Bab 3

1248 Words
Aku menatap Rafa yang tengah melahap es krimnya. Saat ini, kami tengah berada di kedai es krim dekat play group tempat Rafa bersekolah. Aku tersenyum melihat cara makan Rafa, putraku itu terlihat sangat menikmati makanan yang berjenis dessert itu. "Bunda, nanti kita jayan-jayan, ya?" Ucap putraku, di sela-sela makan es krimnya. Aku menatapnya. "Sayang, ini udah sore loh. Langitnya juga udah mendung, kita pulang aja ya." Aku berkata dengan halus, berusaha mencegah rasa kecewa di hatinya. "Yah, Bun. Rafa bosen di lumah teyus, Rafa butuh lefeshing," katanya setengah mengomel. Hah, lucu sekali anakku ini membuatku ingin tertawa saja. Niatnya bilang 'refreshing' tapi karena cadel, jadi 'lefeshing'. "Ih, Bunda kok mayah ketawa sih? Bunda nyebelin! Rafa malah nih!" Eh, marah? Aku menggeleng-gelengkan kepalaku, lalu mengambil tisu dan membersihkan tangan Rafa dari sisa-sisa es krim di tangannya. "Jangan marah, dong. Kalau Rafa marah, Bunda sedih loh. Lagian, kamu nggak kasian sama Mbak Naya yang di rumah sendirian?" Aku memasang wajah sedihku. "Ih, Bunda jangan sedih, maafin Rafa yah. Nggak pa-pa deh, kalo Rafa nggak jayaan-jayan, tapi Bunda jangan sedih ya? Rafa tadu lupa sama Mbak Naya," kata Rafa yang langsung menghambur kepelukanku, aku mengembangkan senyumku. Putraku ini, selain tidak bisa mengucapkan huruf 'R' dengan benar, terkadang ia juga tidak bisa menyebut huruf 'L'. "Bunda nggak marah kok. Bunda janji, kapan-kapan Bunda ajak Rafa jalan-jalan sekalian sama Mbak Naya juga, kita jalan-jalan ke tempat yang Rafa mau, oke?" Aku mengelus rambutnya lembut, mencoba menghilangkan rasa bersalahnya. "Oke, Bun." Aku tersenyum mendengar ucapannya yang terdengar antusias. "Ya udah, kita pulang yuk. Udah mendung keburu hujan nantinya," kataku sambil membelai rambutnya. Rafa mengangguk, ia merentangkan tangannya memintaku untuk menggendongnya. Aku tersenyum dan mulai menggendong tubuhnya. Sebelum keluar dari kedai es krim, aku membayar es krim yang tadinya kami beli. **** Benar saja dugaanku, sudah beberapa hari ini hujan mengguyur daerah tempat tinggalku. Kemarin saja, hampir satu hari penuh aku tidak bisa keluar rumah. Ya, itu gara-gara hujan yang tak kunjung reda. Tempat tinggalku yang berada di daerah rawan banjir pun, sempat tergenangi air. Mungkin kemarin itu tingginya mencapai sepuluh senti. Tapi beruntungnya, saat menjelang malam. Air mulai surut. Tubuhku yang semula sudah merasa teramat lelah, harus merasa lelah kembali karena harus mengepel lantai. Untung saja, Naya yang sedang hamil besar mau membantuku, walaupun hanya sedikit-sedikit. Lagipula aku juga khawatir dengan keadaannya, biar bagaimanapun ada nyawa lain di dalam tubuhnya. Jadi akan sangat bahaya jika ia terlalu lelah. Khawatir memang, saat musim seperti ini, beberapa titik di atap rumahku mengalami kebocoran. Hingga mengakibatkan aku harus susah-susah mencari ember, bak, atau sesuatu yang dapat menampung tetesan air itu. "Bunda, tempat yang itu masih bocol. Tadi embelnya udah habis," kata putraku sambil menujuk ke arah meja makan. Tetesan air itu sedikit menciprat. Tentu saja, air yang menetes itu memiliki volume yang cukup banyak, membuatnya terciprat saat bertabrakan dengan permukaan datar benda berbahan kayu itu. "Kamu ambil baskom di dapur ya, nanti kamu taruh tepat di titik yang bocornya. Rafa ngerti 'kan?" "Ngeti Bun, Rafa ngeti. Rafa ambil baskomnya di dapul dulu ya." Rafa langsung berlari kecil menuju dapur. Beberapa saat berselang, putra tampanku itu sudah kembali dengan membawa sebuah baskom berukuran besar. "Biar Mbak Naya aja yang naruh, Raf. Rafa mending duduk aja ya, nanti Rafa kecapean lagi," kata Naya yang baru menaruh ember di salah satu sudut rumah kami. "Naya, kamu jangan banyak beraktivitas. Nanti kamu kelelahan, mending kamu istirahat di kamar aja. Kamu juga ya, Rafa sayang." Aku berkata sambil mengambil baskom di tangan Rafa. "Nanti Mbak Lena yang kecapean, tadi sebelum Mbak jemput Rafa, Mbak harus kerja dulu, setelah jemput Rafa Mbak kerja lagi. Seharusnya Mbak Lena lah yang istirahat," ucap Naya dengan nada kesalnya. Aku tersenyum. "Mbak nggak capek, lagian Mbak seger buger kayak gini. Kamu temenin Rafa tidur aja, Mbak mau ngurusi dapur dulu. Udah malem juga, nggak baik untuk ibu hamil," ucapku seraya menggendong Rafa. "Rafa tidur dulu ya, besok kan Rafa harus sekolah. Nggak boleh tidur malem-malem." Aku melihat Rafa yang cemberut. Putraku ini sangat perhatian padaku, ia selalu tidak rela jika melihat ibunya ini terlalu bekerja keras. "Tapi Bun, Rafa..." "Rafa, nggak baik ngebantah kata-kata orang tua, apalagi ibunya. Jadi, Rafa tidur dulu ya?" Aku mencium ke dua pipi tembamnya. "Okeyah kayau gitu, Rafa tidul duyu ya Bun, nanti kayau Bunda udah capek, Bunda cepet nusul Rafa," katanya dengan logat lucu. "Iya, sayang." Kembali aku mencium pipinya. "Mbak Lena, harus istirahat kalau udah lelah. Jangan maksain diri Mbak," kali ini Naya lah, yang berucap. Aku senang, setidaknya aku masih memiliki orang-orang yang peduli padaku. Setelah itu, aku menurunkan Rafa dari gendonganku. "Bobok yang nyenyak, Sayang." Rafa tersenyum lebar, hingga menampilkan deretan giginya yang masih rapi, karena aku selalu menyuruhnya untuk rajin menggosok gigi. Setelah mereka berdua pergi, suasana hening seketika. Hanya terdengar dentingan tetesan air yang mengenai wadah penampungnya. Aku menghela napasku, masih banyak pekerjaan yang menungguku saat ini. Aku berjalan ke dapur, meskipun dapur rumah ini kecil, tapi aku berusaha membuat kondisinya terlihat bersih. Di sini, tidak terlalu banyak titik yang bocor. Aku pun segera meletakkan beberapa baskom kecil yang memang sudah aku sediakan. Setelah beberapa saat bergulat dengan pekerjaan ringan ini, aku berjalan menuju ruang tamu. Syukurlah, hanya satu titik yang terkena tetesan air. Aku segera menaruh baskom itu di sana. Aku menghembuskan napas beratku, lalu memilih mendudukan diriku di kursi reot yang ada di ruang tamu. Aku menatap ke arah jendela luar yang gordennya segaja belum aku turunkan. Hujan. Ada sesuatu hal saat hujan turun, kenapa ingatan itu tiba-tiba muncul? Kenapa rasa sakit ini kembali hadir? Sungguh saat ini aku tidak ingin merasakan sakit, aku terlalu lelah. Namun, ingatan itu semakin banyak yang menghantui ingatanku. *** "Sayang, kamu makin hari makin cantik aja. Aku cintaaaa banget sama kamu." Aku tersenyum mendengar perkataannya. Leon, laki-laki itu sangat baik padaku. "Ih, Kak Leon. Aku jadi malu. Kakak juga tampan, kok." "Kamu lucu banget, kakak tambah cinta sama kamu. Kakak jadi nggak rela ngelepasin kamu." Aku tersenyum senang, dia laki-laki pertama yang menjamah hatiku. Laki-laki pertama yang selalu membuatku bahagia. "Hujan hujan gini, suasananya tambah romantis, ya?" Aku mendongakkan kepalaku yang tadinya bersandar di d**a bidangnya. Menatap laki-laki berwajah tampan di hadapanku ini dengan kening berkerut. "Maksudnya?" Tiba-tiba dia terkekeh, lalu mencubit hidungku gemas. "Ih, jangan dicubit-cubit dong, sakit tau!" Ucapku mengaduh. "Habisnya kamu lucu, deh. Maksud kakak itu, hujan-hujan gini, apalagi kita lagi berdua gini, rasanya romantis banget. Huh, aku merasa menjadi laki-laki yang paling beruntung karena udah dapetin perempuan sebaik kamu." Aku tersipu mendengar ucapannya, pipiku memanas. "Ah, Kakak gombal mulu kerjaannya." "Kakak nggak gombal tau, kakak serius ngomongnya. Oh ya, kamu mau janji nggak sama kakak?" Janji? Janji apa coba? "Janji apa kak?" "Janji kalau kamu bakal selalu ada di sisiku. Kalaupun nantinya kita berpisah, kita harus bersama lagi. Karena, sebelum ini kita sudah terikat. Akan banyak rintangan dengan hubungan kita nantinya. Kamu harus janji, suatu saat nanti, kamu harus kembali sama aku. Biarkan hujan yang menjadi saksi bisu janji kita ini. Kamu mau kan, janji sama aku?" "Tentu saja, aku bakal selalu ada di sisi kakak. Kakak juga janji harus selalu ada di sisiku, jangan pernah tinggalin Lena kak." "I'm promise." "I'm promise." Kedua jari kelingking kami saling bertaut. Dan hujan benar-benar menjadi saksi janji kami. **** Janji, aku masih mengingat jelas janji itu. Tapi, bukankah dia yang meninggalkanku duluan? Bukankah dia yang menghilang dari sisiku. Lalu kenapa dia membuat janji kalau tidak bisa menepatinya? Kenapa dia hanya bisa menciptakan luka besar di hatiku? Kenapa?! **** Tbc Maaf untuk typonya dan ceritanya yang aneh.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD