bc

Papa Help Me

book_age16+
598
FOLLOW
4.1K
READ
love-triangle
possessive
family
student
Writing Challenge
mystery
single daddy
highschool
small town
shy
like
intro-logo
Blurb

Di mata mereka Hilara tidak lebih dari anak jebolan panti yang memanfaatkan model muda sekelas Arjuna Widarsona demi uang. Akibatnya dia tidak punya teman. Untung ada Lucas, si anak teladan yang rela pasang badan tiap ada perundungan.

Sampai suatu hari Hilara terlambat ke sekolah, Ken mengajaknya bolos ke suatu tempat. Pengalaman pertamanya jadi anak nakal berujung penyesalan. Hari itu mimpi buruknya di mulai, orang yang sering merundungnya meninggal di Gedung D. Mereka menuduh Hilara membunuhnya.

chap-preview
Free preview
0.1
Kuning, hijau, biru, dan sedikit merah. Hilara menimbang warna-warna yang pas dalam menggambarkan pohon tua di belakang panti itu. Misterius padahal sangat sederhana, mungkin kalimat yang tepat untuk menilainya. Hanya sebatang pohon besar berdahan teduh, rumput liar selutut orang dewasa agak bergoyang, dan seseorang ... sedang duduk menghadap matahari terbit. "Kamu itu pinter, juara kelas. Aku yakin, kalau main game bakal menang," kata Tera pada suatu hari. Menurut Hilara, untuk apa lelah-lelah berjuang kalau hasilnya dihitung skor? Hilara bukan tipe ambisius seperti itu. Ia lebih suka melukis, cukup mengandalkan rasa maka tercipta keindahan. Hilara menoleh sebentar pada keributan di luar. Minggu pagi jadwalnya menyendiri dalam kamar. Namun selalu ada saja gangguan datang. Tera contohnya. Teman satu kamarnya ini dari kecil suka datang dan pergi tanpa diundang. Agak horor memang, tapi begitulah dia. "Dayang Tera membawa titah Bunda Ratu!" seru Tera membuka pintu. "Apa?" gumam Hilara tanpa menoleh sibuk menggerakkan kuas. Membiarkan gadis tambun membawa sapu di samping tubuhnya bicara sendiri. Tera menghela napas jengah. Teman dari oroknya tidak bisa diganggu kalau sudah masuk jam pacaran. Pacaran sama cat air maksudnya. Lihat saja, begitu seriusnya gadis berkucir itu. Bibirnya digigit kecil, sesekali matanya menyipit memperkirakan komposisi warna. Membosankan sekali. "Bunda manggil kamu ke kantor, tuh. Kayaknya bakal ada yang diadopsi lagi." "Ya ... bagus," sahut Hilara mengundang belalakan mata Tera. "Panti lagi sulit, Ter. Datangnya orang tua baru akan menambah donasi buat kita makan." "Dan ... jatah makan kita berkurang satu," ledek Tera. "Jahat banget politik bertahan hidup kamu, Hil. Mentang-mentang enggak akan disuruh baris depan kantor terus dibawa pergi sama orang asing. Emang kamu enggak sayang mereka? Kita, kan, saudara." Hilara terkekeh, membenarkan perkataan Tera. Dia dan Tera mendapat gelar kuncen panti. Gara-gara di umur 16 tahun ini, mereka tak kunjung punya orang tua. Atau mungkin tidak akan punya. Bukan sekali juragan tanah datang ke panti berniat mengambil Hilara untuk dijadikan istri kelima. Sebagian besar gadis desa seumuran Hilara memang menikah muda. Mengingatnya saja Hilara bergidig. Ia jadi parno pergi kemanapun takut tiba-tiba didatangi Juragan Tanah. "Hil?" Derit kursi yang ditarik Tera juga menarik Hilara dari lamunan menyeramkannya. "Apa?" "Kamu nggak ada niatan bilang ke Bunda biar kita jadi anaknya aja?" "Emangnya Bunda mau menjadikan kamu anaknya? Sekali makan aja ngabisin dua porsi. Bisa bangkrut panti." Tera mendengkus sebal ditertawakan sahabat sendiri. "Makanan terus .... Aku lagi serius nih. Kalau kita pisah, gimana?" "Gimana apanya? Kita nggak akan pisah lah, Tera sayang. Kita, kan, janji lulus SMA bakal sama-sama cari beasiswa, kuliah, terus pergi dari panti, hidup mandiri." "Aku enggak yakin." Tera menyangga pipi gembulnya. Apa iya akan mimpi mereka bisa terwujud semudah itu? "Aku dengar sendiri loh Bunda dan orang itu ngomongin kepindahan sekolah kamu." "Orang itu siapa?" Gerakan kuas di tangan Hilara berhenti di satu titik. "Kayaknya kamu bakal pergi duluan, Hil. Pada akhirnya kamu ninggalin aku." "Mungkin kamu salah dengar." Hilara kembali mengoles cat pada kanvas. Walau sebenarnya hatinya gusar memikirkan satu orang, ayah.  "Enggak heran sih kamu bakal duluan meninggalkan panti. Kamu masih punya ayah. Kalau itu ayah kamu gima—ya ampun, Hil! Itu lukisan buatan kamu?” Tera membekap mulut, tak percaya apa yang dilihatnya. Perhatian Hilara tertuju lukisan yang ditunjuk Tera. Sesosok pria yang pernah datang di mimpinya. Menurutnya biasa saja, semua penghuni panti tahu ia senang melukis. “Iya, kenapa?” *** Dulu sekali, ada sepasang suami-istri dari Jakarta datang ke panti. Seperti biasa, setiap ada tamu Bunda menyuruh semua anak mandi dan memakai baju terbagus. Anak-anak akan dibariskan di depan kantor. Lalu tamu Bunda akan memilih anak untuk dibawa pergi. Satu per satu anak di panti pun hilang. Mainan mereka yang tertinggal akan jadi milik anak lain. Anehnya Bunda melarang Hilara berbaris di depan kantor. Ia akan melihat kegiatan itu dari balik jendela kamar atau di atas ayunan. "Bu, saya boleh bawa anak manis ini?" tanya wanita dari Jakarta berjongkok di depan Hilara. Bunda segera menarik Hilara ke dalam dekapan seolah melindunginya dari ancaman. "Namanya Hilara, Bu. Ini cucu saya, kebetulan ayahnya sedang bekerja di luar kota." Penggalan percakapan bertahun-tahun lalu itu membatasi interaksi Hilara dengan para tamu. Ia punya ayah dan sedang bekerja di luar kota. Setiap ada anak yang diadopsi, Hilara mengatakan pada mereka bahwa nanti dirinya juga akan dijemput ayah. Lalu mereka menertawakan Hilara. Jika punya orang tua, mengapa dia tinggal di panti asuhan? "Hilara? Masuk, Sayang." Tawa Bunda dan tamunya yang semula terdengar dari luar kini terhenti ketika Hilara melongok di celah pintu kantor pengurus panti. Hati-hati Hilara berjalan sembari membawa nampan berisi dua cangkir teh. Mendadak saja gugup, teringat perkataan Tera bahwa kemungkinan ayahnya tahun ini menepati janji menjemputnya. "Nah, Jun. Biasanya kamu lihat Hilara dari foto sekarang lihat aslinya, gimana?" "Cantik," jawab orang itu sontak Hilara menoleh. Seketika Hilara terperangah. Orang ini benar-benar mirip dengan satu lukisan di kamarnya. Bagaimana bisa? Hilara bertanya-tanya. Bahkan ini pertemuan pertama mereka. "Ya pasti itu. Ayahnya ganteng gini." "Bunda bisa aja," kekeh orang itu mengusap tengkuk. Sedangkan Hilara mengerjap lambat sambil mendekap nampan. Ia menguraikan sendiri kebingungan-kebingungan di depan mata. Ayah? "Hila sering tanya, orang tua Hila di mana, 'kan?" Bunda memintanya mendekat. Sedikit ragu, gadis itu duduk di samping wanita pengurus panti. Aneh sekali membicarakan privasi di depan orang asing. Bunda tersenyum lembut menyadari ketegangan anak asuhnya. Sejumput rambut Hilara diselipkan ke belakang telinga penuh sayang, lalu berkata perlahan. "Ayah Hilasudah datang. Namanya Juna." Hilara membagi pandangannya pada wanita yang mengasuhnya dari kecil dan seseorang bernama Juna bergantian. Ini konyol sekali. "Hila, ada apa?" tanya Bunda heran anak asuhnya terkekeh. "Lucu, Bun," jawab Hilara, sisa-sisa kekehannya lalu pudar, ia membalas genggaman Bunda. "Aku nggak apa-apa kok enggak tahu siapa orang tua aku. Serius." Lama tidak ada orang tua datang mengadopsi anak. Bunda pasti khawatir memikirkan sandang dan pangan panti, lalu buru-buru mencari orang tua untuk Hilara agar Juragan Tahan tak datang lagi. Hilara paham. "Bunda enggak mengada-ngada soal Juna. Bunda tahu kamu kaget, Bunda nger—“ "Bunda .... Aku bukan cuma kaget. Ini ... terlalu aneh. Om ini? Ayah aku? Bukannya kemudaan ya, Bun? Udahlah, Bun. Aku bahagia kok hidup di sini. Makasih Bunda udah berusaha yang terbaik untuk aku. Kalau gitu aku ke belakang aja bantu Sinta cuci karpet." "Hila ...." Suara Bunda merendah tajam, cukup memberi pemahaman bahwa situasinya memang serius. Hilara kembali duduk bersama perasaan jengkel membalas tatapan mengejek Juna. Juna terkekeh, melihat keras kepalanya Hilara mengingatkan ia betapa ngeyel dirinya waktu kecil.  "Apa lo lihat-lihat?" tantangnya.  "Siapa yang lihatin, Om? Aku lihatin guci kok." Hilara melipat tangan angkuh. "Yang sopan, Hila." "Maaf, Bunda." Hilara mengambil napas, bukannya tenang malah makin frustrasi. "Tapi aku benaran enggak nyangka Bunda percaya gitu aja sama dia. Asal-usulnya, kan, harus diselidiki dulu. Masa main mengakui aku sebagai anaknya aja. Gimana kalau dia jahat? Gimana kalau yang enggak-enggak terjadi sama aku?" Jemari Juna tergepal erat di sisi tubuh. "Lo pikir gue mau punya anak gadis di umur gue segini?” sahutnya tenang namun wajahnya berubah muram. Di hadapannya, Hilara melebarkan mata. Tak disangka bisa dibuat merinding dan takut. “Gue ke sini mempertaruhkan segalanya cuma buat ngambil apa yang pernah gue titipkan. Sekarang udah waktunya diambil, karena walau gimana pun dia milik dan hak gue."  "Emangnya aku barang?!" jerit Hilara menggema dalam ruangan. Bunda menghela napas, perkataan Juna telah melewati batas. Memancing perdebatan. “Enggak ada yang bisa menahan kamu di sini jika kamu punya keluarga. Kalau kamu mau bukti siapa Juna, Bunda punya.” Hilara menggeleng, Bunda bahkan tak membelanya. "Dan dipikir-pikir siapa yang balik lagi setelah meninggalkan anaknya di panti belasan tahun? Aku ke sini karena enggak mau kayak mereka,” tambah Juna bertekad dengan atau tanpa persetujuan gadis itu, dia akan membawanya pergi dari sana. “Apapun keputusan Hilara, dia tetap harus ikut aku, Bun.” Hilara langsung berdiri. "Aku bukannya enggak bersyukur masih punya orang tua baik hati. Tapi aku nggak terima diperlakukan kayak barang yang dibuang terus dipungut lagi. Kalian enggak akan ngerti. Maaf, Bunda, aku nggak bisa." 

editor-pick
Dreame-Editor's pick

bc

Suddenly in Love (Bahasa Indonesia)

read
76.1K
bc

Undesirable Baby 2 : With You

read
162.0K
bc

Mentari Tak Harus Bersinar (Dokter-Dokter)

read
54.2K
bc

PEMBANTU RASA BOS

read
16.3K
bc

Kupu Kupu Kertas#sequel BraveHeart

read
44.1K
bc

Hello Wife

read
1.4M
bc

Nur Cahaya Cinta

read
359.4K

Scan code to download app

download_iosApp Store
google icon
Google Play
Facebook