Permasalahan Johan

1136 Words
Ketiga Pria itu tampak sibuk menyantap makanan di ruang tengah apartemen Johan, dengan TV yang menonton mereka. Johan dan Alan duduk di lantai seperti pelayan, sementara Reyhan duduk di atas sofa seperti seorang tuan. "Ck! Iya, aku serius," ulang Reyhan, entah sudah ke berapa kian kalinya. Johan dan Alan tampak saling memandang. "Tapi bagaimana bisa? Kukira itu hanya ada di film-film," balas Johan seraya kembali mengunyah isi mulutnya tenang. "Kau tahu? Gadis itu langsung menarikku begitu saja. Saat kutanya mengapa, katanya ia membaca pikiran pria itu lewat mata, dan bilang ia ingin membawa mobilku kabur lalu menjualnya dengan harga fantastis," jelas Reyhan lagi. "Bisa saja dia berbohong," balas Alan kemudian. "Ck! Kau itu! Kan sudah kukatakan tadi bahwa aku sudah memastikannya!" bentak Reyhan mulai kesal. "Ish! Kau tak mengatakannya, s****n!" balas Alan ikut membentak. "Aku memikirkan sebuah pertanyaan, tapi sebelum kulontarkan, ia sudah lebih dulu menjawabnya. Terbukti, bukan?!" Alan mengangkat wajahnya cepat. "Kau kenapa marah-marah, sih?! Siapa suruh memberi tahu padahal tak ada yang bertanya? Mengurangi nafsu makan-" "Astaga! Kalian bertengkar karena hal sepele begitu? Sudah, diam. Aku harus mengirimkan pesan selamat malam untuk Hale-ku." Johan bangkit berdiri kemudian menghampiri ponselnya yang terselip di saku celananya di balik pintu kamar. "Aku, kan, cuma mengatakan pendapatku, lalu apa salahnya itu? Bisa saja dia berbohong, bukan?" Alan kembali membalas. "Aku bahkan sudah mengatakan perihal itu tadi bahwa aku sudah memastikannya. Kau itu dengar tidak, sih?!" tanya Reyhan semakin ketus saja. "Aku juga sudah bilang tadi, kan? Aku hanya mengatakan pendapatku, tapi kau ... apa perlu memperpanjang-" "s****n! Apa yang dilakukan b******n ini di rumah Hale di jam begini?!" Alan dan Reyhan sontak menoleh ke arah Johan. "b******n siapa?" tanya Alan. "Aku benar-benar menyesal karena tidak membunuh Fito hari itu juga. Coba lihat ini." Johan memperlihatkan sebuah foto yang menampilkan Halsey tampak berdiri di balkon kamarnya seolah mencari-cari seseorang. "Itu Hale, bukan?" Johan mengangguk. "Siapa yang mengirimkannmu?" tanya Reyhan juga. "Ini sudah jelas Fito. Coba baca pesannya." +62xxxxxxxxxxxx Coba lihat Hale-mu. Haruskah aku menampakkan diri lalu memintanya membantuku naik ke balkon kemudian masuk bersamanya ke kamar? Itu pasti menyenangkan. 9.27 PM "Tampaknya dia belum kapok," ujar Alan santai. Reyhan hanya diam menyaksikan, sementar Johan sudah tampak mendekatkan ponsel itu ke kupingnya dengan rahang yang mengatup kuat. "APA YANG KAU LAKUKAN DI RUMAH HALE, b******k?!" "...." Tett! Johan bangkit dari duduknya lalu meraih jaket begitu saja. "Johan?! Kau ingin ke mana?!" teriak Reyhan berusaha mengejar. "Kaupikir aku akan ke mana?" Alan ikut mengejar. "Johan?! Tenanglah! Ayo pergi bersama!" Ketiganya telah melangkah masuk ke lift bersama. Setelah lift berhenti, mereka menghampiri mobil Johan hingga mobil dengan cepat melaju membawa mereka meninggalkan pelataran apartemen. "Halo? Hale? Tutup pintu balkon kamarmu rapat-rapat dan jangan pernah keluar lagi dari sana, mengerti?" Sementara Johan sibuk menelepon Hale-nya, Reyhan duduk di jok depan. Ia bahkan sudah sangat geram untuk membunuh pria banci tukang keroyok itu dulu, tapi ... lihatlah. Manusia semacam itu sebenarnya memang harus dibuat kapok dulu agar tidak sampai semelunjak sekarang. "Bukan, Sayang. Sekarang kau masuk ke kamarmu, ya? Tidur yang nyenyak. Aku mencintaimu." Setelah memutuskan panggilan telepon sepihak, Johan kembali melirik Alan yang kini tengah sibuk menyetir. "Alan? Ayolah, lebih cepat lagi!" "Iya, iya. Ini sudah kuusahakan!" Setelah beberapa lama, mobil Johan berhasil sampai di depan rumah milik keluarga Bamatara. Sontak, ketiganya keluar dari mobil lalu saling mengedarkan pandangan, berusaha menemukan sosok yang telah berhasil memancing mereka datang ke sana. "Coba telepon b******n itu!" teriak Reyhan semakin emosi. Johan mengangguk dengan tangan yang mulai sibuk menjamah layar ponselnya. "Di mana kau, s****n?!" Johan me-loud speaker sambungan teleponnya. "Hale-mu sedang dalam bahaya, tapi kau masih tetap berani mengataiku s****n? Ah, yang ben-" "CEPAT KATAKAN DI MANA KAU SEKARANG?! JANGAN MAIN-MAIN DENGANKU, YA! KAU DENGAR?!" "JANGAN BERTERIAK PADAKU, mengerti?" Johan berusaha meredam emosinya. "Tidak perlu tahu sedang di mana aku sekarang. Yang jelas, aku bisa melihat kalian sedang berdiri, dan Hale-mu yang baru saja memadamkan lampu kamarnya." Dengan geram, Alan merebut ponsel Johan begitu saja. "Tidak perlu sok-sokan seperti seorang psikopat, s****n! Itu membuatmu terlihat sangat kampungan!" Fito terkekeh. "Datanglah minta maaf padaku besok, atau Hale-mu akan benar-benar dalam bahaya." Tett! Johan menggeram kesal seraya kembali berusaha menghubungi nomor ponsel Fito. "s**l! Pria itu memblokir nomor ponselku!" Reyhan menepuk bahu Johan pelan. "Sebaiknya kita pulang saja. Bicarakan masalah ini di apartemenmu nanti," ujarnya tenang. Johan mengangguk lalu mulai mengekori Alan dan Reyhan masuk ke mobil. "Haruskah aku menggunakan orang-orang-ku untuk membuat kapok Fito b******n itu?" Reyhan menoleh. "Apa kau lupa siapa kita bertiga? Sungguh Fito itu bukanlah apa-apa." *** Pagi ini, meja makan itu tampak diramaikan oleh keluarga besar Alejandra. Reyhan duduk di samping Abrisam --Ayahnya, sementara di seberangnya ada Sella --Adiknya, dan di samping Gadis itu ada Lavina --Bundanya. Mereka sibuk menikmati sarapan masing-masing, tanpa lupa juga diselingi beberapa percakapan ringan. "Baik, Ayah. Hari ini, aku mungkin akan ikut olimpiade lagi," balas Sella sembari kembali memasukkan potongan roti ke mulutnya. "Hm. Pertahankan selalu. Ayah akan menambah jajan bulananmu jika kau berhasil meraih juara," ujar Abrisam tersenyum bangga. "Bagaimana denganmu, Rey? Apa kau sudah sedikit mengurangi kebiasaan membolosmu?" tanyanya lagi, sembari berpindah melirik Reyhan. Reyhan menoleh kemudian menggeleng pelan. "Selalu masih." "Rey? Ayah dan Bunda sudah sering bilang agar kau menguranginya, kan? Jangan terlalu menyepelekan, Sayang. Tidak ada yang tahu bagaimana hidupmu di masa depan jika kau terlalu santai dalam mengambil tindakan." Reyhan langsung meneguk segelas s**u di tangannya tatkala Lavina mulai mengoceh. Jika sudah seperti ini, maka ia harus segera berangkat saja agar kupingnya tidak sampai penuh dan panas. "Iya, Bunda. Akan kuusahakan," balasnya kemudian. "Sella? Cepatlah. Kita harus segera berangkat," lanjutnya lagi. Setelah saling bersalaman dengan Abrisam dan Lavina, Reyhan lantas merangkul Sella hingga tiba di sisi mobil. "Kak Rey? Sepulang sekolah nanti, kita pergi nonton bersama, ya? Ada film horror baru yang akan tayang!" ujar Sella bersemangat. Reyhan menoleh sekilas sembari mulai melajukan mobilnya. "Tidak bisa. Kakak ada urusan sore nanti." "Tapi ... eum, iya. Aku akan mengajak Fae saja." Sella menghela napas. "Tidak usah. Kita akan pergi bersama nanti, tapi bukan hari ini," cegah Reyhan cepat. "Aku maunya hari ini saja. Lagi pula bersama Fae, kok. Aku tidak akan pulang terlalu mal-" "Jangan bandel, Gisella. Sekali tidak, tetap tidak." Sella menghela napas. Nada suaranya memang terdengar datar, tapi ... itulah Reyhan. Jika Pria itu sudah sampai menyebut nama panggilannya secara lengkap, maka artinya memang sudah mutlak. Andai saja tidak sedang berangkat ke sekolah, maka ia akan menggunakan s*****a menangisnya saja agar bisa dibiarkan. Beberapa menit berlalu, Reyhan menepikan mobilnya tepat di depan gerbang Sekolah Menengah Pertama unggulan tersebut. Setelah membiarkan Sella mencium punggung tangannya, ia menyaksikan Gadis itu bergegas keluar dari mobil hingga benar-benar lenyap dari pandangan. Tapi, saat baru niat melajukan mobil kembali, sesuatu di seberang sana berhasil menarik perhatiannya. Reyhan terdiam beberapa saat. Berusaha mengingat-ingat tentang Gadis yang merasa pernah ia temui sebelumnya itu. "Kak Rerey?!" ❀❀❀
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD