Bab 2

1701 Words
Siang menjelang sore, atau lebih tepatnya pukul setengah empat jam pelajaran sekolah Ocha berakhir. Ocha menghela napasnya penuh lega. Akhirnya pelajaran yang membosankan itu selesai juga. Ia sudah merasa sangat jenuh. Ia juga mengantuk, ralat sangat mengantuk. Apalagi kegiatan seperti itu, sudah ia lakukan selama lima hari penuh. Mulai dari hari Senin sampai hari Jum'at. Itulah yang menjadi alasan mengapa Ocha lebih menyukai hari Sabtu dan Minggu. Karena pada dua hari itu ia bisa bermalas-malasan di rumah, ia tidak perlu memikirkan pelajaran, tugas siswa, tugas kelompok, ceramah guru, tatapan sinis siswa-siswi lain, dan juga sindiran-sindiran halus dari pacar sahabatnya yang sepertinya sangat tidak menyukai kehadirannya itu. Siapa lagi kalau bukan Marsya? Pacar Saga itu memiliki mulut yang sangat pedas. Barangkali sewaktu ibunya mengandung, ibunya dulu mengidam cabai terpedas di dunia, makanya anaknya kalau ngomong jadi pedas gitu. Untung Ocha sabar, coba kalau tidak?  "Kak Saga, Kak Saga hari ini ngantarin Ocha pulang kan?" Tanya Ocha dengan pandangannya yang tertuju pada buku-buku yang akan ia masukan ke dalam tas. Saga yang sudah hendak berdiri mengurungkan niatnya, dan kembali mendudukkan dirinya di samping cewek itu. Ya karena mereka duduk sebangku. "Sori ya Cha, hari ini gue nggak bisa ngantar Lo. Gue udah janji ngantarin Marsya." Saga memandang penuh maaf pada sahabatnya. Ocha berusaha menyunggingkan senyumnya. "Ya udah, nggak apa-apa kok, Kak, kalau Kak Saga emang udah janji sama Kak Marsya. Ya udah gih, sana. Jangan buat Kak Marsya nunggu. Nanti ngambek, kakaknya yang bingung," ujar Ocha lembut. Entah pendengaran Saga saja atau memang suara itu terdengar serak? Ocha tidak mungkin menangis kan? "Pak Sam nggak jemput, ya?" Tanya Saga mendadak khawatir. Pak Sam itu supir keluarga Ocha. Nama aslinya Pak Samsudin. Lebih suka dipanggil Pak Sam, katanya terdengar lebih keren.  "Jemput kok, tadi niatnya Ocha, Pak Sam nggak usah jemput, biar kita pulangnya barengan. Tapi ternyata Kak Saganya nggak bisa hehe." Ocha menyunggingkan cengirannya. "Maaf ya, Cha." "Nggak pa-pa Kak, udah gih, kakak cepet samperin Kak Marsya. Tuh, Kak Marsyanya udah ngambek, bibirnya udah monyong-monyong itu loh," kata Ocha seraya menunjuk Marsya yang berdiri di depan kelas dengan wajah masam menanggung kesal, dengan dagunya. Saga menghela napas, lantas mengangguk singkat. "Sekali lagi gue benar-benar minta maaf. Bye Cha," ujar Saga seraya melambaikan tangannya singkat, yang kemudian dibalas lambaian tangan oleh Ocha. "Bye Kak." Lirih, hampir tidak terdengar suara cewek itu. Dari matanya, dapat Ocha lihat Saga yang merangkul pundak Marsya dengan mesranya. Sebelum tubuh mereka terayun oleh langkah yang membawa mereka keluar dari ruangan itu, Marsya menyempatkan diri menatap Ocha dengan pandangan mengejeknya. Ocha memandang sedih pemandangan itu. Sekarang ia merasa tidak lagi ada yang peduli dengannya. Semua mengabaikannya. Menghela napas, Ocha memilih memasukkan buku-buku yang masih tergeletak di atas meja itu ke dalam tasnya. Lantas, menggerai rambutnya yang sudah biasa ia kuncir kuda itu.  "Ocha nggak boleh sedih. Nanti jelek." Ia tersenyum dan mengedikkan bahunya tidak acuh.  Cewek itu pun mencangklong tas gendongnya lantas bangkit dari posisinya dan mulai berjalan meninggalkan kelas yang sudah kosong itu. *** Ocha sudah berdiri di depan gerbang. Napasnya sedikit terengah. Wajar saja, semua itu karena kelas Ocha berada di lantai tiga dan cewek itu sedikit berlari untuk mencapai gerbang. Ocha merogoh sakunya, mengambil ponsel berlogo apel yang digigit kepunyaannya. Jari jemari cewek itu terlihat lincah menari di atas layar ponsel, mencari kontak telepon dengan nama Pak Sam. Ocha segera menekan ikon bergambar telepon di sana. Nada sambung mulai terdengar. Ocha berharap sebuah suara yang berada di seberang sana segera menyahut. Namun nyatanya sambungan itu tidak kunjung diangkat. Sampai nada sambung berakhir pun, Ocha tak mendapatkan hasilnya. Dicobanya untuk yang kedua kali, kali ini harapan Ocha lebih besar. Wajahnya tampak was-was, antara khawatir dan takut menjadi satu. Takut ketika melihat langit mendung yang biasanya menjadi pertanda akan datangnya hujan, meski belum tentu hujan memang bakalan datang. Namun, pada akhirnya teleponnya yang kedua kali itu kembali tidak diangkat. Ocha baru bisa bernapas lega ketika untuk yang ketiga kalinya ia mencoba menghubungi supir keluarganya, akhirnya sambungan itu pun diangkat. "Halo Pak?" Sapanya langsung. "Iya, Non. Ada apa? Maaf teleponnya baru diangkat, saya habis buang hajat." Suara berat setengah serak dari seberang sana menyapa gendang telinga Ocha. "Iya Pak. Pak Sam bisa jemput Ocha? Ocha udah pulang sekolah loh." "Non lupa ya? Saya kan lagi jemput Papanya Non Ocha. Saya lagi ada di bandara Non, coba Non Ocha telepon Pak Bam. Kayaknya Pak Bam nggak lagi sibuk," kata Pak Sam. Ocha menghela napasnya, ia lupa jika Pak Sam tengah menjemput Papanya yang baru pulang dari kunjungan bisnis di negeri tetangga, Malaysia.  Lalu Pak Bam? Pak Bam itu juga supir keluarga Ocha. Nama aslinya Bambang, namun sama dengan alasan Pak Sam, yaitu ingin terdengar lebih keren, beliau lebih suka dipanggil dengan nama Bam. Ocha cemberut, ia tahu jika Pak Bam juga tidak bisa menjemputnya. Pak Bam tengah mengantar Mamanya ke Puncak untuk mengikuti arisan bulanan berkocek jutaan. "Ya udah deh, Pak. Hati-hati di jalan." Ocha memilih menutup sambungan teleponnya. Dengan menghentak-hentakkan kakinya, Ocha memilih berjalan menuju halte yang terletak di seberang jalan. Ia langsung mendudukkan dirinya di sana. Suasana halte tidak begitu ramai. Hanya ada tiga wanita, dua di antaranya dua wanita berusia senja, dan satunya lagi seorang wanita berkerudung dengan perutnya yang membesar. Sepertinya hamil. Jujur, Ocha tidak suka harus berdesak-desakan dalam bis, Ocha juga tidak suka dengan bau bis yang khas dengan campuran bau badan penumpangnya. Kenapa tidak naik taksi? Ocha sedikit trauma dengan yang namanya taksi. Karena dulu, dia pernah―nyaris―menjadi korban pelecehan. Beruntung, karena keo'onannya menyelamatkan Ocha kala itu. Dan si supir taksi c***l tak berhasil menyentuhnya sedikitpun. Itulah sejarah singkat mengapa taksi akan menjadi pilihan terakhir Ocha kala tak mendapat tumpangan atau jemputan.  Sebenarnya Ocha bisa saja memesan ojek online, namun, melihat cuaca yang tidak bersahabat. Ocha takut jika sewaktu-waktu hujan akan mengguyur tubuhnya, lalu daya imunnya menurun, dan berakhir dirinya terbujur lemah di atas tempat tidur. Tanpa seorang pun yang memerhatikannya. Ya, dirinya akan tetap terabaikan meski kondisi tubuhnya tidak dalam keadaan yang baik. Papanya? Ah, laki-laki paruh baya itu lebih suka mengemong berkas-berkasnya. Menatap layar laptop daripada ia yang merupakan darah dagingnya. Bahkan, Papanya itu lebih suka menggenggam tangan kliennya daripada tangannya. Mamanya? Mamanya lebih mencintai teman-teman sosialitanya. Beliau lebih hebat merawat perhiasan mahal yang dimilikinya dibanding Ocha. Perhiasaannya lecet sedikit, beliau akan pias. Sementara ketika Ocha sakit? Beliau hanya akan meliriknya sebentar dan kembali berkutat pada rutinitasnya sendiri. Sama sekali tidak ada perhatian yang tercurah padanya. Satu-satunya yang peduli pada Ocha adalah Saga. Tapi sayang sekali, semenjak Saga berhubungan dengan Marsya, kepedulian cowok itu sedikit berkurang. Ocha kembali merasa kesepian. Kadang Ocha bingung, ia sempat berpikir keras, kalau kehadirannya tidak dipedulikan, untuk apa ia dilahirkan? *** Ocha bersorak girang melihat bis yang ditunggunya tampak melaju mendekati tempat ia berada sekarang. Akhirnya, penantian Ocha selama lima belas menit terbayar sudah. "Tuh, akhirnya si bus udah dateng," katanya disertai kekehan lirih, tepat saat bus berwarna biru itu berhenti tepat di depannya. Orang-orang yang ada di halte itu menatap aneh ke arah Ocha. Malahan, si ibu hamil tampak menggeleng-gelengkan kepalanya dengan mulut komat-kamit serta tangannya yang mengelus lembut perut buncitnya itu. Ocha mengedikkan bahunya tidak acuh, melihat respons aneh dari orang sekitarnya. Ketika pintu bis sudah terbuka, Ocha langsung melangkahkan kakinya ke dalam bis itu. Diikuti dengan wanita hamil itu. Sementara dua nenek itu masih bergeming di tempatnya. Mungkin bis jurusan yang mereka tunggu bukan bis yang akan ia naiki, pikir Ocha. Saat di dalam bus, Ocha melihat bagaimana padatnya orang yang ada di dalam sana. Ocha mendarkan tatapannya, mencari kursi kosong yang bisa didudukinya. Matanya berbinar melihat satu kursi kosong di baris nomor dua dari belakang. Cewek itu segera melangkahkan kakinya ke sana. Ocha menghela napas, ia tersenyum menatap pada penumpang di sampingnya. Seorang ibu-ibu bertubuh sedikit tambun yang juga tersenyum ramah ke arahnya. Ocha lantas mengalihkan tatapannya ke depan, ia bisa melihat bahwa ibu hamil itu masih kebingungan mencari tempat duduk. Sesekali menatap orang di dekatnya seolah untuk meminta izin duduk di sana, sayangnya tidak ada satupun dari mereka yang menghiraukan. Ocha mendadak merasa kasihan, namun ia juga malas kalau berdiri terus-terusan. Ia tidak mau capek. "Bu," panggil Ocha pada wanita hamil itu. Si ibu hamil berkerudung yang tidak diketahui namanya tersebut mengalihkan tatapannya pada Ocha. "Ibu duduk di tempat Ocha saja. Biar Ocha berdiri. Kasihan dedek bayinya kalau diajak berdiri terus," ucap Ocha setengah berteriak. Suaranya terdengar riang. Ibu itu memandang Ocha dengan tatapan tidak percayanya. Sebelum ini ia berpikir bahwa Ocha itu anak SMA manja, egois, dan tidak sopan yang tidak memiliki belas kasihan pada orang lain. Namun ia ternyata salah mengira. Ocha tidak seperti yang terlihat, anak remaja ini berhati baik ternyata. Dengan ragu, ibu itu berjalan mendekat ke arah Ocha. "Kamu serius, Nak?" tanyanya. Ocha mengangguk mantap sebelum berdiri dan mempersilakan wanita itu duduk di tempatnya tadi. "Terima kasih banyak, Nak." Ocha hanya tersenyum membalasnya. Bis belum juga berangkat, sepertinya masih ada penumpang yang akan naik. Benar saja, tidak lama kemudian seorang cowok yang dilihat dari seragam yang ia kenakan merupakan teman satu sekolah Ocha masuk ke dalam bis, tampangnya tidak menunjukkan seperti siswa baik-baik. Baju seragamnya tidak dimasukkan, rambutnya dicat cokelat terang, dengan matanya yang menggunakan lensa berwarna senada dengan rambutnya. "Ish, sok-sokan jadi bule, mentang-mentang kulitnya putih," gumam Ocha yang tanpa sadar terus memerhatikan cowok itu. Cowok itu tampak tak acuh dengan sekelilingnya, tatapannya datar. Ketika cowok itu berjalan mendekati Ocha, bau rokok yang menyengat langsung tercium oleh hidung cewek itu. "Kamu ngerokok ya?" tanya Ocha merasa risih. Belum sempat cowok itu menjawab, Ocha kembali buka suara. "Ih, Ocha nggak suka baunya. Jauh-jauh sana." Satu alis cowok itu terangkat, memandang remeh pada Ocha. "Bukan urusan lo!" ketusnya. Ocha mengerucutkan bibirnya. Belum sempat ia kembali buka suara, tubuhnya tiba-tiba terdorong ke belakang, tidak cukup itu saja, cowok bule jadi-jadian itu menubruk tubuhnya hingga membuat tubuh mereka berhimpitan. Ocha segera melepaskan diri dari cowok itu, ia semakin kesal. s****n bapak sopir bus yang tidak memberitahu bahwa bisnya akan segera berjalan. "Jangan ngelihat Ocha kayak gitu. Ih, jauh-jauh dari Ocha. Ocha nggak suka rokok." Ocha mendorong tubuh jangkung cowok itu. Namun sayangnya si cowok sama sekali tidak bergeming dan malah menatap Ocha dengan mata cokelat yang terlihat tajam itu. "Kenapa natap Ocha kayak gitu? Dosa tahu!" "Lo cantik."
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD