BAB 2

1508 Words
Kening Delina mengerut, kedua matanya bergerak gelisah ketika merasakan sinar matahari yang mengganggu tidurnya. Dengan perlahan kedua kelopak mata nya terbuka. Delina terdiam, ia mengedarkan pandangannya untuk mengetahui keberadaannya. "Kau sudah sadar." Delina terhenyak, seseorang di sini bersamanya.  Delina menatap ke arah ujung tempat tidurnya, seorang pria berdiri di sana dengan senyum hangat di wajahnya. Delina tak mengenalinya, tetapi jas dan kemeja yang dipakainya membuanya berpikir pria itu adalah seorang dokter. Delina kembali mengedarkan pandangannya. Banyak sekali alat-alat rumah sakit, baju rumah sakit yang melekat di tubuhnya. Tiba-tiba ia berubah panik. Ini tidak benar, ini tidak seharusnya terjadi. Mati dan lenyap dari dunia ini adalah keinginannya. Bukan hidup seperti yang saat ini di alaminya. Mendadak Delina panik seketika, ia bangkit terduduk dengan cepat tangannya melepas selang infus dengan paksa yang berada di tangannya, hingga menyebabkan darah keluar dari tangannya. Kakinya meluncur cepat menuruni tempat tidur. "Apa yang kau lakukan! berhenti."Pria berjas dokter itu langsung menahan nya dengan berdiri tepat di samping ranjangnya untuk menghalangi wanita itu untuk turun dari ranjang tempat tidurnya. Delina tidak menggubris larangan pria itu, ia harus pergi dari sini. Secepatnya. Delina memberontak, ia mendorong pria itu dan bergegas turun. BUK> Delina terjatuh ketika kakinya yang terasa begitu kaku untuk menopang tubuhnya sendiri. Efek dari koma yang di alaminya selama 5 hari dan membuat persendian kakinya terasa kaku. "Kau masih dalam kondisi lemah, beristirahatlah."pria itu berjongkok di hadapan Delina yang menundukan wajahnya. kedua tangannya terkepal erat, tubuhnya bergetar. "Jangan sentuh aku."ucapnya ketika pria itu ingin mengangkat tubuhnya. Pria itu terhenyak, bibirnya tersenyum mendengar Delina mengatakan sesuatu. "Aku ingin membantumu berdiri. Jangan takut. Aku tidak akan melukaimu." "AKU BILANG JANGAN SENTUH AKU."Teriak Delina seraya menatap pria itu dengan tajam. Wajahnya memerah, kedua matanya berair seolah ingin menangis. Senyum di wajah pria itu menghilang, ia menatap Delina yang kini masih menatapnya dengan marah. Lalu kedua tangannya beralih mengangkat Delina paksa. Menggendongnya, tanpa memperdulikan rontaan  dan pukulan yang wanita itu lakukan padanya. "Lepaskan aku k*****t, pria sialan.. jauhkan tanganmu dariku."ucap Delina histeris. Pria itu menghempaskan tubuh Delina di atas tempat tidur. Kedua tangannya meraih kedua tangan Delina dan mencengkramnya, agar menghentikan pukulan tangan wanita itu padanya. Matanya menatap lekat wanita di hadapannya. Tatapan tajam dan terkesan tegas itu dapat membuat Delina sedikit tenang dengan perlahan-lahan ia menghentikan rontaannya. "Teo. Namaku Teo. Kau tidak perlu takut denganku. Aku tidak akan menyakitimu."Delina menggigit bibirnya bawahnya. Ia menghentak tangannya kencang hingga membuat cengkraman tangan Teo terlepas. Delina kembali berbaring memunggungi Teo, menarik selimut hingga sebatas bahu. Meneggelamkan tubuhnya dan menghindari pria itu. Tubuhnya bergetar, dengan isakan kecil mulai lolos dari bibirnya. Delina mulai terisak, ia nampak ketakutan. Teo hanya bisa terdiam, membiarkan wanita itu sendirian. Ia mungkin butuh waktu lebih untuk menenangkan dirinya. *** Teo baru saja selesai memeriksa pasien nya. Setelahnya ia memberikan laporannya ke bagian recepsionist. Beberapa hari ini pikirannya tak bisa fokus, seorang pasien sukses menyita perhatiannya. Ia tak bisa mengalihkan pikiannya ke hal lain, wanita itu selalu saja masuk ke dalam pikirannya. Wanita di kamar 405 yang akhir-akhir ini membuatnya kerepotan. Delina. Wanita itu mengalami depresi berat dan membuatnya kerap kali mencoba untuk mengakhiri hidupnya sendiri. Seseorang tidak bisa meninggalkannya sendirian dalam waktu yang begitu lama. Ia selalu bisa mencoba untuk menemukan cara dalam menghabisi nyawanya sendiri. Teo masuk ke dalam ruangannya, ia mendudukan dirinya di sofa lalu membaringkan tubuhnya di sana. sebelah tangannya menutup sebagian wajahnya. Haruskah ia beristirahat sebentar saja. Teo selalu memikirkan wanita itu, ia terlalu penasaran ada apa dengan wanita itu sebenarnya. Tok..... Tokk..... Tok.. "Masuk."Teo menurunkan kedua kakinya dengan cepat. Pintu ruangannya terbuka, seorang suster wanita terlihat begitu panik. wajahnya kelihatan begitu cemas. Hal itu membuat Teo mengerutkan keningnya bingung, sesuatu yang buruk pasti terjadi dan entah kenapa pikirannya langsung tertuju kepada wanita itu. "Apa dia mencoba untuk bunuh diri lagi?." Suster itu menganggukan kepalanya dengan cepat, dan seketika Teo bangkit berdiri dan berlari menuju kamar 405 untuk menemuinya dan menghentikan apa yang di lakukannya. Ketika Teo sampai di sana ia langsung menemukan Delina tengah memegang sebuah pisau dan mengarahkannya di lehernya sendiri. Ada 3 suster wanita dan 2 suster pria yang berada di hadapannya. seorang suster pria mencoba untuk mendekatinya, namun Delina langsung menjauh. "Delina, aku mohon turun kan pisau itu sekarang juga."Seru Teo, ia menatap Delina mencoba untuk mayakinkannya sebagai teman yang peduli padanya. Tatapan kosong Delina membuatnya takut wanita itu akan bertindak terlalu jauh. "Tidak baik membunuh dirimu sendiri. Jangan melakukan hal ini. Delina."Ucap Teo, ia berjalan mendekati Delina dengan perlahan. Para suster nampak panik, mereka juga takut jika Delina melakukan hal yang buruk pada dirinya. "Jangan Delina, turunkan pisau itu sekarang."ucap salah seorang suster mencoba untuk ikut menenangkan Delina. "JANGANNN MENDEKAAATTTT."Ucap Delina ketika Teo hampir saja mendekatinya, ia menodongkan pisau itu ke arah Teo. Delina berteriak histeris, beberapa kali pisau itu disodorkan ke arah suster-suster yang mencoba untuk mendekat ke arahnya. "Kalau begitu buang pisau itu, aku janji tidak akan mendekat." "Bunuh diri bukanlah hal yang baik, letakan pisau itu sekarang juga Delina. Percayalah padaku. Bukan begini caranya untuk mengakhiri penderitaan yang kau alami. Kau tidak akan bahagia meski kau mati. Mereka tidak akan pernah menyesal dan peduli padamu. Jauhkan pisau itu sekarang juga." Delina menatap Teo nanar, air matanya semakin deras membasahi wajahnya. Ia semakin kalut dalam kesedihan dan Delina merasa ia menatap nanar Teo yang kini berdiri di hadapannya. Wajah Delina di penuhi dengan air mata, Teo meras "Kau pikir siapa kau, aku mau mengakhiri diriku sendiri ini bukan urusanmu." "Aku bilang jangan mendekaaaaatt."teriak Delina lagi ketika Teo kembali berjalan mendekatinya. "letakan pisau itu."seru Teo memerintah. "Bukan urusanmu."Jawab Delina memberikan tatapan tajam pada Teo. "Kalau begitu aku akan mendekat, bagimana bisa aku membiarkanmu bunuh diri, kau itu pasienku dan aku doktermu. Aku yang bertanggung jawab atas dirimu." Srettt>>>>> "SHITT." Umpat Teo ketika Delina menggesekan pisau itu di pergelangan tangannya dalam sekali sayat. Darah mengucur dan mulai memenuhi pergelangan tangannya hal itu membuat Teo panik.  Teo langsung bergerak cepat, ia merobek paksa selimut dan membalutkannya pada tangan Delina yang robek. Delina mencoba mendorong Teo, namun karena luka di tangannya ia merasa begitu kesakitan dan tenaganya tidak sebanding dengan Teo. Teo mengangkat Delina dan menidurkannya di atas ranjang. Dengan cekatan para suster juga langsung menghampirinya dan menahan Delina agar tidak memberontak. "Ambilkan peralatanku cepaaaatttt." *** Sudah lama Teo terus berada di sisi Delina, wanita itu masih tertidur karena obat yang diberikannya tadi. Teo tak pernah mengalihkan perhatiannya dari Delina. Ia terus menatao wanita itu. Teo merasa sedih melihat betapa kacaunya Delina. Ia merasa marah, sesuatu yang menyakitkan pasti menimpa wanita itu dan membuatnya sesakit ini. Tanpa Teo sadari kedua tangannya terkepal dengan erat. Jika seseorang yang menyakitinya berada di hadapan Teo. Teo rasa ia akan melakukan sesuatu yang buruk padanya. Teo beralih menatap tangan Delina yang diperban karena luka sayatan tadi. Ia menghela nafasnya kesal. Teo kembali memandang wajah Delina yang masih terlelap, wajah Delina yang teduh membuat Teo tak bisa mengalihkan wajahnya. Tteo melihat sehelai rambut menutupi wajah Delina, hal itu membuat Teo mengulurkan tangannya untuk menyingkirkan helaian rambut itu dari wajahnya. Bibir Teo tersenyum ketika memandang wajahnya. *** Delina menatap kosong ke arah taman rumah sakit yang berada di hadapannya dari balik jendela yang berada di kamarnya. Ada trali besi yang berada di jendela untuk mencegah pasien kabur dari dalam kamar. Hordeng bergoyang mengikuti angin yang bertiup dari luar ke arah kamarnya. Delina mendengar suara kursi berdecit di belakangnya, yang menandakan seseroang duduk di belakangnya. Ia tak berniat untuk mencari tahu siapa itu. Pandangannya tetap mengarah pada hamparan taman dari jendela. Teo memandang Delina dengan senyum lebar di wajahnya. Pria itu senang, setidaknya wanita di sampingnya saat ini, sudah mulai membaik dan mengurangi aksi mengamuknya. "Kau tahu....." "Hidup itu tidak selalu bahagia. Semua orang juga mengalami kesedihan yang mendalam. Mungkin saja di luar sana ada yang lebih menderita darimu Delina. Hanya saja kau tak mengetahuinya dan bisa membuat perbandingan antara kisah hidupmu dan kisah hidup orang yang lebih menyedihkan darimu." "Jika kau mengetahuinya, kau mungkin bisa merasa lebih bersyukur dari mereka." "Aku mungkin tidak tahu seberapa menyakitkannya hidupmu, tapi aku yakin kau masih lebih beruntung. Jangan sia-siakan hidupmu dan membuat mereka bahagia dengan kematianmu. Kau seharusnya mencari kebahagiaanmu sendiri." "Kau harus hidup bahagia, cepatlah sehat dan temukan kebahagiaanmu." Delina mendengus sebal, tatapannya tidak berubah. Ekpresinya datar namun matanya menunjukan kemarahan dan kesedihan yang mendalam. "Tahu apa kau tentang kesedihan dan kebahagiaan. Urusi saja hidupmu sendiri." Teo tersenyum mendengarnya. Ia senang Delina meresponnya walau suaranya terdengar marah. Anehnya Teo merasa begitu senang. Ia dapat mendengar suara Delina pada akhirnya. "Aku memang tidak tahu. Bahkan sebanyak yang kau tahu. Aku tak tahu apapun tentang itu. Tetapi mengertilah Delina. Kau seharusnya tidak seperti ini. Kau tidak seharusnya membunuh dirimu sendiri." Delina tak bergeming, ia tetap dengan posisi yang sama. Berdiam diri seraya menatap taman. Teo menautkan kedua tangannya dan menaruhnya di atas pahanya. "Aku senang kau semakin baik. Aku harap..." "Jangan urusi hidupku. Kau pikir siapa dirimu huh!."Delina beraih menatap Teo dengan tatapan tajam. Mendengar bagaimana harapan pria itu untuk kehidupannya membuatnya muak. "Apa yang kau mau dariku. Kenapa kau selalu ikut campur dan menyelamatkan hidupku. Aku tidak memintamu melakukannya. Kau tahu betapa menyebalkannya ini." Teo tertunduk bibirnya tersenyum, ketika ia kembali memandang Delina. Wanita itu masih menatapnya. "Kau pikir siapa dirimu!."ucap Delina penuh amarah. "Aku doktermu dan aku ingin kau bahagia Delina. Hiduplah dengan bahagia."
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD