, nggak usah dengerin mereka," sergah Kak Pascal.
"Udah mau bel, aku ke kelas duluan ya," pamit kak Pascal lalu berdiri dari duduknya.
"Ayo!" ajaknya pada kak Milki dan Harp.
Kedua cowok itu pun berdiri mengikuti kak Pascal yang sudah berdiri duluan.
"Aku ada binjar nanti, pulang sendiri ya. Punya ongkos buat pulang kan?" tanya kak Pascal.
Aku mengangguk mengiyakan.
"Iya, Kak,"
"Yaudah, bye," katanya lalu mulai jalan ke kelasnya.
Kak Milki dan kak Harp hanya melambaikan tangan padaku lalu mengikuti kak Pascal. Ketiga cowok itu pun pergi meninggalkan aku yang masih duduk dengan siomay yang belum aku makan.
Kruk. Kruk. Kruk.
Ayam-ayam di perutku mulai ngedemo.
"Oke, lebih baik aku makan dulu!" kataku lalu mulai menyantap siomay yang dibelikan kak Pascal barusan.
Tiba-tiba aku tersenyum, ngerasa baper karena inget lagi apa yang kak Pascal katakan tadi.
Mau asas Pauli kek, asas Maxwell atau Doraemon, bodo amat. Yang penting aku jadi satu-satunya. Hehe.
[1]feromon : zat kimia perangsang daya pikat s*****l yang terdapat pada insecta (serangga).