PROLOG

2192 Words
              Seorang pemuda berusia 23 tahun mendorong pintu sebuah kafe dengan tangannya yang kekar. Pintu yang terlihat berat itu terdorong setengah terbuka dan memungkinkan tubuhnya yang atletis masuk ke dalam kafe.              Tidak. Tidak ada acara ceremonial yang sedang diselenggarakan di dalam kafe tapi semua mata wanita yang berada di dalam kafe itu mendadak menoleh dan terpana pada ketampanan pemuda itu.               Hal seperti itu...maksudnya...gerakan menoleh serempak karena terpana atau sebagainya hanya ada dalam sebuah film atau sinetron recehan di televisi.              Namun tak bisa dipungkiri, banyak pasang mata wanita yang melirik dan mereka menelan ludah kelu karena aura maskulin yang dipancarkan oleh pemuda yang kini tengah berjalan sambil memasukkan kedua tangannya ke dalam saku celananya itu.              Feromon...bagian paling sialan...menguar hebat dari pemuda itu membuat beberapa wanita mengendikkan bahu mereka pada lawan bicara nya. Saling menyetujui bahwa, pemuda itu idaman para wanita. Segala usia...              Caleb William Leandro Banyak dari mereka, warga Amerika Serikat khususnya New York, mengenal pemuda itu sebagai pemuda yang bertalenta dan pebisnis yang gemilang di usianya yang masih muda. Pemuda yang mewarisi kekayaan tak terhingga dan mewarisi dengan pasti satu sisi dinasti Leandro yang tak terbantahkan yaitu...aura dingin. Sungguh kombinasi warisan yang menarik bukan?            Sampai kapan pun dan di mana pun, wajahnya mampu menghiasi sampul majalah mana pun karena insting dan pencapaian bisnisnya yang gemilang. Juga sampai kapan pun dan di mana pun dia akan selalu menjadi tokoh bagi para penulis roman picisan sebagai sosok imajinasi mereka tentang seorang CEO yang tampan, bertubuh indah, dingin, mempesona, kaya raya bla...bla...bla...             Di Indonesia, sosoknya mampu berbaur dengan kalangan mana pun. Sosoknya memang berulang kali menghiasi majalah bisnis negeri ini, tapi...hanya kalangan petinggi perusahaan yang mampu menjangkaunya. Bukan karena seorang Caleb adalah pribadi yang sombong atau semacamnya. Tapi...lebih pada, Caleb yang ingin bisa bergaul dengan kalangan mana pun tanpa embel-embel ketenaran dan keberhasilannya dalam berbisnis.             Caleb memilih duduk di sudut ruangan. Sejenak matanya menatap sekeliling dan mengangguk pelan. Menyetujui bahwa kafe ini cukup menarik. Hingga seorang waiter datang dan menanyakan pesanan nya. Waiter itu mengangguk saat mencatat pesanan dan akhirnya berlalu dari hadapan Caleb. Suara deheman dari ujung ruangan yang ditata sedemikian elegan menjadi sebuah panggung pertunjukan live music. Caleb mendongak. Terlihat seorang pria sedang menyetel gitarnya. Sedang di sampingnya, seorang gadis menghempaskan bokongnya pelan sambil meniupkan udara dari mulutnya. Caleb mengernyit. Menatap gadis di panggung itu. Dandanan dan selera berpakaiannya benar-benar unik...dan...aneh? Gadis itu berdandan dengan nuansa gothic yang kental. Dia mengenakan sebuah rok panjang dengan nuansa ethnic dengan sentuhan renda yang manis di ujungnya. Sebagai atasan dia memakai baju tanpa lengan lengkap dengan sebuah kalung yang juga ethnic. Caleb tersenyum simpul menatap riasan gadis itu yang sedikit tebal. Nuansa gelap jelas terlihat di matanya. Bahkan juga sapuan lipstik nya yang juga gelap. Caleb menghela napas. Secara keseluruhan tampilan gadis itu unik. Dan...sepatu boot berwarna coklat di kaki gadis itu cukup menarik.            Caleb menoleh. Sebuah tepukan yang cukup kencang di pundaknya membuat dia mengalihkan obyek pengamatannya.           "Apa ada yang menarik?" Seorang pemuda seumuran dengannya atau...sedikit lebih tua darinya, menghempaskan b****g nya di kursi di depan Caleb. Dia adalah Krisna Tanuwidjaja. Kolega bisnis dan sahabatnya selama dua tahun di Indonesia. Caleb menggeleng. Mereka terdiam saat waiter datang membawakan pesanan Caleb dan menanyakan pesanan Krisna. Caleb melirik sekali lagi saat gadis itu memulai pekerjaannya. Suara yang membuat Caleb tercengang. Suara gadis itu terasa ringan dan merdu. Berbanding terbalik dengan tampilannya yang seakan menggambarkan dia adalah penyanyi genre musik grunge.           Waiter datang lagi untuk membawa pesanan Krisna. Dan mereka terdiam beberapa lama menikmati kopi pekat yang entah mengapa...tak bisa di pungkiri...membawa kecocokan bagi Caleb dan Krisna. Membuat mereka cocok bersahabat dengan kesamaan selera. Tak ada yang penting yang akan mereka bicarakan. Mereka hanya ingin bertemu dan berbincang tentang sesuatu hal yang tak serius. Seperti halnya pemuda tanpa kekasih yang hang out bersama. Sedikit menyinggung pekerjaan, tapi selebihnya adalah hal yang remeh.           Caleb mendongak. Meletakkan garpu kecil yang dipakainya untuk makan sepotong cake pisang kesukaannya. Dia menoleh ke arah panggung. Gadis gothic itu terlihat akan turun dari panggung. Caleb mengernyitkan dahinya. Jelas sekali tertangkap oleh matanya. Gadis itu meringis kesakitan karena pria bergitar yang tadi mengiringinya menyanyi itu mencekal pergelangan tangannya. Gadis itu turun dan melangkah tergesa menuju belakang panggung. Setelah itu, Caleb tak melihat sosoknya lagi.           Caleb dan Krisna memutuskan untuk keluar dari kafe. Pulang dan menemukan kasur di rumah mereka adalah hal terbaik sekarang. Sebelumnya, mandi dengan air hangat juga bukan ide yang buruk. Setelah seharian bergelut dengan hal memusingkan tentang bisnis...apalagi yang lebih indah dari semua itu. Mereka berpisah di halaman parkir. Krisna segera melajukan mobilnya keluar sementara Caleb masih termangu di dalam mobilnya. Dia tersenyum simpul saat mengingat pembicaraannya dengan salah satu office girlnya yang mengatakan bahwa pria dan wanita yang masih sendiri itu memiliki julukan Jomblo dalam bahasa Indonesia. Dan gadis 19 tahun berkerudung yang menjadi salah satu office girl di kantornya itu mengatakan bahwa Caleb masuk dalam kategori high quality Jomblo yang pasti akan mencari incaran wanita se--Indonesia Raya. Betapa Caleb masih mengingat ucapan office girl bernama Rani itu. Rani hanya bisa melongo saat melihat Caleb tertawa terbahak-bahak setelah mendengar istilah itu. Tapi...setidaknya para karyawan di hotel dan resort keluarga Leandro sudah sedikit terbiasa dengan kebiasaan Caleb membaur dengan mereka.           Caleb menyalakan mobilnya dan melajukan nya keluar dari halaman parkir kafe. Melajukan mobilnya dengan kecepatan rendah, sesekali Caleb menatap kiri kanan jalan. Bali bisa dikatakan lebih riuh dari Ibukota Jakarta sekalipun. Dan Caleb menikmati waktu 2 tahunnya menetap di sini. Di Denpasar tepatnya. Sudah menjadi cita-cita sang Nenek, Cherry Leandro untuk membangun sebuah usaha di negara asal Nenek nya ini. Setidaknya dengan hal itu, Cherry Leandro dapat merasakan ikatan batin yang kuat dengan negara Ibunya yang sudah beberapa kali dikunjungi nya.           Caleb--lah yang akhirnya mengangguk dan bersedia memimpin usaha keluarga Leandro yang ke sekian itu. Di tanah yang bahkan setengah bumi dari New York. Dengan perbedaan iklim dan budaya. Namun Caleb tetaplah pribadi yang pandai menyesuaikan diri. Dua tahun di Indonesia, membuatnya menghafal rasa-rasa masakan Indonesia yang kaya bumbu dan rasa. Lidahnya sudah terbiasa dengan soto, ayam goreng, rendang, dan yang lainnya. Dan dia menyukai sayur bayam dengan jagung manis.          Dan dia Jomblo!  Caleb terbahak sendiri. Memang dia sudah terlalu tua untuk sebuah romantisme ala-ala anak muda belasan tahun. Bukan karena tidak mau, hanya belum menemukan sosok yang pas.          Seperti yang selalu William, Paman nya bilang...filosofi seekor serigala...Alpha akan menemukan Lunanya dengan sendirinya. Yang berarti, hatinya akan tahu dengan sendirinya kelak siapa jodoh nya.          Caleb berhenti tertawa saat pandangan matanya menangkap seseorang tengah berjalan pelan di trotoar yang di sampingnya terdapat tanaman rumput yang berjajar rapat. Caleb baru saja berbelok dan menyusur jalan ini setelah lampu merah ke dua dari kafe. Caleb memicingkan mata dan melihat dengan jelas gadis gothic yang menyanyi di kafe tadi tengah melangkah di trotoar dengan bahu luruh dan tangan yang mendekap erat perutnya sendiri. Caleb mengurangi laju mobilnya hingga menjadi lebih pelan. Jalanan sedikit lengang karena jalan ini sudah keluar dari jalan arteri. Lampu-lampu jalanan juga tak se--benderang di jalanan utama. Caleb terus menatap gadis itu. Tinggi badannya yang 187 cm membuatnya harus sedikit merunduk dalam mobil saat mengamati gadis itu. Caleb tersentak ketika tubuh gadis itu tiba-tiba luruh ke trotoar. Caleb menengok ke kanan kiri. Dia mengumpat pelan. Tidak ada siapa pun di jalan ini. Beberapa kafe dan toko suvenir di seberang jalan juga terlihat lengang. Caleb melirik jam tangannya. Sudah tengah malam. Pantas saja!          Caleb menepikan mobilnya. Entah kesialan atau apa? Tak ada yang melintas satu pun di tempat ini. Caleb mematikan mesin mobilnya dan bergegas keluar dari mobil. Menghampiri tubuh yang teronggok sambil meringkuk di trotoar.          "Nona..." Caleb menggoyangkan bahu gadis itu. Nihil! Gadis itu tak bergerak sama sekali. Lalu beberapa mobil melintas. Namun mereka tak berhenti juga. Melintas sebuah taksi dan beberapa pengendara motor tapi melewati mereka begitu saja tanpa memperlambat laju kendaraan. Membiarkan gadis ini di sini juga bukanlah sikap seorang gentlemen. Caleb tak ingin berpikir lagi, dia bergegas meraih tubuh gadis itu dan menggendong nya ala bridal style.          "Apa yang sedang terjadi? Apakah Anda baik-baik saja, Mister?" Caleb menoleh. Urung membuka pintu mobilnya. Seorang pria terlihat menghampirinya. Caleb menghela napas.          "Saya baik-baik saja. Ini...kekasih saya. Kami sedang ada masalah dan dia marah."  Caleb mengutuk dirinya untuk alasan yang baru saja keluar dari mulutnya. Tapi, apa pun akan dia ucapkan agar pria di hadapannya ini tidak curiga dan mengira dirinya melakukan sebuah kejahatan.           "Oh...baiklah. Mari saya bantu membuka pintu mobil." Pria itu bergegas meraih pintu mobil dan membukanya untuk Caleb. Caleb merebahkan gadis itu di bangku belakang. Lalu menutup pintu mobil pelan. Dia kembali menoleh pada pria tadi.           "Terima kasih banyak, Pak. Saya permisi."  Pria itu mengangguk dan Caleb berputar. Masuk ke dalam mobilnya dan menjalankannya. Dalam hati dia sangat bersyukur dengan kemampuan berbahasa Indonesia nya yang baik. Dalam hati dia berjanji akan mengajak Ibu Sri Sumiarsih, guru private yang selama ini mengajari nya berbahasa Indonesia untuk makan siang di tempat yang mewah. Atau mengundang nya ke hotel dan memberikan pelayanan spa terbaik dan menginap sampai bosan besok.          Caleb menoleh sejenak ke belakang. Gadis itu masih pingsan dalam posisi miring. Caleb berpikir untuk membawanya ke Rumah Sakit atau paling tidak ke sebuah klinik untuk pengobatan...tapi...itu pasti akan menimbulkan banyak pertanyaan dari para petugas. Dan kemungkinan besar mereka akan memanggil polisi. Caleb mendengus keras. Melajukan mobilnya sedikit cepat menuju rumahnya di pinggiran kota Denpasar. Setidaknya itu lebih aman dan dia dapat terhindar dari masalah yang lebih besar. Dia akan meminta asisten rumah tangganya, Bi Nengah untuk merawat gadis itu dan menyuruh gadis itu pergi saat keadaannya sudah membaik. -----------------------------------           Bi Nengah, asisten rumah tangga Caleb hanya mampu terbengong saat Caleb, tuan mudanya, pulang dan masuk ke rumah sambil membopong tubuh seorang wanita yang sedang pingsan.           "Tuan muda...kamar tidur tamu tadi pagi baru saja dicat. Dan saya yakin belum bisa di tempati..." Caleb berhenti melangkah. Berbelok menuju kamar tidurnya di lantai dua. Kenapa situasi menjadi tidak mendukung seperti ini? Caleb merutuki keputusannya untuk mengganti warna cat kamar tidur tamu di rumahnya yang berjumlah tiga ruang. Bi Nengah mengikuti dengan tergopoh setelah mengambil minyak kayu putih di kotak obat. Dengan sigap perempuan setengah baya itu menghampiri Caleb yang merebahkan tubuh gadis itu ke ranjang nya.           "Tolong urus dia Bi. Ganti bajunya dengan baju Summer yang ada di lemari kamar tamu. Setelah membaik, suruh dia pulang besok pagi."           Bi Nengah mengangguk. Turun lagi ke bawah mengambil baju adik tuan mudanya yang sengaja ditinggal saat kunjungannya yang terakhir dua bulan lalu bersama suaminya.           "Aku butuh mandi. Dan aku tidak akan menolak kalau harus terlelap di bathtub." Caleb melangkah ke kamar mandi dan menutup pintu pelan. Mengisi bathtub dengan air hangat dan segera melepas pakaiannya. Masuk ke dalam air hangat dan berendam sambil memejamkan mata. Setidaknya dia bersyukur...besok dia libur dan berencana untuk tidur seharian di rumah. Tiga puluh menit kemudian, Caleb tersentak. Dia beranjak dari bathtub dan mandi dengan benar. Meraih handuk dan mengeringkan tubuhnya. Caleb melihat jam tangannya yang dia letakkan di wastafel. Sudah jam dua pagi. Tentu gadis itu sudah diurus dengan baik dan mungkin sekarang sedang terlelap. Oooh...sungguh merepotkan. Caleb mengeringkan rambutnya dengan handuk kecil. Keluar dari kamar mandi hanya mengenakan handuk yang melilit pinggul nya. Seperti kebiasaannya yang sudah-sudah.            Saat dia membuka pintu, nampak pencahayaan di kamarnya terang-benderang. Caleb yakin Bi Nengah sengaja menyalakan lampu. Tak dilihatnya perempuan setengah baya itu di kamarnya. Caleb meletakkan handuk kecil bekas mengeringkan rambut ke tempat menjemur handuk di depan kamar mandi  nya saat sebuah teriakan memekakkan telinganya membuat Caleb sontak menoleh.            "Aaaaaaaaaaa...siapa kau? Apa yang kau lakukan di sini!" Caleb mengangkat dua alis nya. Mencerna kata-kata gadis itu yang sekarang tengah menatapnya dengan horor. Gadis itu menutup wajahnya dengan dua tangannya. Namun Caleb tahu, gadis itu bahkan mengintip di sela-sela jarinya.            "Well...kau sudah sadar rupanya. Tidurlah. Dan pergi dari rumah ini begitu matahari terbit." Gadis itu terpaku saat Caleb berbalik menuju jendela kamar. Menyibak tirai nya dan menyisakan tirai pelapisnya.            "Kau horor..."  Gadis itu berkata sangat lirih membuat Caleb yang tengah mengikat tali tirai menoleh. Gadis itu masih di posisinya semula. Masih dengan menutup wajah dengan telapak tangannya. Caleb menatap gadis itu tajam dan mendapati bahwa baju Summer begitu pas di tubuh gadis itu.            "Bagian mana dari diriku yang kau anggap horor?" Caleb menghampiri gadis itu. Berdiri di depan gadis itu. Menjulang tinggi. Bahkan tinggi gadis itu tak mencapai bahunya. Hanya se d**a Caleb. Pas!            "Tunjukkan." Gadis itu menurunkan tangannya.            "Aaaaaaaaaaaa....."  Baiklah! Dia gadis yang suka menjerit... --------------------------------------                     PART 1 
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD