Prolog

882 Words
Sambil mengamati eksterior dari bangunan di hadapannya, Ghibran melirik Cedric. Laki-laki itu meletakkan tangannya di dagu, kemudian ia mengedarkan pandangannya ke sekeliling. Bangunan di hadapannya dikelilingi oleh perkebunan teh, dan ada beberapa tempat-tempat wisata hits yang biasa digunakan untuk berfoto, serta warung-warung yang menjadi pelengkap. Ghibran tidak percaya, rumah milik keluarga Cedric yang sudah ada sejak zaman penjajahan Belanda. Ah, ralat. Keluarga Cedric memang keturunan Belanda yang menetap di Indonesia. Maka dari itu, rumah ini jatuh ke tangan keluarganya. “Lo pasti kaget kan bang, kenapa rumah kayak gini ada di tempat ini? Udah kayak rumah di film-film ya?” kata Cedric, ia berjalan menuju pintu depan, lalu mengeluarkan kunci dari saku celananya untuk membuka pintu. Ghibran mengangguk, “Kenapa masih dipertahankan?” tanyanya bingung, “kenapa masih mau tinggal di sini? Sekarang kan pasti banyak rumah produksi film yang mau beli rumah ini untuk syuting.” Cedric menggeleng, “Udah wasiat turun temurun, bang. Rumah ini nggak boleh di jual karena satu hal. Gue nggak tahu apa sih, cuma orang tua serta nenek dan kakek gue tahu.” Ghibran menyusul Cedric memasuki rumah tersebut. Seketika, bau debu dan apek langsung menusuk di hidung keduanya. Banyak sekali sarang laba-laba, serta furnitur yang dilapisi oleh debu yang sangat tebal. “Keluarga gue minta rumah ini dalemnya aja yang direnovasi biar bisa ditinggali lagi. Kalau luarnya, mereka minta supaya tetap terlihat seperti itu untuk menjaga keasliannya,” jelas Cedric. “Yaudah, gue lihat-lihat sekalian foto-fotoin dulu ya, buat cari ide.” Kata Ghibran, ia berencana berkeliling dan tidak mengindahkan peringatan Cedric sebelumnya bahwa rumah ini cukup angker untuk orang asing. “Nggak apa-apa sendirian?” tanya Cedric. Ghibran tertawa, “Kan udah gue bilang, gue nggak takut sama yang begituan.” Cedric kemudian memukul bahu Ghibran, “Oke deh, gue tunggu di depan ya, mau ngerokok. Kalau ada apa-apa di lantai dua bilang aja sama gue.” Ghibran yang sudah sibuk memfoto setiap sudut rumah pun mengangguk, “Sip,” sahutnya yang segera pergi berkeliling rumah tersebut. Rumah itu jelas memiliki desain interior Belanda yang cukup unik, ia bahkan tidak tahu mengapa keluarga Cedric ingin merubah desainnya. Padahal, seharusnya ini menjadi nilai plus, bukan? Tapi Ghibran sendiri sih, tidak akan mau tinggal di rumah seperti ini. “Bang,” panggil Cedric, “keluarga gue minta untuk nyingkirin furnitur-furnitur yang udah ketinggalan zaman ini dan ganti yang baru, menurut lo gimana?” “Bisa diatur, Ced. Cuma, emangnya gak sayang ya? Furnitur di sini masuknya barang antik, loh.” Cedric mengangkat bahunya, “nyokap mau yang modern,” jawabnya. “Oke.” “Yaudah gue balik ke depan deh,” ujar Cedric, yang sejujurnya tidak mau lama-lama berada di dalam rumah itu meskipun nantinya keluarganya akan segera menempatinya setelah renovasi selesai. Ghibran kembali melanjutkan kegiatannya, ia menaiki tangga menuju lantai dua. Setelah sampai di lantai dua, ia dihadapkan dengan lorong yang cukup besar dan pintu-pintu kamar berwarna putih kusam. Ghibran membuka satu persatu pintu kamar tersebut, kemudian mengeceknya. Selesai mengecek satu kamar dan memfotonya, Ghibran terkejut ketika melihat seorang perempuan berambut pirang dengan pita di kepalanya yang memakai terusan berwarna biru tiba-tiba saja masuk ke dalam kamar paling pojok. Ia mengernyit, lalu menghampiri gadis itu. “Mbak, saudaranya Cedric?” tanyanya. Karena sepertinya yang ia lihat barusan adalah orang asing, Ghibran berpikir bahwa gadis itu adalah saudara Cedric yang kebetulan juga sedang mengecek rumah ini. Ghibran menghampiri gadis itu, membuka pintu kamar paling pojok dan melihatnya berada di dalam kamar itu sedang tersenyum. Gadis itu berdiri menggunakan terusan berwarna biru, dan pita di kepalanya bergoyang seraya ia tersenyum. “Mbak, saudaranya Cedric kan?” tanya Ghibran sekali lagi memastikan. Selain itu, Ghibran yang masih memegang handphonenya juga masih memandang ke sekeliling. Melihat keadaan kamar itu yang terdapat sebuah lemari putih kusam dan tempat tidur tua yang penuh debu. Sepertinya kamar ini dulunya kamar anak perempuan, bisa di lihat dari catnya yang berwarna rose. Gadis itu mengangguk, “Anneliese,” ucapnya dengan nada bicara yang sangat lembut. “Ah, Anneliese. Unik ya namanya,” komentar Ghibran, dan tidak heran jika keluarga Cedric memiliki nama-nama yang unik dan tidak biasa dimiliki oleh orang Indonesia. Dia, gadis bernama Anneliese itu berjalan perlahan mendekati Ghibran. “Nama?” tanyanya. Ghibran mengerjapkan matanya, “Ghibran,” ujarnya menjawab. Anneliese tiba-tiba saja meletakkan telapak tangannya yang pucat di wajah Ghibran. Gadis itu menutupi mata laki-laki itu hingga Ghibran tidak bisa melihat apa pun, dan ketika ia membuka mata, suasana di sekelilingnya berubah total. Lemari yang ada di pojok ruangan tidak lagi terlihat kusam, begitu juga dengan tempat tidurnya yang tiba-tiba saja sudah dilapisi dengan sprei berwarna merah jambu. Sinar matahari pun bebas masuk ke dalam ruangan, dan tepat mengenai wajahnya. Ghibran mengerjapkan matanya, “Kamu bisa sulap?” tanyanya. Anneliese berjalan menuju sebuah meja yang Ghibran yakin sebelumnya tidak ada di sana, ia menunjukkan sebuah kalender kepadanya yang menunjukkan tahun 1932 di sana. “Hah?” tanya Ghibran bingung. “Dua puluh tujuh mei,” kata Anneliese. Ghibran mulai panik karena ia tidak mengerti, ia menghampiri jendela kamar itu yang langsung menghadap ke luar. Tidak ada motornya dan Cedric di halaman, tidak ada lagi tempat-tempat wisata hits dan tenda-tenda warung. Yang ada di sana hanyalah sebuah hamparan bukit berwarna hijau serta jalan setapak tanpa aspal di antara pepohonan. Apa yang terjadi?! 
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD