Bab 2

1101 Words
Mata kuliah hari ini sangat membuat Lia bosan. Sampai-sampai gadis itu tertidur di dalam kelas saat jam mata pelajaran sedang berlangsung. Dosen yang sedang menjelaskan materi di depan pun terdiam saat melihat salah satu muridnya tertidur di jam kelas sedang berlangsung. Gianna—sahabat Lia—hanya menggelengkan kepalanya ketika melihat sahabatnya sedang tertidur pulas. Seolah tanpa beban hidup Lia mengeluarkan suara dengkuran halus. Dosen yang terkenal galak dan tegas itu pun menghampiri Lia yang sedang bergelut dengan mimpinya. “Ekhem!” dosen itu berdehem cukup keras, sampai-sampai membuat semua murid yang berada di kelas itu menggigil ketakutan. Gianna yang melihat itu pun hanya bisa pasrah, dia tidak bisa berbuat apa-apa. Tingkah Lia memang terkadang keterlaluan. Sering kali mengabaikan penjelasan dosen. “Lia, apa kamu kira kelas saya ini tempat hotel sehingga kamu seenaknya tidur dengan nyenyak di saat kelas saya sedang berlangsung?” Lia mengeliat saat mendengar suara bas di dekat telinganya. Gadis itu mengusap ke dua matanya untuk menghilangkan kantuk yang luar biasa beratnya. Dia mendongak dan sudah mendapati sang dosen yang berdiri tepat di sampingnya. “Kok Bapak bisa ada di samping saya?” tanya gadis itu dengan tatapan yang polos. Sang dosen murka dan langsung mengusir Lia dari kelasnya dan bisa di pastikan gadis itu akan tinggal di semester ini. “Cepat angkat kaki dari kelas saya, atau saya seret kamu untuk keluar!” Lia meneguk ludahnya kasar, tenggorokannya seperti tercekik sebuah tali tambang yang besar. “Tapi Pak ….” “Saya tidak meminta kata ‘tapi’ kamu itu, Lia. Sudah puluhan kali saya memberi kamu kesempatan, tapi kesempatan itu selalu kamu abaikan. Sekarang kamu keluar dari kelas saya sekarang juga!” Gadis itu menghela napasnnya kasar lalu dengan perasaan yang berat dia beranjak dari duduknya. *** “Kenapa dosen itu selalu menyebalkan?” Sedari tadi Lia tidak berhenti mengomel di kantin kampus yang masih sangat terlihat sepi. Sembari meminum es jeruknya dia merutuki tindakan dosen yang selalu kejam kepadanya. Jam pun telah bergulir begitu cepat, tidak terasa mata kuliah hari ini telah selesai. Semua mahasiswa dan mahasiswi berhamburan keluar kelas. “Lia.” Gadis pemilik nama tersebut terperanjat kaget saat sebuah tangan menepuk pundaknya. Lalu dia menoleh ke belakang dan mendapati Gianna yang sedang berdiri di belakangnya. “Kaget tau,” omel Lia dengan bibir yang mengerucut. “Kenapa melamun? Menyesali perbuatanmu tadi yang tidur di kelas? Sudah berapa kali aku bilang sama kamu Lia, rubah semua gaya hidup kamu yang tidak sehat. Tidak usah begadang untuk hal-hal yang tidak penting. Sudahi acara menonton drama kesayangan kamu itu, mulai menata masa depan yang lebih baik.” Lia menutup ke dua gendang telinganya, lelah rasanya mendengar ceramah geratis dari bibir Gianna yang nampaknya tidak akan pernah lelah jika memarahi Lia. “Lita, aku mohon jangan sekarang kalau mau ceramah. Aku lagi pusing memikirkan drama yang semalam aku tonton.” Gianna merebut minuman Lia, lalu gadis itu meneguk isinya sampai tandas. “Bukan tugas kamu juga untuk memikirkan drama itu.” Lia berdecak kesal. “Kenapa Lita selalu melarang Lia untuk menonton drama? Padahal menonton drama itu adalah salah satu hobi Lia. Lita pun tahu itu.” “Itu bukan hobi, Lia. Menonton adalah awal dari kemalasan kamu nanti di masa depan!” Gianna beranjak dari duduknya. “Sudahlah, menasehati kamu memang hanya buang-buang tenaga dan pikiran.” “Mau ke mana?” Tanya Lia saat Gianna mulai melangkahkan kakinya. Gianna membalikkan badannya dengan tatapan yang malas. “Pulang,” jawabnya singkat lalu kembali melanjutkan langkahnya. Lia kembali berdecak kesal, gadis itu menyambar tasnya yang sedari tadi dia letakkan di atas meja lalu dia pun mengejar sahabatnya. “Lita tunggu!” perintahnya lalu berlari. *** Sesampainya di rumah Lia, gadis itu menatap heran pada halaman rumahnya. Pasalnya halaman rumah yang biasanya kosong, kini terisi penuh oleh deretan mobil-mobil mewah milik pengusaha kaya raya. “Wow. Apa mungkin Papa memiliki usaha penjualan mobil mahal?” gumam gadis itu sembari menatap deretan mobil mahal itu tanpa berkedip. “Non Lia!” Suara mbok Ijah seorang asisten rumah tangga ke dua orang tuanya itu membuat Lia menoleh lalu tersenyum. “Mbok!” Lia berlari kearah wanita paruh baya itu dengan semangat yang tinggi. Semua orang di rumahnya pun tahu Lia dan asisten rumah tangganya itu sangat dekat bagaikan saudara. “Non Lia sudah di tunggu nyonya dan tuan di dalam,” ucap mbok Ijah. “Memangnya ada apa, Mbok?” tanya gadis itu masih di selimuti kebingungan. “Mbok juga tidak tahu, Non. Sebaiknya non Lia cepat masuk.” Lia pun mengangguk. “Kalau begitu Lia masuk dulu ya Mbok. Ingat kan apa pesan Lia?” Mbok Ijah mengangguk. “Tidak boleh terlalu lelah. Nanti pinggang Mbok bisa sakit.” Lia memberikan dua jempol tanganya dengan senyum yang mengembang. “Mbok hebat sekali.” Lalu gadis itu masuk ke rumahnya. Semua mata tertuju pada Lia, membuat seluruh tubuh gadis itu mengeluarkan keringat dingin. Hingga tatapannya tertuju pada sang mama yang sedang bersebelahan di samping sang papa. “Sini sayang,” ucap Watika lembut membuat kaki Lia perlahan melangkah mendekat. “Mah, ada apa ini?” tanya gadis itu sedikit berbisik. “Cukup diam dan turuti apa kata Papa,” sahut Kawindra dengan wajah yang datar. Ke dua matanya tertuju pada seorang lelaki yang tidak sengaja menambraknya tadi. Namun, ada yang berbeda dari lelaki itu, dia terlihat lebih pendiam dan wajahnya tidak sedater saat bertemu tadi pagi. Suasana yang canggung pun membuat Lia merasa tidak nyaman di tengah-tengah mereka yang terlihat serius. “Mah, Lia ke kamar dulu ya.” Saat gadis itu beranjak, Watika langsung mencekal pergelangan tangan sang putri. Kawindra menatap Lia penuh peringatan. “Duduk Lia!” perintahnya. Ketegasan itu membuat Lia diam dan kembali duduk. “Kamu akan menikah dengan Tuan Sacha,” ucap Kawindra langsung pada intinya. Watika yang mendengar itu hanya bisa diam dan pasrah. “Pah, becandanya nggak lucu,” ucap Lia dengan senyum tidak percaya. “Papa sedang tidak melucu, Lia!” ke dua mata Kawindra menatap putrinya tajam. Senyum yang terbit di wajah Lia seketika musnah. Digantikan dengan raut kebingungan. Lia tidak menyangka papanya akan mengucapkan kata itu untuk putri semata wayangnya. “Tapi kenapa? Bukankah Papa selalu menuntut Lia untuk berpendidikan tinggi? lalu mengapa Papa memutuskan dia untuk menikahi Lia?” Gadis itu bertanya dengan nada yang tinggi. “Demi perusahaan Papa,” jawab Kawindra dengan tatapan yang sayu. “Ini nggak adil!” Lia pun beranjak dari duduknya dan lari menuju kamarnya yang terletak di lantai dua. Semua orang terdiam, bukan karena penolakan Lia, melainkan raut wajah Sacha yang sedari tadi sudah mengeras menahan amarah yang sebentar lagi akan meledak.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD