Pertemuan

1208 Words
Tidak terasa, tiga bulan sudah berlalu. Tadinya, sesuai kesepakatan antara aku dan Anjar, kami akan tinggal bergantian di rumah ini dan rumah Ayah. Tapi entah apa yang terjadi? Mama selalu sakit-sakitan. Bahkan beberapa kali pingsan dan Anjar meminta ku untuk tinggal bersama Mama dan keluarganya. Padahal di sana banyak orang dan ada seorang menantu dari anak kedua Mama yaitu Maya. Awalnya aku menolak karena Ayah juga hanya tinggal sendirian, tapi saat Anjar mengatakan bahwa Mama sedang sakit kepada Ayah, Ayah malah ikut menyuruhku kembali ke neraka itu. Menyebalkan sekali, padahal aku sangat suka melihat Ayah selalu tertawa bersama Anjar saat malam hari, ketika mereka duduk di teras rumah sambil menyeruput kopi dan menikmati cemilan buatan tanganku. Jika ditanya tentang perasaanku selama di rumah itu, maka jawabannya adalah aku baru merasa hidup ketika aku berada di kantor dan ketika Anjar berada di rumah. Semua ini lebih menyakitkan dari pada aku tinggal bersama 10 orang Tante Rima. Mata itu selalu tajam menatapku. Aku ingin sekali berteriak dan membalas tatapan itu, tapi aku menyadari bahwa saat ini statusku adalah anaknya. Jadi aku harus menerima tanpa melakukan perlawanan. "Sayang, aku pamit dulu ya. Kamu hati-hati ke kantornya," ujar Anjar sambil menatap ku dan saat aku berdiri di hadapannya, seperti biasa Anjar mencium dahiku sembari memejamkan kedua matanya. "Emuuuach, love you." "Iya, Sayang. Kamu juga hati-hati ya! Itu pesawat lho, bukan odong-odong." "Iya, Cantika ku Sayang," sahutnya sambil memegang pipi kanan ku dan sedikit mencubitnya. "Kamu cantik sekali, Sayang. Aku sangat mencintai kamu." "Kamu juga sangat tampan, Anjar. Apalagi kalau sudah mengenakan seragam dinas ini. Aku juga sangat mencintai kamu, bahkan aku sangat bangga padamu, Sayang." "Sayang, rasanya ngak pengen kemana-mana." "Kenapa? Sejak kapan malas gitu?" tanya ku heran dengan sikap Anjar pagi ini karena biasanya ia selalu bersemangat. "Kangen kamu dan mau kamu," sahut Anjar setengah merengek dengan matanya yang berbinar-binar. "Kangen gimana? Kan kita selalu bertemu dan bersama. Setidaknya dua hari sekali kita selalu berjumpa." "Ngak tau, burungnya kumat." "Ha ha ha ha ha, dasar burung nakal. Jangan seperti ini kalau di tempat kerja ya, Sayang!" "Mana pernah, Sayang. Kalau ada kamu aja nakalnya kayak gini. Seperti panggilan jiwa, ha ha ha ha ha." "Gombal terus ya?" "Nggak kok." "Ya sudah, berangkat sana! Nanti telat loh, hati-hati dan jangan nakal ya!" "Cantika, nanti kamu pulang cepat kan, Sayang? Kalau ia, aku janji. Apapun yang kamu inginkan, akan aku berikan." "Bener ya? Janji ni?" "Iya, Sayang." Kami pun menutup obrolan dengan perpisahan pelukan perpisahan yang manis. Tidak ingin berlama-lama di rumah ini karena bisa menghancurkan perasaan dan memecah konsentrasi kerjaku. Jadi setelah Anjar berangkat kerja, aku pun memutuskan untuk segera berangkat ke kantor. Sesaat setelah Anjar meninggalkan rumah, aku langsung ke kamar untuk mengambil tas kerja. Tapi pada saat yang bersamaan, aku melihat Maya tengah menatap tajam ke arah ku. Gayanya itu seperti seseorang yang tengah mengintip aktivitas orang lain. Tidak ingin berpikir buruk karena mungkin saja ini hanya kebetulan semata, aku pun segera masuk ke dalam kamar untuk membenahi make-up wajah agar terlihat lebih sempurna. Dengan menyemprotkan parfum yang terbuat dari s**u dan melon, aku segera mengunci pintu kamar dan melangkah ke luar rumah. Saat aku hendak menuruni anak tangga, tubuh ku disalip oleh seseorang yang sangat aku benci. Tampaknya Papa sengaja menyentuh tubuhku dari belakang. Setelah itu, ia berjalan lebih cepat hingga posisi tubuhnya berada di depanku. Papa sudah berada di anak tangga pertama. Tapi hal yang tidak terduga terjadi, ia menolehkan wajahnya kepadaku dan menatapku penuh rasa. Aku yang terkejut tetap dapat merasakannya dan langsung menghentikan langkahku, lalu terdiam dalam posisi agak jauh darinya. Saat itu, aku bisa melihat laki-laki itu menelan berat air liurnya. Saat dia menatapku, aku balik menatapnya dengan sorotan kebencian. Lalu ia membuang wajahnya dariku, kemudian pergi meninggalkan aku dalam perasaan yang tidak nyaman. Kenapa aku harus terkurung dalam situasi seperti ini? Ucapku di dalam hati. Tak ingin merusak pagi ku yang selalu indah berkat suamiku, aku segera meninggalkan istana neraka ini dengan langkah yang cepat dan ringan. Setibanya di kantor, aku langsung melaksanakan pekerjaan tanpa menunda-nunda waktu. Seperti yang diajarkan Ayah, ketepatan waktu merupakan salah satu dari faktor disiplin yang penting. Jika aku ingin maju dan berkembang serta dihargai oleh rekan kerja yang lainnya, maka aku harus bisa mengatur waktu dengan baik. Pink "Sayang, kangen." "Masih siang Anjar." Aku membalas pesanmu singkat dari Anjar yang menghubungiku sekitar pukul 12.30 WIB. Tampaknya ia sudah tiba di kota tujuan pertama. Pink "Ha ha ha ha ha, buka dikit, Cantika!" "Nakal. Awas ya nanti malam!" Pink "Sayangku mau berapa ronde? Biar persiapan dulu nih." "Iiihhh ... Anjar ah. Jangan buat aku senyum-senyum sendiri deh. Untung jam istirahat." Pink "Kangeeen ... beneran deh, Sayang. Kamu tahu, aku sudah persiapan untuk percintaan hebat malam ini." "Apa?" Lalu Anjar mengirimkan foto jus pinang muda dan madu yang sudah ia pesan. Pink "Siap-siap meriang kamu nanti malam ya, Sayang!" "Anjar ... ." Pink "Ngak akan aku lepas. Kalau perlu, sampe pipis kamu, Sayang." "Tidaaak. Nakal, nakal, nakal." Pink "Pasti mukanya lagi merah ni. Sayang, Video Call ya? Bentar aja." "Sayang ih, jangan! Aku ngak mau, malu." Pink "Ha ha ha ha ha, baiklah. Tapi nggak sedang sma cowok ganteng kan di sana?" "Nggaklah, aku di ruangan ini." "Aku percaya padamu, Sayang. Aku sangat mencintai kamu." "Aku juga sangat mencintai kamu, Anjar." Kami menutup komunikasi kami dengan manis seperti biasanya. Anjar memang selalu mampu membuat aku tersenyum dan melepaskan hormon stres di dalam diriku. Ya Tuhan ... terimakasih untuk laki-laki dan cinta yang telah Engkau kirimkan kepadaku. Ucapku di dalam hati sambil tersenyum menatap foto Anjar yang aku letakkan di atas mena kerja. Pukul 17.00 WIB. Aku sudah bersiap untuk pulang. Aku merencanakan untuk segera membersihkan diri sesampainya di rumah nanti. Lulur sari mawar dicampur dengan s**u pasti akan sangat membantuku malam ini. Aku tidak tau apa yang Anjar rencanakan, tapi yang jelas aku juga ingin memberikan yang terbaik untuknya. Aku segera keluar dari kantor sambil menyapa beberapa karyawan lainnya. Tapi saat aku hendak keluar dari kantor, aku berpapasan dengan Deri. "Cantika," sapanya dengan tatapan mata yang teduh. "Deri. Apa kabar?" sahut ku sambil memberikan tangan kanan kepadanya. "Aku baik. Kamu kerja di sini?" "Iya. Kamu sendiri ada keperluan apa?" "Oh ini, aku mau mengantarkan file dan beberapa dokumen kerja sama lainnya dari perusahaan tempat aku bekerja." "Oh, oke. Kalau begitu, silahkan masuk. Aku pamit duluan ya," ucap ku sambil menundukkan kepala. "Sebentar, Tika!" "Ya." "Apa lain waktu kita bisa ngobrol bareng?" "Maaf ... ." "Please ... ." ucap Deri memotong perkataan ku. Aku menatap Deri dan melihat masih banyak cinta dimatanya untukku dan itu membuatku berpikir tidak boleh memberikannya kesempatan sedikitpun. "Deri aku sudah menikah. Permisi ... ." Lalu aku berjalan meninggalkan Deri. Aku masuk ke dalam mobil dan melihat ke arah Deri. Dari sini terlihat sekali Deri terdiam tidak bergerak di depan pintu kantor. Maafin aku Deri, tapi kamu harus segera tau dan aku tidak ingin menyakiti kamu lebih dalam lagi. Ucapku di dalam hati sambil bergerak pulang. Pink "Sayang, kenapa ya perasaan aku ngak enak banget. Are you oke?" Pesan Anjar masuk sesaat setelah perjumpaan ku dengan Deri. Anjar tampak was-was terhadap sesuatu yang tidak ia ketahui. "Aku ngak baik-baik saja, Sayang. Ini juga di jalan pulang. Sampai ketemu di rumah ya. Bay." Bersambung....
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD