Choose ur thesis-1st our

2623 Words
-Korea- Namaku Moon Min Jun, mahasiswa semester akhir, jurusan Hubungan Internasional tapi tidak pandai berbahasa asing kecuali Bahasa Inggris. Yah, kan tadi aku bilang jurusan Hubungan Internasional, bukan jurusan Bahasa saja. Umurku, em, menurut kalian berapa? 23? Yups! Dan aku adalah mahasiswa semester akhir yang tengah menderita gangguan stress serta depresi karena terlalu sering mengerjakan revisi skripsi.  Parah sih, selain menguras tenaga dan pikiran skripsi itu juga menguras emosi. Dari semester lima kemarin aku sudah mulai mengumpulkan kesabaran, dan ready stock hujatan beserta sumpah serapahnya kalau-kalau dosen menyuruhku untuk revisi terus menerus. Lamunan singkatku buyar saat mendengar suara berat dan tajam itu. “Moon Min Jun, sampai kapan kau akan terus melakukan revisi seperti ini?” tanya Pak Yuno sebari menatapku, netra dibalik kacamata itu menyorot tajam. Aku tak berani menatap manik mata Pak Yuno lebih dari satu menit, hanya sekilas saja sudah membuatku gemetar. “Saya harap, ini kali terakhir kau melakukan revisi” tampak nya Dosen berusia 53 tahun itu tengah menahan kesal karenaku. Yah, wajar sih soalnya dari beberapa mahasiswa yang ada di bawah bimbingan Pak Yuno sepertinya aku yang paling lama selesainya. Aku mengangguk mantap sebari memasang wajah semeyakinkan mungkin, “Baik, Pak.” jawabku singkat, Pak Yuno mempersilahkanku untuk pulang dan segera melakukan revisi. Aku pun tanpa banyak bicara langsung berjalan keluar ruangan. Kepalaku berdenyut, ah, jujur saja aku sudah stuck lantaran keseringan revisi.  Tapi aku tidak akan menyerah begitu saja karena tinggal selangkah lagi aku akan lulus kuliah, setelah itu aku akan bekerja dan menikah. Sungguh keinginan yang sederhana tapi begitu sulit untuk ku lakukan. Karena pada kenyataannya, hidupku tak semulus keinginanku. Hari ini setelah bimbingan rasanya aku ingin langsung pulang dan istirahat, dirumah pasti Amma sudah memasak makanan yang menggugah selera untukku. Lagipula, aku bukan mahasiswa yang suka pergi ke cafe dan menghabiskan waktu berjam-jam hanya untuk menikmati secangkir kopi, lebih baik rebahan di rumah dan menonton netflixx di temani banyak cemilan. Sungguh surga dunia bukan? “Min Jun-a!!” aku menghentikan langkah saat mendengar panggilan itu, mencari siapa yang baru saja meneriakan namaku. Seorang gadis yang, em, bisa aku bilang cantik tengah berlari ke arahku. Senyum manis tersuguh, senyuman itu mampu mengusir sedikit rasa lelahku.  “Ya, Herrinie” balas ku memanggil namanya. Netra Herrin turun menatap gulungan kertas yang ada tanganku, tersenyum miring. “Revisi lagi?” tanya dia mengejek, aku memukul bahu Herrin menggunakan gulungan kertas tadi, gadis itu terkekeh.  “Ya! Min Jun-a, bukankah kau sudah berjanji akan lulus bersamaan denganku?" “Memangnya, skripsimu sudah selesai?” tanyaku meragukan dia. Herrin mengeluarkan tumpukan kertasnya, seraya tersenyum bangga “Viola!! Aku lulus tahap skripsi, tinggal mengurus beberapa hal untuk sidang nanti.” aku merampas kertas yang dipegang oleh Herrin, membaca judul dan isinya sekilas, lantas mendengus.  “Bagaimana mungkin kau selesai secepat ini? Bahkan, aku lebih dulu memulai bimbingan." Aku menyipitkan mata, menatap curiga ke arah Herrin yang spontan memukul bahuku. “Karena aku rajin dan kau pemalas.” Gadis itu merampas kembali benda pusakanya, lantas memasukan tumpukan kertas itu ke dalam tas kembali. "Tenang saja, kalau kau membutuhkan bantuanku untuk menyelesaikan skripsi itu, aku pasti akan membantumu." Aku segera menggeleng, meski sebenarnya itu adalah ide yang bagus juga. "Biarkan aku menyelesaikannya sendiri, Herrin. Kau sudah terlalu banyak membantuku di bab 1-3 dulu" jawabku, lagi-lagi mencoba memasang wajah semeyakinkan mungkin untuk ku tunjukan agar Herrin percaya. “Terserah kau saja, aku hanya menawarkan bantuan tadi. Kalau kau ingin mandiri, itu lebih baik" katanya, jemari lentiknya tiba-tiba saja mengacak rambutku, desiran aneh merasuki hatiku. Rasa apakah ini?  "Aku akan pergi sekarang, kau harus segera menyelesaikan revisi itu, aku akan menunggumu di panggung kelulusan nanti, dan kita akan datang ke pesta prom bersama” lagi-lagi dia tersenyum, kali ini giliran tanganku yang tak kuasa untuk tidak mengacak rambut lebat itu. Herrin menepis nya karena risih. Aneh, dia suka sekali mengusap rambutku tapi dia sendiri tidak pernah suka saat ku usap rambutnya. Saat gadis itu mulai melangkah, aku menginterupsi. "Ya! Herrinie!" gadis itu menoleh kembali, menaikan alisnya. "Hati-hati di jalan!" Herrin hanya membalasnya dengan senyuman dan anggukan kepala. Oh iya, mumpung orangnya sudah tidak ada maka aku akan membicarakan sedikit tentangnya. Nama dia Kim Herrin, tetangga sekaligus teman baik ku. Dia dekat dengan keluargaku juga denganku, kita sudah berteman cukup lama, kalau tidak salah saat aku mulai masuk di Universitas ini. Dia baik dan cantik, aku menyukai pribadinya, hanya saja dia itu moody an, Herrin anak broken home.  Dulu mental gadis itu terguncang, tapi berkat aku dan keluargaku yang selalu ada disamping Herrin, perlahan dia pulih kembali, setahuku sih begitu. Aku ingin menceritakan lebih banyak soal Herrin, hanya saja timing nya kurang pas. Jadi, itu dulu informasi soal Herrin dan nanti akan aku sambung lagi, kalian kepo apa? Perasaanku kepadanya? Hanya sebatas teman, tidak lebih. Aku melanjutkan langkah menuju halte bus, siall, aku jadi kepikiran soal revisi skripsi ini lagi. Tinggal dua bab lagi, seharusnya bukan hal yang berat. Tapi akhir-akhir ini aku sudah lelah dan kehilangan semangat.  "Nanti kalau di tanya sama Ibu negara aku harus jawab apa ya?" duh, pusing sendiri kan. Rambutku gatal sekarang, aku menggaruk nya sembari terus berjalan. Seperti keluhan yang  langsung sampai di telinga tuhan, tinggal beberapa langkah lagi aku sampai di halte, netraku tak sengaja menangkap pamflet yang tertempel di tiang listrik. Menatap sekitaran yang sepi serta memastikan kalau tidak akan ada yang melihat kegiatanku, aku mendekat untuk melihat apa isi pamflet tersebut. JASA PEMBUATAN SKRIPSI Tanpa berpikir dua kali aku langsung melepaskan pamflet itu dari tiang dan meremasnya, lantas memasukan kertas yang pastinya sudah lecek ke dalam kantong celana, entah kenapa jantungku rasanya tengah dipacu dengan kencang, perasaan ini semacam rasa senang bercampur dengan rasa takut.  Kalian, jangan tiru apa yang barusan aku lakukan ya, aku melakukan ini semua karena terpaksa. Tak lama bus datang, aku segera masuk ke dalam nya. Untung saja bus merah tanpa tingkat ini tidak penuh, jadi aku mengambil tempat duduk dibelakang.  Kembali memastikan keadaan, dengan hati-hati aku mengeluarkan kertas dari saku celana, membuka pamflet nya untuk k*****a. Kesulitan membuat skripsi?  Tidak usah khawatir, saya ada untuk membantu anda. Silahkan datang ke alamat yang tertera di bawah, untuk masalah harga tidak penting. Asal skripsi anda berhasil dan anda lulus, harga bisa dinego. Tertanda -K- Setelah membacanya aku memasukan pamflet itu ke dalam tas, mengubah tujuan yang awalnya menuju ke rumah jadi menuju ke alamat tersebut. Sepanjang perjalanan rasanya sangat gugup, kejadian ini begitu mendadak membuatku ragu kalau semua ini benar-benar nyata.  20 menit kemudian aku turun dari bus, menatap sekeliling lantas berjalan menuju alamat yang tertera di pamflet tadi. Tentunya bukan alamatku, lupakan soal makanan dan istirahat apalagi menonton netflix, karena kesempatan kali ini tidak akan datang dua kali dan tidak akan aku sia-siakan begitu saja. Rumah minimalis bercat biru berpagar putih, aku kembali menatap sekeliling, keadaannya sepi dan tenang.  Kalian jangan menginterupsi kegiatanku yang suka memastikan keadaan. Toh kalian kalau ada di posisi ketakutan bahkan setiap detik selalu merasa was-was dan mengecek keadaan kan? ngaku! "Ada yang bisa saya bantu?" "Heol!"  Ish! Ini semua gara-gara kalian yang suka mengomentari kelakukan ku. Tapi, tunggu dulu, dari mana datangnya gadis itu? Ya! dia adalah seorang gadis yang tiba-tiba saja muncul lantas membuatku kaget, masih dengan debaran jantung yang berdetak sangat cepat aku menelan saliva, menarik nafas dalam-dalam lantas menghembuskannya sebelum berbicara. Sumpah demi apapun, rasanya jantungku akan lepas karena kaget tadi.  "Aku, aku--" Ah, kurang ajar, tanganku meremas kertas yang sedari tadi aku genggam. Kegugupanku ini murni karena aku kaget tadi ya, bukan karena gadis yang ada di depan ku ini sangat cantik.  Netra almond gadis berambut panjang itu turun menatap kertas pamflet yang aku remas. "Bantuan skripsi?" Masih dengan wajah seperti orang t***l disertai kebingungan aku mengangguk, gadis berambut panjang itu mengajakku masuk ke dalam rumah, aku membiarkan netraku menatap sekeliling ruangan, dindingnya yang kosong, tidak ada foto apapun, hanya ada sofa dan meja dengan vas bunga kecil di atasnya.  "Apa kau tinggal disini sendiri?" pertanyaan itu meluncur begitu saja dari mulutku, gadis yang belum aku ketahui namanya itu mengangguk. Dia berjalan ke dapur untuk meletakan plastik belanjaan nya, eh, sejak kapan dia bawa belanjaan dan kenapa aku baru sadar? Tak lama gadis itu muncul kembali dengan segelas air putih. "Aku Kayana" ucap dia memperkenalkan diri, gadis itu mengulurkan tangan disertai dengan senyum manis yang mengembang dari bibirnya. Pipinya sedikit chubby dengan dimple di kedua sisinya.  Ya ampun, aku sudah sering melihat senyuman manis seperti itu, tidak jauh-jauh, Herrin memilikinya, tapi entah kenapa senyuman gadis bernama Kayana ini terlihat begitu memikat. Aduh, aku tidak boleh lengah, ingat apa tujuanku datang kemari. "Moon Min Jun" jawabku sebari menerima uluran tangan nya, tak lama, hanya selang beberapa detik Kayana langsung melepaskan tautan tangan tersebut. Dia meraih kertas lusuh yang sudah aku remas tadi, merapikan nya sejenak sebelum berceletuk. "Jadi, apa yang bisa aku bantu?" tanya gadis itu, panggilan yang awalnya ‘saya’ sudah berubah jadi ‘aku’ setelah berkenalan.  Aku menepuk dua kali pipiku agar segera tersadar. Kalian belum tau kekuranganku ya, nanti aku kasih tau, jangan sekarang karena sekarang aku masih gugup. Mengeluarkan setumpuk kertas yang sudah di coret sana dan coret sini oleh dosen pembimbing tadi. "Ini, skripsiku yang kurang dua bab, sudah 2 kali revisi." ucapku singkat, Kayana menerima kertas yang aku sodorkan dengan senyum tipis.  "Tidak perlu sekaku itu, kita bisa berbicara dengan santai, bukan?" lagi-lagi Kayana mengembangkan senyumnya yang manis itu, aku mengangguk dan mencoba tersenyum juga meski dengan sedikit memaksa. Semoga saja senyumku tidak creepy. Dia mengecek bagian yang salah pada naskah skripsiku, membolak balikan sebentar. Aku menatap wajah nya yang sedang serius membaca. Kalau di kira-kira umur Kayana masih belasan tahun, mungkin masih SMA. For god's sake! Kenapa aku malah memberikan skripsiku pada anak SMA? Mereka mana paham!   "Bolehkah aku tau dimana kau berkuliah?" tanyaku untuk memastikan. Aku tidak bisa menahan rasa penasaran yang sudah menumpuk sedari tadi. "Tidak, aku tidak sedang kuliah. Aku bekerja disebuah restoran. Malamnya, aku akan mengerjakan skripsi milik mahasiswa malas sepertimu" "Hei!"  Kayana terkekeh, dia menutup laman yang baru saja di baca lantas mendongak menatapku, "Aku akan menyelesaikan dua bab yang tersisa, tapi karena bab-bab sebelumnya tidak ada bisakah kau membawanya kemari? Sepertinya aku akan membutuhkan itu nanti.” "Tapi--" "Tenang saja, aku tidak akan mengacaukan skripsi milikmu, justru aku akan membantumu agar cepat lulus dan sidang” Kayana mengeluarkan ponsel nya, lantas di sodorkan kepadaku, "Bisakah aku  mendapatkan nomor ponselmu? Yah, biar bagaimanapun aku pasti akan menghubungimu nanti" lanjut dia, tanpa rasa ragu. Justru sekarang aku yang diselimuti oleh keraguan, atau lebih tepatnya kegugupan. "Apa kau tersinggung dengan ucapanku tadi? Oh ayolah, aku hanya bercanda" Baiklah aku akan jujur sekarang, kegugupanku kali ini bukan karena kaget lagi melainkan karena wajah Kayana yang sangat cantik bak bidadari dan sekarang posisinya begitu dekat dengan wajahku. “Yang mana?” tanyaku bingung. Kayana tersenyum tipis, senyum tipis saja sudah manis, apalagi kalau dia tersenyum lepas. Pasti aku akan langsung kena diabetes. “Mahasiswa malas" jawab dia singkat. "Aku tau" jawabku juga sama singkat nya, mana ambigu lagi, aku menerima benda pipih yang dia ulurkan, "Ngomong-ngomong, bolehkah aku tau berapa usiamu?" salah tidak sih bertanya seperti itu? Tapi, aku akan penasaran, jadi tidak salah, 'kan? "18" Aku menatap Kayana dengan tatapan tak percaya, "Sungguh? Aku tidak percaya di usiamu yang baru 18 sudah boleh bekerja di sebuah restoran" Dia mengeluarkan sesuatu dari saku celana nya, "Aku punya ini, disini umurku tertulis 21 tahun. Tapi ini rahasia ya, sebenarnya umurku masih 18 tahun" jawab gadis itu lagi sembari menunjukan kartu identitas nya, dia mendekatkan wajahnya ke wajahku, Kayana menatapku intens, membuatku sedikit tidak nyaman ketika di tatap sedemikian rupa.  Ya kalian bayangkan sekarang, jarak sejengkal saja aku sudah gugup, apalagi sekarang dia semakin mendekat seakan seperti orang yang hendak berciuman. Kalau jantungku punya kaki, mungkin sekarang dia sudah lari terbirit-b***t. Tunggu, apa tadi dia bilang kalau umurnya yang 18 tahun bisa berubah jadi 21 tahun? Aku mengerutkan kening, bagaimana mungkin? Aku tidak pernah tau ada hal aneh seperti itu di Korea. Duh, kenapa perasaanku jadi tidak enak? Aku segera menuliskan nomor teleponku dengan tangan yang gemetar, setelah menuliskan nya, aku mengembalikan benda pipih itu kepada pemiliknya. Jarak kami kembali normal, sejengkal.  "Apa kau yakin bisa membantuku menyelesaikan skripsi itu?" yah, biar bagaimanapun aku tidak bisa menyerahkan kelulusanku pada gadis berusia 18 tahun, kan. Mana tinggal 2 bab gitu loh, takutnya malah jadi acak adut kan bisa rugi aku. Dan kalau Herrin sampai tau, dia pasti akan sangat marah. Kayana menoleh ke arah lemari kaca, mengacungkan telunjuknya ke sana. "Lihat lemari kaca itu? Di dalamnya ada beberapa skripsi yang sudah aku selesaikan. Jika kau masih ragu, silahkan mengeceknya sendiri" "Oke-oke, aku percaya" selaku dengan cepat. Kayana tersenyum, "Kira-kira, kapan aku bisa mengambil skripsi itu?" tanyaku lagi lantaran aku butuh skripsi itu segera. Kayana mengetuk-ngetukan jari telunjuknya di dagu. "3 hari" "Oke, 3 hari lagi aku akan datang kemari" Urusanku sudah selesai, aku bangkit disusul Kayana yang juga ikut bangkit dari duduknya. Dia mengantarkanku sampai depan pintu, tanpa mengucapkan apapun lagi aku segera pergi. Tapi baru beberapa langkah suara Kayana menghentikan pijakanku. "Hei! Jangan terlalu dingin, coba lebih banyak tersenyum dan jangan gugup! Aku tidak akan menggigitmu!" ucapnya dengan lantang, aku menoleh. Menaikan sebelah alis ku, Kayana tersenyum dan melambai. Yah, itulah aku.  Paling lemah kalau sudah berurusan dengan seorang gadis apalagi secantik Kayana, mengendalikan diri agar tidak gugup, mengendalikan hati agar tidak berdebar dan mengendalikan jantung agar tidak lari dari rongganya. Di dalam bus aku tak bisa melunturkan senyumku mengingat sedikit interaksi dengan Kayana tadi. Getaran ponsel membuat lamunan ku ter buyar, merogoh saku celana dan melihat siapa yang mengirim pesan. "Senyummu manis, cobalah lebih banyak tersenyum"-Kay Aigoo~ Kalo sekarang hatiku berdebar, apa aku harus mengendalikannya juga? (^_^)(^_^) “Jun, keluar. Herrin ada di bawah.” Itu teriakan Amma ku yang tadi tengah sibuk membuat kue, entah kue apa. Dengan sedikit malas aku turun dari ranjang dan keluar kamar. Samar-samar aku mendengar suara orang yang tengah bercakap-cakap, sepertinya itu Amma dan Herrin.  Menuruni anak tangga satu persatu, aku mencium aroma bolu pandan. “Ya, Amma. Kau memanggilku?” Herrin meskipun bukan Amma ku, dia juga ikut menoleh. Sedetik kemudian tawa mereka langsung pecah. Aku berhenti di anak tangga paling bawah, menatap kedua orang yang entah tengah tertawa seraya menatapku. "Ya! Jun-ah. Apa yang kau lakukan?" Amma memutar tubuh Herrin, sementara gadis itu masih terkekeh-kekeh. Amma sudah tidak tertawa, justru beliau langsung melotot ke arahku. “Cepat naik dan ganti pakaianmu, Jun!” “Pakaianku? Kenapa aku harus menggantinya?" Wanita yang sudah merawatku selama bertahun-tahun itu menunjuk ke arah celanaku, aku mengikuti arah jari telunjuk Amma dan seketika,..  "HEOL!!” Mendengar teriakan kagetku Herrin langsung memecahkan tawanya lagi, dengan pipi yang sudah memerah mungkin mirip seperti kepiting rebus aku berlari menaiki anak tangga lagi sembari berteriak kembali. “Awas kau, Herrin!!!” Kesal tentu saja, lagian kenapa aku bisa sebodoh ini?? Pasti tadi Herrin sempat melihatku yang hanya mengenakan celana kolor yang sangat pendek, untungnya bukan underwear tapi tetap saja aku sangat malu karena ulah bodohku itu. Setelah sampai di kamar aku buru-buru mencari training atau celana apapun yang sekiranya panjang serta pantas untuk kupakai. Oke, berhenti dulu, jangan gugup. Aku menarik nafas panjang lantas menghembuskannya perlahan. “Okay, jangan gugup. Anggap saja cuma kecelakaan, Herrin tidak melihatnya. Dan kalaupun dia lihat…” “Aissh!! Akan ku bunuh dia!!” Melangkahkan kaki keluar kamar, berlari kecil menuruni anak tangga. Saat aku kembali ke dapur disana hanya ada Amma yang tengah mencicipi adonan kue, kemana si gadis menyebalkan yang sempat melihat aku yang tengah memakai kolor?  “Amma, dimana Herrin?" langsung saja ku layangkan pertanyaan itu. “Pulang, dia bilang Amma nya pulang hari ini jadi dia akan menunggu dirumah.” Sialan, kalau tau begitu lantas untuk apa Amma meneriaki ku tadi tuhaaannn???
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD