2. Argata Sanskara

1098 Words
Tidak ada pites-pitesan kepala. Kemarahan beberapa hari lalu yang masih terasa nyata di mata Naya saat masuk ke dalam ruangan atasan barunya itu langsung lenyap seketika. Karena di depan sana, gadis itu menyaksikan siapa sosok pria yang sedang menunduk menatap tablet di tangannya. Menggulir layar itu dengan khusyuk sampai tidak menyadari ada seorang gadis yang sedang terpaku di depan pintu. Pria yang sama dengan yang menabraknya di depan ruangan pak Nara. Ternyata adalah atasan barunya. “Mampus,” gumam Naya sambil menyembunyikan setengah wajahnya dengan map yang dipegang. Jantungnya langsung berdegup kencang tanpa diminta. “Pak, file untuk besok, saya sudah kirim lewat email, ya. Ada yang bisa saya lakukan lagi sebelum siap-siap pulang?” Ainaya memundurkan langkah mendekati ambang pintu saat seorang perempuan masuk begitu saja ke dalam ruangan. Gadis itu mengucapkan syukur karena atas kehadiran perempuan itu, ia bisa melarikan diri. “Kamu boleh pulang, Wi. Nanti kalau ada apa-apa, saya kontak kamu saja,” balas pria yang suaranya masih bisa Naya dengar dari luar. Setelah perempuan yang dipanggil Wi itu ikut keluar, Naya menurunkan map dari wajahnya. “Permisi, Mbak.” Naya memulai dengan sapaan hangat diikuti dengan senyuman lebar. Konon, senyum itu bisa memikat banyak hati pria buta. Itu yang Renata katakan. Tapi, bagaimana mungkin pria buta bisa melihat senyumannya? Renata sialan! “Iya?” Wiwin Dwi Sudesta. Naya melirik kartu pegawai yang tergantung di leher perempuan itu. Ditelitinya Naya dari atas rambut hingga kaki. “Saya Ainaya, Mbak.” Gadis itu tersenyum canggung. Lalu wajah kaget Wiwin mulai terlihat. Tidak lupa dengan jentikan jari juga. Mengucapkan kata ah dengan panjang. “Anak baru yang dimutasi ke sini, ya?” Naya mengangguk senang. “Kenapa enggak simpen ke ruangan Pak Arga aja sendiri? Mumpung Beliau masih ada di ruangannya.” “Sama Mbak aja, deh saya titipnya. Ada hal lain lagi yang harus saya kerjakan habis ini, soalnya.” Naya berkelit. Saya masih belum siap ketemu wajah Pak Agra, Pak Gara, Pak Siapalah Itu Barusan. Naya membatin. Hal yang paling melegakan bagi gadis itu adalah Wiwin yang langsung menerima mapnya tanpa banyak tanya lagi. Naya segera pamit dari sana untuk menuju gedung sebelah, tempatnya semula. Ia baru bisa pindah ke divisi ini besok pagi. Masih ada hal yang harus ia selesaikan di sana. Sepatu haknya terdengar nyaring, dan terus seperti itu saat Naya mulai berlari. “Mampus, ini bakal kena omel. Segala lupa, hari ini ada briefing buat TV Lima, lagi.” Naya menepuk dahinya kencang. Dengan langkah panjang, gadis itu segera menuruni tangga dengan tidak memedulikan pijakannya. Kaki terkilir yang belum sembuh sepenuhnya itu tidak dihiraukan hanya karena omelan Bu Bella lebih ngeri dari kaki pincang. Sampai di ruangan briefing, semuanya sudah tidak ada. Hanya ada seorang gadis yang menunduk dalam di sana sendirian. Naya berjalan dengan napas terengah untuk menghampiri gadis itu. “Manda,” panggilnya. “Sorry banget gue telat.” “Kak,” ujar Manda setelah mendongkakkan kepala. Gadis itu terlihat sedih. “Semuanya udah beres?” Manda mengangguk. “Mereka tadi bawa-bawa nama Kakak. Bilang kalo Kakak enggak becus kerja, mentang-mentang mau pindah divisi.” Ainaya mengepalkan kedua tangannya menahan kesal. Sabar, sabar, orang sabar sebentar lagi dapet promosi. Naya berusaha menenangkan perasaannya sendiri. “Kita makan aja di kantin, gimana?” Manda yang mendengar pertanyaan santai yang keluar dari bibir kakak seniornya itu jelas kaget. “Kita enggak akan susul yang lain, Kak?” Ainaya menggeleng. “Ngapain? Mending makan aja udah. Ayo, cepet. Katanya, di kantin ada menu baru loh.” Alisnya naik turun menatap Manda dengan penuh godaan. Mau tidak mau, anak manis yang masih belum genap tiga bulan bekerja di perusahaan ini pun mengangguk. Mengikuti ajakan Naya untuk tidak mendengarkan suara hatinya yang merasa tidak tenang setelah melakukan kelalaian saat briefing tadi. *** Bekerja di sebuah stasiun televisi ternama, tidak membuat kehidupannya makmur sentosa. Bagaimana bisa sejahtera, jika setiap bulan gajinya akan terkena potongan. Bukan dipotong oleh perusahaan, melainkan oleh keluarganya sendiri. Tidak tanggung-tanggung, ia hanya diizinkan untuk memegang setengah gajinya saja. Belum biaya cicilan, keperluan kantor dan lainnya. Biaya-biaya kecil seperti itu jangan disepelekan. Bulan ini saja ia harus membayar cicilan sekolah keponakannya. Belum lagi sepatunya sudah sobek dan hanya bisa ditambal karena belum bisa membeli yang baru. Ia masih harus menghitung pengeluaran bulan ini untuk hal-hal tidak terduga lainnya. Belum lagi- “Woi, ngelamun aja lo. Lagi mikirin apa, sih?” “Beban hidup, Re,” gumam Naya. Renata yang datang dengan satu botol minuman di tangan, duduk di hadapan Ainaya. Memandangi sobat karibnya itu dengan memangku dagu. “Nay, mingkem itu mulut. Udah, sih enggak usaha terlalu dipikirin. Kita keluar malem ini, gimana?” Alisnya naik turun menunggu jawaban Naya. Ada lirikan nakal yang diberikan mata Renata. Ia sudah sangat semangat. “Enggak, deh. Lain kali aja,” jawabnya membuat Rena memberengutkan wajah. “Enggak seru, ah elo.” “Masih ada hal yang harus gue urus, Re. Entar aja deh, ya kalo udah beres.” Naya tersenyum sembari mengedipkan satu matanya. Setelah itu, Naya pergi begitu saja untuk menuju ruangannya kembali. Meninggalkan Renata yang sudah siap pulang dengan tas di bahunya. “Mau bareng, enggak?” “Enggak usah. Elo duluan aja. Gue masih lama,” balas Naya. Renata hanya bisa mengangguk saja dan segera pergi dari sana. Waktu sudah menunjukkan pukul delapan, namun gadis itu sepertinya tidak merasa terganggu meski kebanyakan lampu sudah dimatikan oleh petugas keamanan. Hanya Ainaya yang masih ada di ruangan dengan beberapa meja di dalamnya. Cahaya dari komputernya yang masih menyala, adalah satu-satunya pencahayaan di sana. “Ini tinggal gue print, terus kasih ke Manda. Besok gue mulai berbenah. Bye, meja cakep. Gue bakal tinggalin lo mulai besok. Jangan kangen gue masukin plastik sampah, ya. Tenang aja, Rena yang bakal gantiin tugas gue yang satu itu.” Naya mengikik geli seorang diri. Gadis itu meregangkan kedua lengannya, serta menggerakkan kepalanya ke kiri dan kanan sehingga menimbulkan bunyi patahan tulang yang sangat melegakan. Sesudah mematikan komputer, Naya memasukkan flashdisk ke dalam tasnya. Bersiap untuk segera pulang ke rumah. Naya berjalan melewati sepanjang lorong sambil bernyanyi kecil. Saat ada sebuah cahaya yang menyorot ke dekatnya, gadis itu bersembunyi di antara tiang pembatas. Suara langkah sepatu itu semakin nyata mendekat. Lalu, sekonyong-konyong, Ainaya tertawa melengking. Membuat teriakan dari seorang petugas yang sedang berjaga terdengar menyenangkan. “Pak Uca kenapa selalu percaya kalo ada hantu di sini, ya. Padahal gue udah pernah ketahuan. Besok gue beliin kopi ah, takut kualat. Anggap aja ini ucapan perpisahan, ya Pak. Besok-besok udah enggak bisa jahilin Bapak lagi, soalnya.” Naya tertawa terbahak-bahak setelah suara langkah Pak Uca yang berlari mulai meninggalkannya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD