Bab. 1. Kanaya Danamik.

1690 Words
Selamat membaca. *** Lalu, bolehkah aku jantih cinta sekali lagi, kepadamu? ***             Kanaya menjadi salah satu peserta yang akan interview pekejaan di perusahaan yang baru saja merayakan pembukaannya beberapa minggu lalu, perempuan dengan tatanan rambut yang ia biarkan terurai di bahu itu tiba-tiba diam di depan pintu masuk kantor.             Kakinya tertahan saat melihat seorang kakek-kakek bisa msauk ke dalam area perkantoran ini, bukankah di depan tadi ada security, kenapa security itu tidak melihat dan membawa kakek-kakek itu menjauh dari tempatnya, sama seperti perusahaan-perusahaan yang Kanaya lihat di telivisi.             “Biar saya aja yang bantu dia, Pak,” kata Kanaya mengambil alih tangan Kakek-kakek itu dari seseorang yang berpakaian seperti OB.             Kanaya akhirnya membantu Kakek-kakek itu menuju depan gerbang perusahaan yang menjadi tempat interviewnya, ia juga melihat seorang security hormat kepada orang yang ada di dalam sebuah mobil berkilat berwarna hitam yang melewati tubuh Kanaya dan Kakek itu yang sudah berdiri di pinggir jalan, agar mobil hitam itu bisa masuk ke dalam area kantor.             Setelah mengantar Kakek-kakek itu hingga depan kantor, Kanaya memberikan uang, guna Kakek itu bisa membeli makan.             “Terima kasih Cu, semoga hidup cucu diberkahi dan selalu bahagia,” kata Kakek yang sudah berumur itu.             Kanaya mengangguk dan kembali menuju lobi kantor itu, menunggu dirinya untuk interview.             Keral memasukan ponselnya yang menampilkan pesan dari pacarnya kembali ke kantongnya, Nayla nama pacarnya, seorang perempuan manja yang sudah Keral pacari sejak ia berusia dua puluh tiga tahun itu kembali merengek untuk bertemu dengan Keral, padahal hari ini hari snein, hari di mana Keral merasa pekerjaannya setara dengan banyaknya ia bernapas.             “Belikan nona Nayla bunga mawar, dan kirim ke alamat apertemannya jangan lupa berikan namaku di sana, Vido,” katanya kepada seorang yang sudah menjadi tangan kananya selama setahun belakangan ini.             Sebagai perempuan yang manja, membuat Nayla selalu merepotkan Keral, tapi selama ini Keral sama sekali tidak merasa direpotkan, walau pun kata teman-temannya perlakuan Nayla sama seperti anak kecil, benar, memang benar, Nayla begitu manja, tapi hanya Nayla yang mengerti dirinya, mengerti Keral setelah orangtua juga saudara kandungnya, Nayla pun tak memandang Keral dari hartanya mau laki-laki itu miskin atau kaya, Nayla benar-benar perempuan yang tulus mencintai Keral apa adanya.             Perjalanan Keral menuju ruangannya kini berubah, membuat Vido menatapnya aneh, Keral berjalan ke ruangan HRD, ada apa ini?             Saat membuka pintu ruangan HRD, Keral bisa melihat stafnya itu baru saja menginterview seorang perempuan guna mengisi sebuah posisi yang kosong di perusahaannya.             Setelah perempuan itu keluar dari ruangan HRD, Keral duduk di bangku perempuan tadi, “Sisa berapa yang belum diinterview?” katanya yang membuat Raisa, staf HRD itu menaikan alisnya, merasa aneh dengan pertanyaan atasannya itu, terlebih saat dia melihat atsanya itu sampai ke ruangannya.             “Tiga, Pak,” tapi sepenuhnya saat Raisa memikirkan kenapa atasannya itu sampai ke ruangannya, ia tetap menjawab, membuat Keral kembali bersuara yang membuat Raisa merasakan hal yang aneh.             “Biar, saya yang interview sisanya, ini kan surat lamarannya?” tanya Keral yang sudah memegang beberapa berkas di hadapan Raisa yang tak bisa membuat Raisa tak menggeleng.             Setelahnya, Vido memberikan informasi kepada tiga orang yang tengah menunggu interview di depan ruangan HRD untuk segera ke lantai lima, di mana ruangan atsanya berada.             Flasback on.             “Mamah, enggak apa-apa, Mah?” suara perempuan dengan rambut terurai panjang itu menatap sang Ibu yang di keningnya baru saja diplaster, terlihat sekali wajahnya amat ketakutan, tangan lembut itu memegang telapak tangan sang Ibu.             “Enggak apa-apa, Kak, Kakak ke sini ngapain? Ibu kan cuman lecet biasa,” jawab sang Ibu yang membuat sang anak mengerucutkan bibirnya.             Tidak apa-apa kata sang Ibu? Ya sebenarnya memang luka yang dialami sang Ibu tidak besar, hanya luka yang ada di kening karena membentur aspal.             Keral selaku dari Kakak yang menyebabkan Ibu itu sampai dilarikan ke rumah sakit ini dikarenakan terjadinya insiden kecelakaan itu pun mulai mendekati sang Ibu, mengucapkan permintaan ma’af yang paling dalam atas nama adiknya serta dirinya sendiri.             Keral tahu, kesalahan yang adiknya perbuat cukup membuat ornag takut, menabrak, adalah hal yang cukup mengerikan.             “Enggak apa-apa Nak, Ibu enggak apa-apa kok,” jawab sang Ibu dengan senyum yang memberikan ketenangan bagi Keral. “Yaudah Nak, Ibu pulang dulu, sudah ada Kanaya anak Ibu yang jemput, kamu sama adikmu hati-hati ya,” katanya mengingatkan lagi.             Keral cukup kagum dengan Ibu ini, bagaimana bisa seorang korban kecelakaan, masih saja sopan, santun dan lembut begini keapda sang tersangka penabrak, luar biasa bukan?             “Saya antar, Bu,” tawar Keral dengan sedikit paksaan, walau Keral sudah membiaya pengobatan korban dari adiknya itu, tak mungkin Keral melepaskan korban juga anak perempuannya, walau pun katanya sudah dijemput.             “Aku bawa mobil kok,” sela Kanaya, sang anak, yang semakin membuat Keral tak bisa berkutik, dan merelakan dua Ibu dan anak itu meninggalkannya dan Kassandra.             Flash back off.             Kejadian hampir enam tahun itu kembali berputar di kepala Keral, membuat ruangan yang dingin itu terasa gerah karena terbakarnya kenangan yang buruk itu.             Pintu ruangan Keral terketuk, Kanaya menjadi peserta interview terakhir dengan Keral hari ini, awlanya Keral menahan napasnya saat Kanaya masuk dalam ruangannya,takut-takut perempuan itu langsung menyapanya sebagai ‘Keral’ yang sudah pernah ia temui beberapa tahun lalu. Tapi, nyatanya tidak, Kanaya malah menyapanya sebagai calon atasannya, membuat Keral menarik napas, apakah Kanaya sudah lupa dengannya?             “Kenapa anda melamar pekerjaan di sini? Apa yang akan kamu berikan bila perusahaan ini menerima lamaran kamu?”             Sebelum menjawab pertanyaan dari calon atasannya, Kanaya tersenyum terlebih dulu, membuat Keral baru menyadari ada gigi gingsul di mulut sebelah kanan perempuan itu, membuat senyumnya semakin manis, ya ampun Kanaya, kenapa kamu membuat Keral jadi pening begini?             “Ya salah satu alasan saya melamar pekerjaan di sini karena lowongannya kebetulan dengan hal saya kuasai, perusahaan ini juga saya dengar-dengar perusahaan yang baru berkembang, sebagai orang yang baru lulus, saya ingin mendidikasikan kemampuan yang tidak seberapa ini di perusahaan ini, membantu perusahaan ini agar bisa lebih berkembang, saya ingin maju bersama perusahaan ini,” jawab Kayana dengan tegas, tak ada sedikit keraguan di wajah juga dinada bicara Kanaya saat menjawab pertanyaan Keral.             Keral sungguh tidak peduli bagaimana pun jawaban dari Kanaya, Keral sendiri pun yakin bahwa Kanaya bisa menerima tugasnya, nantinya, secara Kanaya berasal dari bangku perkuliahan yang sejurusan dengan posisi yang kosong ini di perusahaanya, tapi bukan itu titik dari permasalahannya kali ini.             Keral sungguh tak menyangka akan menemukan Kanaya di sini, di kantornya, melamar sebagai bawahannya, Keral pikir ia benar-benar berpisah dan takkan bertemun lagi serta tak ada urusan dengan perempuan itu lagi dilain kesempatan, ia takkan pernah bertemu lagi, bahkan Keral pun berpikir ia takkan bertemu Kanaya lagi, walau hanya di perempatan jalan.             Tapi, takdir memang tidak ada yang tahu, setelah enam tahun, detik ini ternyata Kanaya ada di sini, ada di hadapan Keral, dengan senyumnya yang masih sama.             “Kanaya?”             “Iya Pak?” jawab Kanaya langsung.             “Kamu masih kenal saya?” pertanyaan itu meluncur dengan bebas dari mulut Keral, Keral bukan laki-laki yang mau menunggu kesempatan ke dua, karena Keral percaya, kalo Tuhan sudah memberikannya kesempatan berarti Tuhan sudah percaya dengan kamu, maka jangan pernah sia-siakan kesempatan itu, lakukan lah kesempatan itu dengan sebaik mungkin.             “Apakah sesi wawancara ini sudah selesai? Saya pikir pertanyaan anda diluar dari pertanyaan interview yang biasanya?” pertanyaan Kanaya mendapatkan anggukan dari Keral, laki-laki itu pun menutup berkas lamaran Kanaya, lalu menatap Kanaya lekat-lekat, sambil membuka kancing lengan kemejanya, ruangan yang ber-AC ini kenapa mendadak panas sekali?             “Kamu kenal saya?” ulang Keral sekali lagi, saat Kanaya masih tak menanggapi anggukan Keral tadi.             Kanaya menggeleng, jawaban yang membuat Keral merasakan hal yang aneh, ekspetasinya hancur, Keral pikir, Kanaya masih mengingatnya, Keral pikir Kanaya masih mengingat kakak dari seorang perempuan yang pernah menabarak Ibunya.             “Saya Keral Saradeo,” katanya menjelaskan, membuat Kanaya mengangguk, sambil membulatkan mulutnya. “Kalau begitu kamu silahkan ke luar,” katanya sudah mulai frustasi.             Kanaya berdiri, rambutnya juga ikut bergerak karena pergerakannya tadi, ia menjulurkan tangannya, yang disambut hangat oleh Keral dikira untuk bersaliman, tapi tidak Kanaya malah menarik tangan Keral, mencoba membantu laki-laki itu membuka kancing lengan kemejanya.             “Kalau enggak bisa ngebuka tuh, bilang Keral,” ledek Kanaya dengan senyum jailnya, perempuan itu membantu Keral membuka kacing tangan kemejanya yang sedari tadi ingin Keral buka tapi tida bisa terbuka, “susah ya?” tanyanya lagi.             “Kamu, tidak sopan sekali, manggil saya tanpa embel-embel ‘Pak’,” sindir Keral sambil melepaskan tangannya dari tangan Kanaya, padahal perempuan itu berniat membantunya, tidak lebih kok.             Kanaya jadi salah tinggkah sendiri, Keral kan tadi mengajaknya mengingat siapa Keral, tapi kenapa sewaktu Kanaya membalas gurawan itu Keral jadi soweet begini? Alamak terancam sudah CV Kanaya kalo begini ceritanya, salah-salah dia tidak diterima di perusahaan ini.             Keral akhirnya berdiri berhadapan dengan Kanaya, laki-lakiu itu sudah berjalan memutar mejanya, mendekatkan dirinya kepada Kanaya.             “Maaf Pak, saya pikir Bapak mengajak saya untuk bergurau tadi,” jelasnya sambil menunduk, tapi kepala tertunduk itu tak lama, wajah putih Kanaya disentuh oleh jemari tangan Keral, dengan dua jari – jempol dan telunjuknya Keral mampu mengangkat wajah Kanaya yang tertunduk.             “Kamu, apa kabar?” katanya pelan.             Kanaya kembali mendengus, ternyata Keral begtitu jail.             “Ini juga saya rasa tidak ada dipertanyaan interview tadi, saya tidak mau jawab, takut salah lagi,” jawab Kanaya sambil tersenyum, membuat kini Keral yang mendengus dan menggeleng.             Perempuan ini sangat mengemaskan, membuat tangan Keral tak sengaja terangkat, menyodorkan tangannya yang kacing bajunya masih tidak bisa dibuka.             “Aku baik, kamu sendiri bagaimana?” akhirnya Kanaya menjawab dengan kalimat lebih santai sambil terus mencoba membuka kancing lengan kemeja Keral.             Keral pakai kemeja yang harganya berapa sih, kenapa kancingnya susah sekali untuk dibuka?             Satu tangan Keral yang bebas tiba-tiba merangkul pinggang Kanaya, menarik perempuan itu dalam degapannya, lalu berbisik lembut, “Aku juga baik, Kanaya Danamik,” lirihnya pelan tepat di telinga Kanaya.             Tuhan, kalau sudah begini, Kanaya mesti apa? Pesona Keral tidak bisa didustakan lagi, tapi kalau terus berada di dalam pelukan Keral, jantung Kanaya bisa saja lepas dari tempatnya, Kanaya tidak mau mati muda.             “Aku cukup merindukan kamu Kanaya, terima kasih sudah hadir kembali,” sambungan kalimat yang diucapkan Keral mampu membuat Kanaya kelimpungan untuk membalasnya.             Sekali lagi, apa boleh Keral jatuh cinta? ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD