Part 1- Sebelum Albian Pergi

1189 Words
“Sani.” Suara lembut dan yang selalu Sani rindukan itu terdengar. Gadis berambut cokelat gelap itu menoleh ke sumber suara dan senyumnya langsung mengembang ketika melihat pria berambut hitam pekat melambaikan tangan padanya sembari berjalan mendekat. “Bi. Baru sampe?” tanya Sani sembari menggamit lengan pria itu. Ia memang sudah terbiasa seperti ini dengan kekasihnya. Bagi Sani, Albian adalah satu-satunya orang yang ia miliki setelah kedua orangtuanya tiada. “Iya nih. Kamu udah sarapan?” tanya Albian yang tidak merasa keberatan sama sekali jika Sani menggamit lengannya, meski tatapan orang-orang seakan memperhatikan mereka. Sani menggeleng. “Sengaja nunggu kamu. Kita beli soto mie yuk. Udah buka kok kantin,” ucapnya sembari menarik lengan Albian agar mengikutinya ke kantin. Ia sebenarnya hanya berusaha menghilangkan rasa khawatirnya soal Albian yang akan segera pergi ke Singapore untuk program pertukaran mahasiswa, dan itu artinya ia akan sendirian di sini. Begitu sampai di kantin, Sani langsung memesankan dua mangkuk soto mie. Khusus untuk Albian tidak pakai tomat, karena pria itu tidak suka ada potongan tomat di dalam makanannya. Katanya rasanya jadi aneh. Ia juga memesan dua teh manis hangat sebagai pelengkap sarapan paginya. “Kamu udah lihat papan madding?” tanya Sani sembari meletakkan satu mangkuk soto mie milik Albian di depan pria itu. Lalu ia duduk di depan Albian. Tangannya terulur mengambil mangkuk sambal dan memasukkan beberapa sendok sambal ke soto miliknya juga sedikit kecap. “Jangan pedes-pedes, San. Masih pagi loh,” tegur Albian yang tahu bagaimana fanatiknya Sani terhadap makanan-makanan pedas. Bahkan gadis itu kuat menghabiskan sepiring mie Samyang tanpa minum. Sani mengerucutkan bibirnya, padahal menurutnya pedasnya masih kurang dan ia akan menambah dua sendok lagi. Tapi tatapan tajam Albian membuatnya mengurungkan niatnya. “Iya deh. Eh kok kamu jadi mengalihkan pembicaraan.” Ia memicingkan matanya, menatap Albian penuh kecurigaan. “Jangan mengalihkan topik pembicaraan kita, Bi.” Ia mengangkat satu tangannya sebagai peringatan. Albian mendengus kasar. Ia kemudian menambah perasan jeruk nipis ke mangkuk sotonya dan mengaduknya. Membiarkan Sani menunggu jawaban darinya. “Aku udah lihat kok. Kan maddingnya deket parkiran mobil, jadi pasti aku ngelihat dulu, Sani,” ucapnya dengan suara berat. “Terus? Kamu nggak mau ngomong apa-apa gitu sama aku?” tanya Sani lagi. Kali ini ia mulai menyuap sarapan paginya. Sepertinya ia butuh tenaga banyak untuk pria yang kurang peka seperti Albian ini. Untung saja stok kesabarannya masih banyak. “Emhh. Aku harus ngomong apa? Kan kamu juga udah tahu.” Albian benar-benar tidak peka dengan kecemasan yang melanda Sani dari kemarin. Apa dia tidak tahu jika para gadis takut dengan hubungan jarak jauh? Membayangkan jarak yang terbentang jauh memisahkan mereka berdua selama satu tahun ke depan. Membayangkan bagaimana Albian yang mirip dengan actor korea dengan mata yang agak sipit serta kulit putih dan hidung mancung itu, pasti akan banyak gadis yang mencoba mendekatinya di sana. Apa Albian akan langsung melupakannya? Sani berdecak sebal. “Kamu nggak masalah ya jauh-jauh dari aku?” tanyanya to the point. Kali ini ia menatap kekasihnya dengan kecewa. Albian mengulum senyum. “Kenapa mikirnya begitu?” “Abisnya kamu kelihatan biasa aja. Padahal kita sebentar lagi akan LDR. Nggak sampai dua minggu lagi kamu bakal berangkat ke Singapore. Di sini aja banyak cewek godain kamu, apalagi di sana.” Sani melipat kedua tangannya di depan d**a. “Kok mikirnya begitu? Aku pergi kan untuk belajar, bukan untuk nyari pacar. Kan aku sudah punya pacar di sini.” Albian mengusap lengan Sani agar gadis itu merasa sedikit lega. “Kamu percaya kan sama aku?” Sani mencebikkan bibirnya. “Percaya sih.” “Besok kita ke Bandung ya,” ucap Albian lagi yang kali ini membuat rahang Sani seakan jatuh. “Kenapa tiba-tiba?” tanya Sani yang terlihat gugup. Ia memang sering pergi jalan-jalan dengan Albian tapi biasanya akan direncanakan oleh mereka dulu. Tidak dadakan seperti ini. “Loh, kan kamu sendiri yang bilang kita akan segera LDR. Jadi aku mau menghabiskan banyak waktu bersama kamu dong. Memangnya kamu nggak mau?” “Mau kok,” jawab Sani dengan cepat. “Mau banget. Nanti aku ijin sama café tempat aku kerja.” Ia baru ingat jika setiap weekend ia bekerja full di sebuah coffe shop. Tapi untunglah ia jarang meminta ijin jadi jika meminta ijin nantinya pasti akan diijinkan. Toh ia hanya pekerja freelance. Albian tersenyum tipis. “Udah yuk. Udah mau jam Sembilan nih.” Ia melirik arloji yang melingkar di pergelangan tangannya. Mereka memang punya jadwal yang sama di kampus ini. Dan sekarang mereka sama-sama sudah semester lima alias sudah tahun ketiga. Hampir menyelesaikan kuliah mereka. “Iya, yuk ke kelas. Aku jadi semangat.” Sani mengangkat tangannya dengan senang. Ia memang mulai berkencan dengan Albian sejak semester awal. Tepatnya saat mereka satu kelompok dalam OSPEK. Sejak saat itu mereka jadi dekat sampai akhirnya Albian mengajaknya pacaran. Sani yang merasa seperti gadis biasa saja itu tentu sangat senang dan terharu karena Albian malah mencintainya. Padahal banyak sekali mahasiswi seangkatan bahkan senior yang mencoba mendekati Albian tapi pria itu tidak peka sama sekali. Begitu sampai di kelas yang masih belum terlalu ramai, Sani memilih duduk di bagian tengah dan menghampiri Areta yang juga memiliki jadwal yang sama dengannya. Setidaknya dua semester ke depan ia masih punya teman meski Albian akan menghabiskan dua semesternya di Singapore. Ya, mereka memang baru masuk kelas pertama di semester lima. Dan Albian mungkin hanya sampai minggu ke dua saja di sini, mengingat jika banyaknya persiapan yang harus pria itu lakukan menjelang keberangkatannya. “Cie elahhh. Yang mau LDR-an. Nempel terosss,” gurau Areta begitu Sani duduk di sampingnya dan meletakkan tasnya di meja sementara Albian memilih duduk di depan, tentu saja karena pria itu yang super rajin dan cerdas. Meski Sani juga cerdas, tapi ia tipe mahasiswi yang santai dan tidak mau terlalu mencolok di depan dosen atau pun mahasiswa lain. Yang penting beasiswanya setiap semester lancar sentosa dan ia tidak perlu memikirkan biaya kuliahnya. “Apaan sih lo, Ta. Nggak tahu gue galau apa.” Areta tersenyum geli. “Tenang aja, San. Bentar lagi Pak Santoso bakal digantiin sama anaknya loh,” bisiknya kali ini. “Terus kenapa?” tanya Sani yang tidak terlalu peduli. Ia memang tahu jika dosennya yang sudah berumur enam puluh tahun itu akan segera pensiun. Itu artinya ia tidak akan melihat kepala setengah botaknya lagi maupun suaranya yang tergolong pelan untuk seorang dosen. Mungkin karena sudah tua ya. “Katanya anaknya ganteng. Tapi duda. Kan lumayan, San. Jadi bisa cuci mata. Seenggaknya di mata kuliah Akuntansi Manajemen ini gue nggak bakal ngantuk lagi.” Kekeh Areta dengan bersemangat. Sani memutar bola matanya dengan malas. Ia tidak peduli mau dosen muda atau dosen tua sekalipun. Baginya sama saja dan tentu ada plus minusnya. Biasanya kalo dosen sudah berumur kan lebih teliti dan berpengalaman meski tugas terkadang jauh lebih sulit, kalo dosen muda biasanya suka agak baperan dan selalu ingin segalanya perfect. Kadang nilai pun lebih sulit jika dengan dosen muda. “Terus mau lo gaet gitu?” “Why not, Sani?” Areta mengedikkan bahunya. “Cuma buat digodain mah nggak apa-apa kali. Lagian gue doyannya yang masih perjaka tin-ting.” Ia mengedipkan sebelah matanya. “Dasar!”
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD